Masjid Jami Al Makmur Cikini

Wakaf Raden Saleh, Nyaris Terancam Penggusuran

masjid jami al makmur cikini

Konon, lokasi daerah berdirinya Masjid al-Makmur, Cikini yg terletak di Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat ini, dulunya merupakan sebidang tanah kosong yg luas milik Raden Saleh Syarif Bustaman atau yg diketahui dgn nama Raden Saleh. Ia seorang pribumi keturunan Jawa yg terkenal tak hanya di Tanah Air, tetapi pula ke seluruh belahan Eropa.

Setelah usang berguru di Negeri Belanda, ia memutuskan untuk kembali ke Tanah Air tercinta. Dan, di sinilah Raden Saleh menemukan jodoh sejatinya, dgn mempersunting gadis asal Bogor. Bersamaan dgn itu pula Raden Saleh hijrah ke Bogor.

Namun, sebelum hijrah, Raden Saleh telah mewakafkan sebagian tanahnya dgn mendirikan sebuah masjid yg waktu itu masih sungguh sederhana. Dindingnya dr gedek (bilik bambu), berukuran kecil seperti rumah panggung, & letaknya bukan di lokasi sekarang, namun dibelakang rumah kediamannya, yg kini menjadi Rumah Sakit Cikini, Jalan Raden Saleh.

Perkembangan selanjutnya, Raden Saleh memasarkan seluruh tanah miliknya (tidak tergolong masjid) pada keluarga Alatas, seorang tuan tanah kaya keturunan Arab, yg kemudian diwariskan pada anak- nya yg bemama Ismail Alatas.

Dulu, Jalan Raden Saleh diketahui dgn nama Alatas Land. Kemudian, oleh lantaran anaknya tak mengenali tentang sejarah keberadaan tanah masjid sebagai tanah wakaf, maka tanah Masjid al- Makmur tersebut dijual pada Koningin Emma Stichting (Yayasan Ratu Emma), suatu yayasan misionaris kristen milik orang Belanda, bergerak di bidang pelayanan sosial, seperti mendirikan rumah sakit, selain berbagi agama kristen.

  Masjid Jami Al Muttaqin

Setelah tanah tersebut resrrti milik Koningin Emma Stichting, meski sebenarnya tanah masjid tersebut bukan tergolong kepingan miliknya, mereka menuntut supaya masjid tak berada di lokasi yg dikuasainya itu. Karena desakan pihak yayasan, akhimya Masjid Cikini dipindahkan beberapa meter dr kawasan asalnya dgn cara memanggulnya dengan-cara bergotong-royong.

Muncul Reaksi

Sampai tahun 1932, Emma Stichting tetap tak puas & menuntut semoga masjid dipindahkan ke lokasi yg lebih jauh lagi. Akibat tuntutan itu, muncul reaksi dr para tokoh Islam mirip H.O.S. Cokroaminoto (Ketua Sarekat Islam) dibantu Haji Agus Salim & Abikusno Cokrosuyoso. Sebagai muslim sejati, pasti mereka tak setuju jika masjid itu dipindahkan.

Demikian kokohnya persatuan tokoh umat Islam waktu itu, sehingga mampu menggerakan solidaritas umat Islam di seluruh Jawa. Demi membela & mempertahankan masjid dr upaya penggusuran, dengan-cara spontan para jamaah shalat Jumat senantiasa membawa golok untuk berjaga-jaga supaya pihak Belada tak berani mengusiknya.

Terlebih tatkala tahun 1993-1994, dikala Agus Salim memprakasai pembangunan masjid yg permanen setara dgn gereja yg ada. Tatkala itu, pada dinding atap cuilan depan masjid sengaja dipasang lambang partai Sarekat Islam (SI) yg berbentuk bulan sabit & bintang agar Belanda tak berani mengusik, karena SI waktu itu merupakan partai Islam paling besar di Indonesia yg besar pula pengaruhnya.

Setelah masjid yg permanen berdiri, lagi-lagi pihak Rumah Sakit Koningin Emma Stichting menawarkan kebenciannya pada masjid tersebut. Pada tahun 1964, dengan-cara diam-diam, pihak yayasan menyerti- fikatkan tanah masjid atas nama Dewan Gereja Indonesia (DGI) sekarang Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) tanpa sepengetahuan umat Islam, utamanya jamaah Masjid al-Makmur.

Anehnya, hanya dlm tempo singkat, tanah tersebut sukses disertifikatkan. Hal ini tak lepas dr tugas Menteri Agraria & Perdana Mentri J. Leimena yg pada waktu itu pula menjabat sebagai Direktur RS Cikini sehingga mempermudah proses pembuatannya.

  Masjid Agung Cianjur

Sejak mengantongi sertifikat aspal (orisinil namun imitasi) itulah, seolah- olah tanah masjid resmi menjadi milik rumah sakit. Padahal, itu tak lain selaku upaya penyerobotan tanah hak milik yg sesungguhnya ialah tanah wakaf milik Raden Saleh.

Pada 1965, barulah dikenali nalar bulus yg dikerjakan DGI. Oleh karena waktu itu tengah terjadi pergolakan PKI, kegiatan pengurusan tanah tersebut berhenti, hingga 1970-1975. Pihak rumah sakit tetap bersikeras untuk tak melepaskan tanah wakaf.

Pada 1989-1990, Walikota Jakarta Pusat yg pada waktu itu di- pimpin oleh Abdul Munir bersama Departemen Agama, memiliki gagasan menuntaskan persoalan ini dgn jalan memanggil kedua pihak yg bersengketa. Tetapi, perjuangan itu tetap saja tidak berguna.

Alhamdulillah, pada tahun 1991, atas hasratAllah & berkat andil Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto, akhimya sertifikat tanah masjid kembali diserahkan pada pihak masjid.

Ancaman Kristenisasi

Seiring tantangan zaman yg terus berpacu, rencana tata kota DKI Jakarta rupanya akan “melenyapkan” eksistensi masjid melalui jalur hijaunya berupa pelebaran jalan & normalisasi kali (8 x 10 m). Itu sama saja menggusur masjid tanpa tersisa sedikit pun.

Kembali Bang Wi, sapaan bersahabat Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto, menyelamatkan masjid yg hampir tergusur, dgn menetapkan Masjid al-Makmur Cikini selaku cagar budaya yg dilindungi. Bersama itu pula (1993) upaya renovasi dikerjakan oleh Dinas Purbakala Kanwil Depdikbud DKI.

Kini, masjid ini dikelola oleh Yayasan al-Makmur yg diketuai Sidi Mursalin, putra (almarhum) Yusuf Singedekane. Pihak yayasan pula menagani bidang pendidikan dgn mendirikan sekolah & madrasah, yg lokasinya berada di samping masjid.

Hadimya forum pendidikan Islam ini diperlukan generasi muda memiliki bekal keyakinan selaku upaya mengantisipasi bahaya Kristenisasi yg selesai-selesai ini tengah beraksi di wilayah lokal. Untuk dimengerti, Masjid al-Makmur Cikini, dikelilingi oleh tujuh gereja.

  Masjid Raya Rengat