Masjid Agung Tegal

masjid agung tegal

Menjadi Saksi Perang Diponegoro

Kalau Anda ingat kapan terjadinya perang antara Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda yg terkenal dgn istilah Perang Jawa maka Anda tentu akan gampang untuk mengenang sejarah dibangunnya Masjid Agung Kotamadya Tegal, Jawa Tengah. Sebab, antara tahun 1825-1830, saat pecahnya Perang Jawa itulah Masjid Agung Tegal ini mulai dibangun oleh K.H. Abdul Aziz.

Karena dibangun pada saat terjadinya perang maka eksistensi masjid ini seakan menjadi saksi bisu perlawanan yg dilaksanakan Pangeran Diponegoro bareng pengikutnya yg setia dlm membela kebenaran.

K.H. Abdul Aziz, pendiri masjid ini, ialah seorang ulama & penghulu pertama di kota Tegal. Ia pula masih mempunyai kekerabatan saudara dgn Raden Reksonegoro, Bupati Tegal waktu itu. Dan, karena adanya relasi kekerabatan itulah di samping pastinya alasannya adalah ikatan ukhuwah islamiyah, sehingga pembangunan Masjid Agung Tegal itu berlangsung mulus & tanpa gangguan tanpa kendala.

Berdasarkan catatan yg ada, Masjid Agung Tegal ini sejak berdirinya hingga sekarang telah mengalami beberapa kali renovasi. Ter¬catat pada tahun 1927, ruang paseban masjid direnovasi karena sudah tak representatif lagi. Sebagai gantinya, dibangunlah KUA (Kantor Urusan Agama), kawasan untuk melangsungkan ijab kabul bagi umat Islam Tegal.

Kemudian pada tahun 1953-1954, Masjid Agung yg terletak di sebelah barat alun-alun kota Tegal ini pun direnovasi kembali. Bahkan, renovasi & perombakan kala itu dikerjakan dengan-cara besar-besaran. Serambi depan masjid diperluas ke arah depan sehingga menyatu dgn KUA.

Untuk memenuhi kebutuhan jamaah akan air wudhu maka pada tahun 1970 daerah wudhu sebelah kanan masjid diperbaiki. Kemudian, agar bangunan masjid kelihatan modem maka pada tahun 1985 serpihan atap masjid dirombak & diganti dgn atap tumpang, mirip yg tampak kini ini.

Meskipun atapnya sudah dirombak, namun jikalau masjid ini kita lihat dr arah belakang maka gaya arsitektur yg modem tersebut tak akan terlihat alasannya sampai sekarang cuilan belakang masjid ini belum pernah direnovasi masih tampak kekunoannya.

Bagian depan Masjid Agung Tegal ini berlantai dua & bisa memuat lebih dr 4000 jamaah. Lantai bawah digunakan selaku ruang utama masjid. Sedangkan, lantai atasnya sebagai tempat untuk menyelenggarakan berbagai acara keislaman, mirip pengajian kaum bapak & kaum ibu setiap hari Selasa, Kamis, & Sabtu ba’da subuh. Pengajian Al-Qur’an bagi para dewasa, umumnya diselenggarakan setiap hari Rabu, Kamis, & Sabtu malam. Khusus pengajian buat penduduk biasa diselenggarakan saban hari Senin ba’da subuh.

Sebagai masjid yg berada di tengah-tengah kota Tegal maka setiap kali tiba waktu shalat fardu lima waktu, masjid ini senantiasa dipadati para jamaah yg akan menunaikan shalat berjamaah di masjid ini. Terutama umat Islam di sekeliling masjid yg populer sangat agamis, termasuk para pegawai Pemda Kodya Tegal & instansi pemerintah yang lain.

Kebetulan, letak Masjid Agung ini memang tak j auh dr pendopo Walikota Kodya Tegal, tepatnya kurang lebih 150 meter ke arah barat laut dr pendopo tersebut. Panggilan azannya dikumandangkan lewat pengeras suara yg diletakkan di puncak menara masjid.

Kalau kita telusuri segi lain sejarah Masjid Agung Tegal ini, ternyata ada satu keunikan tersendiri yg terjadi di sana. Sekitar tahun 1980-an, setiap tiba waktu berbuka puasa (Ramadhan) pasti dilakukan pem bakaran petasan berskala besar di halaman masjid ini selaku tanda sudah masuk waktu magrib atau berbuka.

Namun, alasannya zaman kini sudah mutakhir, tradisi pembakaran petasan raksasa yg terkesan mubazir itu kini sudah ditiadakan. Sebagai gantinya, tanda waktu berbuka puasa dikumandangkan azan dgn pengeras suara yg diletakkan di atas menara masjid setinggi 32 meter, pula disiarkan melalui radio-radio & televisi yg sekarang sudah marak di mana-mana.

  Masjid Raya Al Mahsun