Diilhami Bencana Kebakaran
Inilah masjid yg hadir selaku upaya untuk “membersihkan” noda masyarakat akhir dekadensi moral. Kisahnya ialah selaku berikut. Kota Bantaeng di Sulawesi Selatan pada tahun 1921 ditimpa petaka kebakaran yg dahsyat & menyeramkan, mengkonsumsi korban harta benda & jiwa yg tak sedikit jumlahnya.
Bukan cuma ternak yg ikut mati terbakar, bahkan ratusan jiwa manusia terbang sebab kebakaran dahsyat itu. Peristiwa menyeramkan itu oleh orang tua-orang renta yg masih hidup disebut selaku Akkarena Bantaeng, artinya ‘terbakarnya banteng’.
Konon, kebakaran dahsyat itu merupakan bala karena masya¬rakatnya sudah tak mengindahkan fatwa agama (Islam). Mereka bergelimang dlm banyak sekali kemaksiatan, seperti berjudi, sabung ayam, minum-minuman keras, & lain-lain. Tatkala ada seorang mubaligyang mengajak mereka agar kembali ke jalan Tuhan, si mubalig tadi malah dianiaya.
Entah bagaimana nasib si mubalig tadi, yg jelas sehabis itu kota Bantaeng dilanda trend panas berkepanjangan. Karena panas yg begitu luar biasa sampai-hingga pergesekan batang bambu saja sudah mampu memercikkan api. Mungkin berawal dr sinilah kebakaran mahir itu. Menurut dongeng para tetua, sumber terjadinya kebakaran tersebut berasal dr kampung Tangnga-Tangnga yg kemudian menyebar ke seluruh kota Bantaeng.
Akibat peristiwa tersebut menjadikan kemiskinan & kesengsaraan di golongan penduduk, & yg paling mencicipi penderitaan adalah penduduk kampung Tangnga-Tangnga.
Empat tahun sesudah insiden itu, yakni tahun 1925, diadakan musyawarah para pemuka penduduk kota Bantaeng. Ketua kota Pallawa & Katto Tangnga-Tangnga dijabat oleh Sainong telah setuju untuk membangun langgar (mushala) sebagai daerah training untuk mengembalikan mental penduduk yg sudah rusak tersebut menjadi insan yg beradab & berakhlak luhur.
Maka, atas dasar janji itu, pada tahun 1925 dimulailah pembangunan langgar itu. Dalam perkembangan selanjutnya, langgar ini mengalami perkembangan yg cukup pesat, & oleh karenanya di¬anggap sudah waktunya untuk dikembangkan menjadi masjid. Maka, atas janji seluruh pemuka penduduk , langgar tersebut di¬memutuskan menjadi masjid dgn konsekuensi memperluas bangunan fisiknya. Dan, sehabis selesai maka masjid itu diberi nama al-Jami’atul Khairiyah, artinya ‘bersatu padu dlm kebaikan’.
Sengaja diberi nama seperi itu dgn keinginan supaya lewat pelatihan yg kontinu (tetap) kerusakan moral penduduk mampu diubah menjadi lebih baik. Semoga.