Maling | Cerpen Putu Wijaya

1

Maling yg brutal itu masuk dr atap rumah. Lalu mirip Tarzan turun melalui tambang di ruang depan. Ia membungkus barang-barang berguna yg ditemuinya & mengereknya ke atas. Tapi sebelum pergi ia terpesona pada suatu lukisan. Maling itu mengeluarkan lampu senter & memperhatikan lukisan itu. Wajah seorang anak yg tersenyum sambil mengacungkan es lilin yg sedang dinikmatinya.

Maling itu terpukau. Ia mendekati lukisan & mengusap-usapnya. Kemudian menciuminya. Lalu mengelusnya lagi. Dan akibatnya ia menangis tersedu-sedu.

2

Pagi-pagi pembantu rumah mau buka jendela & membersihkan ruang depan. Ia terkejut melihat ada orang abnormal tidur di kamar tamu. Mengendap-endap ia mundur & masuk ke ruang dalam. Maling itu terbangun. Mula-mula ia gundah & ketakutan. Lupa di mana ia berada. Tapi begitu kembali bertatapan dgn lukisan anak & es lilin itu, ia segera sadar, ia sudah ketiduran & hari telah pagi. Ia belum membenahi barang curiannya. Tapi semangat & tenaganya tak ada. Bahkan ia mulai menangis lagi.

Suami pemilik rumah timbul. Ia menjinjing samurai yg terhunus. Melihat pencuri itu menangis. Ia terkesima, lalu memberi instruksi pada istri & pembantu, lebih baik melaporkan semua itu pada satpam & tetangga.

Sementara maling itu mulai ngomong pada lukisan di depannya:

“Dul, jika lewat di Indo Maret ananda harus minta dibelikan es krim lilin sekaligus dua. Supaya nyambung. Waktu itu umurmu baru 4 tahun. Lagi lucu-lucunya. Kulitmu halus, bacin tubuhmu harum, suaramu masih cadel: ‘… cicak-cicak drudungdung membisu-membisu merayap, datang seekor nyamus…’ Selalu tersenyum. Tertawamu renyah lepas tak punya beban apa-apa mirip pula semua anak kecil yg lain. Kalau tidur ananda suka mengatakan. Kata orang bau tanah itu ananda lagi main dgn sobat-teman malaikatmu. Sekarang di mana semua itu? Ke mana hilangnya? Pergi begitu saja meninggalkan bapakmu! Hanya sisa-sisanya masih suka menempel di sana-sini. Kalau ketemu, badanku jadi lemes. Aku tak bisa bergerak. Pikiranku ananda bawa semua…’’ Maling itu terus bicara pada lukisan dgn mata berlinang-linang…

3

Di luar rumah terdengar warga kasak-kusuk:

– Tolong di rumah kami ada maling kesiangan!

– Maling?

– Ya, pencuri kesiangan. Sekarang ada di kamar tamu!

– Lapor satpam saja!

– Ini mau ke sana sekarang.

– Bagaimana, Pak?

– Ada maling di rumah kami!

– Bawa senjata, Bu?

– Mungkin bawa juga.

– Maling biasanya tak bersenjata. Filsafatnya: Masuk-Ambil-Lari-Hilang.

– Ada! Mereka tak mungkin berani operasi sendirian, bila tanpa senjata. Hanya saja senjatanya tak kelihatan. Biasanya ilmu hitam.

  Pagar Bambu | Cerpen Iyut Fitra

– Orangnya menangis kini!

– Masak menangis?

– Kenapa, ya?

– Mungkin kena tilep yang jaga rumah Bapak!

– Tidak ada yg jaga kok, kami tidur semua.

– Digerebek saja!

– Lebih baik lapor polisi!

– Cepat tetapi.

– Baik kami koordinasikan dahulu mesti dikontrol taktik & seni manajemen penyergapannya supaya tak sampai jatuh korban.

– Berapa orang, Pak?

– Satu & penduduknya kecil!

– Maling biasa kecil, bila besar ia merampok.

– Tapi yg kecil lebih sadis. Ponakan saya dulu…

– Siap, siap, bawa senjata!

– Mungkin jin yg jaga rumah Pak Muin sudah membuat ia kehilangan orientasi.

– Mungkin ia mabok.

– Orang gila kali.

– Rumah Pak Muin memang ada penunggunya.

– Jangan pakai senjata tajam, Bu!

– Sudah, sudah, saya coba dahulu nego dengan-cara damai, supaya jangan timbul kekerasan!

– Tahan dahulu, jika Pak Muin gagal nego baru serbu!

– Perempuan di belakang saja!

– Hallo, tolong bisa kirim reporter untuk meliput, di rumah Pak Muin ada maling kesiangan…

– Maling kesiangan?

– Rumah Pak Muin memang menakutkan. Sudah pernah ada pencuri, namun tak bisa keluar. Muter-muter terus mirip orang stone. Sampai geli kita lihat kelakuannya.

– Jangan pakai senjata, diplomasi saja!

– Baik, baik, tak apa, coba saya coba dahulu kontak dengan-cara tenang supaya jelas apa maunya. Siapa tahu ini teror. Siapa tahu supaya jangan ada korban.

– Tenang, tenang.

– Silakan Pak Muin, jangan takut, kami back up dr belakang.

4

Maling itu masih menangis. Pak & Bu Muin muncul dr dlm rumah, di-back up oleh dua satpam yg mengacungkan pisau & pentungan. Kasak-kusuk warga berhenti.

“Selamat pagi, Pak.”

Maling itu terkejut. Ia menoleh. Tapi nampak sangat lemes.

“Selamat pagi, Pak. Bapak siapa?”

Maling itu seperti tak mampu bicara. Muin terus menyapa.

“Saya Muin, pemilik rumah ini. Bapak kenapa di sini? Bapak siapa?”

Maling itu kembali menangis.

“Bapak kenapa menangis di rumah saya?”

Bu Muin memberanikan diri maju.

“Kami ini orang sederhana, Pak. Kami tidak mempunyai apa-apa. Kenapa Bapak di sini, kami…”

Tiba-tiba maling itu berlutut di depan Muin.

“Ampun Bapak-Ibu Muin, saya salah. Hukum saya! Saya berdosa, mohon dimaafkan! Ampun!”

“Bapak siapa?”

“Saya maling.”

Semua terkejut termasuk warga yg nguping di luar rumah.

“Bapak ke rumah saya ini mau maling apa?”

“Itu!” Maling menunjuk ke bungkusan yg dikerek ke atas. Masih terbang.

“Itu barang-barang kami yg Bapak mau curi?”

  Ia yang Bertemu Malaikat | Cerpen Guntur Alam

“Ya.”

“Bapak mau bawa ke mana?”

“Saya mau jual.”

“Tapi itu kan milik kami?”

“Ya saya salah. Saya dosa! Akan saya kembalikan. Saya minta ampun. Saya tobat, Pak. Tapi tenaga saya amblas setelah lihat gambar itu!”

Maling menunjuk lukisan.

“Badan saya lemes, baterei saya lobet. Saya tak bisa bergerak. Otak saya beku. Saya jadi ingat Dul, ia anak saya. Waktu umur 4 tahun saya lengah sekejap. Padahal hanya sekejap, tak ada 10 menit, karena mau beli rokok, saya tinggal Dul sebentar di pinggir jalan. Waktu saya kembali, budak saya sudah hilang. Saya cari Dul ke mana-mana, saya lapor polisi, saya bayar detektif, Dul tetap hilang.

Istri saya ngamuk, ia menuduh saya jual anaknya. ia murka lalu ninggalin saya kawin sama bule. Tapi saya tak peduli. Yang penting anak saya, Dul, kembali. Saya kejar Dul ke mana-mana, asal ada gosip, saya samperin. Tapi sudah 20 tahun kini, Dul tetap tak ada kabar. Mungkin ia sudah besar, kawin, jadi dokter, atau sudah mati? Saya tak tahu. Gelap sama sekali, tak ada berita! Akhirnya asumsi saya kalut. Dul! Saya terjerumus jadi maling. Tapi lihat gambar itu, saya jadi lumpuh, saya tobat, saya, saya….’’

Maling itu kembali menangis tersedu-sedu.

5

Warga di luar rumah mulai lagi kasak-kusuk.

– Malingnya minta ampun. Setelah lihat lukisan anak kecil yg tersenyum menjinjing es lilin, pikirannya langsung berganti. Pikiran warasnya kembali. ia langsung minta ampun & mau bertobat

– Ah! Tangkap saja! Serahkan polisi!

– Usir cepat sekarang!

– Hajar dahulu untuk imbas jera!

– Kebiri!

– Jangan, kasihan, ia sudah tobat minta ampun.

– Jadi betul ya, rumahnya Pak Muin ini ada penunggunya!

– Lukisan itu yg sudah nilep malingnya!

– Tapi ia nggak mau pulang!?

– Tenaganya habis, ingat Dul, anaknya! Kasihan…

– ia bilang mau benerin makam Dul anaknya, lho!

– Lho! Emang Dul sudah ketemu? Anaknya mati?

– ia bilang, pura-puranya Dul sudah meninggal bukan hilang, supaya mudah didoain. Kaprikornus perlu ada makam.

– Kasihan!

– Ayo demi kemanusiaan, sumbang! Kasihan, biar cepat pulang ia. Biar cepat beres. Nanti medsos tiba heboh kita!

– Media sosial sudah mencium ini?

– Reporter TV mau datang!

– Buruan nyumbang! Terserah kerelaan masing-masing! Masuk TV malu kita!

6

Maling masih nangis. Warga pada masuk dr dalam. Sumbangan sudah dikumpulkan. Lalu itu diserahkan pada Bu Muin.

“Warga terharu, mereka terpanggil kemanusiaannya. Siapa bilang kehidupan keras ala perkotaan sudah mengikis habis solidaritas gotong-royong?! Ini sumbangan spontan dr warga untuk maling yg murung itu!”

  Kota-kota Rantauan | Cerpen Raudal Tanjung Banua

Bu Muin kemudian menyerahkan pada suaminya biar memberikannya pada maling.

“Sumbangan impulsif dr warga!” Pak Muin terharu.

“Wah, saya pula terpanggil.’’ Muin merogoh duit dr kantung, menambah sumbangan itu. Beberapa warga pula menyusul nyumbang.

“Sudah? Ada lagi?”

Seorang anak disuruh orang tuanya ikut nyumbang. Semua terharu kemudian bertepuk tangan. Muin mendekati pencuri yg masih menangis.

“Sudah, jangan terus menangis, yg sudah berlalu akan tambah galau jikalau ditangisi. Ikhlaskan, karena masih banyak yg pula akan berlalu lagi, lebih baik itu yg diamati, Pak.”

“Cepat berikan sumbangannya, Pak Muin! Orang murung nggak bakal bisa diajak berunding!”

“O, ya! Ini ada sumbangan spontan dr warga untuk meniadakan tangis. Tegaklah kembali, busungkan dada. Tabahkan batinmu!”

“Serahkan saja, Pak! Jangan bawel.”

Ada warga bergegas menyumbang lagi.

“Ini ada tambahannya lagi!”

“Lihat, semua warga ikut trenyuh! Kata sebuah dongeng di sinetron, penderitaan itu tak akan diberikan kepadamu oleh-Nya, jika ananda tak diandalkan-Nya bisa menangani! Ayo semangat!”

“Cepat serahkan!”

“Terimalah ini! Dan kini pulanglah, keluarga pasti sudah menanti dgn cemas.”

Maling jadi malu. Ia kontan menolak. Didesak, ia tambah tak sudi. Tangisnya tambah memilukan. Satpam terpaksa ikut masuk mendesak & membujuk supaya maling menerima tanda kasih warga lalu pulang.

“Kenapa menolak, terimalah sumbangan lapang dada warga, Mas!”

“Mas, kami umummenghajar maling demi kesejahteraan warga. Tapi mendengar dongeng Mas, kami ikut menangis. Putra kami pula meninggal di usia 5 tahun, 10 tahun yg lalu, tetapi kami masih terus menangis setiap weekend alasannya adalah jadi kelimpungan berdua saja dgn istri di rumah. Apa artinya hidup tanpa anak?!”

“Selamat berjuang, Bang. Bertobatlah, & kembali ke jalan yg benar! Penderitaan itu banyak hikmahnya untuk training abjad bangsa!”

“Bangkit, Bung, berdiri! Terimalah sumbangan kami tanda simpati!”

“Sebentar lagi reporter TV akan tiba meliput. Air mata Bapak akan memberi pandangan baru masyarakat untuk mempertahankan & menyayangi anak!”

Maling itu terkejut. Setelah mendengar reporter TV mau tiba, hasilnya ia mau pula mendapatkan sumbangan. Sambil menangis ia menyembah semua orang. Lalu dgn berat hati pergi. Semua warga melambai-lambai memberi selamat jalan.

Setelah pencuri pergi, Pak Muin dibantu warga, ramai-ramai menurunkan barang curian yg dikerek itu. Tapi begitu dibuka, semuanya terkejut. Isinya hanya sampah. Barang curiannya sudah dibawa kabur.

Bu Muin menjerit pingsan. Warga berteriak murka, mau mengejar-ngejar , “Maling! Maling! Malingggg!!!”

Tapi ke mana? Maling sudah kabur.

Tol Cipularang, 10-11-17

Putu Wijaya. Sastrawan & dramawan. Tinggal di Jakarta.