Malam ini, saya terbaring lemas di sebuah sal rumah sakit. Hawa acuh taacuh bagai mengupas tiap inci pori kulit. Begitu hening. Begitu ganjil. Seakan-akan kehidupan menjadi sebuah ruang kosong yg sudah lama ditinggalkan penghuninya. Tak ada tawa. Tak ada tangis. Tak ada tujuan. Dan sesuatu yg ada di balik yg kasatmata, terlihat begitu bersahabat. Bagai menggeliat-geliat. Hingga putaran bumi terasa kian melamban, menampilkan adegan-adegan kehidupan yg tak menarik sama sekali. Dan pada detik itu, satu-satunya hal yg menjadikan segalanya lebih baik yakni menyebut nama Tuhan.
Karena ruangan ini bukanlah ruangan elegan, maka ranjang pasien yg satu dgn yg lain terserak begitu saja tanpa dinding pembatas. Tampak beberapa pasien mengerang lirih & panjang, beberapa yg lain terbaring lunglai dgn mata rapat, sementara helaan napasnya terdengar sangat mengganggu, ngik… ngiiik. Bagai tambang kematian yg ditarik-ulur dr sebuah tempat yg tak kasat mata.
Beberapa keluarga pasien yg menunggui turut terlelap di sembarang daerah: tersandar di dinding & meja, terkapar di bawah ranjang, beberapa terkantuk-kantuk di atas dingklik plastik di samping ranjang pasien, kepalanya menunduk lunglai di bibir ranjang.
Aku menghela napas. Berat. Saat terbaring di rumah sakit begini, rasanya, hawa maut telah begitu bersahabat. Bagai mengintai. Bila kematian itu terdapat dlm suatu ruang tak terbatas dgn sebuah pintu, maka kami sudah berlangsung sampai di ambang pintu itu. Kemudian, suatu tangan akan membukakan pintu itu, lantas mempersilahkan kami masuk. Dan tatkala itulah, tatkala kami menyeberangi pintu itu, bantu-membantu kami tengah sekarat.
Entah musabab apa, malam ini rasanya begitu masbodoh, begitu hening, begitu ganjil. Tadi pagi seorang pasien—lelaki paruh baya—yang terkapar di ranjang tepat sebelah kiri saya dikabarkan telah meninggal dunia. Padahal sehari yg kemudian, ia masih bercakap-mahir dgn saya. Ia mengaku demam biasa, namun sudah dua hari demamnya tak pula reda. Kemudia ia periksa ke puskesmas. Kata perawat di puskesmas, ia terkena gejala tifus, sudah stadium mencemaskan, hingga ia dianjurkan untuk periksa ke tempat tinggal sakit saja.
Setelah hingga rumah sakit, ia diperiksa kembali berdasarkan gejala-tanda-tanda yg ia rasakan. Dan dokter mengatakan, bahwa itu bukanlah tifus, namun demam berdarah. Sebagai orang awam yg tak pernah meneliti jenis penyakit, ia pasrah saja.
Ketika saya masuk rumah sakit, hari pertama, lelaki paruh baya itu bercerita, bahwa ia sudah menginap hampir seminggu. Dan ia sama sekali tak betah. Maka, pada hari itu pula—hari perkenalannya dgn saya—ia bersikeras untuk pulang. Katanya, di rumah atau di rumah sakit sama saja, sama-sama sakit. Sama-sama sakitnya mending ia sakit di rumah, tak perlu bayar, katanya. Saya sempat tertawa simpul mendengarkanceritanya.
Entah bagaimana cara ia meyakinkan dokter, kemarin malam, sekitar pukul tujuh, laki-laki paruh baya itu berpamitan pada saya. Cepat sembuh, tuturnya sambil mengusap bahu saya. Saya cuma mengucapkan terima kasih. Setelah ia enyah dr hadapan saya, beberapa jam kemudian, seorang perawat menyampaikan kabar yg sekadarnya, bahwa laki-laki paruh baya itu sekarang tengah dibawa ke UGD, katanya, ia ambruk di ruang administrasi ketika hendak pulang. Dan tadi pagi, tiba-tiba ia sudah dikabarkan tak ada.
Kematian memang begitu misterius, sama misteriusnya dgn kehidupan. Tak mampu ditebak ataupun direka-reka.
Malam masih utuh dlm heningnya. Mata saya masih menyala, menerawang langit-langit kamar yg berwarna putih bersih. Tiba-tiba warna langit-langit itu mengingatkan saya pada warna kafan. Warna yg selalu ikhlas. Mata saya terus saja mengerjap-ngerjap. Tak kuasa dipejamkan.
Siang tadi, seorang pasien gres datang & menempati ranjang di sebelah kiri saya—ranjang yg semula ditempati lelaki paruh baya yg meninggal tadi pagi. Oh, di dunia ini bertambah banyak saja orang sakit. Pasien baru yg menempati ranjang di sebelah kiri saya adalah seorang cowok yg sungguh pemalu. Pertama kali bersitatap, ia hanya mengangguk dgn sedikit senyum. Selepas itu ia terbaring & menutup mukannya dgn syal.
Melihat kondisinya tampaknya ia mengalami cedera yg parah di kaki sebelah kanan. Kaki sebelah kanannya sarat balutan perban. Tatkala saya tanyakan, ia mengaku gres saja mengalami kecelakaan, & kakinya dinyatakan patah. Entah musabab apa, sorenya ia digotong ke UGD, & hingga detik ini tak ada kabar. Ranjang di sebelah kiri saya kembali kosong.
Mata saya terus melata, menelanjangi seisi ruang. Dalam ruangan ini ada sepuluh ranjang. Delapan terisi, & dua (tepat di sebelah kiri & kanan saya) kosong. Tiba-tiba saya kembali berpikir tentang kuasa Tuhan, bahwa manusia, ternyata, ialah sesosok makhluk yg sangat kecil & ringkih. Sebentar-sebentar sakit, kepala sakit kepala, tak bisa berlangsung, tak lezat makan. Sedikit-sedikit terluka, tersayat pisau, terantuk batu, tertubruk kendaraan beroda empat. Dan pastinya, selain kecil & rapuh, insan yakni makhluk paling lalai. Lalai mempertahankan kesehatan yg dianugerahkan sehingga ia terjangkit sakit. Lalai pada kehati-hatian hingga ia gampang sekali terluka. Begitulah tabiat insan.
Beberapa pasien yg turut terbangun kembali merebahkan badan mereka. Suasana kamar kembali menjadi damai. Dingin. Hening. Dan ganjil. Beberapa jam berlalu, masih hening, hingga suara tangisan itu muncul dr sudut ruang. Pasien wanita—yang berjam-jam lalu menjerit-jerit, kini sudah tiada. Beberapa perawat tiba dgn ranjang beroda, beberapa orang membopong jasad perempuan itu ke atas ranjang & menutupinya dgn kafan. Suara tangisan dr keluarganya masih saja membahana, bagai mata pisau yg mencacah keheningan.
Ranjang mayat itu melintas di hadapan saya. Suara rodanya berdecit-decit bagai jeritan tertahan. Selintas, kafan yg menutupi jasad perempuan itu tersingkap diterpa angin. Dari balik kain yg tersingkap itu, sepasang mata mendelik menatap saya. Seketika itu saya termenung.(*)