Mayat Yang Mengambang Di Danau | Cerpen Seno Gumira Ajidarma


Barnabas mulai menyelam sempurna tatkala langit bersemu keungu-unguan, ketika angin acuh taacuh menyapu permukaan danau sehingga air berdesis pelan, sangat amat pelan, nyaris mirip berbisik, memberikan segenap rahasia yg bagai tak akan pernah terungkapkan.

Memang cuma langit, cuma langit itulah yg dinantikan-tunggu Barnabas, karena apabila kemudian ia menyelam di dekat batang-batang pohon ke bawah permukaan danau untuk menombak ikan, secercah cahaya pun cukuplah untuk menyaksikan segala sesuatu yg bergerak, hanya bergerak, tiada lain selain bergerak, tatkala hanya dgn sudut matanya pun ia tahu mana bukan ikan gabus mana bukan ikan merah. Ya, tangannya cuma akan bergerak menombak secepat kilat bagaikan tak menunggu perintah otak, apabila kedua jenis ikan itu melalui meski melesat, berombongan maupun terpisah & kesasar, yg mana pun takkan lepas dr sambaran tombaknya yg sebat.

Kacamata yg digunakannya untuk menyelam memang sudah terlalu renta & agak kabur kalau dipakai untuk melihat dlm keremangan, yg kali ini sepertinya masih akan bertahan cukup usang, karena langit mendung & mega hitam bergumpal-gumpal. Dari dlm air, tanpa mesti melirik ke permukaan, tahulah Barnabas hujan rintik telah menitik di seluruh permukaan danau. Namun apalah artinya hujan rintik-rintik bagi seseorang yg menyelam & mengejar ikan, bukan? Barnabas terus berenang di dlm air hampir seperti ikan, memburu ikan, tanpa ikan-ikan itu mesti tahu betapa jiwanya sedang terancam. Tentu ia mengenal ikan seperti mengenal dirinya sendiri.

Ikan-ikan tak berotak, pikirnya, pantaslah begitu gampang ditombak.

Namun Barnabas pula tahu, justru karena otak ikan sangat amat kecil, sehingga tak memadai untuk berpikir, naluri ikan terhadap ancaman bekerja dgn kepekaan tinggi. Kaprikornus Barnabas pun tetap harus menipunya. Makanya ia pun berenang mirip ikan, mengapung seperti kayu, menyelam seperti pemberat—dan sekali tangannya bergerak, memang harus melesatkan tombaknya lebih cepat dr bekerjanya naluri ikan. Ia sudah memperhatikan, betapa ikan dlm rombongan akan lebih kurang waspada ketimbang ikan yg berenang sendirian, mungkin lantaran merasa kondusif bareng banyak ikan, sehingga memang tak sadar ancaman mengancam.

Ikan yg terlepas dr rombongan & kebingungan kadang lebih menarik minatBarnabas. Ia suka mengintai & mengincarnya dgn hati-hati, kadang tanpa kentara memojokkannya, untuk pada saat yg tepat menombaknya tanpa ikan itu sempat mengelak.

Ikan merah artinya ikan gabus merah, sedap bila dibakar. Ikan gabus artinya ikan khahabei, besarnya mampu sebesar betis, persembahan bagi ibu-ibu yg gres melahirkan, tak kalah sedap digoreng, tetapi Barnabas berasumsi minyak goreng bukanlah potongan dr kehidupannya, lantaran memang tak pernah membelinya. Bahkan Barnabas tak pernah lagi makan ikan yg diburunya itu. Jika langit yg keungu-unguan itu sudah menjadi lebih terang, setidaknya dua puluh hingga tiga puluh ikan yg bernasib malang di tangannya sudah tergantung di salah satu tiang dermaga. Jumlah yg cukup guna menyambung hidup untuk sehari, dua hari, tiga hari, sepekan, tak penting benar berapa usang, karena Barnabas setiap harinya menyelam jua—kecuali, tentu kecuali, pada hari Minggu, karena pada hari itu Barnabas beribadah.

Pada hari apa pun ikan-ikan tak beribadah, pikirnya lagi, jadi ke manakah mereka pergi hari ini?

Bukanlah lantaran hujan maka ikan-ikan tak terlihat, mungkin pula tiada alasannya apa pun selain sedang berombongan mencari makan di tempat lain dgn moncongnya yg tak habis bergerak memamah-mamah. Namun tetap saja Barnabas merasa jengkel karena ini membuatnya terpaksa mengejar-ngejar ikan lebih usang. Ia memang tak suka memasang bubu & tak pula suka memasang jala seperti banyak orang yang lain di pulau-pulau di dlm danau, karena memasang bubu bukanlah berburu & memasang jala pula bukanlah berburu, sedangkan ia cuma ingin jadi pemburu ikan & tiada lain selain berburu ikan seperti yg selama ini dianggapnya sebagai panggilan.

  Gelak Tawa di Rumah Duka | Cerpen Mashdar Zainal

Ada orang ingin jadi pendeta, pikirnya pula, gue ingin jadi pemburu ikan.

Dari masa kecil diketahuinya orang-orang menyelam tanpa kacamata & bahkan bisa menerima ikan lebih banyak darinya sekarang. Mungkinkah air danau dahulu tak seperti air danau kini? Lebih jernih karena memang lebih higienis & mata penyelam tak harus menjadi pedas meskipun menyelam berlama-lama?

Barnabas tentu ingat betapa pada masa kemudian di danau itu segala sesuatunya tidaklah sama dgn kini.

Dulu tak ada raungan Johnson, pikir Barnabas, karena bahtera bolotu tak bermesin tempel. Dari pulau ke pulau, atau dr pulau ke daratan, orang-orang memakai bolotu yg cuma perlu didayung. Kadang penumpang bantu mendayung, namun tanpa santunan penumpang pun, perjalanan dr pulau kecil yg satu ke pulau kecil lain di dlm danau yg dikelilingi perbukitan itu tetap bisa berlangsung, tanpa peduli apakah itu cepat ataukah lambat lantaran memang tiada waktu yg terlalu sempurna maupun terlambat. Langit & bumi bersenyawa tanpa peduli detak arloji—dan Barnabas lebih senang menjadi kepingan langit maupun kepingan bumi daripada arloji.

Maka tiada yg dikhawatirkan Barnabas jikalau pagi ini ikan-ikan seperti bersembunyi. Langit memang gelapnya agak lebih usang lantaran mendung & hujan & tentu saja ini mesti dianggap umumsaja, begitu biasa, bagaikan tiada lagi yg lebih biasa, & sungguh Barnabas sama sekali tiada keberatan karenanya.

Aku tabah menunggumu ikan, batinnya, setiap orang mesti cukup bersabar menantikan makhluk yg akan menyerahkan jiwa hari ini demi kelanjutan hidup pembunuhnya. Apalah artinya menahan lapar sejenak untuk hidup lebih usang? Nikmatilah hidupmu yg amat sementara itu ikan, lantaran pada akhirnya gue akan membawamu ke pasar & pedagang ikan akan segera memajang dirimu di meja kayu murahan, tempat koki restoran di tepi danau itu akan menunjukmu, membelimu, membuang sisik & isi perutmu, lantas menggorengmu bagi sajian para pelancong yg akan mencampakkan tulang-tulang & kepalamu untuk menjadi rebutan ikan-ikan emas di kolam yg tak tahu menahu betapa cepat atau lambat mereka pula secepatnya akan jadi suguhan & tulang-tulang serta kepalanya pula akan dilempar sebagai pertunjukan kebuasan dunia yg sepertinya justru mengembangkan selera makan.

Barnabas tiba-tiba teringat, Klemen anaknya, yg putus sekolah teologia, pernah mengucapkan sebuah kata yg tak dimengertinya.

Homo homini lupus….”

Saat itu Barnabas memang bertanya, apa maknanya Klemen tak melanjutkan sekolah untuk menjadi pendeta, menyia-nyiakan tabungan hasil berpuluh-puluh tahun berburu ikan. Di negeri danau, tempat setiap bukit berpuncak salib, menjadi pendeta yakni kehidupan terpuji.

Namun inilah jawaban Klemen anak tunggalnya itu, yg pada sebuah hari tiba-tiba saja timbul kembali dr balik kabut di atas danau sambil mendayung bolotu, meninggalkan sekolah di kota untuk selama-lamanya.

Apalah artinya memuja langit, namun membiarkan darah mengotori bumi….”

Selama tinggal di rumah mereka, daerah kecipak air danau selalu terdengar dr bawah lantai papan dr malam ke malam, Klemen tampak sering tepekur. Ibunya sudah lama meninggal lantaran cacing pita & mereka cuma hidup berdua saja, hingga Klemen pergi ke kota, atas restu pendeta, untuk mencar ilmu menjadi pendeta.

  Menganyam Kesabaran | Cerpen Asma Nadia

Kampus daerah berguru agama pun diobrak-abrik prajurit,” katanya, ”benarkah sudah cukup kita cuma berdoa?

Barnabas bukan tak mendengar orang-orang mengatakan dgn nada rendah ihwal penembakan & kerusuhan di aneka macam kawasan yang lain. Klemen pernah membacakan pesan pada benda kecil yg sering digunakannya pula untuk bicara.

Aku masih di hongyeb, beberapa hongibi, & syidos tahu persis siapa pelaku penembakan di gidinya, bekas nyahongyeb Dadbdedsya katanya punya data nama-nama pelaku penembakan. Mereka yaitu (self-censorship oleh pengarang) yg menyamar sebagai pasukan sagangrod Tjhitgosoe ede dede nyalabi, seragamnya sama dgn sagangrod ini, senjatanya yg beda. Ini informasi A1, tapi kudu hati-hati, kami media tinggal tunggu siapa otoritas yg berani sebut siapa mereka. Jangan percaya omongan para petinggi munafik….

Barnabas sungguh tak mengetahui apa yg mesti dikatakannya. Negerinya hanyalah sebatas danau dgn tiga puluhan pulau yg dikelilingi tebing serba terjal & meliuk berteluk-teluk itu. Ia tak pernah tahu & tak butuh apa pun yg lain selain cakrawala negeri danaunya itu, yg sudah memperlihatkan kepadanya mega-mega terindah di langit biru, bukit-bukit menghijau, & kedalaman di balik permukaan danau tempatnya mengejar-ngejar ikan-ikan yg baginya merupakan segala dunia yg lebih dr cukup. Ditambah khotbah para pendeta yg menyejukkan setiap akhir pekan & pesta rakyat dr segenap pulau setiap tahun, itu semua sudah lebih dr apa pun yg mampu dimintanya.

Namun Barnabas merasakan pergantian yg terjadi dewasa ini, bahwa pendeta yg tak bicara wacana kemerdekaan gerejanya akan sepi.

***

Hujan tampak menderas & tatkala Barnabas mengambil napas di permukaan danau memang sepanjang mata memandang hanyalah dunia yg kelabu lantaran tirai hujan dgn latar belakang bayangan punggung perbukitan di kejauhan.

Perutnya terasa agak lapar namun tenaganya sama sekali belum menyusut. Ia mampu membawa ikatan dua puluh sampai tiga puluh ekor ikan ke pasar, namun jikalau cuma menjinjing sepuluh atau lima belas pun tak ada yg mesti disesalinya sama sekali. Bahkan jika ikan yg ditombaknya cukup besar—dan ikan-ikan terbesar suka menyendiri—maka seekor atau dua ekor pun justru akan dibayar lebih tinggi ketimbang sepuluh ikan yg biasa.

Ya, ikan-ikan tak tahu kapan akan mati, batin Barnabas, tetapi pagi ini sepertinya belum ada yg akan mati. Setidaknya di akrab permukaan ini.

Maka Barnabas menyelam, menyelam, & menyelam makin dalam, ke kawasan ikan besar biasanya menyendiri.

Namun pemikiran perihal ikan besar yg menyendiri ini, yg memisahkan dirinya dengan-cara alamiah karena tak mampu lagi berombongan ke sana kemari dgn ikan-ikan kecil meskipun dr jenisnya sendiri, mengingatkan Barnabas pada dirinya. Sedikit pemburu di antara penjala & pemasang bubu, & di antara pemburu yg umumnya bekerja siang atau malam, hanyalah Barnabas yg senantiasa bekerja tepat menjelang fajar merekah—terperinci membuatnya berbeda, keberbedaan yg mungkin menurun pada Klemen. Memang banyak hal tak dimengertinya pula dr pemikiran -gagasan Klemen, terlebih tatkala ia bicara ihwal pernyataan untuk merdeka….

Manusia kadang masih mirip ikan, pikirnya, tak dapat bercampur baur & hanya tenteram dgn kalangan sejenisnya.

  Di Balik Sebuah Tawa | Cerpen Dwi Rezki Fauziah

Di danau itu telah dimasukkan ikan dr tempat ajaib, mirip ikan gabus Toraja, yg ternyata lebih senang mengkonsumsi telur ikan gabus asli dr danau itu maupun ikan-ikan yang lain. Ikan gabus orisinil yg disebut khahabei itu harus dicari para penyelam di kepingan danau terdalam. Sedangkan ikan lohan yg pula gila di danau itu, tak hanya memakan telur-telur ikan gabus, anak-anak ikan gabus, & ikan-ikan kecil lain, namun pula udang & jengkerik . Maka ikan-ikan asli lain seperti ikan seli, ikan gete-gete besar & kecil, ikan gastor, ikan gabus merah, ikan gabus hitam yg dahulu berlimpah kini hanya tertangkap dlm jumlah sedang; yg masih banyak tinggal ikan-ikan hewu atau ikan pelangi, namun ikan kehilo makin sukar dicari, mungkin lantaran makin jauh bersembunyi, mungkin pula memang tinggal sedikit sekali. Tempat mereka sudah diisi ikan-ikan ajaib yg disebut ikan mata merah, ikan tambakan, ikan sepat siam, ikan nila, ikan nilem, & ikan mas. Barnabas tahu benar, dulu setidaknya terdapat dua puluh sembilan jenis ikan, tergolong ikan bahari yg masuk dr muara sungai di sebelah timur, & sekarang cuma enam belas jenis, itu pun tinggal sembilan jenis yg orisinil.

Ikan makan ikan, apakah insan tak memakan manusia? Barnabas tak terlalu peduli apakah ia pernah menjawab pertanyaannya sendiri.

Sudah beberapa hari Klemen menghilang. Tetangganya memberikan kadang ada orang datang mengajukan pertanyaan-tanya perihal Klemen—bukan, mereka bukan sesama penduduk di negeri danau yg saling mengenal semenjak dilahirkan. Perahu bolotu yg digunakan Klemen pula masih di tempatnya, tatkala beberapa malam kemudian secara tiba-tiba terdengar deru perahu Johnson di kejauhan pada tengah malam. Penduduk yg masih tersadar saling berpandangan. Mereka yg terbiasa menyendiri memang mesti menghadapi segala sesuatunya sendirian.

Barnabas menyelam makin dalam, bahkan sampai menyentuh lumpur di dasar danau. Seekor ikan khahabei besar yg waspada berkelebat, mengepulkan lumpur yg secepatnya saja menutupi pandangan. Barnabas tak mampu melihat apa pun. Cahaya yg semenjak pagi tak pernah lebih terang dr kekelabuan dlm hujan, di dasar danau ini tak mampu pula menampilkan sesuatu pada Barnabas.

Namun di antara kepulan lumpur pekat Barnabas mencicipi sesuatu tiba dr dasar danau & ia secepatnya menghindarinya. Tak urung, sesuatu yg mengambang karena gerakan ikan khahabei itu sudah melepaskan keterikatannya dr akar-akaran di dasar danau, menjamah tubuhnya pula dlm perjalanan ke permukaan danau.

Ia terkesiap & melepaskan dirinya dr kepulan lumpur, melesat & menyusul sesuatu yg secepatnya terperinci merupakan sesosok mayit. Dari balik kacamata selamnya yg buram, matanya terpaku pada sosok itu, yg perlahan namun niscaya menuju ke atas sampai mengapung di permukaan danau. Dengan cahaya yg sedikit lebih baik ketimbang di dasar danau, meskipun tak terlalu terperinci, Barnabas mampu memastikan bahwa tangan & kaki jenazah itu terikat, & pengikatnya yaitu robekan bendera bergaris biru putih, sedangkan mulutnya disumpal dgn kain merah.

Di permukaan itu hujan bukan kian mereda namun menderas. Angin keras menyapu seluruh permukaan danau, sehingga air hujan yg turun dr langit tersibak bagaikan tirai raksasa yg melambai-lambai. Di antara deru angin yg menarik-narik daun pohon nyiur di semua pulau, terdengarlah jeritan panjang dr tengah danau.

Klemeeeeeeeennnn!