Ketika titik-titik air pertama, yg sebesar batu itu, berjatuhan, Mario sudah mengira hujan akan berjalan usang. Seperti malam-malam bau tanah. Dan Maria, ia sudah menelan alamat kurang mengasyikkan itu dr hawa dingin yg menepuk-nepuk tengkuknya. Mario & Maria menepi. Harus menepi.
“Merapatlah,” lirih Mario seraya merengkuh tubuh Maria.
Perempuan pincang itu lekas merapat. Dua anak manusia itu bergerak mundur beberapa senti hingga punggung mereka menyentuh dinding. Maria membayangkan titik-titik air itu ialah peluru-peluru yg berdesingan dr langit. Harus disingkirkan. Harus dijauhi.
“Hujan tak pernah bilang mau turun,” gerutu Maria dgn suara serak.
“Begitulah hujan,” balas Mario datar, mirip tak mengatakan pada siapa saja.
Di punggung trotoar renta, di teritis kios yg tutup & tanpa penerangan itu, mereka ibarat pohon kaktus renta yg tak terurus, compang-camping, & mungkin hampir tumbang. Dua gelandangan yg lelah memandang hidup, tetapi tak pernah tahu bagaimana mesti menyelesaikan. Usia yg terus bertambah itu bagai tahun-tahun penuh wabah. Masa tua yg amit-amit, pikir Maria, kadangkala. Entah bagaimana Mario memikirkannya.
Malam & hujan mirip mempunyai wajah hitam yg tertawa-tawa di hadapan mereka. Tangan Mario mirip sepasang ular keriput yg menelusup ke dlm semak-semak jaket kumal, mencari kehangatan. Mario bersedekap. Sementara Maria menggosok-gosokkan kedua telapak tangan yg gemetar. Barangkali dia membayangkan percik api akan timbul dr sela-sela telapak tangan & menghangatkan tubuh bau tanah mereka.
“Beginilah cara Ayah mengajari kita bertahan dlm udara acuh taacuh,” kenang Maria. “Apa kamu masih ingat?”
Melihat kondisi mereka sekarang, Maria nyaris lupa mereka pula memiliki ingatan masa kecil. Ya, semenyedihkan apa pun masa renta seseorang, ia pasti pernah punya masa kecil.
“Aku lebih senang bersedekap, menyelimuti tubuhku dgn tanganku, sepasang tangan yg peduli,” Mario merapatkan dua ular keriput ke dlm semak jaketnya.
Titik-titik air yg menghujani atap toko bagai turun dlm bentuk benang. Berjuntai-juntai. Lalu berhamburan tatkala menghantam tanah. Sebagian memercik ke kaki Mario yg abses. Sebagian lagi melumuri sepasang kaki Maria yg pincang. Lambat-laun percikan itu meresap dlm kaus kaki molor mereka, lalu menjilati kulit mereka. Sesekali Mario menghentakkan dua kaki. Maria tak melakukannya. Ia kesusahan melakukannya.
“Kalau hujan ini tak reda, apa iya kita akan tidur sambil berdiri,” bisik Maria, yg kakinya gemetaran. Entah karena cuek. Entah karena beban tubuhnya.
Mario tak menjawab. Matanya menerawang lampu merkuri yg melengkung & pula tampak kedinginan di kejauhan. Barangkali, jikalau mau, Mario mampu berlari-lari kecil dr teritis ke teritis hingga mendapatkan teras toko atau bangunan apa saja yg berteras agak lebar, yg paling tak bisa untuk meregangkan badan. Namun Maria, beliau benci berlari. Sepasang kakinya tak suka berlari. Berlari cuma akan membuat tubuhnya berguncang-guncang hebat, lalu ambruk di sembarang kawasan. Itu pernah terjadi. Pelipis Maria pernah memar kesudahannya. Dan Mario sudah berjanji tak akan pernah melakukan hal yg dibenci kaki Maria. Setidaknya di depan Maria.
“Mario?” bunyi Maria semakin lirih. Seolah dia menyeru dr daerah jauh.
“Hem?” Mario masih bersedekap & memandang merkuri yg sama, yg tampak semakin menunduk.
“Setiap malam begini, terlebih hujan mirip ini, gue selalu ingin menangis. Menangis tanpa henti. Barangkali sampai mati. Aku berharap begitu,” bisik Maria dgn suara bergoyang-goyang, seolah ada angin yg mempermainkan. Maria mampu merasakan sepasang matanya perih & hidungnya mirip kemasukan air.
“Bicara apa kau?”
“Kau berhak senang, Mario.”
“Semua orang berhak bahagia, bahkan seekor ngengat pun berhak senang. Kau juga.”
Maria mengarca, lalu berkata, “Soal itu gue ragu.”
Mario pula mengarca. Maria melanjutkan dgn suara agak membara, “Kalau gue berhak bahagia, sebaiknya Tuhan tak memberiku kaki yg pincang. Dan bibir sumbing ini, meski sudah diperbaiki, tetap saja wajahku mirip wajah orang terbakar. Sejak kecil, belum dewasa sudah menjauhiku, jikalau tak mengejekku. Saat itu gue berpikir, mungkin gue tak pernah mampu bahagia. Aku tak berhak senang.”
“Kebahagiaan tak ada kekerabatan dgn kaki pincang atau raut wajah, Maria. Percayalah!” sahut Mario, masih tanpa memandang Maria.
“Tapi alasannya kaki pincang & bibir sobek ini, tak ada satu lelaki pun di dunia ini tertarik padaku. Bahkan si idiot Jerry, kawan kita di asrama dahulu, tak melirikku sama sekali. Sampai gue menua & makin jelek rupa setiap detik. Aku tak menyaksikan celah sedikit pun di mana gue patut bahagia.”
“Tapi gue senang, & seharusnya kamu pula bahagia,” Mario mengalihkan pandangan. Dalam remang dia mampu menyaksikan kilatan di mata Maria.
Kalau Maria mau tahu, sudah lama sekali Mario ingin menangis, mungkin pula hingga mati seperti kata Maria. Tapi Mario tak pernah bisa melakukan itu. Setidaknya di depan Maria. Tangisan Mario akan meringkus Maria dlm belitan rasa bersalah & itu adalah eksekusi paling mengerikan bagi Maria.
“Kalaupun kini kau memang bahagia, semestinya kamu layak mendapatkan kebahagiaan lebih dr ini. Kau ganteng & cerdas, Mario. Itu masih terlihat, bahkan sehabis kamu setua ini. Seharusnya waktu itu kau pergi dgn Lalena, kukira kalian saling mengasihi. Tapi kau malah berpaling darinya & memilih mengelola bocah pincang yg tak bisa diharapkan. Dan cuma menyulitkan.”
“Lalena bukan perempuan baik, kamu tahu itu. Kalau dia memang mencintaiku & mau menerimaku apa adanya, seharusnya beliau mau menerimamu juga.”
“Aku tahu akan sulit menerima keluarga cacat & buruk rupa, ditambah tak terlalu arif, terlebih bila dia harus tinggal satu atap denganmu.”
“Sudahlah, Maria. Kita sudah terlalu uzur untuk membicarakan masa kemudian, terlebih menyesalinya. Sekarang mari kita buat diri kita bahagia, seperti apa pun itu.”
Mario merengkuh tubuh Maria lebih akrab. Sepasang kaktus bau tanah itu terlihat goyah. Seperti tertiup badai & siap-siap patah, terjengkang di tanah. Percakapan-percakapan lirih itu menciptakan napas bau tanah mereka sedikit tersengal, tapi itu menciptakan mereka sedikit hangat.
“Sepertinya hujan akan turun selamanya,” Mario kembali menerawang lampu merkuri di kejauhan. Ia tersenyum, seolah kata-katanya barusan mengandung kelucuan.
Maria tak menjawab, tetapi Mario mampu merasakan tubuh perempuan itu goyah & melorot.
“Kakiku tampaknya minta duduk, Mario,” ujar Maria tersendat. Tubuhnya bisa saja rubuh jikalau tak disangga Mario.
“Kalau begitu kita duduk saja,” Mario menolong Maria duduk.
“Aku saja yg duduk. Kalau kamu masih berpengaruh berdiri, kamu berdiri saja. Duduk akan membuat pakaianmu lembap, & itu akan membuatmu kian kedinginan,” ujar Maria masih tersendat-sendat. Tubuhnya sudah melorot. Pungungnya melekat di dinding. Sepasang kaki pincangnya telimpuh dlm genangan air. Maria bisa merasakan makhluk lembap itu meresap ke pori-pori benang, menembus rok, lalu celananya, & melumasi kulitnya. Dingin. Dingin sekali. Barangkali makhluk berair itu pula sudah masuk ke pori-pori kulit Maria.
Secepat genangan itu menembus pakaian Maria, secepat itu pula Mario memelorotkan tubuh. Mendekam dlm genangan yg sama.
“Pakaianmu nanti basah, Mario,” desis Maria.
“Hanya busana.”
“Tapi kamu akan kedinginan.”
“Hanya kedinginan.”
Maria berhenti bicara. Dan Mario pula tak berkata-kata lagi. Mario merengkuh tubuh Maria. Menenggelamkan perempuan itu dlm pelukan. Ada campur tangan angin & hujan dlm pelukan itu. Pelukan yg kelewat acuh taacuh untuk tubuh-tubuh tua.
“Hujan ini akan terus turun. Barangkali selamanya,” bisik Maria, menirukan kata-kata Mario. Mereka tersenyum, seolah kata-kata itu masih lucu.
“Hanya hujan,” lirih Mario.
“Hanya hujan,” ulang Maria. (*)