Melalui Pendekatan Desain Inklusi Menuju Arsitektur Yang Humanis
Pendahuluan
Memasuki periode ke 21, masyarakat terkondisi oleh budaya serba cepat yang semakin hari menjadi kian cepat. Meningkatnya tuntutan kecepatan metode ekonomi menuntut tanggapanyang cepat, sehingga cenderung berjangka pendek. Di sisi lain dunia juga dihadapkan pada berita keberlanjutan, yang bantu-membantu merupakan tren berpikir jangka panjang dalam ketiga elemennya, – ekonomi, penduduk dan lingkungan -. Jangka panjang bermakna menyangkut kondisi yang tidak mudah dilihat atau dinikmati dikala ini. Orang akan lebih mudah peduli pada keadaan rumahnya yang bocor hari ini daripada kondisi lingkungannya 20 tahun mendatang; arsitek lebih gampang peduli pada keperluan klien dikala ini ketimbang keperluan pengguna karya desainnya 20 tahun mendatang.
Tuntutan respon yang serba cepat tersebut merupakan tantangan bagi institusi pendidikan dan komponen kemanusiaan. Pendidikan senantiasa terkait dengan kurun depan, dengan visi yang jauh dari hanya hari ini. Pendidikan akan menuju krisis dalam pengembangannya, kalau tidak menimbang-nimbang sesuatu yang jauh di depan selaku bagian dari tindakan insan saat ini. Karena itu diharapkan pedoman kembali cara mengartikulasikan epistemologi dan metodologi pendidikan arsitektur, biar karya yang tercipta adalah karya yang peka kepada keberlanjutan kemanusiaan. Bagaimana seorang arsitek mampu menciptakan lingkungan abad depan yang lebih menyejahterakan penggunanya, kalau sudah biasa dilatihkan cuma berpikir jangka pendek atau dalam lingkup yang sempit?
Pendidikan arsitektur berperan untuk membentuk pergantian sikap seseorang. Perubahan sikap dapat terjadi sebab adanya berita dan motivasi (Fishebein, Ajzen 1975). Dalam kehidupan sehari-hari, untuk memulai suatu pergantian perilaku, orang memerlukan kombinasi antara motivasi dan berita.
Informasi yang diperoleh dari kurikulum jurusan arsitektur maupun lingkungan belajarnya berperan mengubah sikap mahasiswa arsitektur. Materi dalam pendidikan arsitektur yang lebih menekankan pada hasil teknologi, akan mengiring proses pembelajaran menuju pada temuan teknologi, atau menciptakan pergeseran dalam teknologi. Namun lebih dari itu, berbagi kesadaran akan keberlanjutan lingkungan dan kemanusiaan selaku desain multidimensional merupakan tantangan pendidikan arsitektur.
Makalah ini memaparkan sebuah acara jurusan arsitektur Universitas Nasrani Petra untuk menyebarkan kepedulian akan dimensi kemanusiaan dalam rancangan, melalui pendekatan desain inklusi yang menawarkan pengalaman deduktif-reflektif bagi mahasiswa arsitektur tahun ketiga.
Metode
Studi ini dilakukan dengan pendekatan fenomenologi, yang bermaksud untuk mengenali secara lebih mendalam dan mengungkap hal-hal yang terkait dengan sikap dan persepsi mahasiswa arsitektur Universitas Kristen Petra terhadap komponen kemanusiaan dalam karya desainnya. Data dikumpulkan melalui pengamatan dan diskusi dengan mahasiswa penerima matakuliah Desain inklusi tahun 2011 dan 2012. Uraian kualitatif dari penelaahan ini didasarkan pada studi literatur dan proses pembelajaran yang mengacu pada metode Duarte, C.R., Cohen, R., (2007) adalah mencakup pengertian nilai, pengetahuan dan prinsip desain-inklusi; simulasi sebagai pengguna desain-inklusi; berdiskusi dengan pengguna rancangan-inklusi yakni guru maupun siswa Sekolah Menengah Pertama untuk Tuna Netra, penghuni dan pengelola Wisma Usiawan/panti jompo; refleksi diri, analisis rancangan arsitektur, serta menerapkan prinsip rancangan-inklusi dalam proses desain arsitektur.
Studi Literatur
Dalam beberapa dekade terakhir, ada lumayan banyak penelitian yang menelaah dampak aneka macam pendekatan dan teknik intervensi untuk mengganti perilaku orang agar lebih mempedulikan lingkungannya. Misalnya Dwyer dkk, (1993) menganalisis 54 observasi dan studi yang mempelajari perubahan kepedulian orang akan lingkungan. Tetapi, jarang ditemui penelitian yang mempelajari teknik intervensi untuk mengganti perilaku orang terhadap sesamanya atau meningkatkan kepedulian akan sesamanya. Arsitek atau mereka yang pekerjaannya memiliki efek pada rancangan dan mutu lingkungan diperlukan mampu melaksanakan intervensi rancangan secara inklusif untuk menyanggupi keperluan pengguna yang beragam. Keberhasilan kualitas rancangan dinilai berdasarkan keberhasilannya mencapai lingkungan yang inklusif (CABE, 2006)
Pendekatan Desain-Inklusi
Desain-inklusi adalah perumpamaan yang dewasa ini banyak dipakai dalam profesi rancangan; memiliki latar belakang yang serupa dengan ungkapan lain seperti ‘desain universal’, ‘rancangan untuk semua’, ‘desain yang aksesibel’, ‘desain yang respek pada manusia’, ‘desain untuk keberagaman’, yaitu membuat dunia semoga setiap orang dapat ikut serta semaksimal mungkin. Istilah desain-inklusi lahir selaku respon karena ungkapan rancangan-universal yang berawal dari pergerakan bagi penyandang disabilitas, acap kali disalah artikan selaku perjuangan mencari penyelesaian universal untuk menyanggupi kebutuhan siapa saja (Steinfeld, Tauke, 2002).
The Tomar Resolution ReSAP (2001) Council of Europe, menjelaskan bahwa desain universal yaitu suatu seni manajemen, yang bertujuan membuat rancangan dan komposisi dari berbagai lingkungan dan produk yang berlawanan agar dapat dipahami dan dipakai oleh setiap orang sampai batas tertentu, secara sangat mampu berdiri diatas kaki sendiri dan alami, tanpa perlu adaptasi atau solusi rancangan secara khusus.
Di sisi lain, Imrie (2001) mengatakan bahwa rancangan universal mengurusi informasi-gosip teknis dan prosedural, dan gagal mengatasi kendala sosial dan sikap, seperti stigmatisasi karena rancangan justru mengakomodasi ketidakmampuan seseorang (Story, 2002). Ia beropini bahwa pada pendekatan rancangan inklusi terdapat peningkatan aksesibilitas rancangan dan menghemat stigmatisasi atau pengucilan individu, yaitu melalui pendekatan integratif dengan berjalan “bareng ” pengguna dibandingkan dengan “untuk” pengguna. Di sinilah perbedaan yang sungguh penting antara kedua istilah tersebut.
Sehingga desain-inklusi diartikan sebagai suatu proses mendesain yang menciptakan produk atau lingkungan, yang mampu digunakan dan dikenali oleh setiap orang dari banyak sekali usia, gender, kemampuan dan keadaan, dengan bekerja bersama pengguna untuk menghilangkan kendala dalam hal sosial, teknik, politik dan proses ekonomi yang menyokong bangunan dan desain (Newton, Ormerad, 2003).
Seperti halnya rancangan universal, terdapat tujuh prinsip rancangan inklusi yang perlu dikuasai yakni Kesetaraan dalam Penggunaan, Fleksibilitas Penggunaan, Penggunaan yang Sederhana dan Intuitif, Informasi yang Jelas, Toleransi kepada Kesalahan, Upaya Fisik yang Rendah, Ukuran dan Ruang untuk Pencapaian dan Penggunaan.
Penerapan rancangan inklusi menawarkan hak fundamental bagi setiap warga negara untuk tiba dan pergi, apapun keadaan fisik mereka. Kesadaran perihal perubahan ini dalam masyarakat yang inklusif harus tiba dari semua segmen penduduk , khususnya pemerintah yang mesti bisa menjamin hak dasar warganya untuk bepergian, apapun kondisinya. Pemerintah Indonesia sebenarnya telah mengamati hal ini. Secara teoritis, keperluan penyandang disabilitas dijamin oleh aneka macam peraturan antara lain: Undang Undang No. 4 Tahun 1997; Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998; Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 30/PRT/M/2006). Berbagai program Pemerintah mirip Gerakan Nasional untuk kaum difabel (GAUN 2000, 2005) juga bertujuan memperkuat jaminan tersebut. Sesuai Peraturan tersebut seharusnya pada setiap bangunan dan lingkungan lazim tersedia akomodasi akses bagi para penyandang disabilitas. Tetapi pada kenyataannya penerapan rancangan inklusi ini belum menjadi informasi penting bagi penduduk di Indonesia.
Kognisi dan Afeksi
Dalam studi perilaku, diketahui model tripartite, yang menawarkan bahwa perilaku seseorang didasarkan pada banyak sekali berita dalam domain kognisi, afeksi dan sikap. Peran afeksi harus didalami serentak dengan peran kognisi (Ulrich, 1983, Iozzi, 1989, dalam Pooley, J.A, 2000).
Pada pendidikan lingkungan dinyatakan perlunya membekali informasi dan wawasan untuk mengganti sikap seseorang biar peduli lingkungan (Hungerford & Volk, 1990; Magnus, Martinez & Pedauye, 1997), dan pintu masuk untuk mengembangkan kesadaran sikap peduli lingkungan adalah domain afektif (Iozzi, 1989b, mirip dikutip dalam Pooley, J.A., 2000).
Mengacu pada studi tersebut, maka untuk mampu membuat perubahan sikap peduli pada keperluan sesama, khususnya pada mahasiswa arsitektur, juga diharapkan pembekalan berita, wawasan (kognisi), dan pengembangan kesadaran (afeksi) perilaku peduli sesama pada mahasiswa arsitektur.
Paradigma Pendidikan Arsitektur.
Dalam argumentasinya, Donald Schoen kerapkali menyatakan bahwa pendidikan arsitektur haruslah bermaksud membuat akseptor didik menjadi seorang “praktisi yang reflektif”, mampu merefleksikan apa yang dialaminya untuk pembentukan dirinya. Inti dari argumentasi ini yaitu bahwa pendidikan arsitektur atau pendidikan rancangan kebanyakan mesti mampu mengatasi kekakuan faktor intelektual untuk meraih relevansi sosial. Di segi lain, sejumlah kritik menyampaikan bahwa pendapat ini membawa pendidikan arsitektur hanya terkonsentrasi pada kreativitas subjektif, sementara paradigma pendidikan terfokus pada rasionalitas yang objektif.
Lingkungan mencar ilmu di sudio desain yang condong homogen, mempunyai kekurangan bagi mahasiswa dalam memperkaya pengalaman akan kompleksitas lingkungan, akan keberagaman keperluan pengguna karya rancangan. Agar pendidikan arsitektur tetap menyanggupi nilai-nilai akademis, maka seyogyanya menuju pada pendidikan yang rasional sekaligus menghargai pengalaman inovatif.
Meningkatnya kompleksitas desain sampaumur ini, memungkinkan pendidikan rancangan memajukan kembali aspek rasionalitasnya (Wang, Tsungjuang, 2010). Mengenal dan mengalami keberagaman dimensi kemanusiaan, mampu membawa peran-tugas di studio desain, -yang sejauh ini ialah tulang punggung pendidikan arsitektur-, bukan hanya merupakan masalah dengan solusi rasional saja, namun selaku sebuah sistem yang membutuhkan pengungkapan makna dan nilai yang dikandungnya; di mana kreativitas seimbang dengan rasionalitas, dan mampu diterapkan dalam penduduk Indonesia.
Analisis dan Diskusi
Sesuai tahapan dalam proses pembelajaran dengan pendekatan rancangan inklusi, analisis dilaksanakan terhadap sejumlah kesanggupan yang diperoleh mahasiswa lewat pengalaman didaktik – refleksinya, dalam domain kognitif dan afektif, selaku berikut:
1. Pemahaman dan wawasan akan prinsip rancangan inklusi
Mahasiswa mampu mengerti ketujuh prinsip desain inklusi, melalui eksplorasi dengan contoh produk atau rancangan untuk setiap prinsip. Namun yang acap kali keliru dimengerti adalah pandangan bahwa desain inklusi yakni adaptasi secara cepat pada sebuah lingkungan, seperti penambahan ramp atau memasang lift untuk penyandang disabilitas. Masih banyak perancang/ arsitek yang juga mempunyai pengertian seperti ini, bahkan tidak sedikit perancang yang menilai rancangan yang baik ialah desain yang lebih peduli pada bentuk estetika bangunan atau konsumsi energi bangunan.
Mereka juga mengetahui manfaat dari desain inklusi adalah memberi potensi semoga desain dapat diakses dan digunakan oleh sebanyak mungkin orang; memungkinkan penggunaannya dalam lingkungan atau situasi yang beragam dengan aman tanpa mesti mengeluarkan usaha yang ekstra keras; responsif kepada kebutuhan setiap orang. Manfaatnya bukan hanya individual, tetapi juga meluas pada konteks lingkungan dan penduduk , sehingga desain inklusi menyangkut gosip sosial, membentuk masyarakat yang lebih adil, dengan lebih banyak potensi ekonomi bagi semua, membangun kemandirian, dan harga diri dan martabat secara emosional.
2. Kemampuan berkomunikasi
Melalui pengalaman berada dalam lingkungan yang berbeda dengan lingkungan belajarnya di studio desain, mahasiswa diajak untuk lebih mengasah kepekaannya akan keberagaman kebutuhan insan dalam rancangan arsitektur. Berada di lingkungan masyarakat yang berlawanan latar belakang, berbeda kemampuan, -ialah kaum difabel dan para lansia-, melatih mahasiswa untuk berkomunikasi dengan baik.
Dengan membangun kemampuan berkomunikasi, dan menceritakan kembali pengalamannya dalam kelas, seorang mahasiswa akan dapat membangun kemampuan menginterpretasikan pengalaman ruang seseorang. Suatu kemampuan yang dibutuhkan untuk mengakibatkan desainnya lebih humanis, meningkatkan kemampuan komunikasi interpersonal, dan berbagi pemahaman yang lebih dalam perihal desain yang berorientasi pada pengguna.
3. Kepekaan dan kesanggupan berempati
Berdasarkan pengalaman melakukan simulasi, dan temuannya di lapangan dalam berkunjung, berdiskusi dan mencar ilmu bersama kaum tuna netra dan kaum lansia, dan pemahamannya tentang desain inklusi, mahasiswa melaksanakan refleksi diri. Mahasiswa menyadari dan mencicipi kesusahan yang dialami oleh para penyandang disabilitas dalam melaksanakan kegiatannya sehari-hari. Misalnya, di awal acara, mahasiswa menjawab “bayar orang saja”, atau “kan ada petugas” ketika harus menyelesaikan pekerjaan sederhana yang membutuhkan usaha besar alasannya desain gedung yang tidak aksesibel. Tetapi kemudian menyadari bahwa para petugas ialah juga pengguna bangunan yang mesti diamati kebutuhannya.
Kesadaran ini membuka peluang untuk terjadinya perubahan perilaku dalam proses perancangan di studio desain untuk lebih berorientasi pada pengguna. Mereka menyadari bahwa dengan rancangan inklusi maka lingkungan menjadi cukup fleksibel untuk memenuhi keperluan para pengguna pemula maupun lanjut dan juga bersahabat bagi pengguna secara biasa , gampang dimengerti dan dipakai.
Analisis yang dituliskan mahasiswa sebagai refleksi mereka memperlihatkan bahwa keterlibatan dalam materi desain inklusi, memberi pengalaman berguru transformatif yang membuka peluang proses desain yang lebih humanis, dengan membina kesanggupan berempati pada pengguna, meningkatkan desain dan visualisasi yang multi-sensori dan memfasilitasi kesanggupan berpikir, mendesain secara lebih holistik.
Kemampuan mendesain dengan orientasi pada pengguna
Melalui bedah desain dengan mengacu pada tujuh prinsip desain inklusi, kepada karya yang pernah dibuatnya di studio desain; mengevaluasi lingkungan arsitektur yang dialaminya bareng kaum tuna netra dan lansia; kampus tempatnya mencar ilmu dan terminal bis sebagai bangunan publik, mahasiswa menemukan bahwa lingkungan tersebut tidak aksesibel.
Pengalaman desain menempatkan mahasiswa dalam posisi yang membutuhkan fokus lebih besar pada berita-informasi kemanusiaan dalam desainnya. Idealnya, rancangan bisa melayani masyarakat pengguna dan menjadi bagiannya. Kenyataan ini mendorong paradigma dan metoda perancangan untuk keluar dari paradigm tradisional yang berkutat pada artefak material saja. Desain inklusi memungkinkan mahasiswa memajukan pemahamannya tentang pengalaman ruang insan yang berlawanan.
Didukung dengan observasi sederhana untuk menerima berita perihal spektrum pengguna karya desainnya, maka perancangan yang dikerjakan lebih didasarkan pada pengembangan berorientasi pengguna. Ada banyak inovasi mampu diciptakan, dengan membongkar paradigm usang dan menciptakan masyarakat yang kreatif aksesible berkesinambungan
Kesimpulan
Tujuan mendasar dari suatu pendidikan yakni merencanakan kaum muda untuk menjadi warga negara yang baik, membantu mereka membuat abad depan yang berkelanjutan, mampu memikirkan bagaimana sebuah keputusan yang diambilnya dapat memperbaiki dimensi kemanusiaan dalam semua lini.
Pengembangan yang berkelanjutan tidak mampu terealisasi kalau orang meninggalkan segmen penting dalam penduduk mirip orang renta dan orang berkebutuhan khusus.
Pembelajaran dengan pendekatan rancangan inklusi ini merencanakan mekanisme untuk melaksanakan eksplorasi dan membantu mahasiswa terlibat secara emosional dengan desainnya. Proses refleksi membuka peluang meningkatkan bukan cuma kemampuan mendesain karya arsitektur yang mempertimbangkan spektrum penggunanya, tetapi juga pengembangan segi spiritual dan sosial. Melalui pengalaman didaktik yang dilaluinya, mahasiswa mampu mengasah kecerdasan intelektual, mental, sosial, dan sebagai warga negara yang memiliki kepedulian pada sesamanya, baik kaum difabel ataupun kaum marginal yang selama ini tidak tersentuh dalam pelatihan di studio perancangan.
Apabila kita menyaksikan bagaimana orang berinteraksi dengan lingkungannya, maka jelaslah bahwa perubahan dapat terjadi dari lingkungan itu sendiri, dari pengguna yang mengubah perilakunya atau kombinasi keduanya. Manusia tidak mampu dipaksa untuk bereaksi terhadap perubahan yang tidak mampu dirasakannya. Karena itu pendidikan arsitektur berperan untuk menyadarkan mahasiswanya biar bisa mempertimbangkan sesuatu yang jauh di depan sebagai bab dari langkah-langkah desainnya. Pembelajaran desain-inklusi membentuk pergeseran perilaku para mahasiswa utamanya dalam kepeduliannya akan lingkungan dan sesamanya.
Abstract
Sustainability as an important issue nowadays, is a challenge to planners or architects to create a product or design which shows great concerned to humanity. Architecture education plays a role to change the planner’s or architect’s attitude toward the users world in a diversity population, rather than merely dealing with material artefacts or aesthetical issue. This paper describes a method in architectural education with inclusive design approach, which aims to have a design that everyone can recognize and use it safely, easily, nature and with dignity, convenient so that everyone can use them without much effort or separation. Based on their deductive-reflective experience in this program, the students can sharpen their intellectual, mental, social abilities and pay much attention to the users.
Keywords: Architecture, Humanity, Didactic-Reflective, Inclusive Design
Abstrak
Keberlanjutan yang merupakan berita penting remaja ini, ialah tantangan bagi para perancang untuk menciptakan desain yang peduli pada bagian kemanusiaan. Pendidikan arsitektur berperan dalam mengganti sikap para perancang agar peduli pada pengguna dalam populasi yang beragam, bukan hanya menimbang-nimbang bentuk artefak material atau estetika semata. Makalah ini memaparkan sebuah sistem pendidikan arsitektur dengan pendekatan rancangan inklusi, yang bermaksud biar setiap orang dapat mengetahui dan memakai desainnya dengan kondusif, mudah, secara mandiri dan alami tanpa perlu adaptasi atau solusi khusus. Berdasarkan pengalaman didaktif dan reflektif yang dilaluinya dalam acara ini, mahasiswa mampu mengasah kecerdasan intelektual, mental, sosial dan punya kepedulian pada penggunanya.
Kata Kunci: Arsitektur, Kemanusiaan, Didaktif-Reflektif, Desain-inklusi
Daftar Pustaka
Duarte, C.R., Cohen, R., (2007), Research and Teaching of Accessibility and Universal Design on Brazil: Hindrances and Challenges in a Developing Country dalam Nasar, J. L., Evans-Cowley, J (ed), (2007), Universal Design and Visitability: From Accessibility to Zoning, The John Glenn School of Public Affairs, Columbus, Ohio
http://www.ncsu.edu/www/ncsu/design/sod5/cud/
http://www-edc.eng.cam.ac.uk/betterdesign/
Levine, D., (2003), Universal Design New York, Center for Inclusive Design and Environmental Access, University at Buffalo, The State University of New York, Buffalo, NY
Ormerod, Marcus, Newton, Rita, (2011) Is Your Inclusive My Exclusive?, paper in International Conference Research on inclusive Environment for All, Edinburgh
Pooley, Julie Ann, O’Connor, Moira, (2000) Environmental Education and Attitudes. Emotions and Beliefs are What is Needed, Jurnal Environment and Behavior 2000, 32, p.711
Wang, Tsungjuang, (2010), A new paradigm for Design Studio Education, International Journal of Art and Design Education, vol 29, issue, pp.173-183