RAMADHAN tinggal menanti hari. Hampir seluruh siaran televisi setempat tak henti-hentinya mengulas isu ihwal perdebatan tanggal yg akan ditetapkan untuk memulai bulan suci yg mewajibkan seluruh umat muslim di dunia untuk menunaikan ibadah puasa. Begitu pula halnya di Pasar Atas. Masyarakat yg dominan yakni pedagang sudah merencanakan diri menyambut kehadiran bulan penuh berkah itu. Dikenal selaku pusat perbelanjaan di seantero Sumatera Barat, maka para pedagang di Bukittinggi sudah mulai mencukupi persediaan barang dagangan mereka—terutama bagi pedagang busana—karena hanya di bulan ramadhan mereka dapat merasakan panen duit dr penjualan yg tak henti-hentinya terjadi dr awal bulan ramadhan sampai lebaran. Hal itu merupakan peluang bagi para pedagang untuk sebanyak-banyaknya.
Saat bulan Ramadhan, nyaris seluruh masyarakat yg berjualan di pasar mencicipi kebahagiaan yg tiada tara: dr pedagang, tukang angkat, penjahit, & penjaja kuliner, seluruhnya merasa senang, sebab cuma sekali setahun—tepatnya di bulan Ramadhan-lah—mereka mampu mencicipi pasar begitu ramai & sesak dikunjungi oleh orang-orang yg bukan cuma sekedar menyaksikan-lihat, namun bisa dikatakan niscaya membeli.
Tetapi, kebahagiaan tampaknya tak terasa oleh sepasang suami-istri yg memiliki kios di tengah-tengah pasar. Sepasang suami-istri yg mengontrak kios di kawasan ramai lalu-lalang pengunjung itu bernama Adeng & Gina. Mereka memasarkan beraneka macam jilbab—barang yg tentu saja akan menjadi buruan para ibu-ibu di dikala bulan nan suci ini. Namun kenyataan tersebut justru tak menciptakan mereka bersyukur layaknya pedagang lain.
Pada siang yg terik itu, Gina duduk di kursi plastik petak sambil bersandar ke etalase-nya, menikmati panorama yg membuat mulutnya menjadi ternganga. Tepat di depan kedua mata Gina, berdiri sebuah toko dgn empat pintu bernama Lolly Boutique. Toko itulah kini yg menjadi tontonan Gina, karena sedari tadi toko itu tak henti-hentinya dipenuhi oleh ibu-ibu yg saling berdesakan ingin belanja. Lolly, perempuan pemilik kios itu, terlihat kerepotan melayani ibu-ibu yg menjajal baju gamis dagangannya, sehingga suaminya pun terpaksa turun tangan membantu melayani mereka.
Pemandangan itulah yg membuat lisan Gina menjadi terbuka setengah, ternganga. Pada pinggiran mulutnya terlihat air liur berwarna putih yg telah mengering, seakan tak pernah dibasahi. Tatapannya kosong, sehingga tak sekali pun bola matanya beranjak dr toko itu.
Tak usang berselang, ia lihat jam tangan yg melingkar di tangannya. Jarum jam sudah memperlihatkan pukul setengah dua belas. Setengah jam lagi adzan Dzuhur akan berkumandang, tetapi belum pula seorang pun singgah ke kiosnya untuk berbelanja—jangankan membeli, melihat atau menanya-nanya pun tidak. Sementara, ia sudah membuka kiosnya sedari pukul setengah delapan pagi tadi, saat semua kios di sekelilingnya masih tutup.
Pemandangan itu sungguh-sungguh memburu hati Gina. Sedemikian singkat timbul dlm benaknya akan kemungkinan-kemungkinan yg terjadi pada dirinya andai kata merupakan yg berada di posisi Lolly dikala ini. Betapa senang & tentram hatinya mengimajinasikan dirinya yg bangkit di depan ibu-ibu yg bersemangat menentukan barang-barang dagangannya. Asalkan busana-pakaian di kiosnya sesuai dgn selera mereka, maka uang-uang berwarna merah & biru itu akan mengalir tak henti-henti.
ADZAN telah berkumandang. Seperti biasa, suaminya pun pergi menuju mesjid tanpa meninggalkan sepenggal kata untuknya. Ia lihat ke arah arloji emas yg melingkar di tangannya yg kecil. Sudah nyaris pukul setengah satu. Jantungnya mulai berdebar. Imajinasi yg membuatnya tersenyum-senyum itu saat itu juga buyar. Ia mulai khawatir. Hari ini ia harus membayar angsuran harian uang arisan Kak Ana dua kali lipat, lantaran kemarin ia mogok membayarnya. Untuk membayar cicilan itu, ia harus menyediakan uang tiga ratus ribu. Andai kata ia ingin bermain kondusif agar besoknya ia tak akan begitu sakit kepala memikirkannya, maka ia harus mendapatkan uang satu juta hari ini, karena hari rabu ialah jatuh tempo cicilan koperasi & motor. Keduanya berjumlah satu juta. Sedangkan besok ia pula harus mengangsur cicilan duit arisan hariannya sebesar seratus lima puluh ribu. Total seluruhnya berjumlah sejuta seratus lima puluh ribu. Berarti setidaknya ia harus menyediakan duit sebesar sejuta lima ratus untuk hari Rabu besok.
Gina menghela nafasnya. Imajinasinya saat itu juga sirna. Semakin kering & pucat bibirnya, persis seseorang yg mendapatkan perlawanan tatkala sedang berpuasa. Sementara panorama di hadapannya masih tak berganti-ubah, & bahkan semakin ramai saja ibu-ibu itu mengantri di sana. Kenyataan pahit itu kian tak terbantahkan oleh Gina. Air matanya lari ke dalam.
Satu rombongan ibu-ibu yg baru saja keluar dr kedai Lolly Boutique sekarang berjalan ke arah kios Gina yg tepat berada di hadapan mereka. Mereka memutuskan singgah ke kios yg belum disinggahi orang sejak pagi itu, & merekalah rombongan pertama yg masuk ke kiosnya.
Hanya beberapa orang yg terpesona meraba barang-barang yg terpajang di patung. Sedangkan sisanya cuma bangkit sejengkal di luar lantai kios itu. Sambil berbisik-bisik, para ibu-ibu itu mengomentari kios itu: rak barang yg terlihat kosong, patung model yg sudah tanpa kepala, & beberapa baskom yg ditaruh tepat di bawah plafon yg bocor. Kios itu betul-betul terlihat berlawanan dr kios yang lain. Membuat mereka kian enggan untuk masuk.
Satu demi satu beberapa dr rombongan itu keluar lantaran tak memiliki ketertarikan. Satu-satunya yg masih memilih-milih ialah si pemimpin rombongan. Ia tampaknya mempunyai ketertarikan dgn barang dagangan Gina, meskipun Gina hanya bisa diam melihat realita yg terpampang tepat di depan mata kepalanya. Betapa jelasnya cacian yg dilakukan oleh rombongan itu, & dlm hatinya muncul dugaan yg tak bisa ia redam: praduga akan betapa tak berharganya ia sebagai pemilik kios di mata rombongan ini. Namun, tiba-tiba tersentak hatinya. Ia berfikir, bahwa semestinya ia bersyukur masih ada orang yg tertarik untuk singgah ke kebunnya walaupun tak dihiasi oleh wortel-wortel yg segar, stroberi yg merah merekah, atau sayur-sayuran hijau nan segar, mirip yg mampu ditemui di kebun sebelah atau kebun yg sempurna berada di hadapannya, kebun tercerah yg Gina sendiri pun akui. Seharusnya ia memberikan senyuman pada si kandidat pembeli, agar makin tertarik ia, biar semakin terhipnotis ia untuk merogoh dompet di tasnya. Ketertarikan itu bukan lagi lantaran kualitas atau versi barang yg menarik hati, namun lebih pada keprihatinan pembeli kepada derita yg ia alami sebagai pemilik kios.
Entah atas dasar apa, si pemimpin rombongan risikonya merogoh dua lembar uang berwarna merah dr dlm dompetnya & memberikannya pada Gina. Barang yg ia beli adalah jilbab Pasmina yg tergantung sempurna di dinding bagian kiri. Ibu itu sama sekali tak menawar harga yg disebutkan oleh Gina. Hati Gina benar-benar senang, alasannya adalah akhirnya ia pecah telur juga. Setelah melaksanakan pembayaran, si pemimpin rombongan menerangkan kenapa jilbab itu ia beli. Ternyata lantaran jilbab tersebut sudah lebih dulu laku terjual di kios Lolly Boutique. Lolly pula mengatakan bahwa ahad ini suaminya akan berangkat ke Jakarta untuk membeli beberapa seri jilbab yg sudah banyak dipesan.
Hati Gina kembali remuk mendengar hal itu. Seketika ia menyesali apa yg telah ia perbuat beberapa tahun yg kemudian, “Andai dulu gue tak rakus akan uang, maka mungkin sekarang gue akan tetap tentram dgn keluargaku. Tatkala matahari mulai tenggelam, gue akan menutup kios ini dgn senyum & hati yg damai. Tatkala waktu makan siang tiba, gue akan makan dgn lahap tanpa memikirkan apa yg akan datang setiap jam empat sore.” Namun kata-kata tersebut hanya bersuara dlm hati & pikirannya. Ia pendam seorang diri.
HARI sudah menunjukkan pukul tiga sore. Suaminya tiba menjinjing anak mereka yg masih berumur lima tahun. Anak itu bernama Rocky. Nama itu diberikan oleh suaminya lantaran kelak nanti, ia ingin anaknya menjadi langsung yg sekuat & seberani Rocky Balboa. Ia ingin kelak nanti, tatkala anaknya telah dewasa, ia bisa mempertahankan martabat keluarganya dr orang-orang yg senang menindas, mirip apa yg mereka alami kini, pasangan suami-istri yg terlilit hutang oleh inang-inang peternak duit. Sekali saja meminta dispensasi untuk tak mengeluarkan uang angsuran harian, maka yg akan mereka terima bukan sebuah pengertian, melainkan caci-maki yg amat menyiksa hati.
Suaminya tak bertahan usang duduk di kios itu. Setelah lima belas menit kedatangannya, ia meminta diri pada istrinya dgn alasan pergi ke masjid. Istrinya tahu betul bahwa ia takkan mungkin melarang suaminya akan hal-hal yg berkaitan dgn agama, walaupun jauh dlm hatinya ia sungguh menyadari siasat itu, siasat menyingkir dari kontak paras dgn si inang penagih angsuran duit harian yg akan secepatnya tiba sebentar lagi. Dengan raut wajah cuek, ia paksakan untuk mengangguk, & suaminya pun berlalu.
Benar saja. Tak usang berselang, si inang dgn tas kecil menyilang di badannya yg gemuk berlangsung melenggak-lenggok ke arah kiosnya. Langkah yg cepat itu membuat darah Gina makin berdesir. Kemarin ia sudah meminta keringanan, maka hari ini ia harus mengeluarkan uang penuh, sedangkan sekarang ia cuma mempunyai dua ratus ribu hasil pemasaran jilbab Pashmina tadi, “Ya Allah, apabila gue berikan semua uang ini, maka sekali lagi malam ini Rocky tak minum susu lagi, Ya Allah.” Mata Gina berkaca-kaca setelah ia berbicara dlm hatinya.
“Gin, tak mogok lagi kau hari ini, kan?” Tanya Inang Ana sambil membuka tasnya.
“Tii..tidak, Nang. Tapi dua ratus dulu ya, Nang. Sepi, Nang.” Lunak bicara Gina. Penuh permintaan.
Inang Ana melirik dgn tajam & penuh sinis pada Gina. Ketakutan Gina kian menjadi & dgn segera ia berikan dua lebar uang merah itu. Rocky yg duduk di dekatnya menyaksikan Gina memperlihatkan uang itu pada Inang Ana. Sekali lagi dlm hati, Gina berkata, “Maafkan Ibu, Rocky. Lagi-lagi, malam ini tak ada susu, Rock.” (*)