Wajah pria itu tampak pucat pasi. Kantong matanya menebal, melukiskan paras kurang tidur. Kini ia duduk, setelah sebelumnya mondar-mandir ke ruang khusus.
“Sudah pada makan? Beli sesuatu dong buat sahabat-teman kita yg belum makan siang ini.” Katanya pada mereka yg mengikuti & mendukung pencalonannya pada Jumat (23/9).
Tak usang ia mengeluarkan lima lembar uang kertas berwarna merah dr dompetnya. Saya ada di situ, mampu tempat khusus untuk meliput. Di saat para wartawan dr aneka macam media massa nasional di luar rumah. Menunggu, di jalan Kartanegara, kediaman seorang petinggi partai politik.
Laki-laki yg dirundung gelisah itu berjulukan Mardani. Mardani Ali Sera tepatnya.
Waktu memperlihatkan pukul 14.00 siang. Tuan rumah nampaknya kehabisan stok masakan, atau memang terbatas. Entahlah, tak penting untuk dibahas ketika genting.
Rekan pendukung pun membisiki Mardani meminta sediakan waktu khusus untuk wawancara dgn saya. Lalu diiyakan.
Di bawah anak tangga kami ketemuan. Tiga pertanyaan belum mampu ia jawab. Butuh waktu. Di titik ini saya pula ikut bingung. Gelisah dgn kekalutan Mardani. Gelisah yg datang dr kabar yg ramai dibicarakan, disebutkan katanya “bukan dia” namun untuk orang lain.
“Pertanyaan yg masuk akal dahulu saja,” ucapnya.
Ia masih dgn wajah sayah. Tapi tetap bertenaga bicaranya. Saya menyodorkan voice recorder sembari ngetik di ponsel. Lantai berbahan kayu jati yg kami pijak mengkilap, memperlihatkan wajah tatkala menunduk.
“Tentang ketaatan saya selaku kader, jangan tanya ke saya. Tanya ke Kang Iman (Mohamad Sohibul Iman, red),” ujar doktor lulusan Malaysia itu.
Sedari permulaan saat dicalonkan, ia pernah menyampaikan kagetnya sama dgn kagetnya para kader. Dibilang ada impian ia mengaku tak ada cita-cita untuk maju jadi DKI 2, namun tatkala ditunjuk, sebagai jundi (pasukan) ia mengaku mesti siap untuk jalan.
Waktu terus berjalan, para kader PKS & Gerindra masih di dlm ruang tengah yg begitu luas. Mereka duduk lesehan, di antara mereka pula tampak wajah penulis buku Notes from Qatar, Muhammad Assad dgn seragam khas Gerindra, baju putih & bawahan krem.
Mardani mengajak beberapa kader keluar sebentar, menemui para wartawan.
“Paling tak menawarkan mereka berita, kasihan menanti tak menemukan apa-apa,” katanya sambil membenarkan letak bajunya. Para awak media memang sudah tampak berkerumun di Kartanegara sejak usai Jumatan.
Pintu gerbang dibukakan oleh sekuriti, para awak media berdesekan menyodorkan kamera microphone. Mardani memperlihatkan info sekadarnya, tergolong info kehadiran kader perempuan PKS.
Keadaaan kembali normal. Mardani kembali ke dalam. Makan siang telah datang. Usai itu kami mendengar lantunan ayat suci Al-Qur’an, ada yg tilawah. Tapi tak ada wujud wajahnya.
“Yang tilawah siapa? Pak Mardani?” tanya saya pada seorang kader PKS.
Yang ditanya mengiyakan sambil mencari sumber bunyi. Benar, ternyata Mardani. Ia tilawah di anak tangga. Di waktu yg berlainan, di ruangan itu pula ada kader PKS yg sedang murajaah hafalan Al-Qur’an. Surat Al-Jumuah.
Saya menganalogikan Mardani sedang dita’arufkan dgn seseorang, tetapi jelang hari-H, ia diminta untuk mundur dr proses taaruf itu sebab posisinya mesti digantikan dgn seseorang alasannya kondisi genting. Tak bisa membayangkan, betapa ‘remuk’nya hati tatkala sudah klik dgn ta’aruf tiba-tiba diminta putus di tengah jalan. Menyakitkan bukan? Di sinilah sedang mencari balasan, mengukur kedalaman hati Mardani. Apa yg membuat hati Mardani begitu bagas menerima suatu ketentuan? Apakah ia sempat terlintas kecewa?
Membaca Al-Qur’an memang obat penenang paling ampuh dr segala kekhawatiran. Dan itu yg dikerjakan Mardani gres saja, hingga membuatnya begitu kuat & tegar. Mungkin.
Ba’da Maghrib, Mardani keluar, meminta wartawan berkumpul depan pintu rumah. Saat itu Kartanegara diguyur hujan, wartawan menggeruduk dlm kondisi baju sebagian lembap. Mereka segera membentuk barisan, menaruh microphone berlabel stasiun teve masing-masing. Ada yg duduk, ada yg jongkok, bahkan ada yg bangkit sambil memayungi kamera. Mardani meminta damai, alasannya adalah dalam waktu dekat ada pertemuan pers.
“Bawa sini, bawa sini, mike-nya,” pinta Mardani menolong wartawan yg kesusahan menaruh mike-nya.
“Sudah makan semua?” katanya lagi.
Ada yg menjawab sudah, sebagian lagi belum. Ramai!
Mardani pun membuka konpers itu, tak lama muncul beberapa tokoh parpol dr PKS & Gerindra. Prabowo Subianto, Mohamad Sohibul Iman, Habib Salim Segaf Al Jufri, Hidayat Nur Wahid, Fadli Zon & lainnya.
Mardani pun memberitahukan “mempelai wanita” & “mempelai pria”. Calon gubernur yg disebut timbul, Anies Baswedan, setelah sebelumnya diumumkan kandidat wakil gubenur yaitu Sandiaga Uno.
Mardani, sekokoh itu kah hatimu, posisi “pelaminan”-mu digantikan orang lain? Toh, wajah ceriamu membuktikannya.
“Saya mendukung pencalonan Anies Baswedan & Sandiaga Uno!” kata Mardani, di pungkas konpers.
Sungguh, seorang kader yg taat & negarawan sejati. Menanggalkan keakuan demi kebaikan bareng . Mardani menang banyak! [Paramuda/ Wargamasyarakat]