close

Mata di Bibir Subuh | Cerpen Artie Ahmad

Suara azan Subuh terdengar, merambat dr corong pelantang bunyi di masjid. Bergetar masuk ke dlm gendang pendengaran orang-orang yg masih terlelap. Suara Pak Modin yg terdengar lantang itu pula ditangkap indera pendengaran Muzaini. Azan masih terdengar, menggelitik pendengaran Muzaini. Tapi, meski azan itu masuk ke pendengaran & mengetuk-ketuk gendang telinganya, Muzaini seakan tak berdaya. Matanya seolah terkena getah nangka. Lengket, sulit untuk dibuka. Muzaini berupaya membuka mata, namun rasa kantuk yg dirasakannya sungguh keterlaluan. Muzaini tak kuasa melawan, ia kembali bergelung di tilam.

Suara azan Pak Modin telah lesap, Subuh telah usang lewat. Dalam mimpi di kepalanya, Muzaini menangkap bayang Wak Rohim. Dulu ketika ia masih bawah umur, Wak Rohim gurunya mengaji di surau desa. Dalam gambar di mimpinya itu, Wak Rohim berdiri menenteng rotan yg dipergunakan untuk menghantam pantat para muridnya yg hanya mainmain saat mengaji. Muzaini tergagap, tatkala melihat Wak Rohim berjalan ke arahnya. Rotan di tangannya diayunayunkan. Bibirnya tersenyum simpul. Tapi begitulah wajah Wak Rohim tatkala hendak menghukum muridnya.

“Muz! Kau tak menjalankan perintah Allah dgn baik ya? Kau meleng ya?” Suara Wak Rohim terdengar lantang.

Muzaini tak kuasa menjawab. ia cuma menggeleng-geleng. Wajahnya pucat pasi, keringat dinginnya mengalir.

“Kau, Muzaini Samsyudin! Berani tak menjalankan perintah Gusti Allah? Muridku yg dahulu berjanji akan menjadi manusia baik. Kau bohong denganku?” Wak Rohim makin erat. Kumisnya yg melintang dgn jambang lebat itu semakin menambah kesan angker di wajahnya.

“Bukan begitu, Wak Guru. Saya sudah berusaha berdiri. Tapi tak kuasa. Mata saya lengket seperti kena getah nangka,” Muzaini menggigil.

“Alasan saja kau, Muz. Menyesal gue dahulu tak memukulmu lebih keras dgn rotan ini. Kini kau jadi seorang nakal.” Wak Rohim mengangkat rotannya tinggi-tinggi.

Muzaini ingin berlari mengelak , namun tak bisa. Tangan kiri Wak Rohim menggamit lengannya. Tangan itu mencengkeram Muzaini erat-erat. Napas Muzaini tersengal, tapi ia seolah tak memiliki tenaga untuk lari dr Wak Rohim. Muzaini tak mengetahui, kenapa Wak Rohim tiba di mimpinya hari ini, dgn kondisi yg menjadikannya bergidik pula. Sudah lama semenjak ia melakukan pekerjaan di luar kota, orang-orang di desanya teramat jarang berkunjung ke mimpinya. Muzaini saban malam memang berimajinasi di dikala tidur, tapi itu bukan memimpikan orangorang di desanya yg telah usang ia kenal. Di mimpi Muzaini selepas kerja di kota besar ini, yg sering bertandang adalah mitra-kawan kenalannya, bos di kantor yg sering mengejar-ejar tenggat waktu pekerjaan, pemilik kamar sewa yg suka menagih padahal belum waktunya, atau yg kerap tiba di mimpinya seorang Manisa. Manisa, kawan sekantornya yg bermuka manis dgn perangai lembut itu. Wajah yg menjadi kembang tidur Muzaini bahkan selepas pertama kali mereka berjumpa.

  Rumah Pemusnah Kenangan | Cerpen Fitri Manalu

“Oh, Muz. Betapa berubahnya kamu-sekalian sekarang ini? Aku tak menerka kau akan berganti seperti sekarang,” Wak Rohim menurunkan tangannya yg memegang rotan, cengkeraman di lengan Muzaini mengendur, kemudian dihempaskan begitu saja.

“Tak ada yg berubah di diri saya, Wak Guru. Tak ada yg lain saya rasa. Saya hanya sering kelelahan sesudah melakukan pekerjaan di kota,” Muzaini memandang Wak Rohim dgn getar bunyi yg tak mampu ditahan.

Wak Rohim mengangkat parasnya, ditatapnya Muzaini lekat-lekat. Seringai di bibirnya terlihat.

“Tak ada yg berganti dgn dirimu? Kau bercanda! Kini kau ceroboh akan seluruhnya. Sembahyangmu tak lagi sebaik dulu. Dan, kau lupa akan janjimu,” Wak Rohim berdiri di depan Muzaini dgn gagah. Sarungnya yg putih higienis dgn corak bunga-bunga kecil berwarna hitam berkibar-kibar ditiup angin. “Dulu, kau bilang jikalau sudah banyak uang & mampu pekerjaan bagus, kau akan menolong merawat gubuk kecil kawasan belum dewasa desa mengaji. Tapi seolah kau lupa dgn janjimu itu. Jangankan membantu merawatnya, bahkan kau pun tak lagi mau menengoknya.”

Tertegun Muzaini mendengar ucapan Wak Rohim. ia tepekur beberapa ketika. Matanya nyalang menatap lantai. Bibirnya bergetar. Ia ingat sekarang, memanglah dulu Muzaini sempat bernazar apabila sudah mendapat pekerjaan dgn honor yg baik, ia akan menolong merawat surau kecil untuk mengaji yg sering disebut gubuk oleh Wak Rohim. Tapi, sudah lebih lima tahun melakukan pekerjaan dgn honor yg baik, belum pernah ia membagi rezekinya untuk surau kecil renta tempatnya mengaji dahulu. Entah hari baik apa yg didapatkannya, hari ini Wak Rohim tiba ke mimpinya, & seolah menagih komitmen yg telah sekian usang tak pula ia tepati.

Muzaini terbangun dr tidurnya. Matanya sudah leluasa dibuka meski agak berat. Sepanjang hari, mimpi itu lekat di ingatannya. Di kantor, di warteg kawasan ia makan siang, ingatan tentang mimpi berjumpa Wak Rohim selalu bertandang. Bahkan tatkala ia bertemu dgn Manisa pun, untuk kali pertama Muzaini tak terpesona untuk menanggapi perempuan muda itu. Muzaini merasa lesu. Bahkan tatkala pulang melakukan pekerjaan , ia eksklusif mengurung diri di kamar sewa. Muzaini berdiam diri di tilam kamarnya. Sampai jadinya ia lelap. Tertidur hingga azan Subuh berkumandang.

  Anak Panah | Cerpen Harris Effendi Thahar

Kali ini Muzaini begitu leluasa membuka mata. Tak usang sehabis terjaga ia menyeret kakinya masuk ke dlm kamar mandi, ia menunaikan wudu kemudian bersembahyang Subuh. Selepas sembahyang itulah, fikiran jernih itu timbul. Tiga pekan lagi ia akan libur panjang selama satu pekan, saat itu kesempatan baik untuknya pulang guna menemui Wak Rohim untuk mengeluarkan uang tunai janjinya dahulu.

Mata Muzaini terbuka. Subuh menjalar masuk ke bus yg ia tumpangi. Suara azan dr masjid-masjid di pinggir jalan terdengar. Muzaini mengejap-ejapkan kedua matanya. Sebentar lagi bus antar kota yg ia naiki akan sampai ke pemberhentian terakhir, terminal yg paling dekat dgn desanya. Dengan semangat Muzaini memanggil ojek yg mangkal di sekitar terminal. Meski masih sedikit merasa kantuk lantaran kecapekan sesudah menempuh perjalanan selama 12 jam perjalanan, Muzaini sangat bergairahuntuk pulang ke desanya kali ini.

Di dlm ranselnya, Muzaini sudah mempersiapkan suatu amplop berisi uang yg akan disampaikannya untuk Wak Rohim guna memperbaiki suraunya. Surau yg mungkin kini sudah bertambah reyot lantaran aus dimakan usia. Muzaini pun tahu, bagaimana keuangan guru mengajinya itu. Anak-anak yg diajar mengaji tak ditarik bayaran, apabila ada yg menunjukkan duit, banyak potensi Wak Rohim menolaknya. Baginya, mendapatkan duit dr orang bau tanah muridnya yg mempunyai nasib keuangan seperti dirinya hanya akan memperbesar sengsara kedua belah pihak. Orang renta murid akan sengsara karena anggaran untuk hidup berkurang, & Wak Rohim akan sengsara lantaran batinnya tak hening menerima uang dr orang tua muridnya yg pula kesulitan.


*****


Muzaini berlangsung ke rumahnya. ia mengurungkan diri untuk terus ke rumah Wak Rohim yg rumahnya di batas desa tetangga. Turun dr ojek, ia mencicipi sangat letih meski semangatnya untuk bersua dgn Wak Rohim masih berkobarkobar. Pintu belakang tak terkunci. Muzaini mencari-cari ibunya, namun yg dicari tak ada. Mungkin ibunya sedang ke pasar. Pesan kepulangannya telah disampaikan ke ibunya sejak beberapa hari yg kemudian, namun Muzaini tak menyampaikan bahwa ia perlu pula bertemu Wak Rohim.

  Tragedi Asap | Cerpen Gigih Suroso

Lepas siang Muzaini gres berkesempatan untuk pergi keluar rumah. Ibu sedang ada tamu untuk membahas pekerjaan. Mungkin itu pembeli yg akan membeli beras hasil panen milik ibu. Diam-diam Muzaini pergi ke rumah Wak Rohim. Tapi di tengah jalan ia bertemu beberapa orang. Mereka berduyun-duyun berlangsung ke arah rumah Wak Rohim. Muzaini melihat mereka dgn tatapan resah. Seorang anak muda berusia belasan tahun pula turut berjalan ke arah rumah Wak Rohim, dgn cepat Muzaini mengajukan pertanyaan.

“Adik, mau ke mana kalian ini? Kenapa beramai-ramai?” Muzaini mengajukan pertanyaan sembari tersenyum ramah.

“Oh, Bang Muz. Iya, kami akan melaksanakan kenduri,” sahut perjaka itu sembari menyalami Muzaini.

“Kenduri? Kenduri di mana?” Muzaini bertanya lagi.

“Kenduri ke tempat tinggal Wak Guru Rohim.”

“Kenduri untuk apa?” Muzaini semakin kebingungan. Ada program apakah hingga dilaksanakan kenduri di rumah Wak Rohim.

“Kenduri untuk memeringati empat puluh hari kepergian Wak Guru Rohim menghadap Gusti Allah.” Sahut pemuda itu sembari memandang Muzaini dgn tatapan terheran-heran. Ia tak menyangka, kalau Muzaini belum tahu bahwa Wak Guru Rohim sudah meninggal.

Muzaini tak mampu berbicara. Kepalanya mendadak terasa pening. Kabar yg ia terima seolah menggetarkan hatinya. Dengan langkah yg seakan limbung, Muzaini berjalan ke arah rumah Wak Rohim. Di sana orang-orang sudah banyak yg datang. Doa dihantarkan untuk Wak Rohim. Tangis Muzaini tak mampu ditahan. Penyesalannya semakin menjadi, tatkala menyaksikan surau kecil tempat Wak Rohim mengajar mengaji telah rubuh.

“Muzaini, kau pula ke sini ternyata?”

Muzaini menoleh, ibunya sudah berdiri di belakang tubuhnya.

“Ibu kenapa tak berbagi kabar kalau Wak Rohim meninggal?” tanya Muzaini masih terisak.

“Ibu lupa mau berkabar denganmu. Tiap kali ibu telepon, kau senantiasa cepatcepat menutup karena sibuk. Setelahnya ibu senantiasa lupa mengabarimu.” Ibunya memperhatikan Muzaini dgn iba.

Mata Muzaini menyapu rumah Wak Rohim & surau tempatnya mengaji dulu. Surau itu kini cuma tinggal puing-puing yg menyisihkan kayu-kayu bau tanah yg sudah lapuk. Tangis Muzaini tak bisa berhenti, dgn erat tangan kanannya mencengkeram amplop berisi uang untuk menolong mengorganisir surau kecil daerah Wak Rohim mengajar.

“Maafkan saya, Wak Guru. Maafkan saya alasannya adalah sangat terlambat menemuimu.” Isak Muzaini sembari memandang surau kecil tempatnya belajar mengaji dulu yg kini hanya menyisakan puing-puing. (*)