Membangun Budaya Organisasi Dalam Rangka Reformasi Birokrasi
Sejak bergulirnya reformasi pada tahun 1998, terjadi perubahan yang cukup radikal terhadap tata cara politik dan pemerintahan di Indonesia. Reformasi di sektor pemerintahan difokuskan kepada bagaimana meciptakan sebuah tatanan pemerintahan yang bagus, transparan dan bertanggung jawab. Secara biasa ada tiga tujuan yang akan di capai di dalam reformasi tata pemerintahan yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia yakni, penataan struktur pemerintahan negara, desentralisasi pemerintahan, dan reformasi keuangan negara. Ketiga tujuan tersebut di dalam implementasinya telah berjalan cukup tanpa gangguan tetapi belum berhasil seperti diharapkan.
Skala reformasi yang dikerjakan oleh pemerintah Indonesia dinilai memiliki cakupan yang sungguh luas. Bahkan terkadang dipandang terlalu luas dan terlalu cepat jika dibandingkan dengan apa yang pernah dilakukan oleh banyak negara di dunia. Indonesia juga dipandang telah melaksanakan pergantian radikal dalam tata kekerabatan antara sentra dan daerah lewat acara desentralisasi pemerintahan yang belum pernah ditempuh oleh negara mana pun di dunia.
Namun demikian reformasi yang demikian luas dan begitu radikal perubahannya tersebut, ternyata belum berhasil menciptakan tata pemerintahan yang bagus di Indonesia. Seperti dimengerti bersama bahwa secara sederhana visi reformasi, utamanya reformasi birokrasi ialah terwujudnya tata pemerintahan yang baik, sementara itu misi dibandingkan dengan reformasi birokrasi yaitu membangun, menata ulang, menyempurnakan, membina, dan mengatur birokrasi pemerintahan, supaya mampu dan komunikatif dalam melaksanakan peranan dan fungsinya.
Target dan sasaran reformasi birokrasi ada lima hal. Pertama, terbentuknya birokrasi yang bersih, adalah birokrasi yang anti KKN dan berkurangnya sikap koruptif pegawai negeri. Kedua, birokrasi yang efisien dan hemat dalam menggunakan sumber daya yang terbatas. Ketiga, birokrasi yang transparan ialah birokrasi yang seluruh kebijakan dan aktivitasnya diketahui masyarakat dan masyarakat dapat mengaksesnya dengan mudah. Keempat, birokrasi yang melayani, yaitu birokrasi yang tidak minta dilayani, namun birokrasi yang melayani penduduk . Kelima, birokrasi yang terdesentralisasi, ialah kewenangan pengambilan keputusan terdesentralisasi terhadap pimpinan unit kerja terdepan.
Kelima sasaran dan target ketimbang reformasi birokrasi tersebut selama ini masih belum bisa diwujudkan secara konkret oleh pemerintah. Hal ini menurut Thoha (2002) disebabkan alasannya birokrasi pemerintah makin terkooptasi dan diintervensi oleh partai politik yang mempersiapkan kemenangan pemilu bagi partainya. Kepentingan subjektivitas partai makin besar lengan berkuasa untuk menguasai birokrasi pemerintah. Hal ini mengakibatkan birokrasi pemerintah terkotak-kotak selaku kapling partai politik. Partai politik membangun blok (building block) di birokrasi pemerintah untuk kepentingan partainya. Netralitas birokrasi pemerintah kepada kekuatan partai politik sukar bisa dihindari.
Kehadiran partai politik dalam pemerintahan memang tidak bisa lagi dihindari. Akan tetapi kebutuhnan menciptakan tata cara birokrasi pemerintahan yang netral, profesional, dan mantap tidak mampu juga dihindari. Keduanya ialah keperluan yang esensial yang mestinya disadari oleh pemerintah. Kelembagaan birokrasi pemerintah mestinya memperoleh perhatian yang pertama sebelum semuanya diperbaiki.
Kondisi mirip tersebut di atas sebaiknya mampu dipergunakan selaku salah satu taktik perubahan atau reformasi birokrasi. Strategi ini mampu diawali dengan reformasi kelembagaan birokrasi pemerintah. Menurut Thoha (2002) lembaga birokrasi merupakan sebuah bentuk dan tatanan yang mengandung struktur dan kultur.
Struktur mengacu pada susunan dari sebuah tatanan, sementara itu kultur mengandung nilai, metode, dan kebiasaan yang dilakukan oleh para pelakunya yang mencerminkan sikap dari sumber daya manusianya. Oleh alasannya adalah itu reformasi dari kelembagaan birokrasi mencakup susunan dari sebuah tatanan birokrasi pemerintah, serta reformasi tata nilai, tata sistem, dan tata perilaku dari aparatnya.
Dari uraian tersebut tampakbahwa ada dua faktor yang cukup penting di dalam pelaksanaan reformasi birokrasi. Pertama, ialah reformasi dari aspek kelembagaan, yaitu birokrasi pemerintah mesti menata ulang forum-forum yang ada selama ini. Penataan ini mampu dilakukan baik dari aspek strukturnya, jenjang hirarki maupun tata cara manajemennya. Kedua, ialah reformasi dari faktor budayanya. Yaitu menata ulang budaya birokrasi yang selama ini dilaksanakan.
Effendi (2005) kegagalan dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia selama ini salah satu sebabnya adalah kurangnya perhatian terhadap pergeseran pola budaya organisasi yang ada dalam birokrasi pemerintah. Padahal tanpa adanya perubahan budaya organisasi tidak mungkin tata pemerintahan yang amanah dapat terwujud.
A. Budaya Organisasi
Budaya organisasi memiliki makna yang luas. Menurut Luthans (1998) budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan sikap anggota organisasi. Setiap anggota akan berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku biar diterima oleh lingkungannya.
Sharplin (1995) mengatakan bahwa budaya organisasi ialah suatu metode nilai, keyakinan dan kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur metode formalnya untuk menciptakan norma-norma perilaku organisasi.
Sementara itu Stoner, Freeman & Gilbert (1995) mendefinisikan budaya organisasi selaku suatu cognitive framework yang mencakup sikap, nilai-nilai, norma sikap dan keinginan-cita-cita yang disumbangkan oleh anggota organisasi. Davis (1984) menyatakan bahwa budaya organisasi ialah acuan iman dan nilai-nilai organisasi yang diketahui, dijiwai dan dipraktikkan oleh organisasi sehingga contoh tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar hukum berperilaku dalam organisasi.
Schein (1992) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu contoh dari perkiraan-perkiraan dasar yang didapatkan, diciptakan atau dikembangkan oleh sebuah golongan tertentu dengan maksud agar organisasi berguru menanggulangi atau menanggulangi persoalan-masalahnya yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berlangsung dengan cukup baik, sehingga perlu diajarkan terhadap anggota-anggota gres selaku cara yang benar untuk mengetahui, menimbang-nimbang dan mencicipi berkenaan dengan persoalan-dilema tersebut.
Sedangkan Hodge, Anthony & Gales (1996), menyampaikan bahwa budaya organisasi selaku konstruksi dari dua tingkat karakteristik, yakni karakteristik organisasi yang kelihatan (observable) dan yang tidak kelihatan (unobsevable). Pada level observable, budaya organisasi mencakup beberapa faktor organisasi seperti arsitektur, seragam, teladan sikap, peraturan, legenda, mitos, bahasa, dan seremoni yang dilakukan organisasi. Sedangkan pada level unobservable, budaya organisasi mencakup shared values, norma-norma, dogma, perkiraan-asumsi para anggota organisasi untuk mengorganisir persoalan dan keadaan-keadaan disekitarnya. Budaya organisasi juga dianggap sebagai alat untuk menentukan arah organisasi, mengarahkan apa yang boleh dilaksanakan dan yang dilarang dijalankan, serta bagaimana mengalokasikan sumber daya dan mengorganisir sumber daya organisasi, dan selaku alat untuk menghadapi problem dan kesempatan dari lingkungan.
Budaya organisasi yaitu semua ciri yang menunjukkan kepribadian sebuah organisasi : iktikad bareng , nilai-nilai dan perilaku-perlaku yang dianut oleh semua anggota organisasi. Budaya organisasi adalah tradisi yang sangat sukar diubah.
Sethia & Glinow (dalam Collins & Mc Laughlin, 1996) membedakan adanya empat macam budaya organisasi, yaitu : Pertama, Apathetic Culture. Dalam tipe ini perhatian anggota organisasi terhadap korelasi antar insan maupun kinerja pelaksanaan peran, dua-duanya rendah. Disini penghargaan diberikan terutama berdasarkan permainan politik dan pemanipulasian orang-orang lain. Kedua, Caring Culture. Budaya organisasi tipe ini dicirikan oleh rendahnya perhatian kepada kinerja dan tingginya perhatian kepada korelasi antar manusia. Penghargaan lebih didasarkan atas kepaduan tim dan harmoni, dan bukan didasarkan atas kinerja pelaksanaan tugas. Ketiga, Exacting Culture. Ciri utama tipe ini yakni bahwa perhatian terhadap orang sangat minim, namun perhatian terhadap kinerja sangat tinggi. Disini secara ekonomis penghargaan sungguh memuaskan, tetapi eksekusi atas kegagalan yang dijalankan juga sungguh berat. Dengan demikian tingkat keselamatan pekerjaan menjandi sangat rendah. Keempat, Integrative Culture. Dalam organisasi yang memiliki budaya integrative, perhatian terhadap orang maupun kinerja, keduanya sangat tinggi.
Dari uraian tersebut di atas bila organisasi birokrasi di Indonesia dianalisis dengan memakai empat tipe budaya tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar organisasi birokrasi di Indonesia mempunyai budaya organisasi yang bertipe Caring. Pada umumnya organisasi birokrasi di Indonesia biasanya mempunyai perhatian yang sangat rendah terhadap kinerja pelaksanaan tugas, namun mempunyai perhatian yang sungguh tinggi kepada korelasi antar insan. Hal ini tampak dari ciri-ciri birokrat sebagai berikut :
1. Lebih mementingkan kepentingan pimpinan daripada kepentingan klien atau pengguna jasa.
2. Lebih merasa sebagai abdi negara daripada abdi masyarakat.
3. Meminimalkan resiko dengan cara menghindari inisiatif.
4. Menghindari tanggung jawab.
5. Menolak tantangan.
6. Tidak suka berkreasi dan berinovasi dalam melaksanakan peran-tugasnya.
Budaya caring ini tidak sesuai dalam organisasi yang berorientasi pada pelayanan publik, oleh karena itu perlu diadopsi budaya organisasi baru yang lebih sesuai dan kondusif dengan manajemen pelayanan publik.
Menurut Kotter & Kotter (1992) sebuah organisasi yang mempunyai budaya yang kuat memiliki dampak secara eksklusif terhadap teladan sikap dan berfikir seluruh anggota organisasi. Oleh alasannya itu Darsono (2006) mengatakan bahwa Budaya yang kuat dapat menciptakan kinerja yang cantik (tinggi) atau dengan kata lain budaya organisasi yang besar lengan berkuasa mempunyai relasi yang nyata dengan kinerja anggota organisasi alasannya adalah anggota organisasi memiliki motivasi tinggi, loyalitas, perjuangan, alasannya mereka merasa sedang berada (bekerja) dalam organisasi, dan anggota organisasi mempunyai kesadaran yang tinggi tentang kelangsungan hidup organisasi.
Sementara itu Kotter & Heskett (1992) menyebutkan bahwa kepustakaan yang ada pada saat ini telah cukup mendukung asumsi bahwa budaya yang besar lengan berkuasa mengarah pada kinerja yang lebih tinggi, sehingga yang lebih penting lagi yaitu melaksanakan telaah lebih lanjut lagi.
Perspektif “telaah lebih lanjut lagi” ini penting, paling tidak untuk tiga argumentasi, adalah : (a) mungkin merupakan usaha besar pertama yang berupaya mengaitkan budaya organisasi dengan kinerja ekonomi jangka panjang; (b) alasannya adalah menyoroti efek dari budaya yang besar lengan berkuasa terhadap pencapaian tujuan, motivasi dan kontrol; dan (c) sebab merebut perhatian banyak orang. Perspektif ini mengatakan bahwa budaya yang kuat menyebabkan kinerja yang berpengaruh, namun sebaliknya, ternyata terjadi pula bahwa kinerja yang kuat dapat membantu membuat budaya yang besar lengan berkuasa (Schein, 1992).
Sehubungan dengan hal itu maka Lako (2004) berpandangan bahwa budaya organisasi memiliki sejumlah peran strategis. Pertama selaku “perekat” antar para pelaku organisasi yang memiliki tujuan dan kepentingan yang berlawanan-beda. Kedua, sebagai alat untuk membentuk sense of belonging (rasa ikut mempunyai) dan sense of indentity (rasa gembira selaku bagian dari suatu organisasi) para pelaku organisasi. Ketiga, selaku core organizational values yang mampu mendorong : (1) para karyawan untuk menawarkan ide-ide barunya; (2) organisasi agar senantiasa sensitif kepada kepuasan konsumen (customer satisfaction) dan permintaan stakeholders-nya; (3) para pelaku organisasi agar senantiasa membangun komunikasi iklim organisasi yang harmonis dan aman; dan (4) menanamkan janji para pelaku organisasi untuk mendapatkan segala resiko yang mungkin saja terjadi, baik yang disebabkan oleh kegagalan organisasi itu sendiri maupun yang disebabkan oleh kejadian-kejadian yang tidak mampu dikendalikan oleh organisasi. Keempat, sebagai alat yang efektif untuk membangun efektivitas keberhasilan kinerja ekonomi dan kinerja organisasi dalam jangka panjang (secara berkelanjutan).
B. Reformasi Birokrasi
Kata “reformasi” telah menjadi semacam komoditas dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia tamat-tamat ini. Dimana-mana kita pasti mendengar reformasi, entah kita menghadiri diskusi, seminar ataupun perbincangan sehari-hari. Meluasnya obrolan wacana reformasi mengakibatkan munculnya berbagai interpretasi perihal makna reformasi itu sendiri. Kata reformasi berasal dari kata Inggris “reform” yang artinya perbaikan atau pembaruan.
Sarundajang (2003), pada hakikatnya reformasi merupakan bab dari dinamika penduduk , dalam arti bahwa pertumbuhan akan mengakibatkan tuntutan terhadap pembaruan dan pergantian untuk beradaptasi dengan permintaan pertumbuhan tersebut. Karena itu reformasi bagi sebuah organisasi adalah alamiah dan masuk akal. Hanya saja reformasi dalam konteks Indonesia sudah dipandang sebagai sebuah pergeseran yang sifatnya radikal. Reformasi bahkan sudah dijadikan justifikasi kepada banyak sekali perilaku anggota penduduk yang anarkis dan melanggar aturan, sehingga pemahaman terhadap reformasi sudah dibelokkan dalam konteks yang keliru.
Namun demikian terlepas dari penyimpangan terhadap pengertian perihal reformasi tersebut, publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya reformasi akan diikuti pula dengan perubahan besar pada desain kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi, maupun kultural. Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan penduduk menjadi begitu mendesak untuk segera dijalankan mengingat birokrasi mempunyai donasi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang sampai saat ini belum juga tertuntaskan.
Dwiyanto, et.al (2006) mengatakan bahwa reformasi birokrasi dalam penyelengaaraan acara pemerintahan dan pelayanan publik diarahkan untuk membuat kinerja birokrasi yang profesional dan akuntabel. Birokrasi dalam melakukan aneka macam acara perbaikan pelayanan diharapkan lebih berorientasi pada kepuasan pelanggan, ialah penduduk pengguna jasa.
Sementara itu Hardjapamekas (2003) menyampaikan bahwa Pola birokrasi yang cenderung sentralisitik, dan kurang peka terhadap kemajuan ekonomi, sosial dan politik penduduk mesti ditinggalkan, dan diarahkan seiring dengan permintaan masyarakat. Harus diciptakan birokrasi yang terbuka, profesional dan akuntabel.
Lebih lanjut dikatakan pula bahwa reformasi birokrasi menjadi perjuangan mendesak mengenang implikasinya yang begitu luas bagi penduduk dan negara. Perlu perjuangan-perjuangan serius agar pembaharuan birokrasi menjadi lancar dan berkesinambungan. berikut ini yakni langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk menuju reformasi birokrasi.
Reformasi birokrasi di Indonesia, berdasarkan Sarundajang (2003) merupakan langkah-langkah perubahan atau pembaharuan yang berdimensi restrukturisasi, revitalisasi dan refungsionalisasi. Restrukturisasi ialah tindakan untuk mengganti struktur yang dipandang telah tidak cocok dengan tuntutan zaman dan dianggap tidak efektif lagi dalam memajukan organisasi. Revitalisasi ialah upaya untuk memberikan pemanis energi atau daya kepada sebuah organisasi atau forum supaya mampu mengoptimalkan kinerja organisasi. Oleh sebab itu revitalisasi akan berkaitan dengan perumusan kembali uraian tugas, penambahan kewenangan terhadap unit-unit strategis, peningkatan alokasi budget, penambahan atau penggantian berbagai instrumen penunjang dalam melakukan peran-peran organisasi. Sedangkan refungsionalisasi lebih berhubungan dengan tindakan atau upaya untuk memfungsikan kembali sesuatu yang sebelumnya tidak berfungsi. Dalam hal ini refungsionalisasi lebih mengarah pada penajaman profesionalisme organisasi dalam mengemban misinya.
Dari uraian di atas maka dengan demikian reformasi birokrasi akan mengarah pada tiga dimensi reformasi tersebut. Dalam kekerabatan ini reformasi birokrasi dijalankan untuk membentuk organisasi birokrasi yang benar-benar mampu memenuhi permintaan kebutuhan penduduk dengan pelayanan yang lebih singkat (faster), lebih hemat biaya (cheaper), dan lebih baik (better).
C. Hubungan Antara Budaya Organisasi Dengan Reformasi Birokrasi
Pada uraian terdahulu telah disinggung bahwa salah satu penyebab kurang berhasilnya reformasi birokrasi untuk mendukung penyelenggaraan tata pemerintahan yang amanah yaitu karena pemerintah belum meletakkan perhatian yang serius kepada pergeseran budaya organisasi.
Budaya organisasi amat besar pengaruhnya pada kesuksesan dan mati hidup suatu organisasi. Karena itulah kalau sebuah perusahaan bersedia mengeluarkan dana yang amat besar untuk mengubah budaya perusahaan (corporate culture) biar senantiasa sesuai dengan lingkungannya yang selalu berganti dengan cepat. Sebaliknya, birokrasi pemerintahan negara kurang punya perhatian terhadap pergeseran lingkungan sebab dua alasan. Pertama, secara konseptual ketika Max Weber merumuskan desain birokrasi kira-kira 140 tahun yang lalu, organisasi birokratis diasumsikan selaku bentuk organsasi yang cocok untuk lingkungan yang stabil dan untuk melaksanakan tugas-peran yang bersifat massif tetapi redundant. Dengan demikian bentuk dan budaya organisasi mesti berubah bila peran organisasi dan lingkungannya berubah.
Ada perkiraan yang cukup menarik untuk dipertanyakan : apakah budaya organisasi mensugesti proses reformasi birokrasi, ataukah reformasi birokrasi menghipnotis dan menciptakan budaya organisasi ? Jika yang pertama terjadi maka akan terjadi stagnasi dan kekuatan status-quo dalam organisasi birokrasi, sementara itu kalau yang kedua terjadi maka akan tercipta pergantian dan pengembangan organisasi birokrasi yang dinamis.
Budaya organisasi (birokrasi) merupakan janji bareng perihal nilai-nilai bersama dalam kehidupan organisasi dan mengikat siapa saja dalam organisasi yang bersangkutan (Sondang P.Siagian,1995). Oleh alasannya itu budaya organisasi birokrasi akan memilih apa yang boleh dan dihentikan dikerjakan oleh para anggota organisasi; memilih batas-batas normatif sikap anggota organisasai; memilih sifat dan bentuk-bentuk pengendalian dan pengawasan organisasi; memilih gaya manajerial yang dapat diterima oleh para anggota organisasi; menentukan cara-cara kerja yang tepat, dan sebagainya. Secara spesifik tugas penting yang dimainkan oleh budaya organisasi (birokrasi) yakni membantu menciptakan rasa mempunyai kepada organisasi; menciptakan jati diri para anggota organisasi; membuat keterikatan emosional antara organisasi dan pekerja yang terlibat didalamnya; membantu menciptakan stabilitas organisasi sebagai metode sosial; dan memperoleh contoh pemikiran perilaku sebagai hasil dari norma-norma kebiasaan yang terbentuk dalam keseharian.
Begitu kuatnya pengaruh budaya organisasi (birokrasi) terhadap perilaku para anggota organisasi, maka budaya organisasi (birokrasi) mampu memutuskan tapal batas untuk membedakan dengan organisasi (birokrasi) lain; mampu membentuk identitas organisasi dan identitas kepribadian anggota organisasi; mampu memudahkan terciptanya kesepakatan organisasi dibandingkan dengan akad yang bersifat kepentingan individu; bisa meningkatkan kemantapan keterikatan sistem sosial; dan bisa berfungsi selaku prosedur pembuatan makna dan simbol-simbol kontrol perilaku para anggota organisasi.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka reformasi birokrasi selaku suatu proses, haruslah berpedoman pada rambu-rambu aturan normatif yang sudah ditentukan oleh organisasi birokrasi yang bersangkutan selaku perwujudan ketimbang budaya organisasi. Oleh alasannya adalah itu kegagalan di dalam reformasi birokrasi seringkali disebabkan karena pegawapemerintah birokrasi tidak menyadari adanya perubahan dan perubahan yang terjadi dalam budaya penduduk lingkungannya.
Salah satu kendala yang seringkali dihadapi dalam pelaksanaan reformasi birokrasi ialah tidak adanya budaya antikorupsi. Tidak adanya budaya antikorupsi menciptakan nilai-nilai etis wacana kekuasaan, pertentangan kepentingan, keadilan, dan kepantasan tidak meningkat dalam kehidupan birokrasi pemerintahan dan penduduk luas. Akibatnya toleransi penduduk kepada pungli sangat tinggi. Sebagian besar para pemangku kepentingan menganggap dukungan pungli sebagai hal yang masuk akal.
Budaya antikorupsi penting dikembangkan alasannya langkah-langkah korupsi pertama-tama yaitu duduk perkara nilai, budpekerti, dan moralitas. Keinginan untuk melaksanakan langkah-langkah korupsi pada umumnya muncul sebab berkembangnya nilai-nilai yang salah dan etika serta sopan santun yang buruk untuk memperkaya diri atau menghimpun harta dengan cara yang gampang dan tanpa harus kerja keras. Keinginan untuk menghimpun harta yang berlebihan dengan tanpa perjuangan menjadi biang keladi dari menjamurnya praktik korupsi di Indonesia. Korupsi akibatnya tidak seharusnya hanya dilihat sebagai salah satu bentuk pelanggaran hukum atau penyalahgunaan kekuasaan dalam birokrasi pemerintah. Mereduksi pengertian rancangan korupsi menjadi dilema pelanggaran aturan, penyalahgunaan kekuasaan birokrasi, atau rendahnya tingkat kesejahteraan pegawai dan pejabat publik yaitu penyederhanaan desain korupsi yang berlebihan dan mampu menyesatkan. Sebaliknya, menimbulkan persoalan korupsi selaku persoalan budaya semata-mata pasti tidak bijaksana sebab bahu-membahu korupsi di Indonesia ialah fenomena yang kompleks dan multidimensional.
Pengembangan seni manajemen budaya ditonjolkan disini alasannya upaya membangun budaya gres yang melembagakan nilai-nilai antikorupsi kurang menemukan perhatian dari para pejabat publik dan pemangku kepentingan. Perang melawan korupsi yang dicanangkan oleh presiden SBY simpulan-tamat ini cenderung memakai taktik yang sempit sebab lebih banyak memusatkan pada faktor penegakan hukum namun belum banyak menjamah dimensi-dimensi yang lain, seperti pembenahan birokrasi publik, pendidikan antikorupsi, dan pengembangan budaya, adab, kebijaksanaan pekerti dan nilai-nilai luhur yang bisa membentengi para pejabat publik dari perilaku yang tercela. Penegakan aturan pasti sangat penting dan mesti dilaksanakan dengan tegas, namun tidak cukup untuk memberantas korupsi. Penegakan hukum yang keras dan tegas tanpa disertai oleh perubahan-pergeseran sistim nilai dan budpekerti hanya akan membuat praktik korupsi menjadi kian canggih. Akibatnya, di Indonesia sekarang ini banyak berkembang tindakan yang pada dasarnya bersifat koruptif, tetapi tidak melanggar hukum.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dalam reformasi birokrasi perlu dikembangkan suatu pola budaya yang mengandung nilai-nilai dan adat yang anti kecurangan, antikorupsi dan beorientasi pada kepentingan publik.
D. Membangun Etika Perilaku dan Budaya Organisasi
Amrizal (2004) menyampaikan bahwa setiap organisasi bertanggung jawab untuk berupaya menyebarkan sebuah contoh sikap organisasi yang mencerminkan kejujuran dan budpekerti yang dikomunikasikan secara tertulis dan dapat dijadikan pegangan oleh seluruh pegawai. Kultur tersebut mesti mempunyai akar dan mempunyai nilai-nilai luhur yang menjadi dasar bagi akhlak pengelolaan sebuah organisasi atau sebuah entitas.
Membangun adat sikap dan budaya organisasi akan mendukung secara efektif dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi. Oleh karena itu untuk membangun budbahasa perilaku dan budaya organisasi yang berpengaruh sangat diputuskan oleh faktor-faktor sebagai berikut :
1. Komitmen Dari Top Management Dalam Organisasi
Manajemen mesti menawarkan tauladan dan kemauan yang besar lengan berkuasa untuk membangun sebuah kultur yang besar lengan berkuasa dalam organisasi yang dipimpinnya. Peranan adab/kepribadian yang bagus dari seorang pimpinan dan komitmennya yang besar lengan berkuasa sungguh mendorong tegaknya sebuah adab prilaku dalam suatu organisasi dan dapat dijadikan dasar bertindak dan suri tauladan bagi seluruh pegawai. Oleh sebab itu akad akhlak dan keterbukaan di dalam komunikasi menjadi dua hal yang sungguh untuk membangun budaya yang bagus.
2. Membangun Lingkungan Organisasi Yang Kondusif
Banyak hasil observasi menunjukkan indikasi perbuatan salah atau tindakan curang mirip tindak pidana korupsi terjadi dalam suatu organisasi alasannya kurangnya kepedulian aktual karyawan kepada perbuatan salah tersebut bahkan dipandang telah hal yang biasa atau pura-pura tidak mengetahuinya. Kepedulian kasatmata dari lingkungan kerja sangat diharapkan dalam membangun suatu budpekerti perilaku dan kultur oganisasi yang berpengaruh. Rendahnya kepedulian dan rendahnya moral akan menyuburkan tindakan kecurangan yang pada akhirnya akan menghancurkan bahkan dapat merusak organisasi.
3. Perekrutan dan Promosi Pegawai
Setiap pegawai mempunyai masing-masing seperangkat nilai-nilai kejujuran, integritas dan aba-aba etik personal. Ketika sebuah organisasi atau entitas berhasil dalam pencegahan kecurangan, dipastikan organisasi tersebut sudah mempunyai kebijakan-kebijakan yang efektif yang mampu mengurangi kemungkinan adanya merekrut atau mengiklankan pegawai yang mempunyai tingkat kejujuran yang rendah, utamanya untuk posisi yang memerlukan tingkat kepercayaaan.
4. Pelatihan Yang Berkesinambungan
Pegawai baru seharusnya diberi pelatihan perihal nilai-nilai organisasi atau entitas dan standar-standar pelaksanaan pada saat perekrutan.
5. Menciptakan Saluran Komunikasi Yang Efektif
Manajemen memerlukan gosip tentang pelaksanaan dan pertanggungjawaban pekerjaan apakah sudah sesuai dengan arahan etik atau tidak dari masing-masing pegawai. Masing-masing pegawai harus mampu menginformasikan perihal pelaksanaan isyarat etik tersebut mulai dari pemegang posisi tertinggi hingga yang paling rendah. Permintaan komfirmasi tersebut sekurang-kurangnyadikerjakan setahun sekali, hal ini bukan cuma formalitas saja tetapi laporan tersebut betul-betul mampu dipakai sebagai pencegahan dan pendekteksian bila terjadinya tindakan curang dalam organisasi. Laporan yang jujur dari karyawan sungguh dibutuhkan dan bukan atas dasar sakit hati atau irihati pada seseorang.
6. Penegakan Disiplin
Kedisiplinan merupakan suatu kunci penting keberasilan dalam menerapkan dan memelihara instruksi etik dalam sebuah organisasi. Tindakan disiplin akan dapat mengurangi tindakan curang yang
Di dalam proses reformasi birokrasi, sering timbul pertanyaan, model budaya organisasi macam apakah yang seharusnya dibangun ? Dan bagaimana cara membangun budaya seperti itu ?
Menurut Lako (2004) versi budaya organisasi yang ideal untuk sebuah organisasi yakni yang mempunyai paling tidak dua sifat. Pertama, kuat (strong), artinya budaya organisasi yang dibangun harus bisa mengikat dan mensugesti perilaku individu untuk menyelaraskan antara tujuan individu dan tujuan golongan dengan tujuan organisasi. Selain itu budaya organisasi yang dibangun mesti mampu mendorong para pelaku organisasi dan organisasi itu sendiri untuk mempunyai tujuan, target, pandangan, perasaan, nilai dan iktikad, interaksi sosial dan norma-norma bersama yang memiliki arah yang terperinci sehingga mereka mampu melakukan pekerjaan dan mengekspresikan potensi mereka dalam arah dan tujuan yang serupa, serta dalam semangat yang serupa pula.
Kedua, dinamis dan adaptif , artinya budaya organisasi yang mau dibangun mesti fleksibel dan responsif kepada perkembangan lingkungan internal dan eksternal organisasi.
Menurut Noe & Mondy (1996) ada dua variabel lingkungan yang membentuk dan menghipnotis efektivitas budaya suatu organisasi, adalah :
1. Faktor-faktor yang berasal dari variabel lingkungan internal organisasi, mencakup misi, visi, peraturan dan nilai-nilai yang ditanamkan oleh para pendahulu atau pendiri organisasi dan nilai-nilai yang ditanamkan oleh para pimpinan, janji, susila dan akhlak serta suasana kekeluargaan, gaya kepemimpinan, karakteristik organisasi, otonomi dan kompleksitas organisasi, tata cara penghargaan, metode komunikasi dan konflik/koordinasi serta toleransi.
2. Faktor-faktor yang berasal dari lingkungan global mencakup kecenderungan pergeseran globalisasi ekonomi, tuntutan aturan, sosial dan ekonomi, perkembangan teknologi, transformasi teknologi gosip dan pergeseran ekologi.
Untuk membangun model budaya organisasi yang mempunyai sifat-sifat tersebut, menurut Porter & Parker (1992) ada sejumlah kondisi (prasyarat) yang mesti dikerjakan, yaitu :
1. Adanya perasaan memerlukan (felt need) dari semua pelaku organisasi.
2. Adanya akad dari manajemen puncak (management commitment).
3. Adanya shared mindset, yakni para fasilitator perlu bersusah payah untuk mendorong setiap anggota organisasi untuk memfokuskan pada pemahaman kemana organisasi akan melangkah di era datang dan apa maknanya bagi peran individu.
4. Adanya keterlibatan karyawan (employee involvement), yakni bahwa semua karyawan mesti terlibat aktif dalam proses membuat perubahan menjadi suatu realitas.
5. Adanya training yang mencukupi (focused training).
6. Adanya akuntabilitas (accountibility).
Menurut Lako (2004) ada beberapa pendekatan yang mampu dilakukan oleh para pelaku organisasi, khususnya para direktur yang memiliki power di dalam memanajemeni organisasi, untuk membangun versi budaya adalah : pertama, pendekatan top-down (top-down approach), artinya top management berinisiatif mengambil prakarsa untuk merumuskan, membuatkan dan mengoperasionalkan sebuah versi budaya organisasi yang kuat, adaptif dan dinamis, dan kemudian dikomunikasikan kepada seluruh anggota organisasi untuk dilaksana-kan secara konsisten.
Kedua, bottom-up approach, artinya perumusan dan pengembangan sebuah versi budaya organisasi yang ideal diserahkan sepenuhnya kepada administrasi level bawah dan menengah serta seluruh karyawan, sedangkan manajemen puncak bertindak selaku pengarah dan perangkum.
Pendekatan yang ketiga yaitu inter-active approach, artinya top management dan level-level administrasi bawah serta karyawan secara gotong royong “duduk dalam satu meja bulat” untuk merumuskan suatu versi budaya organisasi yang ideal dan cocok dengan visi, misi dan tujuan organisasi.
Dari ketiga pendekatan tersebut, pendekatan yang terakhir yaitu yang paling baik dan mempunyai resiko kegagalan minimal sebab mengakomodasikan semua pemikiran dan kepentingan dari masing-masing pihak dalam organisasi yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda.
Dalam konteks pelaksanaan reformasi birokrasi, ada beberapa langkah praktis yang perlu dilaksanakan oleh sebuah organisasi birokrasi dalam membangun budaya organisasi. Pertama, merombak gaya kepemimpinan yang otoriter, kaku dan tertutup kepada karyawan, dengan gaya kepemimpinan yang terbuka dan transformatif. Gaya kepemimpinan yang terbuka artinya adanya transparansi dan akuntabilitas dari pimpinan untuk menawarkan pertanggungjawaban atau penjelasan secara terbuka dan jujur terhadap para karyawan ihwal segala hal yang berhubungan dengan apa saja yang telah, sedang dan akan dilaksanakan atau diraih oleh organisasi. Gaya kepemimpinan yang transformatif, artinya kepemimpinan yang memiliki visi kedepan dan mampu mengidentifikasi perubahan lingkungan serta mampu mentransformasikan pergeseran tersebut ke dalam organisasi, mempelopori pergantian dan menawarkan motivasi dan wangsit terhadap individu-individu karyawan untuk inovatif dan kreatif, serta membangun teamwork yang solid; menenteng pembaharuan dalam etos kerja dan kinerja administrasi; berani dan bertanggung jawab memimpin dan mengendalikan organisasi.
Kedua, mengajak seluruh karyawan untuk mendialogkan secara terbuka dan jujur mengenai segala hal, baik yang menyangkut masalah-duduk perkara karyawan, administrasi, organisasi, maupun keinginan-cita-cita organisasi dan karyawan untuk membangun keberhasilan organisasi yang berkesinambungan.
Ketiga, mensosialisasikan terhadap seluruh anggota organisasi untuk melaksanakan reformasi budaya organisasi dan mengajak mereka untuk terlibat aktif dalam proses reformasi tersebut. Dalam proses ini paradigma lama yang menganggap para karyawan selaku asset organisasi mesti diubah menjadi paradigma gres bahwa mereka ialah stakeholder yang ikut memiliki organisasi.
Keempat, menawarkan pembinaan, pengembangan dan sosialisasi yang mencukupi kepada seluruh anggota organisasi agar mereka mampu mengerti dan mengimplementasikan visi, misi, tujuan dan sasaran dari budaya organisasi yang baru dibangun.
Kelima, Medesain kembali sistem administrasi dan metode pengendalian organisasi yang tepat dengan jiwa dan semangat gres budaya organisasi yang baru dibangun.
Keenam, bila mengalami kesusahan di dalam membangun dan merancang budaya organisasi, gunakanlah jasa konsultan untuk mengidentifikasi, merancang dan membangun kembali sebuah versi budaya organisasi yang berpengaruh, dinamis dan adaptif yang sesuai dengan bentuk, karakteristik, mission statement, tujuan dan sasaran organisasi.