SAP ( SATUAN AJAR PEMBELAJARAN )
1. Lahirnya Hukum Perlindungan Konsumen (PK).
2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen.
3. Pengertian Konsumen dan Produsen.
4. Perkembangan Perlindungan Konsumen.
5. Hubungan Hukum Antara Konsumen dan Produsen.
6. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Produsen.
7. Ruang Lingkup Perlindungan Konsumen.
8. Lembaga Konsumen.
9. Tanggung jawab Pelaku Usaha.
10. Klausul Baku.
11. Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan.
12. Pembuktian Terbalik.
13. Sanksi Terhadap Pelaku Usaha yang Melanggar Hukum.
1. LAHIRNYA HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN (PK)
Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang hukum yang bercorak Universal. Sebagian besar perangkatnya diwarnai hukum gila, namun jikalau dilihat dari aturan nyata yang sudah ada di Indonesia ternyata dasar-dasar yang menopang telah ada semenjak dahulu termasuk hukum adab. Fokus gerakan santunan pelanggan (konsumerisme) akil balig cukup akal ini sebetulnya masih pararel dengan gerakan-gerakan pertengahan kurun ke-20. Perkembangan ekonomi yang pesat sudah menghasilkan banyak sekali jenis barang dan/atau jasa yang mampu dikonsumsi. Barang dan/atau jasa tersebut pada lazimnya merupakan barang dan/atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplementer satu terhadap yang yang lain. Bervariasinya produk yang semakin luasnya dan dengan pertolongan kemajuan teknologi komunikasi dan berita, jelas terjadi perluasanruanggerakarustransaksi barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari buatan domestik maupun yang berasal dari luar negeri.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang secara populer dipandang sebagai perintis advokasi pelanggan di Indonesia berdiri pada masa waktu itu, adalah 11 Mei 1973. Gerakan di Indonesia ini cukup responsive kepada keadaan, bahkan mendahului Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) No. 2111 Tahun 1978 Tentang Perlindungan Konsumen. Setelah YLKI kemudian timbul organisasi-organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang tahun 1985, Yayasan Bina Lembaga KonsumenIndonesia(YBLKI)diBandung dan beberapa perwakilan di berbagai propinsi tanah air. Keberadaan YLKI sungguh membantu dalam upaya kenaikan kesadaran akan hak-hak konsumen sebab lembaga ini tidak cuma sekedar melakukan observasi atau pengujian, penerbitan dan menerima pengaduan, tapi juga sekaligus mengadakan upaya advokasi pribadi melalui jalur pengadilan.
YLKI bareng dengan BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) membentuk Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Namun Rancangan Undang-Undang ini ternyata belum mampu memberi hasil, alasannya pemerintah mencemaskan bahwa dengan lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan menghalangi laju kemajuan ekonomi. Pada permulaan tahun 1990-an, kembali diusahakan lahirnya Undang-undang yang mengontrol perihal pemberian konsumen. Salah satu ciri pada kurun ini yakni pemerintah dalam hal ini Departemen Perdagangan sudah mempunyai kesadaran tentang arti penting adanya Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Hal ini diwujudkan dalam dua naskah Rancangan Undang-undang Perlindungan Konsumen, yaitu yang pertama adalah hasil koordinasi dengan fakultas Hukum Universitas Gajah Mada dan yang kedua yaitu hasil kerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.Tetapi hasilnya sama saja, kedua naskah Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut tidak dibahas di dewan perwakilan rakyat.
Pada simpulan tahun 1990-an, Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak hanya diperjuangkan oleh forum pelanggan dan Departemen Perdagangan, tetapi adanya tekanan di lembaga keuangan internasional (IMF/International Monetary Fund). Berdasarkan desakan dari IMF itulah karenanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat dibuat. Keberadaan Undang-undang Perlindunga Konsumen merupakansimbol kebangkitan hak-hak sipil masyarakat, alasannya adalah hak konsumen pada dasarnya juga yaitu hak-hak sipil penduduk . Undang-undang Perlindungan Konsumen juga merupakan pembagian terstruktur mengenai lebih detail dari hak asasi manusia, khususnya hak ekonomi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen mulai berlaku sejak tanggal 20 April 2000. Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, walaupun judulnya tentang tunjangan pelanggan tetepi materinya lebih banyak membahas mengenai pelaku usaha dengan tujuan melindungi pelanggan. Hal ini disebabkan kebanyakan kerugian yang diderita oleh pelanggan ialah akibatperilaku dari pelaku usaha, sehingga perlu diatur agar tidak merugikan konsumen.
Hukum konsumen dan hukum dukungan konsumen ialah dua bidang aturan yang sulit dipisahkan dan ditarik batasannya. Az Nasution berpendapat bahwa ,”Hukum sumbangan pelanggan ialah bagian dari hukum konsumen yang menampung asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengontrol, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen”. Sedangkan “Hukum pelanggan diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah aturan yang mengatur hubungan dan duduk perkara antara aneka macam pihak atau satu sama lain berhubungan dengan barang dan/atau jasa di dalam pergaulan hidup.
Awal terbentuknya Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang disepakati oleh DPR pada (tanggal 30 Maret 1999) dan disahkan Presiden RI pada tanggal 20 April 1999 (LN No. 42 Tahun 1999). Berbagai usaha dengan mengkonsumsi waktu, tenaga dan asumsi yang banyak telag dilaksanakan banyak sekali pihak yang berkaitn dengan pembentukan aturan dan dukungan konsumen. Baik dari kalangan pemerintah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat. YLKI, gotong royong dengan akademi-sekolah tinggi tinggi yang merasa terpanggil untuk mewujudkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini. Berbagai aktivitas tersebut berbentuk pembahasan ilmiah/non ilmiah, pelatihan-pelatihan, penyusunan naskah-naskah observasi, pengkajian naskah akademik Rancangan Undang-Undang (Perlindungan Konsumen).
Kegiatan yang dibahas dalam program pertemuan tersebut ,yaitu:
a. pembahasan masalah Perlindungan Konsumen (dari sudut ekonomi oleh Bakir Hasan dan dari sudut aturan ooleh Az. Nasution) dalam Seminar Kelima Pusat Study Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Indonesia (tanggal 15-16 Desember 1975) hingga dengan penyelesaian simpulan Undang-Undang ini pada tanggal20April1999.
b. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, Penelitian wacana Perlindungan Konsumen di Indonesia (tahun 1979-1980).
c. BPHN – Departemen Kehakiman, Naskah Akademik Peraturan Perundang-permintaan tentang Perlindungan Konsumen (tahun 1980-1981).
d. Yayasan Lwmbaga Konsumen Indonesia, Perlindunga Konsumen Indonesia, sebuah tunjangan fatwa ihwal desain Undang-Undang Perlindungan Konsumen(tahun1981).
e. Departemen Perdagangan RI berhubungan dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, RUU tentang Perlidungan Konsumen (tahun 1997).
f. dewan perwakilan rakyat RI, RUU Usul Inisiatif DPR tentang Undang-Undang Perlindunga Konsumen (tahun1998).
2. ASAS DAN TUJUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 menjelakan bahwa Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian aturan untuk memberi sumbangan terhadap konsumen.
Tujuan dari UU PK ialah melindungi kepentingan pelanggan, dan di satu segi menjadi pecut bagi pelaku perjuangan untuk mengembangkan kualitasnya. Lebih lengkapnya Pasal 3 UU PK menyebutkan bahwa
tujuan bantuan pelanggan adalah:
1. Meningkatkan kesadaran, kesanggupan, dan kemandirian pelanggan untuk melindungi diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam menentukan, memilih, dan menuntut hak-haknya selaku pelanggan;
4. Menciptakan metode perlindungan konsumen yang mengandung bagian kepastian aturan dan keterbukaan gosip serta akses untuk mendapatkan informasi;
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku perjuangan mengenai pentingnya sumbangan konsumen sehingga berkembang perilaku yang jujur dan bertanggung jawab dalam berupaya;
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelancaran perjuangan produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, ketentraman, keselamatan, dan keamanan konsumen.
Sedangkan asas-asas yang dianut dalam aturan santunan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU PK yaitu:
1. Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK mesti menunjukkan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, pelanggan dan pelaku perjuangan. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
2. Asas keadilan
Penerapan asas ini mampu dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur tentang hak dan keharusan konsumen serta pelaku perjuangan. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha mampu mendapatkan haknya dan menunaikan kewajibannya secara sebanding.
3. Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diperlukan kepentingan pelanggan, pelaku usaha serta pemerintah mampu terwujud secara sepadan, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
4. Asas keamanan dan keamanan konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan menawarkan jaminan atas keselamatan dan keamanan pelanggan dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dimakan atau dipakai.
5. Asas kepastian aturan
Dimaksudkan semoga baik konsumen dan pelaku perjuangan mentaati hukum dan menemukan keadilan dalam penyelenggaraan santunan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
3. PENGERTIAN KONSUMEN DAN PRODUSEN
Pengertian Konsumen :
Menurut pemahaman Pasal 1 angka 2 UU PK, “Konsumen yakni setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Anda pasti memahami bahwa tidak semua barang setelah melalui proses produksi akan pribadi sampai ke tangan pengguna. Terjadi beberapa kali pengalihan semoga sebuah barang dapat tiba di tangan pelanggan. Biasanya jalur yang dilalui oleh suatu barang yaitu:
Produsen – Distributor – Agen – Pengecer – Pengguna
Lebih lanjut, di ilmu ekonomi ada dua jenis konumen, adalah konsumen antara dan konsumen simpulan. Konsumen antara yakni distributor, distributor dan pengecer. Mereka berbelanja barang bukan untuk digunakan, melainkan untuk diperdagangkan Sedangkan pengguna barang yakni pelanggan simpulan.
Yang dimaksud di dalam UU PK selaku pelanggan yaitu konsumen tamat. Karena konsumen selesai menemukan barang dan/atau jasa bukan untuk dijual kembali, melainkan untuk dipakai, baik bagi kepentingan dirinya sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain.
Pengertian Produsen
Produsen ialah setiap orang yang membuat atau membuat suatu barang ataupun jasa untuk dijual kembali sehingga menemukan laba.
4. PERKEMBANAGN PERLINDUNGAN KONSUMEN
TAHUN 1962 Presiden Amerika Jhon F. Kennedy, memberikan pesan dalam Konggres bahwa ada : 2/3 uang yg dipergunakan dalam kehidupan ekonomi berasal dari konsumen, disisi lain pelanggan banyak dirugikan sebab sebuah produk barang/ jasa yang kosumsinya , jarang menerima kompensasi secara layak , hal tsb menampung ketidakseimbangan antara konsumen dan pelaku usaha bila dikatkan dengan “ hak dan keharusan “ masing-masing yang timpang .
Maka untuk perhatian problem ini : sidang lazim PBB , pada sidang ke ; 106 tangal 9 April 1985 ihwal Perlindungan Konsumen (resolusi 39/248) telah menegaskan 6 kepentingan pelanggan yaitu :
– Perlindungan terhadap ancaman kesehatan & keamanan
– Promosi & derma kepentingan konsumen
– Informasi yang cukup terhadap produk
– Pendidikan konsumen
– Cara-cara ganti rugi yang efektif
– Kebebasan membentuk organisasi pelanggan
The Economic Law and Improved System Project (ELIPS), yang mengemukan 9 materi rumusan aturan tunjangan konsumen;
– Ketidakteraan dalam posisi tawar menawar
– Kebebasan berkontrak
– Persyarata untuk memberi isu
– Perilaku penjual yang salah dalam perdagangan
– Peraturan mutu produk, garansi, keamanan
– Akses kepada kredit
– Batas mengakiri jaminan
– Harga
– pembetulan
Sebelum berlakunya UUPK ada beberapa Per-UU-an yang berlaku :
– KUHPerdata/BW, KUHDagang, dlm UU tidak mengenal istilah konsumen tetapi : pembeli, penyewa, teranggung, penumpang, dan tidak membedakan apa pelanggan akhir atau antara
– UU No. 10 tahun 1961 : Pengganti UU No. 1 tahun 1961 ihwal Barang yang diperdagangkan di Indonesia .
– UU No. 9 tahun 1964 perihal Standar Industri untuk mengembangkan mutu dan hasil industri di Indonesia.
– Kemenperindag no. 81/M/K/SK/2/1974 perihal pengakuan kriteria cara-cara analisis dan syarat-syarat kualitas materi baku dan hasil industri .
Kegiatan-acara, pelatihan-pelatihan yang pernah dijalankan dalam Perlindungan Konsumen :
– Seminar sentra studi jualan UI ihwal bantuan konsumen 16 desember 1975.
– BPHN, Kemenham, penelitian wacana Perlindungan Konsumen , proyek 1979 – 1980.
– BPHN-Kemenham, naskah akademis Peraturan Perlindungjan Konsumen , proyek 1980-1981.
– YLKI, tunjangan ajaran ihwal rancangan UUPK tahun 1981.
– Kemenperindag dengan FH.UI, tentaag desain UUPK 1997.
– dewan perwakilan rakyat.RI , rancangan undangan inisiatif dewan perwakilan rakyat perihal UUPK tahun 1998 .
5. HUBUNGAN HUKUM ANTARA KONSUMEN DAN PRODUSEN
POLA SALURAN DISTRIBUSI
Umumnya produk sampai ke pelanggan melalui tahap yang panjang mulai dari : produsen pembuat (pabrik),distributor, pengecer, hingga pelanggan;
Semua pihak yg terkait dlm pengerjaan sebuah produk sampai ke pelanggan disebut “ produsen “
Pola distribusi yang diketahui dalam Ilmu manajement dapat digambarkan :
1. Produsen – pelanggan;
2. Produsen- pengecer- konsumen;
3. Produsen- pedagang besar –pengecer- konsumen;
4. Produsen – biro- penjualbesar- pengecer- konsumen;
5. Produsen- agen- pengecer- pelanggan
2 (dua) golongan pelanggan , dilihat dari cara mendapatkan produk :
1. Konsumen yang menemukan produk dengan cara berbelanja ke produsen, yang memiliki arti konsumen terikat korelasi kontraktual (perjanjian ), misal : perdagangan, sewa menyewa, perjanjian kredit;
2. Konsumen yang tidak membeli, tetapi menemukan dengan cara lain, yang berarti pelanggan tidak terikat kekerabatan kontraktual (perjanjian )
Pembedaan ini penting krn untuk mengetahui hak dan keharusan hukum para pihak sekaligus untuk menentukan pertanggungjawabkan hukumnya, alasannya adalah pertanggungjawaban lahir dari hubungan hukum;
Konsumen yg mempunyai kontraktual dapat dilindungi kepentingannya berdasar isi perjanjian namun tidak demikian pelanggan yg tidak terikat kontraktual dg produsen
Tahap transaksi antara produsen dan konsumen
1. Tahap Pratransaksi
Tahap sebelum adanya perjanjian konsumen ialah insiden yg terjadi sebelum pelanggan menetapkan membeli/memakai peroduk
Konsumen berhak untuk mengetahui : harga, komposisi, kegunaan,keunggulan, dibanding produklain baik dari produsen, brosur, iklan, dll
Meski belum masuk tahap transaksi, tahap ini penting krn dpt mempengaruhi keabsahan dari tahapan transaksi berikutnya
2. Tahap transaksi ( yang bahwasanya )
Setelah menerima isu yang cukup pelanggan mengambil keputusan berbelanja atau tidak, menentukan pilihannya, dan pada saat inilah lahirlah “ perjanjian “, janji lahir sebab penawaran timbulah pernyataan kehendak.
Dasar aturan Pasal 1320 KUHPerdatan
Dlm tahap ini pelanggan dibiasakan menerima tanda bukti pembelian berupa secarik kertas perihal barang dan harganya, hal tersebut selaku bukti kalau ada pertengkaran dikemudian hari.
3. Tahap purna transaksi:
Transaksi yg dibuat antara pembeli dan pedagang tentunya masih mesti direalisasikan ialah dijalankan pemenuhan hak dan kewajiban antara keduanya sesuai dg isi perjanjian, misal : kompensasi jika produk cacat, garansi, hak-hak konsumen, kegunaan produk, dll
Hal yang potensia melahirkan konflik ialah:
1. Produk tidak sesuai dg kegunaan/faedah yg dibutuhkan pelanggan atau mengandung cacat tersembunyi;
2. Produk menjadikan gangguan kesehatan, keselamatan, dan keselamatan pelanggan;
3. Kualitas produk tidak cocok dengan harga yang dibayarkan biasanya timbul sebab aspek monopoli atau pemalsuan produk.
6. HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN DAN PRODUSEN
a. Hak konsumen
Secara lazim dan sudah diakui oleh organisasi Internasional ada empat hak dasar pelanggan, adalah :
1. Hak untuk menerima keamanan (the right to safety);
2. Hak untuk menerima informasi (the right to be informed);
3. Hak untuk menentukan (the right to choose);
4. Hak untuk di dengar (the right to be heard).
Sedangkan dalam pasal 4 UUPK ada 9 (sembilan), yakni :
1. Hak atas ketentraman, keselamatan, dan keselamatan dalam menyantap barang dan/ jasa.
2. Hak untuk menentukan barang dan/ jasa serta mendapatkan barang dan/ jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan keadaan serta jaminan yang dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, terperinci, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ jasa yang digunakann.
5. Hak untuk mendpaatkan advokasi, perlindunga, dan upaya penyelesaian sengketa tunjangan konsumen secara layak.
6. Hak untuk menerima training dan pendidikan konsumen.
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
8. Hak untuk menerima keringanan, ganti rugi dan/ penggantian, jikalau barang dan/ jasa yang diterima tidak cocok dengan persetujuanatau tidak sebagaimana mestinya.
9. Hak-hak yang dikelola dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiaban dari pelanggan ;
1. Membaca, petunjuk & prosedur pemakaian;
2. Beritikat baik dalam transaksi;
3. Membayar sesuai nilai tukar;
4. Mengikuti penyelesain sengketa bantuan pelanggan;
5. Meskin hak dan keharusan pelanggan ini sudah disebut kan dengan jelas tetapi kenyataaanya konsumen masih bayak yang belum mengetahui perihal hak dan kewajibannya;
6. Mengikuti uapaya solusi sengketa dukungan pelanggan secara layak;
7. Biasa konsumen menyampaikan unek-unek pada produsen, dan kalau gagal biasanya menghentikan proses tersebut,, sungguh jarang konsumen menuntu secara aturan.
b. Kedudukan pelanggan
1.
Let the buyer beware (ceveat emptor)
asas ini berasumsi, pelaku usaha dan konsumen ialah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada perlindungan apapun bagi si pelanggan.
2.
The due care theory
pelaku perjuangan mempunya kewajiban untuk waspada dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa selama berhati-hati dengan produknya beliau tak mampu dipersalahkan dan tidak dapat menyalahkan pelaku perjuangan. Seperti yang tercantu dalam pasal 1865 BW bahwa seseorang yang mendalilkan sesuatu diwajibkan membuktikan adanya hak atau insiden tersebut.
3.
The privity of contract
pelaku perjuangan memiliki keharusan untuk melindungi konsumen, namun hal itu gres dapat dijalankan jikalau diantara mereka telah terjalin suatu kekerabatan kontraktual.
c. Hak-Hak Produsen
1. Hak mendapatkan pembayaran yang tepat dengan akad perihal keadaan, cara, dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan dengan konsumen;
2. Hak untuk mendapat pertolongan aturan dari tindakan pelanggan yang beretikad tidak baik;
3. Hak untuk melaksanakan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian aturan sengketa pelanggan;
4. Hak untuk rehabilitasi nama baim bila terbukti secra aturan bahwa kerugian pelanggan tidak diakibatkan oleh barnag atau jasa yang diperdagangakan.
d. Tanggung Jawab Produsen
Produsen bertanggung jawab member ganti rugi kepada pelanggan apabila didalam proses transaksi jual beli, konsumen tidak mengetahiu adanya pergeseran barang atau jasa yang dijalankan oleh produsen atau barang dan jasa tersebut tidak sesuai dengan teladan, mutu, dan komposisi yang semestinya.
e. Kewajiban Produsen
1. Beretikad baik dalam acara bisnisnya;
2. Memberikan informasi yang benar, terperinci dan jujur perihal keadaan dan jaminan barang atau jasa serta menunjukkan penjelasan, penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
3. Memperlakukan atau melayani pelanggan secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
4. Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar kualitas dan jasa yang berlaku;
5. Memberi potensi terhadap konsumen untuk menguji atau menjajal barang dan jasa yang dibuat atau diperdagangkan;
6. Memberi kompensasi, ganti rugi, atau pengganti atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang atau jasa yang diperdagangkan;
7. Memberi kompensasi ganti rugi atau penggunaan jika barang atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuia dengan perjanjian.
7. RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pengertian Perlindungan Konsumen termaktub dlm Pasal 1 angka 1 UUPK : segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk menunjukkan perlindngan kpd pelanggan
Dengan cara : memajukan harkat & martabat pelanggan , membuka jalan masuk info barang/jasa & menumbuhkan sikap pelaku perjuangan yang jujur & bertanggung jawab
Tujuan yg ingin diraih dlm sumbangan konsumen ada 3 :
1. Memberdayakan pelanggan dalam menentukan, menentukan barang/jasa & menuntu hak-haknya;
2. Menciptakpkan sistim perindungan pelanggan yang mengandung kepastian aturan, keterbukaan isu, & akses untuk mendapatkan informasi;
3. Menumbuhkan kesadaran pelaku perjuangan pentingnya pemberian pelanggan sehingga berkembang sika jujur dan bertanggung jawab
8. LEMBAGA KONSUMEN
PASAL 44 UUPK– Pemerintah mengakui LPKSM (forum perlindungan konsumen swadaya penduduk ), yang mememenuhi syarat.
– LPKSM memiliki potensi berperan aktif dalam bantuan konsumen;
– Tugas LPKSM : menyebar berita barang/jasa, memajukan kesadaran, kehati-hatian, pesan yang tersirat, bekerja sama dg isntansi terkait, mendapatkan keluan/pengaduan, pengawasan bersama pemerintah dlm bantuan konsumen.
LPKSM
a. Lembaga non pemerintah, bersifat independent, harus didaftarkan dan menerima pengesahan pemerintah dan tugas-peran diatur oleh peraturan pemerintah, memberi kesan lembaga “ plat merah“;
b. Timbul kesan LPKSM ini lembaga “ plat merah “ dikontrol oleh PP No. 59 tahun 2001 wacana LPKSM;
c. Terdaftar di Kabupaten/Kota.
LPKSM :
Merupakan lembaga arus bahwa yang berpengaruh dan tersosialisasi secara luas di penduduk dan representatif memuat dan memperjuangkan aspirasi konsumen dan sebelum ada aturannya di perankan oleh “ YLKI : yayasan forum pelanggan Indonesia;
BPKN : Badan Perlindungan Konsumen Nasional diatur PP no. 57 tahun 2001, berkedudukan di Jakarta, bertanggung jawab pada Presiden & bisa dibuat perwakilan di tiap provinsi, ialah bentuk derma pelanggan arus atas (top-down), sedang LPKSM (bottom –up)
Tugas BPKN :
Memberi anjuran & anjuran pada pemerintah kepada kebijakkan , penelitian kepada kebijakkan, penelitian kepada barang/jasa, mendorong meningkat forum bantuan konsumen, membuatkan isu lewat media,pengaduan, survey keperluan pelanggan.
9. TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Pasal 19 UUPK
a. tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran akhir kosumsi barang /jasa .
b. Ganti rugi mampu berupa pengembalian uang/penggantian barang sejenis/perawatan kesehatan &/ pemberian perlindungan;
c. Ganti rugi dilakukan 7 hari sehabis transaksi dan tidak menghapuskan tuntutan pidana dan tidak berlaku kalau pelaku perjuangan dpt menerangkan sebaliknya.
Pasal 19 UUPK ini thd bentuk penggantian kurang menunjukkan keadilan bagi pelanggan, terutama jikalau konsumen menderita kerugian berupan sakit atau maut, sebaiknya dapat diberikan sekaligus kpd konsumen baik harga barang, perawatan dan tunjangan serta , batas waktu tenggang penggantian bukan 7 hari setelah transaksi namun 7 hari sehabis menderita kerugian .
Tanggung jawab produk (product liabiity)
Menurut Agnes M. Toar : selaku tanggung jawab produsen untuk produk yang dibawahnya ke dalam peredaran, yang menjadikan kerugian alasannya cacat yang melekat pada produk tersebur.
Tanggung jawab disini akibat korelasi kontraktual/perjanjian;
a. Produk cacat menurut BPHN : setiap produk yang tidak dapat menyanggupi tujuan pembuatannya, baik karn ksengajaan, peredaranya;
b. Tanggung jawab mutlak (strict liability); tanggung jaab pelaku perjuangan tanpa melihat apa ada unsur kesalah dari pelaku usaha atau tidak , tetap mendapat ganti rugi ( di Amerika Serikat ).
Produk liability terkait dengan ;
– Dalam pengerjaan sebuat produk , proses produksi dari pelaku usaha;
– Promosi niaga/iklan produk dari pelaku usaha;
– Praktik jual beli /pemasaran yang tidak jujur .
10. KLAUSULA BAKU, PERJANJIAN STANDAR / PERJANJIAN BAKU
Perjanjian baku di Indonesia sendiri telah merambah ke aneka macam sektor dg cara yg secara yuridis masih kontroversial.
Menurut Darius Badrulzaman : perjanjian baku adalah : kontrakyg diteatpkan sepihak oleh produsen/ penyalur produk dan mengandung kettentuan yg berlaku lazim, sehingga pihak konsumen cuma memilki 2 opsi, ialah menyetujui / menolak.
Dalam persetujuanbaku lazimnya terkandung klausul eksonerasi (exemption clausul) yaitu klausul yg mengandung kondisi membatasi bahkan memhapus sama sekali tanggung jawab yg sebaiknya dibebankan pd produsen.
Pasal 1 angka 10 UUPK
– Klausula baku yaitu setia hukum atau ketentuan dan syarat-syarat yang sudah disediakan dan ditetapkan apalagi dahulu secara sepihak oleh pelaku perjuangan yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi konsumen;
– Perjanjian baku memang lahir dr kebutuhan penduduk , biar tidak merugikan penggunaanya memelukan pengawasan .
Pasal 18 UUPK, sejumlah larangan penggunaan klausula baku sbb :
– Menyatakan penggalian tanggung jawab pelaku perjuangan
– Pelaku usaha menolak penyerahan kembali barang yg sudah dibeli
– Pemberian kuasa dr pelanggan ke pelaku perjuangan segala tindakan sepihak berhubungan dg barang dibeli secara angsuran
– Memberi hak kpd pelaku usaha untuk mengurangi faedah dr barang yg dibeli
– Tunduknya pelanggan pada aturan gres, embel-embel, lanjutan yg dibuat sepihak oleh pelaku usaha dlm massa pelanggan memanfaatkan barang yg dibeli
– Dilarang menaruh klausula baku yg letaknya sukar dibaca & dikenali
– Ketentuan diatas jika dilakukan “ batal demi hukum “.
11. PENYELESAIAN SENGKETA DILUAR PENGADILAN
Gugatan atas pelanggaran hak konsumen
Pasal 45 UUPK : konsumen yang dirugikan bisa menggugat lewat lembaga BPSK dan PN
Ada 4 golongan penggugat :
– Seorang pelanggan / andal warinya ;
– Kelompok konsumen yg mempunyai kepentingan sama;
– LPKSM;
– Pemerintah.
Bentuk penyelesaian sengketa pelanggan
Melalui pengadilan : mengacu pada ketentuan peradilan biasa yg berlaku di Indonesia
Diluar pengadilan : lewat forum BPSK : badan solusi sengketa pelanggan
Dasar hukum Pasal 45 ayat 1
Penyelesaian diluar pengadilan , tidak menghilangkan tanggung jawab pidana
Apabila diseleksi “ diluar pengadilan “ , gugatan ke pengadilan cuma mampu ditempuh jika upaya dinyatakan tidak berhasil oleh para pihak yg bersengketa
Penyelesaian diluar pengadilan
Melalui perantara BPSK, sungguh murah, cepat dan tidak berbelit2, tiba ke BPSK propinsi, dengang membawa : surat permintaan penyesaian sengketa, formulir pengaduan, berkas (dokumen penunjang ), ktp, dll
BPSK memanggil pihak-pihak yg bersengketa : pelanggan, pelaku perjuangan
Ada 3 cara penyelesaian : konsiliasi, mediasi dan arbitrase :
Kemenperindag no. 350/MPP/Kep/12/2001 )
Konsiliasi : proses solusi sengketa diluar pengadilan lewat mediator BPSK, mempertemukan pihak bersengketa & penyelesaian diserahkan pera ihak yg bersengketa, dg didampingi majelis yg bertindak secara pasif sbg konsiliator .
Mediasi : sama dg diatas namun majelisnya bersikap aktif sbg perantara .
Arbitrase : proses solusi sengketa diluar pengadilan yg diserhkan sepenuhnya penyelesaian kepada BPSK (aktif).
Jangka waktu solusi sengketa
Dibuat perjanjian tertulis oleh para pihak , diperkuat oleh BPSK, diselesaikan dlm waktu 21 hari sejak permintaan, kalau keputusan belum dpt diterima , dpt mengajukan ke PN dlm waktu 14 hari sejak diberikan putusan oleh BPSK.
PN wajib menyelesaian dlm waktu 21 hari , dan apabila belum puas , mampu ke PT dan wajib diselesaian dlm waktu 30 hari .
Tata cara permintaan solusi sengketa
Konsumen merasa hak2nya dirugikan mampu mengajukan permintaan penyelesaian sengketa konsumen ke sekretariat BPSK , pelaku usaha juga bisa menlakukan hal sama.
Permohona secara tertulis / verbal, bisa diajukan oleh mahir warisnya dengan : nama & alamat konsumen, nama & alamat pelaku usaha, rincian barang/jasa diadukan, bukti bon/kwitansi, keterangang kawasan, waktu, tanggal barang diperoleh, saksi , foto2 & acara pelaksanaan
BPSK : badan solusi sengketa pelanggan
Pasal 1 ayat 12 UUPK , BPSK adl tubuh yg bertugas menanggulangi dan menyelesaiakan sengketa atr pelanggan & pelaku perjuangan, memperlihatkan konsultasi perlindngan pelanggan,
Berada di kabupaten, dibuat gubenur masing2 propinsi & didirikan oleh Kemenperindag
Anggota BPSK : bagian pemerintah, pelanggan dan pelaku perjuangan
Dlm menaganggani sengketa dibuat majelis, jumlah majelis ganjil, sekurang-kurangnya 3 orang
Pasal 54 ayat 3 UUPK : putusan mejelis BPSK simpulan & mengikat : kata selesai diartikan tidak ada upaya banding & kasasi, namun mengandung kerancuan krn masih mampu mengajukan keberatan, kata mengikat : ditafsirkan mesti dilaksanakan ,
Dalam kacamata peradilan Indonesia , putusan BPSK bersifat nonlitigasi, ada yg keberatan maka mampu mengajukan ke Pengadilan Negeri
12. PEMBUKTIAN TERBALIK
Prinsip pinjaman konsumen berdasar UU No. 8 tahun 1999 : dengan memberlakukan beban pembalikan beban pembuktian sbg dasar tanggung gugat produk
Berdasar prinsip ini : konsumen sbg penguggat tidak dibebani keharusan pembuktian, pelaku perjuangan selaku tergugat mesti menunjukan bahwa kerugian yang diderita pelanggan bukan krn kesalahanya & kalau mampu mengambarkan maka pelaku perjuangan terbebas dr tanggung jawab
UUPK tidak memberlakukan tanggung jawab mutlak mirip di Amerika Serikat, namun : UU no. 23 tahun 1997 ihwal lingkungan hidup ( memberlakukan tanggung jawab mutlak /strick liability )
Dengan beban pembuktian terbalik : dlm praktiknya pelaku usaha senantiasa dapat menunjukan bahwa dirinya tidak bersalah,
Sebaiknya prinsip derma konsumen ini berlaku prinsip tanggung jawab mutlak mirip negara2 lain : dengan alasan pelaku perjuangan adl orang yang paling mengenali produk itu dibuat dan dipasarkan sepantasnya beliau yg menanggung segala kerugian dari pelanggan tanpa menyaksikan siapa yg bersalah , dan pelaku usaha dapat men” ansuransikan “ produk nya ( re asuransi ).
13. SANKSI TERHADAP PELAKU USAHA YANG MELANGGAR
Sanksi administratif berbentukpenetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). kepada pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26 ialah :
a. Pelaku perjuangan yang tidak melakukan pengembalian duit atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau sumbangan derma yang cocok dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Pelaku perjuangan yang tidak melaksanakan perlindungan ganti rugi dalam batas waktu tenggang 7 (tujuh) hari sesudah tanggal transaksi.
c. Pelaku usaha periklanan yang tidak bertanggung jawab atas iklan yang dibuat dan segala akhir yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
d. Pelaku perjuangan yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam tenggat waktu sekurangkurangnya 1 (satu) tahun yang tidak menawarkan suku cadang dan/atau kemudahan purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
e. Pelaku perjuangan yang tidak bertanggung jawab atas permintaan ganti rugi dan/atau gugatan pelanggan jika pelaku usaha tersebut :
(a). tidak menawarkan atau ceroboh menyediakan sparepart dan/atau fasilitas perbaikan;
(b). tidak menyanggupi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
f. Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa tidak menyanggupi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Sanksi Pidana berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) terhadap Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, abjad b, huruf c, karakter e, ayat (2), dan Pasal 18 yakni :
1. Pelaku perjuangan yang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa dimana :
(a). tidak menyanggupi atau tidak cocok dengan persyaratan yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan;
(b).tidak sesuai dengan berat bersih, isi higienis atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
(c).tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang bahwasanya;
(d). tidak sesuai dengan keadaan, jaminan, keutamaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
( e). tidak cocok dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
(f). tidak cocok dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, informasi, iklan atau penawaran spesial penjualan barang dan/atau jasa tersebut; g.tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
(h). tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
(i). tidak memasang label atau menciptakan penjelasan barang yang menampung nama barang, ukuran, berat/isi higienis atau netto, komposisi, hukum pakai, tanggal pembuatan, balasan sampingan, nama dan alamat pelaku perjuangan serta keterangan lain untuk penggunaan yang berdasarkan ketentuan harus di pasang/dibentuk;
(j). tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-ajakan yang berlaku.
2. Pelaku perjuangan yang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan terkontaminasi tanpa memperlihatkan isu secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
3. Pelaku perjuangan yang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan terkotori, dengan atau tanpa memberikan berita secara lengkap dan benar.
4. Pelaku perjuangan yang melaksanakan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) yang tetap memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta tidak menariknya dari peredaran.
5. Pelaku usaha yang menunjukkan, mengiklankan, mengiklan-kan sebuah barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah :
(a). barang tersebut telah menyanggupi dan/atau memiliki penggalan harga, harga khusus, persyaratan mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
( b). barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
(c). barang dan/atau jasa tersebut telah menerima dan/atau mempunyai sponsor, kesepakatan, peralatan tertentu, laba tertentu, ciri-ciri kerja atau pelengkap tertentu;
(d). barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang memiliki sponsor, persetujuan atau afiliasi;
(e). barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
(f). barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
(g). barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu; h. barang tersebut berasal dari kawasan tertentu;
(i). secara langsung atau tidak eksklusif merendahkan barang dan/atau jasa lain;
(j). menggunakan kata-kata yang berlebihan, mirip kondusif, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
(k). menawarkan sesuatu yang mengandung akad yang belum pasti.
6. Barang dan/atau jasa di atas tetap diperdagangkan oleh pelaku usaha.
7. Pelaku perjuangan yang tetap melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
Sumber :
Materi Kuliah Oleh Dosen : DR. HJ. SRI LESTARI POERNOMO , SH,MH
Buku Bacaan :
” Hukum Perlindungan Konsumen” Oleh Ahmad Miru dan Sutarman Yodo.ha l1, 25,dan 33.
Buku Referensi lainnya :
PERLINDUNGAN KONSUMEN, INSTRUMEN2 HUKUMNYA , YUSUF SHOFIE
KAPITA HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA , YUSUF SHOFIE
HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN, AHMADI MIRU &SUTARMAN YODO
PERLINDNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN, DEDI HARIANTO
TANGGUNG JAWAB PRODUK, DALAM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN, ADRIAN SUTEDI
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN, DIJTINJAU DARI HUKUM ACARA SERTA KENDALA IMPLEMENTASINYA