“…Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (terhadap Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih”. (Qs. Saba: 13).
Mungkin kita pernah berkata atau mendengar perkataan berikut ini: “Mengapa mesti melakukan pekerjaan , toh Allah telah tentukan rezeki kita. Kalau emang ditakdirin kaya, kita tiduran di rumah aja bakal kaya kok”.
Duh, ini cara pandang yang keliru. Cobalah baca kalimat berikut ini perlahan: “Yang datang belakangan tidak akan menjadi alasannya adalah bagi yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Apa yang sudah ditetapkan pada zaman azali: jodoh, usia dan rezeki sebelum adanya permintaan dan amalan, jadi tdk akan diubah dengan ajakan dan amalan”. Silahkan dibaca ulang perlahan sekali atau dua kali lagi.
Jika demikian, mengapa kita mesti bekerja untuk mencari rezeki? Saya kira, pertanyaan semcam ini memiliki substansi yang serupa dikala Rasul saw ditanya oleh sang istri ra: “Wahai Rasulullah SAW, mengapa engkau beribadah seperti ini (sampai kaki dia bengkak).? Bukankah Allah sudah menjamin engkau akan masuk surga?”. Lihatlah apa jawaban baginda Rasulullah SAW: “Apakah saya dilarang menjadi hamba yang bersyukur?”. Cara pandang ini adalah cara pandang yang derajatnya paling tinggi: syukur.
Untuk mempertebal, aku kutip lagi QS. Saba ayat 13: “…Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (terhadap Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih..”.
Setidaknya ada 3 cara pandang (perspektif) dalam beribadah atau melakukan pekerjaan sebagaimana dalam syarah hadits arbai’in annawawi :
- Syukur
- Harap
- Takut
Kita terjemahin satu-satu ya 🙂
Pertama, Syukur.
Allah SWT sudah beri kita beragam lezat, maka kita bersyukur dengan cara shalat dan beribadah kepadanya. Allah SWT telah beri kita kesempatanuntuk melakukan pekerjaan da menghasilkan karya yang bermanfaat, Allah SWT kasih kita logika, tangan, kaki, dan banyak lagi, karena itu kita bersyukur dengan cara menggunakan semua pemberian tersebut untuk berkarya, melakukan pekerjaan dan kebermanfaatan.
Kedua, Harap.
Allah SWT sudah menjanjikan nirwana bagi orang yang berzakat shalih. Maka sebagian orang shalat dan beribadah yang lain sebab berharap kelak di darul baka dimasukkan ke dalam nirwana. Allah SWT kasih kita peluangdan kemampuan untuk melakukan pekerjaan dan berkarya. Dan kita pun melakukan pekerjaan dan berusaha alasannya kita berharap kita mampu laba dari perjuangan tersebut.
Ketiga, Takut.
Allah SWT sudah prospektif kita neraka jika tidak taat. Maka kita pun beribadah alasannya takut kelak diakhirat dimasukkan ke dalam neraka. Allah SWT beri kita potensi. Tapi sebab takut miskin, kita menggunakan kesempatantersebut untuk bekerja dan berkarya. Lalu, pertanyaan berikutnya ialah: “Jika amalan kita tidak menjadi karena atas apa yang Allah SWT menetapkan pada zaman azali terdahulu, mengapa Allah SWT menyuruh kita bederma dan mengapa Allah SWT katakan bahwa setiap amalan ada jadinya?”. Baik, kita coba jawab pelan-pelan ya.
Didalam Al-quran aneka macam ayat yang menyandingkan kata “amal shalih” dengan “nirwana” dan “maksiat” dengan “neraka”. Mengapa demikian? Ini menunjukkan amalan memiliki hubungan yang sangat erat dengan ketetapan Allah SWT. Amal shalih sungguh bersahabat dengan nirwana, maksiat sangat akrab dengan neraka? Tugas kita yakni memutuskan diri setiap saat untuk dekat dengan nirwana dengan selalu bersedekah sholih.
Untuk mempertebal goresan pena aku ini, ada 2 alasan mengapa kita harus bekerja meski Allah telah membuat ketetapan sebelum kita bekerja:
- Untuk bersyukur atas semua yang Allah SWT beri untuk kita
- Memastikam diri senantiasa akrab dengan surga dengan cara selalu bederma sholih/bekerja dengan dan menjalankan kebaikan.
Wallahua’lam.