close

Masjid Wapauwe

Masjid Wapauwe berada di daerah yg mengandung banyak peninggalan purbakala. Sekitar 150 meter dr masjid ke arah utara, di tepi jalan raya terdapat suatu gereja renta peninggalan Portugis & Belanda yg telah hancur akibat pertentangan agama yg meletus di Ambon pada tahun 1999 kemudian. Selain itu, 50 meter dr gereja ke utara, berdiri dgn kokoh sebuah benteng tua “New Amsterdam”. Benteng peninggalan Belanda yg mulanya yaitu loji Portugis ini, terletak di bibir pantai ini & menjadi saksi sejarah perlawanan para pejuang Tanah Hitu lewat Perang Wawane (1634-1643) serta Perang Kapahaha (1643-1646).

Mulanya Masjid ini berjulukan Masjid Wawane karena dibangun di Lereng Gunung Wawane oleh Pernada Jamilu, keturunan Kesultanan Islam Jailolo dr Moloku Kie Raha (Maluku Utara). Kedatangan Perdana Jamilu ke tanah Hitu sekitar tahun 1400 M, yakni untuk menyebarkan aliran Islam pada lima negeri di sekitar pegunungan Wawane yakni Assen, Wawane, Atetu, Tehala & Nukuhaly, yg sebelumnya sudah dibawa oleh mubaligh dr negeri Arab.

Masjid ini mengalami perpindahan tempat akhir gangguan dr Belanda yg menginjakkan kakinya di Tanah Hitu pada tahun 1580 setelah Portugis di tahun 1512. Sebelum pecahnya Perang Wawane tahun 1634, Belanda sudah mengusik kedamaian penduduk lima kampung yg telah menganut pemikiran Islam dlm kehidupan mereka sehari-hari. Merasa tak aman dgn ulah Belanda, Masjid Wawane dipindahkan pada tahun 1614 ke Kampung Tehala yg berjarak 6 km sebelah timur Wawane.

Dan kalau ada daun dr pepohonan di sekitar tempat itu gugur, dengan-cara asing tak satupun daun yg jatuh diatasnya. Tempat kedua masjid ini berada di suatu daratan dimana banyak tumbuh pepohonan mangga hutan atau mangga berabu yg dlm bahasa Kaitetu disebut Wapa. Itulah sebabnya masjid ini diganti namanya dgn istilah Masjid Wapauwe, artinya masjid yg didirikan di bawah pohon mangga berabu.

Pada tahun 1646 Belanda kesannya mampu menguasai seluruh Tanah Hitu. Dalam rangka kebijakan politik ekonominya, Belanda kemudian melakukan proses penurunan penduduk dr kawasan pegunungan tak terkecuali penduduk kelima negeri tadi. Proses pemindahan lima negeri ini terjadi pada tahun 1664, & tahun itulah ditetapkan kemudian sebagai tahun berdirinya Negeri Kaitetu.

  Masjid Agung Banten

Peninggalan

Hal lainnya yg bernilai sejarah dr masjid tersebut yakni tersimpan dgn baiknya Mushaf Alquran yg konon tergolong tertua di Indonesia. Yang tertua yaitu Mushaf Imam Muhammad Arikulapessy yg selesai ditulis (tangan) pada tahun 1550 & tanpa iluminasi (hiasan pinggir). Sedangkan Mushaf lainnya adalah Mushaf Nur Cahya yg selesai ditulis pada tahun 1590, & pula tanpa iluminasi serta ditulis tangan pada kertas produk Eropa.

Imam Muhammad Arikulapessy adalah imam pertama Masjid Wapauwe. Sedangkan Nur Cahya yakni cucu Imam Muhammad Arikulapessy. Mushaf hasil kedua orang ini pernah dipamerkan di Festival Istiqlal di Jakarta, tahun 1991 & 1995.

Selain Quran, karya Nur Cahya yang lain yaitu: Kitab Barzanzi atau syair puji-kebanggaan pada Nabi Muhammad SAW, sekumpulan naskah khotbah mirip Naskah Khutbah Jumat Pertama Ramadhan 1661 M, Kalender Islam tahun 1407 M, sebuah falaqiah (peninggalan) serta manuskrip Islam lain yg sudah berumur ratusan tahun.

Kesemuanya peninggalan sejarah tadi, ketika ini merupakan pusaka Marga Hatuwe yg masih tersimpan dgn baik di rumah pusaka Hatuwe yg dirawat oleh Abdul Rachim Hatuwe, Keturunan XII Imam Muhammad Arikulapessy. Jarak antara rumah pusaka Hatuwe dgn Masjid Wapauwe hanya 50 meter.

Berpindah dengan-cara mistik

Menurut dongeng rakyat lokal, dikisahkan tatkala masyarakat Tehala, Atetu & Nukuhaly turun ke pesisir pantai & bergabung menjadi negeri Kaitetu, Masjid Wapauwe masih berada di dataran Tehala. Namun pada suatu pagi, tatkala penduduk bangkit dr tidurnya masjid dengan-cara gaib telah berada di tengah-tengah pemukiman penduduk di tanah Teon Samaiha, lengkap dgn segala kelengkapannya. “Menurut kepercayaan kami (penduduk Kaitetu) masjid ini berpindah dengan-cara gaib. Karena menurut kisah orang bau tanah-tua kami, dikala masyarakat berdiri pagi ternyata masjid sudah ada,” kata Ain Nukuhaly, warga Kaitetu. Sementara itu, kondisi Mushaf Nur Cahya beserta manuskrip tua lainnya terlihat terawat meskipun sudah mengalami sedikit kerusakan mirip berlobang kecil, sebagian seratnya terbuka & tinta yg pecah akibat udara basah.

  Masjid Raya Makassar

Menurut Rahman Hatuwe, mahir waris Mushaf Nur Cahya, kerusakan tersebut balasan faktor kertasnya yg sudah renta, debu, kelembapan udara serta insek (hewan) kertas. ia menyertakan, pihaknya pernah mendapat obat serbuk (tidak disebutkan namanya) untuk menjaga keawetan manuskrip-manuskrip tua ini, cuma saja obat tersebut sudah habis.

“Alquran Nur Cahya ini masih jelas, & waktu-waktu tertentu saya masih sering membaca (ayat-ayat suci Quran dr Mushaf ini) mirip pada waktu Ramadhan,” kata Rahman yg yakni keturunan VIII Imam Muhammad Arikulapessy.

Konstruksi & arsitektur

Masjid yg masih dipertahankan dlm arsitektur aslinya ini, berdiri di atas sebidang tanah yg oleh warga lokal diberi nama Teon Samaiha. Letaknya di antara pemukiman penduduk Kaitetu dlm bentuk yg sangat sederhana. Konstruksinya berdinding gaba-gaba (pelepah sagu yg kering) & beratapkan daun rumbia tersebut, masih berfungsi dgn baik sebagai tempat ber-salat Jumat maupun salat lima waktu, kendati sudah ada masjid baru di desa itu.

Bangunan induk Masjid Wapauwe hanya berskala 10 x 10 meter, sedangkan bangunan tambahan yg merupakan serambi berskala 6,35 x 4,75 meter. Tipologi bangunannya berupa empat bujur sangkar. Bangunan orisinil pada dikala pendiriannya tak mempunyai serambi. Meskipun kecil & sederhana, masjid ini mempunyai beberapa keunikan yg jarang dimiliki masjid lainnya, yaitu konstruksi bangunan induk dirancang tanpa menggunakan paku atau pasak kayu pada setiap sambungan kayu.

Renovasi

Masjid ini direnovasi pertama kali oleh pendirinya, Jamilu pada tahun 1464, tanpa mengubah bentuk aslinya. Meski pernah mengalami dua kali pemindahan, bangunan inti masjid ini tetap asli. Bangunan ini mengalami renovasi kedua kali pada tahun 1895 dgn penambahan serambi di depan atau belahan timur masjid.

Masjid berkali-kali mengalami renovasi sekunder sehabis masa kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1959, atap masjid mulai memakai semen PC yg sebelumnya masih berkerikil. Setelah itu terjadi dua kali renovasi besar-besaran, yakni pada Desember 1990-Januari 1991 dgn perubahan 12 buah tiang selaku kolom penunjang & balok penopang atap. Pada tahun 1993 dikerjakan pergantian balok penadah kasau & bumbungan, dgn tak merubah empat buah tiang sebagai kolom utama.

  Masjid Rahmatan Lil-Alamin

Pada tahun 1997, atap masjid yg semula menggunakan seng diganti dgn bahan (semula) dr nipah. Atap nipah diganti setiap lima tahun sekali. Meski pernah direnovasi berkali-kali, masjid ini tetap asli karena tak mengganti bentuk inti masjid sama sekali. Sehingga, mampu dikatakan bahwa masjid ini sebagai masjid tertua di tanah air yg masih terpelihara keasliannya sampai sekarang. Maret 2008 kemudian, Masjid ini direnovasi kembali. Struktur atap yg yang dibuat dr pelepah sagu diganti yg gres.

Aksesibilitas

Untuk mencapai Negeri Kaitetu dimana Masjid Tua Wapauwe berada, dr sentra Kota Ambon mampu memakai angkutandarat dgn menempuh waktu satu jam perjalanan. Bertolak dr Kota Ambon ke arah timur menuju Negeri Passo. Di simpang tiga Passo membelok ke arah kiri melintasi jembatan, menuju arah utara & melewati pegunungan hijau dgn jalan berbelok serta menanjak. Sepanjang perjalanan, orang yg hendak menuju Masjid Wapauwe mampu menikmati pemandangan alam pegunungan, dgn segi jalan yg kadang-kadang menunjukkan jurang, tebing, atau hamparan tanaman cengkeh & pala hijau menyejukkan mata.

Sebelum meraih Kaitetu, apalagi dahulu berjumpa Negeri Hitu, yg terletak sekitar 22 kilometer dr Ambon. Sebuah ruas jalan yg menurun, mengantarkan kita memasuki Hitu. Pada ruas jalan tersebut kita disuguhi panorama pesisir pantai Utara Pulau Ambon yg indah dgn hamparan pohon kelapa & bakau. Dari situ pula mampu melihat dgn terperinci Selat Seram dgn lautnya yg tenang.

Tiba di simpang empat Hitu, bagi yg menenteng kendaraan mesti membelokkan kendaraan ke arah kiri, atau menuju arah barat menyusuri pesisir Utara Jazirah Hitu. Baru setelah menempuh 12 kilometer perjalanan dr situ, maka akan memperoleh Negeri Kaitetu, lokasi Masjid Wapauwe.