close

Mau Dibawa Kemana Guru Indonesia?

Daripada tidur di siang hari, kali ini aku coba posting dengan judul “mau dibawah kemana guru Indonesia?”. 

Beberapa hari ini aku menyaksikan beberapa berita di media sosial tentang banyak sekali macam krisis di dunia pendidikan khususnya yang melibatkan peran dan fungsi guru. 

Saya tergelitik untuk menulis opini inikarena saya pun seorang guru. 

Guru ialah sebuah profesi yang begitu berat amanahnya kalau tidak dijalankan sebaik mungkin.

Tugas guru ialah “mencoba” sekuat tenaga mengganti huruf anak mulai dari yang tadinya malas menjadi rajin, yang bodoh menjadi agak atau akil, yang berandal menjadi sholeh dan sholehah dan yang lain.

Ada beberapa berita yang menurut aku mencederai hakikat tugas dan fungsi guru. Pertama adalah jika tidak salah kasus guru yang dicukur balik orangtua murid alasannya adalah menghukum anaknya, lalu ada guru yang dipenjara sebab mencubit siswanya, dan yang terakhir ada kepala sekolah yang ditampar balik orang tua siswa alasannya adalah menampar anaknya. 

Hal seperti ini membuktikan lemahnya fungsi guru sebagai “agent of change” di masyarakat. Saat ini seperti guru itu yakni tuhan yang harus dengan ajaib mengganti siswanya jadi berakal, nilai bagus, lulus SMPTN, cerdik semua mapel dan yang lain. Pandangan orang renta Indonesia jaman sekarang aku rasa mesti diluruskan. 


Saya ingat dahulu saat kecil, dikala saya melaksanakan kesalahan di sekolah maka guru akan menghukum saya, ada yang mencukur, mencubit, lari hingga menampar jika memang kasusnya berat. 

Dan saya pun memang menerima hukuman itu alasannya adalah aku salah. Saat pulang ke rumah pun orang bau tanah malah tambah ngomel alasannya adalah mengapa saya berbuat salah di sekolah, tidak dengan tiba ke sekolah menghakimi guru seperti dia yang paling benar. 

Menurut aku aturan hukuman fisik boleh-boleh saja selama masih batas kewajaran toh guru yang baik pasti tahu batas-batas mana yang kira-kira mampu menciptakan anak terluka. 

Coba kau lihat, serdadu TNI yang melaksanakan kesalahan saat latihan, pasti akan ditampar atau disuruh lari bawa karung beras oleh komandan dan serdadu tidak merasa kesal dan dia menyadari akan kesalahannya. 

Apakah ada tentara yang mati alasannya adalah ulah komandannya?tidak, mereka malah makin berpengaruh dan solid di lapangan. Jadi itulah mengapa pendidikan kita kini sudah masuk jaman “lebay”. Cubit dikit masuk penjara, nilai buruk bilang ayah ibu suruh ganti ke sekolah.

Saya juga ingat suatu spanduk yang dituliskan siswa yang protes alasannya adalah gagal SNMPTn di salah satu sekolah, bunyinya begini kira-kira kalau masih ingat “3 tahun kami memburu nilai , kesininya lupa lagi, pokonya intinya JADI GAGAL KARENA BAPAK“. 

Mindset bawah umur tersebut ketika sekolah “memburu nilai”, padahal harusnya mengejar ilmu, bukan?. Persoalan ada human eror dibalik kegagalan itu ya silahkan usut sendiri, tetapi aku fokus pada apa yang anak-anak tulis dalam spanduknya. 

Jangan-jangan semua anak Indonesia kini lebih mementingkan nilai “angka” daripada ilmu itu sendiri, dan dengan sistem yang masih kaku maka banyak sekali kecurangan pasti akan terus terjadi karena yang dikejar ialah angka bukan ilmu. 

Saya juga sedikit lucu menyaksikan dikala cobaan nasional saja, berkas UN harus dijaga pegawapemerintah bersenjata mirip menemani teroris. 

Mungkin fenomena ini hanya satu-satunya di dunia. Artinya UN masih menjadi sumber cemas, gagal UN memiliki arti periode depan hancur. Itulah sekelumit dunia pendidikan kita ketika ini. 

Memang semua perangkat mesti berbenah mulai dari pemerintah, guru, siswa dan orang renta siswa itu sendiri. 

Ada baiknya sebelum siswa belajar di sekolah, guru dan ortu siswa dikumpulkan untuk menyatukan persepsi dan membuat perjanjian mencar ilmu. 

Saat orang tua menyerahkan anaknya ke sekolah maka ia harus yakin dan menyetujui hukum yang diberlakukan, jangan hingga cubit dikit masuk penjara. Emangnya cubit orang atau cukur rambut anak bisa membuatmati anak?, engga juga kan?. 

Mendidik itu mesti dengan kasih sayang, jangan pakai kekerasan. Iya betul, pastinya semua guru juga paham akan hal itu, menghukum pun alasannya mereka sayang. Dimana-mana jikalau ada pelanggaran niscaya ada hukuman. 

Kecuali bila sudah ada “oknum” guru yang misal berbuat asusila, atau yang lain memang itu harus ditindak. Jadi guru harus diberi kebebasan wewenang untuk melakukan tugasnya di sekolah tanpa ada panik apapun. 

Kalau berita mirip waktu kemudian masih terulang maka guru dikala ini ialah profesi yang lemah dan tidak handal dalam mendidik anak didiknya. Selamat berpuasa.