Analisis Hubungan Value Based Management dengan Corporate Social Responsibility dalam Iklim Bisnis Indonesia
Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan berkembang secara berkelanjutan (Narver, 1971; McWilliams dan Siegel, 2000). Keberlanjutan perusahaan (corporate sustainability) hanya akan terjamin apabila perusahaan mengamati dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar muncul ke permukaan kepada perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan lingkungan hidup. Contoh di Indonesia adalah kasus Inti Indorayon Utama, Sumatera Utara.
Kesadaran wacana pentingnya mempraktikkan CSR ini menjadi tren global seiring dengan kian maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan mengamati kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip hak asasi insan (HAM). Sebagai pola, boikot kepada produk sepatu Nike oleh warga di negara Eropa dan Amerika Serikat terjadi ketika pabrik pembuat sepatu Nike di Asia dan Afrika diberitakan mempekerjakan anak di bawah umur dengan upah sangat minim. Tren global lainnya dalam pelaksanaan CSR di bidang pasar modal ialah penerapan indeks yang memasukkan klasifikasi saham-saham perusahaan yang sudah mempraktikkan CSR.
Indonesia tidak ketinggalan untuk menekankan penerapan CSR bagi perusahaan. Pada tanggal 20 Juli 2007, disahkan UU penerapan CSR yang dikerjakan melalui peraturan pemerintah (PP). Ketentuan itu telah ditetapkan dalam UU Perseroan Terbatas (PT), UU Investasi dan UU Minerba (Mineral dan Batubara). Peraturan gres ini ditanggapi dengan aneka macam tanggapanoleh dunia usaha Indonesia Suara kontra berdalih kalau perusahaan dituntut melakukan kegiatan CSR, maka hal tersebut akan memperbesar biaya operasional, sementara kalau tidak dilakukan, akan menerima hukuman. Suara yang pro menyatakan memang telah seharusnya perusahaan melaksanakan CSR selaku keharusan tanpa harus dibuatkan peraturan, mirip halnya di mancanegara. Hal ini memperlihatkan bahwa komunitas bisnis Indonesia masih belum percaya bahwa aktivitas CSR akan menawarkan dampak konkret bagi tujuan utama mereka, yaitu penciptaan kesejahteraan pemegang saham.
Pro dan kontra tentang penerapan CSR semacam itu memang telah ada sejak dulu. Perihal yang masih terus menjadi pertanyaan ialah: apakah penciptaan nilai bagi pemegang saham utama konsisten dengan pencapaian tujuan dari stakeholder yang lain, mirip: pemegang saham minoritas, prospective penanam modal, konsumen, penyuplai, kreditor, dan komunitas yang lain (Venanzi dan Fidanza, 2006). Menurut Friedman (1980), persepsi bahwa perusahaan mesti melaksanakan tanggung jawab sosial ialah kesalahan rancangan mendasar dari sifat dan karakter ekonomi bebas. Dalam ekonomi bebas, hanya ada satu tanggung jawab sosial perusahaan sebagai pelaku bisnis, adalah: menggunakan sumber daya dan melaksanakan aktivitas-acara yang dirancang untuk memajukan laba perusahaan selama mungkin. Dalam teori ekonomi terbaru, hal tersebut diketahui selaku konsep Value-based Management (VBM) ialah sebuah penciptaan nilai dalam jangka panjang bagi perusahaan.
Dalam rancangan VBM, untuk bertahan dalam jangka panjang, maka seluruh strategi perusahaan haruslah berpaku pada kenaikan kesejahteraan pemegang saham, yang ialah pemilik perusahaan. Sekilas terlihat bahwa ide tentang maksimalisasi kesejahteraan pemegang saham dan tanggung jawab sosial perusahaan ialah dua hal yang sungguh bertentangan, perusahaan tidak mungkin mampu melayani para pemegang saham dan penduduk dalam waktu yang serempak (Arnold dan Davies, 1999). Apakah benar perusahaan-perusahaan yang menempatkan pemegang saham di urutan pertama cenderung mengorbankan stakeholder lainnya? Atau apakah perusahaan-perusahaan yang mengamati kepentingan pemegang saham juga menunjukkan perhatian yang serupa bagi penciptaan kesejahteraan stakeholder lainnya?
Sejauh ini kami belum memperoleh observasi di bidang tanggung jawab sosial perusahaan yang menjajal menghubungkan dengan desain VBM. Sehingga kontribusi penelitian ini yakni menjajal memperlihatkan bukti empiris tentang hal tersebut di Indonesia.
1. Value-Based Management
Utomo (1999) beropini bahwa selama ini kinerja sebuah perusahaan lebih banyak diukur berdasarkan rasio-rasio keuangan selama satu abad tertentu. Padahal rasio keuangan ini sangatlah bergantung pada sistem atau perlakuan akuntansi yang digunakan dalam menyusun laporan keuangan perusahaan. Sehingga acap kali kinerja perusahaan terlihat baik dan meningkat, yang mana sesungguhnya kinerja tidak mengalami peningkatan dan bahkan menurun. Hal tersebut juga dibilang oleh Pradhono dan Christiawan (2004), bahwa ukuran kinerja keuangan yang mendasarkan pada keuntungan akuntansi (accounting profit), mirip earnings per share, price earning ratio dan return on equity, dianggap tidak lagi memadai untuk memeriksa efektivitas dan efisiensi perusahaan. Pada dikala ini, banyak perusahaan memakai ukuran kinerja yang lebih menekankan value (Value-Based Management/VBM).
Berbagai prinsip, rancangan, dan teknik yang mendasari Value Based Management (VBM) sudah makin meningkat dalam menghipnotis seni manajemen perusahaan-perusahaan di seluruh dunia, terutama di Amerika Serikat dan Eropa (Arnold dan Davies, 1999). Di tahun 1997, The Coca Cola Company mulai menerapkan rancangan VBM dalam perusahaan. Masih di tahun 1997, salah satu perusahaan Jerman, yaitu Siemens, menginformasikan bahwa mereka sudah mengganti haluan kepada VBM dengan memakai Economic Value Added (EVA).
EVA diklaim selaku sistem engukuran kinerja yang terbaik (Stewart, 1991 dalam Iramani dan Febrian, 2005). Metode EVA, yang merupakan salah satu penerapan VBM, pertama kali dikembangkan oleh Joel M. Stern dan Stewart, analis keuangan dari perusahaan konsultan Stern Stewart & Co pada simpulan tahun 1980. Menurut Stewart & Company, earnings dan earnings per share adalah pengukuran yang keliru untuk kinerja perusahaan. Konsep EVA sebenarnya seperti dengan pengukuran pendapatan residu (residual income). EVA merupakan tata cara kinerja keuangan untuk menjumlah profit ekonomi yang bekerjsama (true economic profit) dari suatu perusahaan. Karena EVA mengukur perbedaan tingkat pengembalian antara modal perusahaan dengan ongkos modalnya, maka EVA aktual mengindikasikan bahwa ada penciptaan nilai bagi pemegang saham, sedangkan EVA negatif mengindikasikan bahwa sudah terjadi value destruction.
Menurut Young (1997), EVA mampu dibilang lebih kreatif alasannya adalah: EVA tidak dibatasi oleh GAAP, EVA dapat dipraktekkan sampai pada tingkatan yang rendah dalam organisasi, EVA memiliki sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan oleh pengukuran keuangan yang lain, yakni cara pengukuran dan pengkomunikasian kinerja yang dapat digunakan di semua area, mirip pasar modal, evaluasi investasi modal, dan dalam penilaian serta kompensasi kinerja manajerial.
2. Corporate Social Responsibilities dan Corporate Social Performance
Penelitian-observasi yang dilakukan dalam lingkup corporate social responsibility biasanya menjajal menggali bagaimana penerapan kegiatan hal tersebut didalam perusahaan. Dilakukan dengan melihat bagaimana pengungkapan sosial yang ada. Dalam salah satu penelitian permulaan ihwal praktek pelaporan sosial, Ernst dan Ernst (1978 dalam Abboyy dan Monsen, 1979) melakukan evaluasi isi (content analysis) laporan tahunan perusahaan-perusahaan yang masuk dalam Fortune 500. Dalam observasi tersebut, area tanggung jawab sosial diidentifikasikan selaku : lingkungan, kesempatan yang serupa (equal opportunity), personil, keterlibatan dengan komunitas (community involvement), serta produk. Hasil penelitian ini memperoleh bahwa di tahun 1974, informasi seperti pengendalian polusi dilaporkan hampir 35% dari seluruh perusahaan dan sekitar 19% dari perusahaan-perusahaan tersebut melaporkan acara komunitas dalam laporan tahunan.
Guthrie dan Parker (1990) melakukan observasi tentang area pengungkapan sosial dalam laporan tahunan perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Hasil dari observasi tersebut menawarkan bahwa 98% perusahaan Inggris, 85% perusahaan Amerika Serikat, dan 56% perusahaan Australia melaporkan pengungkapan sosial mereka dalam laporan tahunan. Mereka juga mendapatkan bahwa 40% perusahaan melaporkan info terkait dengan sumber daya manusia, 31% mengenai informasi keterlibatan komunitas, 13% tentang gosip lingkungan, dan 7% perihal berita terkait dengan energi dan produk. Cakupan pengungkapan tanggung jawab sosial yang hampir sama (sumber daya insan, produk, praktek bisnis, keterlibatan dengan lingkungan, serta lingkungan) juga terjadi di Kanada (Zeghal dan Ahmed, 1990).
Penelitian di negara berkembang memperlihatkan hasil yang tidak jauh berlainan. Di Malaysia (Kin, 1990), dari 100 perusahaan publik, 64 perusahaan melaporkan isu mengenai kenaikan produk dan jasa, 31 perusahaan melaporkan info terkait dengan sumber daya manusia, dan 22 perusahaan melaporkan isu keterlibatan komunitas. Sementara di Hong Kong, Lynn (1992) menunjukkan bahwa hanya 17 perusahaan (dari 264 yang diteliti) yang mengungkapkan aktivitas sosial, dengan titik berat pada pengembangan staff dan hubungan dengan komunitas.
Dalam perkembangannya, penelitian tentang corporate social responsibility kemudian meningkat dengan mencoba menyaksikan corporate social performance perusahaan. Selama kurang lebih 30 tahun, sudah banyak penelitian yang berusaha menyaksikan kekerabatan antara Corporate Social Performance (CSP) dengan kinerja perusahaan, terutama kinerja keuangan. Namun, hingga saat ini belum ada kesimpulan mutlak perihal korelasi tersebut Salah satu argumentasi fundamental adanya ketidakpastian perihal relasi antara CSP dan kinerja keuangan yakni alasannya adalah adanya problem dalam pengukuran CSP.
CSP bersifat muldimensi, dengan banyak kombinasi input (seperti investasi dalam peralatan pengendalian polusi, ataupun seni manajemen lingkungan yang lain), proses (seperti perlakukan bagi perempuan dan kaum minoritas, barang yang dibuat , korelasi dengan konsumen), dan output (seperti hubungan komunitas, dan acara filantropi) (Aupperle et al., 1985; Wood, 1991). Selain itu, tiap-tiap industri dengan karakteristik yang berlainan pastinya akan memiliki domain CSP yang berlainan juga. CSP juga melibatkan banyak sekali jenis isu, keputusan administrasi, dan juga perilaku perusahaan.
Dari aneka macam penelitian yang ada, selama ini ada tiga cara yang sering dipakai untuk mengukur CSP, adalah: memakai evaluasi kebijakan perusahaan dari para jago, dalam bentuk indeks reputasi (Folger dan Nutt, 1975), memakai content analysis dari laporan tahunan ataupun dokumen-dokumen lain perusahaan (Abbott dan Monsen, 1979; Anderson dan Frankle, 1980; Bowman dan Haire, 1975; Preston, 1978), Menggunakan variabel tertentu sebagai proksi indeks kinerja sosial (Bragdon dan Marlin, 1972; Spicer, 1978).
4. Corporate Social Performance dan Corporate Financial Performance
Secara konseptual, ada tiga kemungkinan korelasi kinerja sosial dengan kinerja keuangan perusahaan: kasatmata, netral, dan negatif. Pihak yang berpandangan negatif menyatakan bahwa tanggung jawab sosial yang tinggi membuat ada biaya perhiasan yang menempatkan perusahaan dalam kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan dibandingkan perusahaan lain yang kurang bertanggung jawab secara sosial (Aupperle, et al., 1985; McGuire et al., 1988; Ullmann, 1985; Vance, 1975).
Beberapa hasil observasi empiris memperoleh bahwa tidak ada hubungan antara kinerja sosial dengan kinerja keuangan (netral). Pihak-pihak yang menghasilkan pandangan ini (seperti Ullmann, 1985) berargumen bahwa ada sungguh banyak variabel intervening antara kinerja sosial dan kinerja keuangan, sehinga tidak ada argumentasi untuk mengharapkan terjadinya hubugan antara dua hal tersebut.
Di sisi lain, pihak yang beropini bahwa CSP akan berpengaruh nyata bagi perusahaan juga mempunyai argumen kuat. Menurut mereka, dengan CSP yang bagus akan meningkatkan goodwill karyawan dan pelanggan (Solomon dan Hansen, 1985; dalam McGuire et al., 1985), sehingga perusahaan tersebut akan menghadapi problem dengan tenaga kerja yang lebih sedikit, kemudian pelanggan akan lebih setia terhadap produk perusahaan. Aktivitas tanggung jawab sosial juga dapat memajukan korelasi antara perusahaan dengan konstituen penting seperti bank, penanam modal, dan pemerintah. Peningkatan kekerabatan dengan pihak-pihak penting ini mampu menunjukkan laba ekonomi (Moussavi dan Evans, 1986; dalam McGuire, et al., 1988). Secara lebih dalam, bank dan penanam modal institusi telah mengambarkan bahwa penilaian sosial ialah salah satu aspek penting dalam keputusan investasi mereka (Spicer, 1978). Sehingga, tanggung jawab sosial yang tinggi akan mengembangkan terusan perusahaan kepada sumber modal.
Karena senantiasa menjadi perdebatan, maka banyak sekali pihak yang berusaha mencari pemecahannya dengan melaksanakan observasi empiris. Menurut Margolis dan Walsh (2003) antara tahun 1972 sampai 2002, ada 127 publikasi studi empiris yang meneliti perihal hubungan antara perilaku tanggung jawab sosial perusahaan dengan kinerja keuangan. Kompilasi sederhana dari hasil observasi-penelitian tersebut menerangkan bahwa ada kekerabatan positif, dan hanya sedikit yang mampu menandakan adanya relasi negatif antara kinerja sosial dengan kinerja ekonomi perusahaan (Margolis dan Walsh, 2003).
Studi dengan menggunakan sistem meta-analisis kepada 52 observasi korelasi CSP-CFP yang dikerjakan oleh Orlitzky, Schmidt, dan Rynes (2003) juga menunjukkan substansi kesimpulan yang serupa. Jadi mampu dibilang bahwa jikalau kinerja sosial perusahaan berkontribusi terhadap kinerja ekonomi perusahaan, bermakna sumber daya perusahaan sedang digunakan untuk memajukan kepentingan pemegang saham, pihak yang berdasarkan Friedman (1980) mesti dinomorsatukan.
5. Value Based Management dan Corporate Social Performance
Salah satu kritik yang sering muncul terkait dengan rancangan VBM ialah apakah maksimalisasi kemakmuran pemegang saham akan mampu juga memaksimalkan kesejahteraan seluruh stakeholder? Literatur-literatur mengenai tanggung jawab sosial dan stakeholder mengemukakan bahwa tidak semestinya bisnis cuma memperhatikan pemegang saham.
Copeland et al. (1995) dalam Arnold dan Davies (1999:86), mengungkapkan bukti empiris yang menawarkan bahwa memajukan nilai pemegang saham tidak akan bertentangan dengan kepentingan stakeholder lain dalam jangka panjang. Copeland membagi beberapa negara besar menjadi dua bagian, yakni: negara-negara yang berkonsentrasi pada pemegang saham (mirip Amerika Serikat dan Inggris) dan negara-negara yang lebih berorientasi pada stakeholder (mirip Jerman, Jepang, dan Perancis). Analisa dikerjakan dari tahun 1950-1990. Penelitiannya mendapatkan bahwa negara-negara yang berkonsentrasi pada pemegang saham merupakan negara-negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) tertinggi. Namun, di segi lain, negara-negara yang lebih berorientasi pada stakeholder bergotong-royong mempunyai perkembangan Produk Domestik Bruto per kapita yang lebih tinggi dalam kurun yang sama, seperti kemajuan PDB per kapita di Jepang sebesar 5.5%, di Jerman sebesar 3%, sementara di Inggris hanya 2% dan Amerika Serikat cuma 1.7%. Fakta di atas memberikan bahwa negara-negara yang berkonsentrasi pada pemegang saham, mirip Inggris dan Amerika Serikat, membuat kemakmuran yang lebih sedikit dalam masa 1950-1990 daripada negara-negara yang lebih berfokus pada stakeholder. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa kemakmuran di negara-negara yang berorientasi stakeholder memiliki distribusi kesejahteraan yang lebih merata ketimbang negara-negara yang berfokus pada pemegang saham.
Penelitian sejenis dijalankan oleh Young and O’Byrne (1999) terhadap perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat yang tergolong daftar Stern Stewart 1000 (perusahaan yang mempunyai nilai tambah/value creator paling besar di Amerika Serikat. Ternyata sebelas perusahaan dalam 20 besar Stern Stewart 1000 tahun 1996, juga masuk dalam 20 besar Most Admired Companies yang dikeluakan oleh Majalah Fortune. Sementara itu, 17 perusahaan yang berada pada peringkat 20% terbawah dalam Stern Stewart 1000 (value destroyer), juga berada pada 20 terbawah peringkat Most Admired Companies.