Maut Bercanda dengan Kolonel Saidi | Cerpen Putra Hidayatullah


Didalam keranda ia melihat wajahnya sendiri yg pucat. Tangannya terlipat ke dada. Ada perdebatan berjam-jam yg lalu apakah ia akan dipakaikan jas atau kain kafan saja. Di ujung perdebatan, adiknya yg sedari tadi diam dirundung kabung, berkata acuh taacuh, “Dia seorang kolonel.” Mereka mengerti & pada kesannya mencabut kapas yg telah disumpal ke hidungnya. Tubuhnya yg menyusut kurus itu dipakaikan jas & sarung tangan putih sebagai bentuk penghormatan terakhir. Bau jeruk purut & kemenyan menguar ke udara. Mereka bilang untuk membunuh bacin.

Itu yaitu tamat September & hujan baru mulai reda. Orang-orang berkumpul. Keluarga besar, kerabat, & beberapa mantan anak buahnya dgn uban yg kini menguasai kepala. Wajah-wajah terlihat berkabung. Di sudut ruangan ada seorang laki-laki berjubah berdiri. Ia memegang surah yasin di tangan kanannya. “Kolonel pergi dlm damai, Tuhan memberkati,” ia meyakinkan orang-orang. Di dlm kerumunan hadirin, Kolonel Saidi dimuliakan.

Seorang laki-laki menunduk melihat jam yg melingkar di tangannya. Sudah pukul 11 pagi. Beberapa saling berbisik. Mereka menunggu satu orang lagi tiba sebelum melakukan pemakaman, yakni Linda, istrinya. ia sudah pergi ke pulau seberang mengurus bisnis perkebunan beberapa hari yg kemudian & sedang dlm perjalanan ketika ia mendengar kabar bahwa Kolonel mengembuskan napas terakhir. Tidak ada murung mendalam. Malah, alasannya sudah jenuh mengelola Kolonel, dlm hati ia merasa lega. Selain pula fakta bahwa diam-diam ia memang sudah jatuh cinta pada lelaki lain.

Sejak berbulan-bulan sebelumnya, Kolonel telah berjuang melawan penyakit yg menggerayangi tubuhnya. Tidak ada yg tahu, bantu-membantu itu bukanlah stroke. Seorang dokter yg ia percayakan untuk merawatnya diam-membisu memperoleh realita bahwa Kolonel diserang penyakit laten raja singa. Hari itu, sembari terbaring di ranjang, Kolonel memberi isyarat tangan. Dokter menunduk mendekatkan telinga ke arah mulutnya & mendengar ia berkata, “Jangan sampai ada yg tahu,” bibir Kolonel pucat & bergetar.

  Tendangan Dua Belas Pas | Cerpen Zaenal Radar T

Bahkan hingga sekarang ia merasa yg paling seram baginya adalah kehilangan rasa hormat dr orang-orang kepadanya. Sisa-sisa dr kemampuan lamanya menciptakan ia tahu cara mengontrol bagaimana orang-orang seharusnya berpikir ihwal dirinya. Memakai ekspresi dokter pribadinya, orang ramai hanya tahu bahwa Kolonel diserang penyakit stroke akibat kecapekan & banyak fikiran. “Tidak banyak kita peroleh orang seperti Kolonel akhir-simpulan ini. Orang yg bahkan di usia senjanya masih senantiasa berpikir melampaui dirinya sendiri.” Dokter berkata, sesuatu yg bertolak belakang dgn isi hatinya sendiri.

Di hari-hari setelahnya Kolonel sudah tak lagi mampu berbaring tenang. Dalam persepsi yg mulai kabur, ia melihat dirinya sendiri berjalan menanjak di dlm sebuah terowongan spiral yg sempit, pengap, & berbau udang busuk sehingga membuatnya mual & susah bernapas. Tubuhnya kini memberat sehingga ia harus menumpu pada lengannya yg menapaki dinding licin sehasta demi sehasta. “Ayah….” ia kemudian mendengar bunyi anak kecil berlarian. “Ayah….” Suara itu kemudian memantulkan gema panjang yg membuat Kolonel sesak & menggigil panik.

Mimpi jahanam, semula ia berpikir. Tetapi usang-kelamaan ia mendapati itu bukan lagi mimpi. Ia tak tahu dr mana suara itu berasal. Di kesunyiannya yg lain, hati kecilnya berkata bahwa itu yakni anak-anaknya. Tapi bagaimana mampu? Linda tak pernah memberinya seorang anak pun. “Ayah” gema suara itu melintas lagi kemudian menguap ke udara & menghilang di ujung lorong sebelum kemudian muncul kembali.

Lalu di luar terdengar pintu berderak. Seorang lelaki, perawat pribadinya, masuk & membantu menegakkan badan kolonel. Dengan gerakan hati-hati, ia memberikan sendok berisi obat yg Kolonel telan dgn perasaan bosan & muak.

“Apa kamu pikir ini menolong!” ia berkata.

  Negeri Papa | Cerpen Arman AZ

Beberapa ahad setelahnya ia masih punya sisa tenaga untuk mengeluarkan bunyi & menepis setiap kali obat mau dimasukkan ke mulutnya. Tetapi lambat laun tenaganya berkurang & ia kehilangan kesadaran terhadap waktu. Kolonel tak dapat lagi mengeluarkan kata-kata, cuma mampu pasrah mendapati apa yg disodorkan ke mulutnya selama berbulan-bulan, ini cuma rutinitas sia-sia yg kian menyiksanya.

Di luar, halilintar menyambar-nyambar. Kolonel menutup mata. Sebab mengira ia sudah terlelap, si perawat bangkit perlahan & berjalan keluar. Padahal Kolonel ingin ia tinggal sebentar lagi menemaninya. Tetapi suaranya tak keluar & si perawat sudah duluan menutup pintu. Segera sesudah itu terjadi di langit-langit kamarnya timbul kembali terowongan & ia melihat dirinya berada di sana, mendengar bunyi-suara anak kecil yg makin bertambah.

Ketika Kolonel menutup mata, ia melihat bocah-bocah itu dgn lebih jelas & mereka berlari ke arah ibunya masing-masing. Dengan bersama-sama wanita-wanita itu menegakkan wajah melihat Kolonel. Saat itu pula gulungan-gulungan kenangan lama tergelar & menjulur kembali. Dua puluh tahun yg lalu ia mengenal mereka. Dan mereka terlihat begitu jorok & kumal kini. Tubuh mereka kerempeng dgn kedua tulang pipi yg menonjol, payudara yg kempes, & kulit pucat membiru.

Kolonel masih ingat kata yg ia ucapkan tatkala menyaksikan mereka dahulu, “Rezeki dr Tuhan.” Ia berkata. Tubuh-tubuh itu kemudian ia jamah. Perempuan-wanita itu yaitu istri & adik-adik wanita dr orang yg mereka buru. “Ini cara menyakiti musuh,” ia menyeringai. Sejak saat itu sudah tak terhitung lagi berapa kali Kolonel & anak buahnya saling antre untuk apa yg mereka sebut dgn “mengambil jatah”. Hingga bertahun-tahun kemudian, ia mengalami ketergantungan. “Ayah” Dan sekarang ia mendengar suara itu semakin terang. Sesak berpilin dlm dada Kolonel & menjadikannya menggigil.

Di minggu berikutnya, ia sudah tak dapat bergerak & merasakan perih mirip seekor kambing yg sedang dikuliti hidup-hidup. Dan pula seakan ribuan jarum suntik dihunjamkan ke tubuhnya. Orang-orang menyebut itu hantu alam mimpi. Tetapi bagi kolonel sudah tak ada lagi beda antara alam mimpi & dunia positif, dua-duanya bekerja sama menjadikannya menderita. Segala yg ia harapkan kini ialah maut; ia mengharapkan kematian tiba menjemput & secepatnya membawanya pergi ke alam lain.

  Angin dari Desa | Cerpen Ratna M. Rochiman

Hujan telah reda tatkala ada orang berlarian dr pintu depan. Ia mendengar bunyi yg erat. Linda, istrinya, ternyata sudah tiba. Ia eksklusif bersimpuh di pinggir keranda. Ditatap oleh seluruh tamu, ia pribadi mengeluarkan sapu tangan & mulai sesenggukan. “Oh Tuhan, kenapa kau tak menungguku?” Baru tatkala itu Kolonel menyadari bahwa itu palsu. Dan ia merasa apa yg ia lewati selama bertahun ini ialah seikat akal kancil yg menyakitkan. Tetapi tak dapat ia mengucap sepatah kata pun lagi.

Ketika keranda ditutup, pelan gelap pekat menyelimuti sekujur tubuhnya. Di luar orang-orang masih terdengar membacakan ayat & penghormatan atas jasa-jasanya. Seorang laki-laki berjalan mendekat menenteng paku & sebuah palu di tangannya. Tatkala palu menghantam paku pertama di sudut keranda, ia terguncang. Tetapi segera ia menenangkan diri. Bukankah ia akan meninggalkan segala yg menyakitinya? Enam puluh tujuh tahun yakni usia yg sudah cukup baginya. Dan kini ia mulai merasa tubuhnya terangkat pelan. Ada iringan doa & nyanyian sanjung puji di udara yg ujungnya tiba-tiba berubah kembali menjadi tawa bocah cekikikan.

Ia lalu mendengar bunyi yg erat. Telinganya menangkap bunyi langkah seseorang mendekatinya. Memakai tisu, orang itu menolong mengelap air mata yg mengalir di pipinya yg pucat. Ia berbisik lembut ke telinganya, “Kolonel, sudah waktunya minum obat,” & baru tatkala itu Kolonel menyadari bahwa ia masih hidup. (*)