Masjid Al Anwar Muara Angke

Benteng Melawan Belanda

Masjid al-Anwar yg dahulu mempunyai nama Masjid Angke, yg terletak di wilayah Jakarta Barat ini tak dapat dilepaskan dgn tokoh-tokoh pejuang & pendiri Jakarta tempo dahulu, seperti Pangeran Fatahillah & Tubagus Angke. Kini, Masjid Angke menjadi bagian dr cagar  budaya yg dilindungi undang-undang monumen (monumen ordonantie Stbl 1931 No. 238).

Masjid yg berdiri diatas tanah seluas 400 meter persegi & berskala 15 x 15 m, memang termasuk kecil. Akan namun, keberada- annya cukup menawan alasannya bentuk-bentuk bangunannya memper- lihatkan perpaduan dr berbagai gaya arsitektur, seperti gaya bangunan Belanda, Banten antik, & Cina.

Gapuranya yg terletak di sebelah utara, masih asli berbentuk gapnra belah. Sedangkan, pintu masuk menempati sudut selatan berupa gapura tertutup. Menurut penelitian Ny. Tjut Nyak Kusmiati, sarjana arkeologi lulusan Universitas Indonesia, gapura-gapura yg berupa abjad d pada Masjid Angke ini mengingatkan pada gapura bangunan antik di Banten & Cirebon. Hiasan-dekorasi pada dinding gapura merupakan relung semu. Tembok keliling masjid pun berhiaskan pelipit-pelipit yg sama dgn gapuranya.

Sementara itu, di halaman belakang masjid ini terdapat beberapa makam, di antaranya makam Syekh Ja’far yg tak dikenali asal- usulnya. Selain itu, terdapat pula makam Syekh Syarif Hamid al-Qadri yg berasal dr Kesultanan Pontianak, Kalimantan Barat, yg pada tahun 1800-an oleh Belanda dibuang ke Batavia sebab ia memberontak pada Belanda. Pada kerikil nisannya tertulis usianya ketika meninggal 64 tahun lebih 35 hari. Ia meninggal pada tahun 1854 M.

Seorang ahli sejarah yg berkebangsaan Belanda, Dr. F. Dehan, dalambukunya Oud Batavia, menulis, masjid ini diresmikan pada Kainis, tanggal 26 Syal^an 1174 H yg bertepatan dgn tanggal 2 April 1761 M. Ia pula menulis Masjid Angke yg kini lebih terkenal dgn sebutan Masjid al-Anwar, didirikan oleh seorang wanita keturunan Cina kaya yg kemudian menikah dgn seorang Banten.

  Masjid Al Mahdy

Strategi Melawan Belanda

Memperhatikan suasana kota Jakarta setelah Proklamasi Kemerdekaan, tanggal 17 Agustus 1945, di lima wilayah Jakarta masih mengalami aneka ragam gejolak usaha untuk menjaga kemerdekaan 1945 dr serangan Belanda. Maka, di kompleks masjid ini, para pemudanya sering melaksanakan konferensi-konferensi belakang layar dlm mengoordinasi aktivitas menentang Belanda. Melalui khotbah-khotbah yg disampaikannya, para ulama melakukan provokasi untuk menentang Belanda.

Bahkan selain itu, masjid ini dijadikan tempat penggemblengan para pejuang bangsa. Dari tempat yg agak tersembunyi ini disusun taktik perjuangan dlm menghadapi kekejaman tentara-prajurit Belanda. Karena rapinya kegiatan-kegiatan & agresi yg dikerjakan oleh para cowok tempat ini sehingga Belanda tak mampu mencium kegiatannya. Maka, selamatlah masjid ini dr serbuan tentara Belanda.

Dalam keadaan demikian, Masjid Angke terus menyanggupi peranannya sebagai tempat pengisian landasan usaha, benteng iman, & ketakwaan umat Islam dlm menghadapi penindasan penjajah Belanda.