Malam di Luar Hujan | Cerpen Sungging Raga

Malam di luar hujan. Wanita itu berpesan semoga kematiannya dirahasiakan. Sungguh ajakan yg membuatku takjub. Bagaimana mungkin seseorang meminta agar suatu kejadian penting dlm hidupnya, dirahasiakan dr siapapun?

Jangan menolongku, & jangan beritahu siapapun. Biarkan tubuhku membusuk di sini,” ucapnya tatkala napasnya sudah tersengal, & tak lama kemudian tubuhnya sungguh-sungguh tak bergerak lagi…

Baik. Kita mundur ke lima belas menit sebelumnya, yakni tatkala gue sedang berlangsung-jalan di tengah hutan yg terletak tak jauh dr desa. Dalam remang malam hujan, pada suatu jalan berlumpur yg membelah hutan, tiba-tiba kulihat suatu mobil berhenti, sorot lampu kendaraan beroda empat masih menyala tatkala pintu dibuka & tampak tiga orang keluar menggotong sesosok tubuh perempuan.

Aku segera bersembunyi di balik salah satu pohon yg batangnya sudah dipenuhi lumut. Kusaksikan bagaimana wanita itu diletakkan begitu saja di atas tanah yg dipenuhi daun-daun kering terendam lumpur, kemudian tiga orang itu kembali ke dlm mobil, & melaju ke arah kegelapan, diiringi bunyi gemerisik pohon & hujan. Setelah kupikir suasana kondusif, segera kudekati sosok tubuh tersebut, yg ternyata masih bernyawa, & bahkan masih mampu mengatakan.

“Bertahanlah Mbak, rumah saya tak jauh dr sini, kita cari derma.

Namun perempuan itu cuma menatapku, menggelengkan kepalanya, & mengucapkan kalimat mirip yg telah dikutip di permulaan dongeng ini…

Aku heran. Jika orang-orang tadi adalah pembunuh, tentu mereka bukanlah pembunuh profesional. Wanita ini masih bernyawa, bahkan masih bisa mengajukan sebuah usul. Ataukah memang ia sengaja tak dibunuh? Ini pula terlalu riskan, alasannya adalah sekilas gue melihat wajah orang yg menurunkannya. Mereka tak memakai topeng, penanda bahwa tak perlu ada yg mesti ditutupi.

Namun semuanya mirip sudah diukur begitu rincian. Toh sesudah meminta semoga kematiannya dirahasiakan, perempuan ini mengembuskan napas terakhir dgn tersenyum. Aku terpana. Kecantikan parasnya masih tersisa dr kulit wajahnya yg memucat. Tapi buat apa keelokan jika sudah menjadi mayat? Dan itu membuatku ketakutan. Hujan mengakibatkan suasana kian mencemaskan. Kutinggalkan ia di sana. Pasti besok akan ada orang lain yg menemukannya & mengabarkannya pada warga. Aku keluar dr hutan, menuruni bukit, & kembali ke rumah di mana cuma ada nenekku yg sudah terlalu bau tanah, yg tak mungkin bisa diajak bicara perihal apa yg baru saja terjadi.

  Sebelum Pesawat itu Jatuh | Cerpen Sam Edy Yuswanto

Namun sepanjang sisa malam itu, pikiranku tetap dipenuhi dgn bermacam-macam pertanyaan & kemungkinan. Apa yg telah dilalui oleh perempuan itu? Siapakah beliau? Apakah ia tidak mau membalas dendam?

Sehari berlalu, ternyata belum ada yg mengabarkan penemuan mayit. Apakah jasad wanita itu masih di sana? Mungkinkah tak ada yg menemukannya? Ataukah para pembunuh itu kembali & memindahkannya? Tiba-tiba gue menyesal lantaran tak menggotong mayatnya.

Suatu kali, tatkala sedang duduk di warung lotek Gerobak Ijo, hampir saja kuungkapkan kegelisahanku pada orang-orang, tetapi semuanya sibuk mengarahkan pandangan ke televisi. Memang, negeri kami sedang merayakan presiden gres, ada acara peresmian & konvoi di jalanan ibu kota. Aku tak terlalu peduli pada itu semua sampai mataku menangkap tiga orang sosok yg berada di belakang pemimpin baru tersebut.

Jantungku nyaris meledak.

Itu pembunuh yg kulihat! Mereka ternyata kaki tangan pemimpin sebuah negara!

Sebuah negara, saudara-kerabat! Sidang pembaca yg terhormat. Para penikmat sastra media cetak di mana pun Anda berada. Sungguh wajah cuek yg menyeret yg mengempaskan perempuan itu di hutan tengah malam, ternyata anak buah pemimpin negara.

Aku terpana. Takjub pada realita ini. Pikiranku berkecamuk & mulai berpikir ke arah yg tak kuduga sebelumnya. Bagaimana kalau presiden gres itu yg membunuh wanita tersebut lalu menyuruh anak buahnya membuang jasad wanita itu di tengah hutan? Aku mirip menjadi saksi kunci yg memiliki peranan penting. Di tanganku nasib pemimpin yg baru, yg bahkan mungkin nasib negara ini. Kalau gue bersuara, gemparlah negeri ini, kacau, demonstrasi mungkin meletus di mana-mana.

Aku kemudian pulang & bercermin. “Lihatlah dunia! Salem, pengangguran kelas kakap ini, sekarang memegang kontrol akan suatu skandal besar. Pemimpin yg baru itu, ialah seorang pembunuh!”

Tunggu. Barangkali gue mampu mendapat duit kalau kuberitahu bahwa gue menyaksikan perempuan yg mereka bunuh.

  Warung Padang Tetangga | Cerpen Ratna Ayu Budhiarti

Sore itu pula gue kembali ke hutan, namun suasana sudah banyak berganti. Apakah wanita itu telah dikuburkan hujan? Kucari jejak-jejaknya tetapi sia-sia. Esoknya gue kembali dgn membawa pacul, kugali beberapa bagian, berharap jasadnya bisa ditemukan. Namun tak ada yg kudapati selain suatu sepatu yg hanya sebelah. Sepatu perempuan itu. Tapi kupikir ini sudah cukup.

Berapa yg kuinginkan? Satu milyar? Aku tak pernah memegang uang lebih dr lima puluh ribu, jadi kupikir satu milyar itu duit yg hanya ada di dlm surga.

Aku sudah membayangkan mengetik cerita pendek di kafe glamor, sambil minum kopi & disapa pelayan manis. Mengetik jalinan kata-kata di atas cangkir dgn merk populer. Aku tak akan miskin lagi.

Haha! Persetan dgn kemiskinan! Ini niscaya jawaban dr Tuhan. Segera kutulis surat yg cuma berisi suatu kalimat: “Saya tahu yg Anda lakukan dikala malam tatkala di luar hujan.” Lantas kukirimkan ke alamat istana presiden yg tercantum di internet.

Begitulah, hingga empat hari kemudian, gue pun dijemput…

*****

Ketika badanku duduk terikat, gue baru menyadari, semuanya tak seperti yg dibayangkan.

“Rupanya gue tak menyaksikan kalau waktu itu ada orang,” kata seorang pengawal.

“Kaprikornus Anda ingin apa?” presiden itu lalu bertanya kepadaku.

Emm, saya hanya ingin hidup lebih baik, dgn punya uang.”

“Uang? Ini! Ini!” katanya lagi sambil menghujani kepalaku dgn uang merah yg tak pernah kulihat sebelumnya. Bahkan gue tak tahu bahwa uang merah segar itu pernah ada.

“Ha-ha-ha-ha!” pemimpin negeri itu lantas tertawa.

“Ha-ha-ha-ha!” pengawal yg paling besar pula tertawa hingga terpingkal-pingkal.

“Ha-ha-ha-ha!” pengawal lain ikut tertawa lebih terpingkal-pingkal.

“Ha-ha.” Aku pula ikut tertawa, tapi lirih.

“Orang terbelakang ini ingin kaya dgn memeras. Tak kusangka di negeriku ada orang seperti ini.”

“Tuan, jangan-jangan semua rakyat Anda memang mirip beliau.”

“Ha-ha-ha-ha. Tukang peras kok diperas?”

“Ha-ha-ha-ha.”

“Makara sepatu ini yg mau kau jadikan barang bukti untuk meminta duit kepadaku?”

“Ya. Itu gres sebelahnya,” gue mencoba mengancam.

  Empat Kisah pada Satu Hari Minggu | Cerpen Wendoko

Tawa kembali meledak.

Apakah gue diculik? Kalau gue diculik, pastilah gue dlm ancaman. Namun ini pula akan menjadi kesempatanku untuk menjadi seorang jagoan. Kau tahu, orang-orang yg diculik akan senantiasa dikenang, mungkin kelak namaku akan menjadi sebuah nama jalan. Siapa yg tahu? Jalan Salem. Siapa Salem? Itu, orang yg dibungkam lantaran ingin mengungkap kasus besar. Wah, pasti anak keturunanku lebih gampang menerima pekerjaan.

Kalau begitu, sekalian saja gue mengarang dongeng, bahwa sepatu yg sebelahnya telah kuserahkan pada temanku yg bekerja di surat kabar. Pastilah ia kalang kabut. Tapi belum sempat gue bicara, tiba-tiba suatu hantaman keras menciptakan mataku gelap, dibarengi rasa sakit menyerang sekujur tubuh, bertubi-tubi, & mirip ada darah. Sayang sekali, penggalan ini tak mampu diceritakan utuh lantaran mengandung unsur kekerasan yg tak baik untuk pembaca yg budiman.

*****

Dalam ngilu, dlm sisa kesadaran & rintihan kepedihan, kurasakan diriku digotong oleh dua orang. Tetes hujan mengenai wajah, seperti tanggapan dr doa-doa yg pernah kupanjatkan. Langit gelap, entah ini di mana. Mereka lalu membawaku ke bersahabat sebuah jurang.

“Lemparkan saja.”

“Kalau di bawah ada orang?”

“Biar saja. Pasti nanti dikira mati bunuh diri atau jatuh.”

Itulah percakapan terakhir yg kudengar, sesaat sebelum tubuhku diayunkan & diempaskan…

Apakah orang-orang itu menyangka seluruhnya beres? Tidak. Mereka pikir gue sungguh-sungguh lugu, padahal gue pernah kuliah meski tak selesai, gue namun gue seorang penulis meski tak pernah mendapat penghargaan. Biar pun tubuhku mungkin tak didapatkan, tetapi gue telah mengira seluruhnya. Sesaat sebelum ditangkap, segala insiden tentang wanita itu & diriku sudah ditulis di sini, dlm cerita ini, & kukirimkan ke media, hingga tiba di tangan Anda sekarang.

Jadi, jika Anda selesai membaca cerita ini & memilih tak ingin ikut campur, saya harap Anda secepatnya menyembunyikannya & bersikap seolah tak pernah membacanya, karena barangkali malam nanti ada beberapa orang datang mengetuk rumah Anda, & saya sudah tak ikut bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa…(*)