close

Malam Masih Panjang, dan Kalian akan Merasa Lapar | Cerpen Mashdar Zainal

Seorang ibu. Empat anak. Satu pria, berumur tiga belas tahun. Tiga perempuan berumur delapan tahun, lima tahun, & dua tahun. Serta suatu rumah yg buruk.

Malam masih panjang & kalian akan merasa lapar. Sang ibu selalu berkata begitu. Bagi lima orang itu, malam yaitu kutukan. Sebab malam selalu berlangsung lama & peristiwa-peristiwa buruk senantiasa datang di malam hari. Kisah perihal ayah mereka yakni cerita usang. Kisah tentang malam & ajal. Malam yg begitu panjang & sarat kegundahan. Suatu malam, ayah mereka pergi untuk mencari makan & ayah mereka pulang sudah dlm keadaan tak bernyawa. Babak belur dihajar massa. Kabarnya, ayah mereka mengantongi sejumlah makanan dr sebuah toko & kabur tanpa mengeluarkan uang. Pemilik toko geram & berseru, “Maling! Maling..!” Dan ayah mereka mati sebagai maling.

Kadang-kadang ibu mereka berpikir, ayah mereka ibarat seekor induk burung yg mencuri biji-bijian di peternakan, lalu pemilik peternakan geram & menembaknya. Biji-bijian itu tak akan pernah sampai ke belum dewasa burung, lalu bawah umur burung akan mati karena kelaparan. Kisah selesai. Namun, kisah insan tak akan pernah sama dgn dongeng hewan. Kisah insan tak pernah sederhana. Selalu rumit & kadang biadab.

Kisah itu terjadi di malam hari. Dan tatkala malam tiba, sejatinya anak-anak itu enggan mendengar ibunya berkata, “Malam masih panjang & kalian akan merasa lapar.” Sebab mereka takut ibu mereka pamit mencari makan kemudian kembali dlm kondisi mati. Seperti ayah mereka. Mereka ingat, petang hari sebelum ayah mereka mati, ayah mereka berkata, “Malam masih panjang & kalian akan merasa lapar.”

*****

Malam masih panjang & kami akan merasa lapar, ibu selalu bilang begitu. Benar. Kami memang selalu merasa lapar, apalagi bila malam. Tatkala siang, kami bisa pergi ke mana saja & mencari makanan untuk kami sendiri. Namun, tatkala malam jatuh, kondisi jauh berlawanan. Kadang kami menyimpan sejumlah makanan yg kami dapat di siang hari untuk kami makan di malam hari. Namun, acap kali kuliner itu tak cukup karena ketiga adikku masih begitu kecil, belum berilmu mencari makan sendiri & mereka makannya berbagai. Aku & ibu kerap mengalah, menahan lapar demi mereka. Namun, ibu yg lebih banyak kelaparan ketimbang kami. Tatkala kami sedang lahap makan, ibu selalu berkata bahwa ia sudah makan, namun tatkala kami berangkat tidur, kami menyaksikan ibu mengutipi sisa-sisa makanan yg telah kami makan.

  Wijil dan Anjing Siluman | Cerpen Angga T. Sanjaya

Rumah kami buruk. Baju kami buruk. Dan kami tak memiliki banyak keterampilan. Pada siang hari, ibu kami berkeliling dr satu tempat ke kawasan lain untuk memunguti benda-benda yg sudah dibuang oleh pemiliknya. Ibu menjual benda-benda pungutan itu & ibu mendapatkan duit. Uang itulah yg dipakai ibu untuk berbelanja makanan yg kami makan. Makara, ke manapun ibu pergi, kami kerap menyebutnya, “Ibu sedang mencari makan.”

Dulu, ayah kami seorang tukang panggul di pasar-pasar, tapi mendadak ayah kami sakit pinggang sehingga ia jarang panggul-panggul lagi. Namun, kadang-kadang ayah pulang membawa makanan, entah dr mana ia menerimanya. Pada karenanya, gue menduga selama ini ayah menerima kuliner untuk kami dgn cara mengutil di toko-toko. Semua orang tahu, mengutil yaitu perbuatan buruk & tak digemari siapa pun. Tuhan pula melarang mengutil. Namun, karena alasan tertentu, mungkin seseorang memang harus mengutil. Adik-adikku tak banyak paham kenapa & dgn cara apa ayah kami mati. Mereka cuma tahu makan & bermain serta menangis jikalau kelaparan.

*****

Malam masih panjang & kalian akan merasa lapar, kataku pada anak-anakku. Dan mereka tahu, itu artinya gue akan pergi untuk beberapa lama & pulang menjinjing makanan. Membesarkan empat anak manusia tak semudah membesarkan empat ekor ayam.

Anak-anak terlalu polos, siang & malam, yg mereka tahu hanyalah makan. Tatkala malam jatuh, sebenarnya gue tidak mau pergi ke mana-mana. Aku hanya ingin berdiam dlm rumah sambil memeluk anak-anakku. Namun, gue tahu, malam senantiasa berlangsung panjang & anak-anakku akan senantiasa merasa lapar. Ada detik di mana gue mesti menerima makanan untuk perut-perut kecil itu. Agar mereka lekas tidur & tak menanggung kutukan di malam hari, kutukan rasa lapar & rasa khawatir. Sebab itu, saban malam sebelum berangkat gue berkata pada mereka, “Malam masih panjang & kalian akan merasa lapar.”

  Unsur Ekstrinsik Dalam Cerpen

Lalu gue berangkat mengikuti langkah kaki pergi. Banyak yg sudah kulakukan di sepanjang hidupku untuk menerima secuil makanan. Keringat, air mata, & darah, telah banyak melebur dlm butiran nasi, serpih lauk-pauk, serta cuilan-kepingan kudapan manis yg tenggelam ke lambung anak-anakku. Mereka tak tahu itu. Dan tak perlu itu. Kadang gue merasa begitu letih & ingin mengalah. Membiarkan bawah umur itu kelaparan, membiarkan diriku kelaparan, lalu mati pada malam-malam yg hitam. Malam ini perasaan lelah & ingin menyerah itu kembali tiba. Menyerbu ke batok kepala, membisikkan kata-kata untuk berhenti.

Ketika langkahku menyusuri trotoar yg bising & berair sarat bekas minyak. Para pedagang kaki lima tengah sibuk dgn hidup mereka sendiri, asyik melayani pembeli mirip sedang mabuk: pedagang nasi goreng, mi goreng, nasi rames, bakso mi ayam, gula-gula, gorengan, nasi uduk. Di seberang yg lain, toko-toko dgn lampu benderang menyajikan roti-roti beraroma kopi, aneka masakan padang, serta puluhan jenis makanan yg namanya begitu susah dieja. Lihatlah! Kataku dlm hati. Di pinggir trotoar & jalanan ini makanan begitu banyak, namun ada saja manusia-manusia yg kelaparan. Sepertiku, mirip anak-anakku.

Ketika aroma bawang mengapung dlm genangan minyak panas menyapu cuping hidungku, perutku terasa semakin panas. Aku yakin, rasa panas ini persis mirip yg dicicipi anak-anakku. Perut-perut kecil itu.

Aku tak tabah menunggu warung-warung itu sepi. Makanan-makanan sisa dr para pembeli biasanya akan dikumpulkan jadi satu dlm tas plastik. Beberapa orang mengambilnya untuk pakan angsa & ayam. Namun, gue mengambilnya untuk makan anak-anakku. Dan gue boleh mengambil itu tatkala warung sepi. Sebab, pemilik warung melarangku tiba tatkala warung sedang ramai. Makara, yg kulakukan sepanjang malam yaitu berkeliling mengintai warung demi warung. Berharap memperoleh warung yg sepi pembeli. Warung yg pemiliknya sudi berbaik hati menyisakan sisa-sisa makanan dr konsumen. Sayangnya, tak banyak warung mirip itu. Dan penadah makanan sisa mirip itu tak cuma gue seorang.

  Mustajab dan Pak Bupati | Cerpen Sigit Widiantoro

Pada malam-malam tertentu, seperti Sabtu malam ini, warung baru akan sepi sekitar pukul satu dini hari. Aku & anak-anakku sudah tahu, pada malam-malam tertentu, kami baru bisa makan sesudah dini hari. Aku kerap merasa murung untuk itu. Malam terus saja berjalan, begitu panjang, & tak pernah peduli pada perut-perut kecil yg lapar. Namun begitulah, gue akan selalu menanti & menanti. Setelah suamiku dihajar massa gara-gara mengutil, gue sudah tak mau mengutil lagi. Aku takut mati. Kalau gue mati, anak-anakku pula akan mati.

Malam itu gue terus menunggu & menanti. Di atas sebuah kursi di tepi jalan. Hingga gue tertidur. Tatkala berdiri, udara telah menjadi acuh taacuh & warung-warung sudah begitu sepi. Aku berlari dr warung ke warung. Nihil.

“Hari ini cuma ada sedikit sisa makanan, sudah diambil peternak bebek,” kata pemilik warung.

“Kamu telat,” kata pemilik warung yg lain.

“Tidak ada sisa makanan sama sekali,” kata yg lain juga.

Malam masih panjang & anak-anakku akan merasa lapar. Mereka tak boleh tidur dlm keadaaan lapar. Sebab, itu akan menjadi tidur paling jelek. Rasanya gue ingin mengerat tubuhku & membawanya pulang, agar anak-anakku bisa makan sebelum berangkat tidur. (*)