AKU bertemu dgn Angku Mudin pada siang hari. Angku tampaksudah sungguh bau tanah kini. Seluruh rambutnya sudah memutih. Kulit tubuhnya mengkerut. Tulang pipinya menonjol. Punggungnya sedikit membungkuk. Tak ada lagi yg tersisa dr tubuh kukuhnya yg dahulu. Yang baka mungkin kesetiaannya saja. Kesetiaan pada pekerjaannya selaku pembersih rumput sekaligus penjaga makam jagoan itu.
“Sudah pulang dr rantau kamu Buyung,” kata Angku Mudin dgn suara bergetar dikala melihatku muncul di depannya. Angku Mudin kemudian menatapku tajam. Dan gue merasa, sangat merasa, bahwa tatapan mata itu masih ada rupanya. Tatapan yg menyimbolkan bahwa Angku yaitu salah seorang pasukan harimau itu. Mata itu, kuning muda. Tajam sorotnya. Mata yg sangat gue takutkan dulu.
“Ya Angku. Aku baru pulang dr rantau orang. Bagaimana keadaan Angku. Apakah Angku sehat-sehat saja.”
“Aku sudah tua,” katanya tersenyum. “Sering sakit-sakitan,” tambahnya sambil memasukkan selembar daun kamboja tua ke tong sampah yg gres jatuh ke tanah.
Aku ingat tatkala masih anak-anak usia belasan tahun sering kemari bersama beberapa orang mitra lama. Tapi mereka kini sudah pergi jauh pastinya. Ada yg merantau mirip saya, sebagian lagi mati lantaran aneka macam karena. Hanya gue yg kini tersisa di antara mereka. Dan, tatkala gue berada di kampung ini tanpa mereka, perasaanku kian asing saja. Untuk menghilangkan kesuntukan gue kunjungi saja Angku Mudin ke tempatnya.
“Kelihatannya wajahmu cepat sekali tuanya kini,” kata Angku seperti menyindirku.
“Ya Angku. Rantau telah menguras asumsi & tenagaku. Susah hidupku di rantau Angku. Kurus badanku ini dibuatnya.”
“Semoga kamu tak seperti orang rantau lain, pulang kampung karena tak sanggup hidup sulit. Tapi gue tahu kamu orang tegar & besar lengan berkuasa.”
“Di antara kawan-kawan kamu dulu, hanya kau yg keras kepala,” kata Angku sedikit tersenyum. “Kau pemimpinnya. Aku tak lupa, dulu kepala belakangmu berdarah lantaran gue lempar dgn batu,” kata Angku.
“Ah, Angku. Aku jadi malu.”
“Tapi kini gue yg malu & merasa berdosa. Bila kuingat, Abakmu tak berani mendatangiku,” kata Angku lagi sambil menunduk. “Tapi Abakmu sudah tak ada kini. Belum sempat gue minta maaf padanya.”
“Sudah dimaafkan Angku,” kataku.
“Ah, Kau.”
Lalu tiba-tiba gue ingat Abak. Kata-kata Abak.
“Jangan lagi kamu buat ia memarahimu. Apa kalian tak ada kerja. Orang tua jangan dipermainkan. Awas kamu. Kulecut dgn ikat pinggang kamu nanti,” kata Abak dahulu, tatkala tahu kami mengganggu Angku.
Tapi kami, anak-anak usia belasan tahun lebih sering menciptakan kebisingan. Kegaduhan yg paling sering kami buat yaitu melempar-lempar pohon kamboja yg berkembang di area permakaman itu. Jika pohon itu kami lempar dgn batu, akan banyaklah daun-daunnya berserakan ke tanah. Dan lebih mengasyikkan lagi tatkala badai. Daun-daun itu serupa layang-layang yg berterbangan. Lalu kami melonjak-lonjak kegirangan. Bersorak-sorak.
“Itu layang-layangku.”
“Itu punyaku.”
“Terbangnya jauh.”
“Hus, hus, hus.”
Ketika Angku menyaksikan kami. Ia akan berteriak keras sekali. Suaranya seperti rauangan harimau.
“Hoiiiiiii. Huoiiiii. Hoiiiiiiiiiii….” begitu suaranya.
Lalu, kampung mirip gaduh. Ayam di kandang laksana kehadiran musang hitam. Kami lari tunggang langgang. Tapi esok hari, bila Angku tak ada, kami akan mengulanginya lagi. Perbuatan itu kami lakukan berulang-ulang. Sampai suatu hari gue ketiban sial. Kali ini kami tak melempar daun-daun kamboja itu dgn kerikil. Tapi kami colok-colok dgn galah di tangan. Saat itu angin ribut sekali. Entah angin apa namanya. Rasanya seperti berada di tepi pantai. Daun yg kami colok terbangnya sangat jauh. Kami girang sekali. Kami lupa diri, & tak menyadari Angku sudah berada di belakang kami. Kami lemparkan galah di tangan. Kami lari. Namun, batu sebesar kelereng mengenai belahan belakang kepalaku. Sampai akibatnya gue tahu darah mengalir ke baju. Aku larikan tubuhku pulang ke rumah. Mande yg menerima gue terluka di kepala pucat & gemetar. Ia memang sangat takut jika melihat darah. Sedangkan Abak mengeluarkan sumpah serapah.
“Mati kau. Kena kau. Tak mendengar kata orang renta,” kata Abak dgn tampang memerah.
Abak menawan tanganku dgn sungguh tergesa. Ditekannya luka di kepalaku dgn baju usangnya. Kulihat Abak meraih sarang laba-keuntungan yg tergantung di sudut dinding rumah.
“Sini,” kata Abak sambil menempelkan bekas sarang laba-keuntungan itu di kepalaku.
“Untung kamu tak dilemparnya dgn kerikil besar. Bisa-bisa mati kau. Hanya kulitnya sedikit tergores. Tak apa. Kau jangan menangis,” kata Abak lagi tatkala gue meringis menahan pedih. “Kau tak tahu siapa ia ya,” kata Abak dgn bunyi agak pelan.
Malam harinya Abak memanggilku. Aku disuruh duduk di hadapannya.
“Abak tidak mau lagi kamu membuat Angku marah. Ini terakhir kalinya. Untuk itu kamu dengarlah cerita Abakmu ini. Semoga kau tak lagi keras kepala,” kata Abak.
“Kampung kita ini ditakuti oleh kampung lain. Tak ada orang kampung luar yg berani macam-macam pada orang kampung kita. Kau tahu kenapa? Karena kita orang Kuranji. Orang Kuranji sungguh ditakuti. Itu ada muasalnya. Dan muasalnya itu ada pada Angku Mudin.”
Aku cuma bengong memperhatikan Abak bertutur. Tapi gue menyimak dgn terang.
“Angku Mudin itu yakni seorang jagoan, Nak. Beliau seorang pejuang. Dulu, pada zaman penjajahan ia tergabung dlm Kompi Harimau Kuranji. Banyak kisah wacana kegigihan pasukan Harimau Kuranji berperang. Mereka tak pernah takut. Pasukan pemberani. Mendengar namanya saja pasukan sekutu sudah bergetar. Mereka tahu kegigihan pasukan Harimau Kuranji.”
“Dan, kejadian yg sangat diingat itu adalah tatkala pasukan itu menyerang tentara sekutu di Rimbo Kaluang. Menurut kisah yg sangat patut diandalkan, saat itu jumlah mereka cuma sekitar lima puluh orang, termasuk Angku Mudin. Kau bayangkan betapa pemberaninya mereka, dr lima puluh orang itu cuma lima belas orang yg menenteng senjata. Pelontar roket mereka bawa, granat tangan, sten mereka bawa. Kau tahu apa itu sten? Senjata jenis pistol. Itu semua hasil rampasan dr prajurit sekutu,” kata Abak bergairah. Aku cuma mengangguk pelan.
“Itu tahun 45. Banyak yg mengatakan itu perang yg sengit. Langit merah api lantaran ledakan di sana sini. Peluru berdesing-desing. Entah berapa banyak tentara sekutu yg tewas. Tapi satu orang pasukan Harimau Kuranji tewas terkena mortir. Mereka kalah jumlah. Lalu mundur. Tapi kegigihan pada perang itu sangat dikenang orang.”
“Kau perhatikan Angku itu. ia bukan cuma satria, namun pula orang yg setia mitra. Tidak cuma pada kawan tatkala masih hidup, yg sudah meninggal pun masih diperhatikannya. ia rawat makam kawan-kawannya yg sudah tiada. Abak bukan cuma segan padanya, tapi pula takut. Matanya itu. Kuning muda. Mata macan. Katanya semua anggota Harimau Kuranji bermata kuning muda. Entah iya entah tidak. Sampai kini pun, tak ada yg tahu kenapa mereka menamai pasukan mereka dgn nama macan. Apa dahulu di sini banyak macan? Entahlah,” kata Abak.
“Hoi Buyung, berapa lama kau di kampung?” tanya Angku Mudin yg membuyarkan lamunanku.
“Belum tahu Angku.”
“Cari uang zaman sekarang sukar. Untung pemerintah memberikan upah karena merawat makam ini. Kalau tak, makan apa saya?” kata Angku, sendu.
Angku Mudin lalu mengajakku duduk di bawah pohon kamboja. Batang pohon itu cukup besar. Daunnya rindang. Dua mata angku menatapku dgn teduh. Aku mirip berada di masa kanak-kanak yg rapuh. Butuh santunan.
“Mata ini sudah tua. Sudah kabur. Mungkin harimau yg kami bunuh dulu itu sudah memintanya,” kata Angku datar. “Harimau yg aneh. Setelah kami bunuh tiba-tiba semua mata kami menjadi kuning muda. Mata harimau,” tambah Angku lagi.
Aku tak menyahut. Tapi mulai berpikir kenapa Angku Mudin & kawan-kawannya dulu memberi nama pasukannya dgn Harimau Kuranji.
Aku lalu menyandarkan tubuh pada pohon kamboja yg tumbuh di pemakaman itu. Kantuk tiba-tiba menyerangku. Aku tahu kantuk ini bantu-membantu disebabkan oleh efek obat penenang yg telah kuminum di rumah beberapa menit yg lalu. Memang sudah satu ahad ini gue mengonsumsi obat itu. Ini kulakukan karena sesudah menyantap obat itu, pikiranku lebih hening sehingga gue bisa melupakan istriku, yg kini pergi bersama laki-laki lain. Aku mengutuk perempuan celaka itu lantaran ia menciptakan pikiranku sungguh kacau. Aku bisa gila bila terus memikirkannya.
Kini, kantuk itu cepat sekali menyerangku. Sebegitu cepatnya, tiba-tiba saja di sekitar makam terasa gelap. Dua mata Angku, mata lingkaran berwarna kuning muda terang itu menatapku. Seperti mata seekor harimau yg hendak mengoyak tubuhku. (*)