Membakar Langgar | Cerpen Ratnani Latifah

Kosim mengumpulkan warga. Tatkala mereka sudah berbondong-bondong datang, dipandangnya lekat-lekat orang yg berjejer itu. Kosim menghela napas. Lalu tangan kanannya yg sudah menenteng oncor menciptakan kuda-kuda untuk melemparkannya.

Karepmu opo, Sim, gawe geger deso bengi-bengi (Maksudmu apa, Sim, menciptakan gaduh malam-malam).” Seorang bapak menatap tak suka pada Kosim. Benci.

Koe pengen kuwalat bakar tempat iki? ngerti, ora!(Kamu ingin menerima azab dgn membakar kawasan ini? Kamu mengetahui, tidak!)”

Kosim cuma tersenyum miring. “Lho buat apa dibiarkan to, Pak. Kalau setiap hari cuma dikosongkan. Tidak ada yg membangkitkan tempat ini. Tidak ada keuntungannya. Kata Bapak, apa-apa yg tak dimanfaatkan lagi, lebih baik dimusnahkan saja. Iya, kan?”

*****

Semua warga telah disuruh bubar. Juga para pemuda yg memang sudah dipengaruhi kegilaan Kosim. Kini cuma tinggal Kosim & Pak Lurah yg saling berhadapan. Sungguh tak habis pikir setan mana yg merasuki Kosim hingga memiliki niat mengerikan itu. Membakar langgar? Sama saja aben pertumbuhan Islam. Langgar yakni daerah ibadah suci. Pemuda ini sungguh keterlaluan. Entah apa yg membuatnya memiliki pemikiran itu.

“Dasar boncah gendeng (Dasar anak gila),” begitulah umpatan dr bunyi yg tak lain milih Pak Lurah yg sekaligus pakleknya. Sejak satu minggu setelah Kosim kembali ke desa memang banyak insiden yg meresahkan warga. Kosim dicap sebagai pembuat ulah. Seperti malam ini yg mau mengkremasi langgar. Dua hari lalu ia pula membuat ricuh sebab mengumpulkan pemuda karang taruna untuk demo guna menggagalkan penggusuran lahan pemakaman yg konon akan digunakan untuk memperluas pertokoan di sana. Dan entah apalagi yg akan diperbuatnya nanti.

Karepmu opo, hah!? (Maksudmu apa, hah!?) Ini ilmu yg ananda mampu dr pondok? Dasar bocah sesat!”

Kosim masih diam. Tidak membantah sama sekali. Membiarkan segala sumpah serapah Pak Lurah terus diucapkan.

“Sabar, Pak.” Suara lain terdengar mengingatkan.

Koe meneng ae (kamu membisu saja), Bu. Biar gue yg urus anak kurang didik ini!”

Pak Lurah memerintah.

“Saya cuma mengikuti ajaran Pak Lek. Menghancurkan segala hal yg sudah tak mampu diambil faedah. Toh, langgar ini sudah jarang dipakai. Kenapa mesti dipertahankan?”

Gigi Pak Lurah bergemeletuk. Matanya melotot. Bocah ini sangat membuat tekanan darahnya naik. Kapan ia pernah menyampaikan langgar mampu seenak udelnya main bakar? Yah, meski langgar itu saat ini jarang diramaikan mirip dahulu, langgar tetaplah langgar. Tempat ibadah pada Pencipta Alam.

  Orang yang Tak Bisa Berbohong | Cerpen Mardi Luhung

Wes, to, Le (sudahlah, Nak). Jangan buat problem. Jangan buat pak lekmu marah.” Seorang perempuan setengah baya menyentuh pergelangan tangan Kosim. Mengiba. Menatap lamat Kosim untuk mengalah. Tidak tahan rasanya melihat suami & keponakannya saling sabung usulan.

Memang semenjak orang bau tanah Kosim meninggal alasannya kecelakaan, ia tinggal dgn keluarga Pak Lurah. Yah Ibu Kosim adalah adik dr Bu Lurah. Kosim dianggap gila. Tatkala disuruh masuk sekolah negeri malah memilih masuk gubukan. Eh, pulang-pulang bukannya melakukan dakwah malah bikin keonaran. Tentu saja hal itu membuat Pak Lurah yg tak lain ialah pak leknya jadi berang. Bocah tak tahu diuntung. Itulah sebutan yg Kosim sandang.

“Tobat, Sim. Pikir dulu kalau mau melaksanakan sesuatu,” sinis Pak Lurah sebelum kesannya sukses dibujuk istrinya, untuk meninggalkan Kosim sendirian di ruang tamu.

“Saya sudah mempertimbangkan semua masak-masak, Pak Lek,” gumam Kosim lirih.

Dalam perjalannya itu, ingatan yg dimiliki menjelajah ke masa lalu. Tatkala kawasan ini belum berganti. Tatkala suara adzan masing dikumandangkan. Bacaan ayat suci masih dilantukan. Ya, itu kejadian dahulu. Saat dirinya masih kecil. Sebelum semuanya berubah. Kosim menghela napas. Lompatan masa lalu masih menggelayutinya.

“Desa ini dulunya ‘bercahaya’. Memiliki banyak penerus bangsa dlm memberitakan agama. Ada langgar yg sering dijadikan kawasan mengaji. Banyak pemuda & anak- anak kecil mengaji sambil bermain di sini. Tempat ini ialah pusat kegiatan desa dlm segala hal. Tapi, semenjak adanya pendatang baru, suasana desa berganti, diramaikan dgn perkembangan teknologi & perluasan lapangan pekerjaan. Perlhan namun pasti, langgar makin ditinggalkan. Jarang yg mengurus & meneruskan perjuangan simbah-simbah. Nikmat dunia sudah melenakan.

Semua sekarang sibuk mengurusi lahan tani. Mengolah sawah lupa untuk menghadap Ilahi. Atau ada yg beralasan sibuk dlm jual beli hingga tidak punya waktu luang barang sebentar. Sibuk dgn urusan kantor hingga melewatkan kewajiban. Anak-anak dibiarkan terjajah televisi & internet, tak diajari mengaji. Setiap bakda Magrib hiruk pikuk yg terjadi sudah tergeser. Tidak ada tilawah karakter hijaiyah yg kerap terdengar. Apalagi shalawat Nabi yg didendangkan. Yang terdengar malah musik hingar-bingar yg sering menghancurkan indera pendengaran. Bahkan, sempat berulang kali Kosim menyaksikan langgar dijadikan kawasan maksiat. Miris.

Tempat yg kini ramai dikunjungi ialah toserba yg baru dibuka. Di sana ada wahana permainannya. Juga dibuka bioskop baru. Semua itu memakai tanah lahan kosong diambil dengan-cara paksa. Lahan itu bekas rumah keluarga Kosim.

  Lelaki di Pekuburan | Cerpen Hari B Mardikantoro

“Kan sudah tak ananda tempati to, Sim. Lebih baik dijual untuk membuka lapangan pekerjaan baru. Tempat ini strategis,” Pak Lurah membujuk Kosim. Kejadian itu tatkala Kosim baru lulus Madrasah Aliyah.

“Kamu yo tinggal di rumah Pak Lek. Nanti hasil penjualan tanah itu mampu ananda tabung. Rumah itu sudah tak layak ditempati lagi. Otomatis tak ada gunanya, to, Le. Makara, tak apa-apa kalau dihancurkan.”

Yah, mirip langgar yg ketika ini ditempati Kosim. Langgar ini sudah jarang digunakan. Paling hanya segelintir orang atau malah cuma si marbot. Kalau pun dipakai itu umumnya tatkala Ramadhan dua hari raya saja. Selain hari-hari itu, langgar lebih sering kosong. Tidak ada yg membangkitkan langgar. Katanya shalat di rumah lebih lezat. Dan berderet alasan lainnya. Jadi, bukankah langgar itu pun layak untuk dihancurkan? Dibakar saja? Ini pemikiran yg paling logis. Jika barang tak dipakai maka dibuang—dihancurkan. Sama halnya langgar yg tak dirawat & digunakan.

*****

Esok harinya. Warga saling kasak-kusuk membahas Kosim. Juga membicaran kejadian yg baru-baru ini terjadi. Selain itu, mereka tampaknya ingin tau dgn ulah apa lagi yg akan diperbuat Kosim. Tapi sedari pagi hingga menjelang petang pemuda itu tak kelihatan batang hidungnya.

“Si Kosim tumben tak kelihatan. Biasanya ia itu suka ribut & cari perkara. Lulusan gubukan yg abnormal.” Jali si tukang sayur mesam-mesem.

“Iya, mungkin ia malu, Jal. Atau malah sudah diserahkan ke pegawapemerintah oleh Pak Lurah. ia itu tak waras,” Openg tukang ojek ikut menimpali.

“Tapi, kalau dipikirkan lagi permintaan Kosim ada benarnya, lho.” Ucapan Manto langsung menciptakan Jali & Openg mengeryitkan dahi.

“Begini, Kang,” Manto yg memang paling muda itu menjajal menjelaskan.

“Langgar itu kan memang sudah jarang dirawat. Bahkan jarang dipakai untuk ngaji. La shalat jaamaah saja jarang. Biasanya yg ngisi cuma Pak Husain, si tukang marbot.” Manto mengela napas. “Ditambah lagi, simpulan-akhir ini, langgar itu kerap dijadikan kawasan asusila sebab cahaya redup yg tak mencolok,” Manto menambahi. ia mengelus dada.

“Kaprikornus …?” Jali & Openg mengejar.

“Yah, si Kosim murka. Langgar kan harusnya dipakai untuk ibadah, namun aktual tak to? Eh, malah ada gunjingan miring itu. Kaprikornus sekalian dibakar saja, biar tak membuat masalah.”

Jali & Openg mengangguk. “Kalau begitu ananda mendukung ya kalau langgar dibakar?”

Manto tertawa. “Tentu saja tidak, Kang. Kita harus mencari Kosim & mendiskusikan cara terbaik biar langgar tetap berdiri & ramai dikunjungi mirip sedia kala.” Mereka pun bergegas pergi mencari alumni gubukan itu.

*****

Kosim mendongkak. Menatap langit. Sebenarnya bukan tanpa alasan kenapa Kosim melakukan ini semua. ia memang sengaja menciptakan murka warga & memancing mereka. Yah, Kosim punya tujuan. Ada hal yg ingin ia tunjukkan. Sebuah tujuan yg semenjak dulu selalu diharapkanya. Ini wacana sebuah misi yg di embannya; sebuah perjuangan. ia hanya ingin mengingatkan warga di tempatnya akan kembali pada jalan yg benar. Meski mampu dikatakan cara yg ia kerjakan agak bernafsu.

  Surat untuk Presiden | Cerpen Syahirul Alim Ritonga

Yah, semenjak desanya berganti, Kosim senantiasa memikirkan cara untuk mengajak penduduk untuk kembali ke jalan Allah. Kosim terus berpikir & berpikir. Hingga alhasil timbul impian untuk memancing warga. Tapi setelah ia pikirkan lagi, cara itu mungkin akan memiliki efek yg akan menjadikannya menyesal.

Dia teringat dgn nasihat pak kiai dulu. “Kau tahu, Sim. Dakwah yg baik itu dgn paksaan apalagi hingga menghadirkan pertumpahan. Tapi rengkuhlah dgn kasih sayang & ketekunan. Peperangan yaitu cara terakhir jika memang sudah tak ada pilihan.”

Kosim menghela napas, terdiam cukup lama. Menatap lamat bangunan langgar yg kini sangat mengenaskan.

“Sepertinya gue memang harus melakukan dgn cara lain.” Kosim tersenyum. ia mulai mengambil apa-apa yg diharapkan.

“Tunggu, Sim!”

Berbondong-bondong warga tiba-tiba datang. Bahkan Pak Lurah alias pak leknya. Menatapnya dgn persepsi yg tak bisa diartikan. Kosim hanya tersenyum.

“Ealah tak kira langgar jadi ananda bakar. Soalnya ada asap mengepul dr sini. Ternyata ananda bersih-higienis langgar, to. Membakar sampah. Sini tak bantu.”

Kosim cuma mengangguk. Ya, ia tak akan mengkremasi langgar. ia akan memugarnya, biar layak ditempati selaku rumah ibadah & dijadikan daerah mengais ilmu. ia akan mengajak warga kembali me negakkan tiang agama—shalat & mengajarkan bawah umur mengaji. Itulah cara pertama yg akan dijadikan jalannya.

Cerpen & resensinya pernah dimuat di aneka macam media. Buku solonnya, Bingkai Kasih Khazanah Jiwa?? (Quanta—Elex Media Komputindo, 2016), Dongeng Fantasi Pembentuk Kepribadian Baik (Visi Mandiri, 2017), Seri Pembentuk Karakter “Belajar Bertanggung Jawab” (Visi Mandiri, 2017). Buku antologinya, antara lain Ramadhan in Love (Indiva, 2015), kumpulan puisi Luka- Luka Bangsa (PMU, 2015), Lot & Purple Hole (Elex Media Kompuntindo, 2015), The Power of Believe (Diva Press, 2016). Alumni Unisnu Jepara.