bulan berkat hari ke-6
Wajah Mbah Ning yg penuh kerutan terlihat sedih. Bibirnya terkatup rapat. Tak ada senyum atau percakapan kocak yg biasa disedekahkan Mbah Ning untuk mencairkan suasana. Matanya yg layu kian kuyu. Meme, istri pemilik warung kawasan Mbah Ning umummenitipkan kudapan manis-kue, merasa khawatir. ia tahu ada sesuatu yg sedang menambah beban anggapan Mbah Ning. Orang renta itu sudah dianggap seperti ibunya sendiri.
“Ada apa kok dr tadi membisu saja Mbah?” tanya Meme. Mbah Ning tersadar dr lamunan. Dalam sekejap, sebaris senyum tipis muncul di bibirnya. ia merasa sedikit malu sudah ketahuan. Mbah Ning sadar tak ada guna menyimpan resah. Apalagi pada wanita berdarah Tionghoa yg sudah dikenalnya sejak perawan itu.
“Idulfitri ini anak-anakku tak mampu pulang lagi,” kata Mbah Ning, kemudian mempesona napas panjang. Rina & Rido, menurut Mbah Ning, semakin berakal mencari alasan. Berdalih ini & itu. Mulai jatah libur yg sempit, hingga tak dapat mengambil cuti. Intinya, tak ada waktu untuk pulang berlebaran di kampung halaman.
“Mereka tidak punya waktu untuk menemuiku! Kerja kok hingga lupa sama orang tua & saudara,” gerutu Mbah Ning.
Idulfitri tahun kemudian kedua anaknya pula tak pulang. Saat itu, Mbah Ning masih mampu mengerti. Mereka sudah berkeluarga & tentunya punya mertua yg pula ingin bertemu. Melepas kangen bareng anak, mantu, & cucu-cucu. Tapi, Lebaran tahun ini semestinya menjadi gilirannya.
Sebenarnya kedua anaknya pernah memberikan opsi lain. Terserah Mbah Ning hendak berlebaran di mana. Boleh di rumah Rina atau Rido. Tapi, Mbah Ning menolak. ia tidak ingin. ia hanya ingin salat Id di kampungnya. Tidak ke mana-mana. ia merasa sungguh terikat dgn tanah & warga kampung ini. Rasanya kurang afdol bila berlebaran di daerah lain.
“Tapi, Lebaran masih lama. Aku masih punya cukup waktu untuk meyakinkan anak-anakku agar pulang kampung,” ucap Mbah Ning dgn pandangan yg agak menerawang.
Meme menganggukkan kepala. “Betul Mbah. Siapa tahu mendekati Lebaran nanti Rina & Rido bisa ambil prei panjang, terus pulang ke sini,” timpal Meme, berupaya membesarkan hati Mbah Ning.
“Aku pulang dulu, Me. Sudah nyaris masuk waktu berbuka.” Sambil berpamitan, Mbah Ning memasukkan cincau hitam utuh yg dibelinya di warung Meme ke wadah kuenya yg sudah kosong. Masih ada waktu untuk mengolahnya menjadi minuman segar. ia paling suka berbuka puasa dgn es cincau yg dipotong besar-besar.
Semua orang di kampung ini kenal Mbah Ning. Tidak ada pisang goreng, nagasari, & belebat kacang seenak buatannya. Rahasianya yaitu tepung beras yg dipakai sebagai materi utama. Mbah Ning menjadikannya sendiri. Sejak dahulu sampai kini tetap seperti itu. ia tak mau mengubahnya dgn tepung beras kiloan di pasar.
Mbah Ning biasanya mulai menumbuk beras selepas asar. Beras yg telah dicuci higienis & direndam selama berjam-jam itu akan ditumbuknya hingga halus. Entah dr mana asal tenaga perempuan renta itu. Lelah seolah tak lagi menjadi serpihan dr dirinya.
Begitu dirasa cukup halus, ia akan mulai mengayaknya dgn cepat. Butiran-butiran tepung pun berguguran mirip hujan. Yang masih bergairah & tak lulus ayakan dikumpulkan, kemudian ditumbuk lagi. Begitu terus berulang-ulang hingga semua lolos dr jaring ayakan.
Dengan tepung itulah Mbah Ning akan melumuri pisang kepok yg kulitnya menguning sebelum menggorengnya sampai berwarna kecokelatan di atas tungku berbahan bakar kayu. Sebagian tepung yg lain diolahnya dgn santan menjadi campuran nagasari & belebat kacang hijau.
Mbah Ning biasa menitipkan kuenya di warung Meme setiap pagi. Sebelum pukul enam ia sudah mengantarkannya. Namun, selama bulan pahala, Mbah Ning merubah acara menjadi sore hari.
bulan berkat hari ke-25
Televisi sudah sibuk menayangkan pantauan situasi mudik. Pelabuhan, terminal, bandara, stasiun, jalan tol, semua tampak bersemangat & sibuk. Mbah Ning sangat suka menontonnya. ia seperti mampu merasakan kegembiraan orang-orang yg sedang berjuang untuk melaksanakan salat Id di kampung halamannya masing-masing. Mbah Ning kadang ikut tersenyum membayangkan betapa gembiranya pertemuan antarkeluarga & sanak kerabat setelah berpisah puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan hari itu.
Mbah Ning gres saja beberapa langkah meninggalkan warung Meme saat Pak RT bareng seorang perjaka tiba menghampirinya dgn tergopoh-gopoh. Dada keduanya naik turun. “Untunglah, Mbah Ning ternyata di sini,” seru Pak RT sambil menata napas. Ada sekeping lega menyusul prihatin menggurat di wajahnya.
“Mbah jangan kaget ya. Yang namanya bencana alam mampu tiba sewaktu-waktu,’’ ucap Pak RT. Mbah Ning membisu saja. Beberapa warga lain ikut berkerumun. Termasuk Meme & suaminya. Aura ketegangan membungkus rapat udara di sekitar mereka.
“Sabar ya, Mbah Ning. Yang penting Mbah selamat. Sehat wal afiat,” lanjut Pak RT.
“Ada apa, Pak RT?” potong Meme, tak sabar.
“Rumah Mbah, Me. Rumah Mbah terbakar,” jawab laki-laki yg sehari-hari mengajar Sekolah Dasar itu. ia mengucapkannya perlahan sambil memegang tangan Mbah Ning.
Semua spontan melihat ke arah langit barat. Suami Meme & beberapa pria yg tadinya ikut berkerumun pribadi mengambil bejana dr rumahnya masing-masing & berlari sekencang-kencangnya menuju rumah Mbah Ning. “Warga sudah berupaya memadamkan api,” seru Pak RT.
Mbah Ning tampak terkesima beberapa ketika. Meme terus mengelus punggungnya. “Aku mau menyaksikan rumahku.” Tiba-tiba Mbah Ning membuka bunyi. Pak RT & Meme terlihat cemas. Mereka menyangka Mbah Ning akan shock berat. “Sekarang Mbah Ning istirahat di rumah saya saja,” cegah Meme dgn suara parau. Pak RT mendukung seruan itu.
“Aku enggak apa-apa. Kalian damai saja. Dulu gue pernah mengalami kejadian seperti ini. Dulu, di kampungku yg lama, rumahku pula habis terbakar. Saat itu malah tak ada seorang pun yg datang membantu,” tutur Mbah Ning. Matanya terlihat berkaca-beling.
Meme & Pak RT tahu impian Mbah Ning tak bisa ditahan lagi. Mereka pun menyerah membiarkan Mbah Ning pulang untuk melihat rumahnya yg dilamun api. Meme & Pak RT terus mengawalorang renta malang itu.
Sesampainya di depan rumah yg terbakar, Mbah Ning terlihat sangat hening. ia tak berteriak histeris sambil berguling-guling di tanah atau berlarian ke sana-kemari. Hanya air mata yg membasahi pipinya yg keriput. Tepat dikala azan magrib berkumandang, puluhan warga yg tadinya berjibaku melawan api mematung lesu sarat penyesalan. Api memang berhasil dipadamkan. Tapi, tak ada yg tersisa. Semua telanjur menghitam arang. Warga mengira api berasal dr sisa bara di sekitar tungku yg entah bagaimana caranya melayang menyambar dinding rumah.
“Sudah waktunya berbuka puasa ya?” ujar Mbah Ning memecah kebekuan. ia tersenyum! Ya, Mbah Ning tersenyum. Tak ada lagi air mata yg bercucuran. Warga takjub dgn ketekunan hati Mbah Ning. Beberapa di antaranya eksklusif berebutan menawari Mbah Ning untuk berbuka puasa di rumah mereka. Tak terkecuali Pak RT & Meme.
Mbah Ning sudah menjanda sejak lama. Tidak ada warga yg tahu apakah Mbah Ning ditinggal mati, minggat, atau kawin lagi oleh suaminya. ia pindah ke kampung ini tak lama sesudah meletus rusuh politik yg mencekam puluhan tahun kemudian. Saat itu Mbah Ning datang bertiga bersama dua anaknya yg dikala itu masih balita, Rina & Rido. Ketiganya mendiami rumah kontrakan yg reyot berlantai tanah.
Seperti ada akad tak tertulis, warga kampung memilih untuk tak mencampuri atau mengorek kisah Mbah Ning. Termasuk, perihal suaminya. Apalagi, Mbah Ning sendiri seolah ingin melupakannya. Membiarkan kisah pahit hidupnya dibawa pergi angin semilir. Tatkala beberapa laki-laki kampung tiba melamar, Mbah Ning menolak dgn halus. Tapi, itu cerita puluhan tahun kemudian, dikala kulit Mbah Ning masih kuning singset.
Untuk menghidupi keluarga kecilnya, Mbah Ning berkeliling jualan gado-gado. Belakangan ia pula memasarkan pisang goreng. Ternyata ini lebih laku. Bahkan, sangat banyak peminatnya. Lama-kelamaan Mbah Ning tak lagi membuat gado-gado. ia cuma menjual pisang goreng, kemudian ditambah nagasari & belebat kacang hijau yg tak kalah enaknya.
Dari hasil berjualan kudapan manis itulah sedikit demi sedikit Mbah Ning menabung. Bukan menabung di bank, melainkan di dlm celengan bambu petung miliknya. Ada pula yg diselipkan di balik kasur & lemari pakaian. Meski zaman terus bergerak, kebiasaan itu tak pernah berganti. ia tak pernah mau membuka rekening bank. Bagi Mbah Ning, bank adalah rumah bagi orang-orang yg bersekolah tinggi, memperoleh honor bulanan, & punya duit setumpuk.
Mbah Ning tak lulus sekolah rakyat. Namun, ia berhasil menyekolahkan kedua anaknya sampai menyandang gelar sarjana. Anak perempuannya kini menjadi sekretaris yayasan yg membawahi belasan PAUD & Taman Kanak-kanak swasta di Jakarta. Si bungsu yg laki-laki menjadi kepala HRD perusahaan rokok yg mempekerjakan lebih dr tiga ribu buruh linting di Jawa Timur.
Masing-masing sudah berkeluarga. Rina memiliki dua anak, sedangkan Rido beranak tiga. Mereka menetap di kota yg jaraknya jauh sekali dr kampung ibunya. Meskipun anak-anaknya sukses, Mbah Ning tak mau ikut tinggal bersama mereka. ia enggan meninggalkan kampung halamannya.
“Aku sudah merasa tenang di sini,” ucap Mbah Ning pada pelanggan kuenya yg bertanya. Selain itu, ia ingin mampu terus berjualan kue. Kalau ikut anak-anaknya, ia pasti dilarang melaksanakan apa pun. Bahkan, sekadar mengolah makanan atau bersih-higienis rumah. “Padahal badanku rasanya remuk jikalau tak dibuat gerak,” katanya.
Rina & Rido bukan anak durhaka yg tak memperhatikan kehidupan Mbah Ning. Sebaliknya, mereka telah mendirikan rumah bertembok bata untuk ibunya. Lantainya keramik dgn kamar mandi & WC di dlm rumah. Rumah tersebut hanya berjarak 100 meter dr rumah usang. Tapi, Mbah Ning malas mendiaminya. ia lebih suka rumah usang yg berdinding kayu & berlantai semen garang.
Mbah Ning hanya membuka jendela-jendela rumah tembok itu setiap pagi & menutupnya menjelang magrib. Seminggu tiga kali, ia sempatkan untuk menyapu lantainya yg berwarna biru berkilauan. “Enak’an di rumah kayu. Adem,” kata Mbah Ning pada pelanggannya yg lain. Jawaban semacam itu selalu diulang-ulang setiap ada yg menanyakannya. Banyak yg heran dgn laku hidup Mbah Ning. Tapi, ia bergeming.
Mbah Ning pula sudah naik haji. Setelah mengantre lebih dr tujuh tahun, ia berangkat ke tanah suci sekitar empat tahun lalu. Anak-anaknya bersepakat untuk urunan—sesudah awalnya sempat berebutan—melunasi ongkos berhaji yg sudah mulai dicicil sendiri oleh Mbah Ning. Ada jamaah yg berkisah, Mbah Ning yg sudah setua itu mengelilingi kakbah dgn sarat semangat.
Lebaran hari pertama
Gamis bermotif bunga membuat wajah Mbah Ning yg cerah tampak tepat. Senyum Mbah Ning terus merekah ketika membagi-bagikan uang pada kelima cucu & anak-anak kampung yg tiba silih berganti di rumahnya.
Rina & Rido alhasil berlebaran di rumah ibunya. Begitu menerima kabar rumah lama ibunya terbakar, kakak beradik itu langsung membeli tiket pesawat untuk pulang.
Dari Pak RT, mereka memperoleh sepenggal kisah. Mbah Ning, kata Pak RT, mirip punya ilmu weruh sak durunge winarah (tahu peristiwa yg akan terjadi). Meski rumah itu habis terbakar, sebagian barang ternyata masih utuh. Ada belasan pakaian, tergolong yg gres dibeli untuk berlebaran, foto-foto keluarga, mukena, sajadah, & tasbih kayu kokka yg dibelinya di Makkah, puluhan gelas & piring tua, televisi, bangku & meja kuno dr kayu jati, serta lesung & alu yg biasa digunakan Mbah Ning untuk menumbuk beras. Semua masih utuh, karena Mbah Ning sudah memindahkannya ke rumah yg baru.
Mbah Ning memboyong barang-barang itu sepekan sebelum rumahnya terbakar. “Tak ada warga yg tahu. Kalau tahu, pasti kami bantu,” ucap Pak RT.
Untuk memindahkan lesung, beberapa perabotan, & televisi yg berat, Mbah Ning membisu-diam hanya meminta sumbangan dua anak tetangga. Mbah Ning seolah tahu musibah sedang dlm perjalanan menghampirinya. Tapi, ia pula tak serakah. Beberapa perabotan bau tanah, seperti daerah tidur & lemari, tetap dibiarkannya menghuni rumah lama. Mbah Ning mirip sengaja menyisihkan “jamuan” supaya dilalap api.
Dari Meme, Rina & Rido mendapat kepingan dongeng lain. Ini kisah perihal nasib uang tabungan Mbah Ning. Uang itu rupanya pula aman. Menurut Meme, sebagian besar uang hasil berdagang kudapan manis & duit bulanan yg dikirimkan Rina & Rido, telah dititipkan pada dirinya. Waktunya pula sekitar seminggu sebelum kebakaran terjadi. Sebelumnya, uang tabungan Mbah Ning tersebar di bawah kasur, lemari pakaian, & celengan bambu petung di salah satu sudut kamar. Jumlahnya lumayan banyak. Cukup untuk menjinjing Mbah Ning naik haji lagi.
Benarkah Mbah Ning punya ilmu weruh sak durunge winarah? Rina & Rido sungguh-sungguh menyangsikan itu. Mereka kenal ibunya. Keduanya merasa ada skenario penuh pengorbanan yg disusun & berhasil dimainkan oleh ibunya dgn sangat rapi. Skenario yg menciptakan mereka sekeluarga kini mampu berlebaran bareng di rumah baru. Dengan mata berkaca-beling, Rina & Rido beberapa kali mencuri pandang ibunya. Orang renta itu masih sibuk membagikan duit pada bawah umur kampung yg terus berdatangan. Wajahnya terlihat bahagia. Senyumnya merekah. Senyum kemenangan. ***