Tinggal di daerah yg ada orang pintarnya menjinjing keuntungan tersendiri buat Handoko. Orang-orang yg disebut bakir tujuannya punya kesanggupan menafsir mimpi. Mampu mencari barang hilang, menemukan pencurinya, hingga menolong perjodohan seseorang bahkan melihat masa depan.
Semuanya bermula tatkala seorang kawan sekolah mengajukan pertanyaan wacana peruntungan nasib rumah tangganya. Selalu diwarnai percekcokan dgn mertua, tak pernah merestui bermenantukan dirinya.
“Mertuaku mengguna-gunai kami biar cerai. Kalau ada orang bakir di kampungmu, tolong antarkan gue padanya.”
“Untuk apa? Mengguna-gunai mertuamu biar luluh, begitu?”
“Mau nengok masa depan kami. Langgeng apa tidak.”
Ada-ada saja. Kalau mau langgeng rumah tangga ya akur-akur sama istrimu. Handoko mencoba menasehati kawannya yg lulusan Universitas jurusan Perbankan, namun tak sukses kerja di Bank. Malah jadi pebisnis catering karena menikahi putri pebisnis catering paling ternama di kota yg langganannya hingga ke mana-mana.
Karena terus memaksa, Handoko menenteng mereka ke orang arif yg sesungguhnya masih ada hubungan keluarga dr garis ibunya. Orang cerdik itu masih saudaranya, mereka tak perlu memberi macam-macam kado. Cukup uang seadanya & beberapa benda yg menjadi syarat selaku media untuk ‘membaca’ masa depan.
Karena hasil penerawan itu mengatakan yg baik-baik wacana masa depan rumah tangga mereka, Handoko diberi imbalan yg mulanya ditolaknya mentah-mentah.
“Apalah kamu ini. Tak perlulah memberiku imbalan, kita ‘kan kawan….”
Karena duit itu disorokkan paksa ke dlm saku baju Handoko, ia tidak memiliki potensi untuk memulangkannya sebab mereka eksklusif beranjak pergi.
Sejak itu mengalirlah kabar dr ekspresi ke verbal mitra-kawan Handoko di kota. Kalau butuh jasa orang pandai hubungi saja dia. Seperti semut mengerubungi gula yg tumpah di atas meja, ada saja yg tiba kepada Handoko untuk dipertemukan dgn orang akil di daerahnya. Padahal selama ini ia & keluarganya sama sekali tak pernah memakai ‘kepintaran’ mereka untuk banyak sekali kebutuhan, seperti orang-orang di kota itu.
“Entahlah, mitra-kawanku ini. Kok bisa-bisanya percaya sama yg begitu.”
“Kalau tak suka jangan mau, Bng. Bilang saja tak tahu.”
Dia bukannya bahagia jadi makelar klenik begitu, koordinasi dlm kemusyrikan sama berdosanya dgn melakukannya. Apa mau dikata, orang-orang terus saja berdatangan meminta dikirimkan ke tempat tinggal orang terpelajar. Handoko tak yummy hati menolak.
Hari itu ia ditelepon salah satu kenalan kawannya. Meminta diantarkan ke rumah orang terpelajar yg bisa menemukan barang yg dicuri maling. Handoko membawa mereka ke orang pintar di seberang kampungnya. Seorang lelaki setengah kala yg masih tegap alasannya adalah ilmu kanuragan yg dimiliki. Kabarnya ia tahan bacok, ia buktikan dgn menusuk perut & tangannya dgn sebilah keris. Menjulurkan lidahnya ke keris juga, tak tersayat sama sekali. Bertambah percayalah tamu yg dibawa Handoko.
Lelaki empat puluhan itu, keluar alasannya adalah tersedak asap kemenyan & wangi kembang tujuh rupa dr dupa yg menyala. Atas jasanya, Handoko diberi hadiah yg lagi hendak ditolak.
Hampir saban hari hp laki-laki itu berdering. Panggilan dr orang-orang yg memerlukan jasanya dlm memilihkan orang berilmu yg tepat di kampungnya atau di kampung sebelah atau sebelahnya lagi. Hadiah yg tadinya ditolak, jumlahnya lama kelamaan makin meningkat, sekarang diterimanya sepenuh hati.
Handoko tolong dapatkan dgn orang berakal di kampungmu, saya mau masuk pegawai negeri. Handoko tolong bawa saya pada orang yg bisa membuat laris kedai saya. Handoko tolong…, saya mau punya istri lagi. Handoko…, tolong saya mau naik jabatan. Karena sedang ekspresi dominan pemilu penelepon Handoko bertambah lagi. Para kandidat legislatif yg akan maju di panggung pemilu. Para caleg tiak segan-segan memberi kado melebihi yg biasa diterima Handoko. Membuatnya makin sibuk, abaikan sawah & ladang yg selama ini menghidupi mereka. Istrinya gundah.
“Apa tak sebaiknya kamu lewati saja pekerjaanmu itu Bang.”
“Tak selamanya mirip ini, dek. Pemilu ‘kan cuma lima tahun sekali. Kita manfaatkan saja potensi .”
“Iya…, tapi bagaimana kalau ia tak menang. Pilihan rakyat mana bisa direkayasa.”
“Halah!”
Handoko mengibaskan tangan sambil berlalu. Lagi bersikap abai. Tak lagi mau peduli pada dosa yg dulu dikhawatirkannya. Istrinya cemas suaminya ’sial’ jikalau penerawangan orang akil tak bekerja pada seseorang. Kekahawatiran istrinya memang tak terbukti, setidaknya hingga dikala ini.
Orang-orang makin sering menggunakan jasa Handoko. Orang akil di daerahnya belum pernah mengecewakan tamu yg tiba meminta diterawang nasibnya. Buktinya hingga dua tiga kali mereka minta diterawang. Karena sudah tau jalan menuju rumah si orang pintar, mereka tak lagi memakai jasanya sebagai penanda jalan. Handoko mulai sepi job.
Dia mencoba tersenyum pada mobil-mobil yg melintas di depan rumahnya, cuma mengklakson tanda permisi masuk ke kampungnya. Kemudian mengklakson lagi selaku perumpamaan pamit mau pulang. Kebetulan rumahnya di pinggir jalan utama.
Kebanggan Handoko mulai goyah. ia yg tadinya merasa berjasa sudah menolong orang yg kesulitan dgn menjadi semacam makelar, merasa diabaikan. ia mulai ketagihan hadiah-hadiah yg diberikan layaknya minum tuak. Ada yg hilang tatkala tak lagi dimintai pertolongan untuk menghantarkan orang-orang kota itu pada orang akil yg dimaksud.
Hatinya mulai geram. Enak saja mereka melewatinya. Apa yg bisa dilakukannya, tak mungkin melarang mereka lewat di depan rumahnya, atau menyuruh orang bakir untuk tak menerima tamu. Bukan hal yg burk menemui orang akil, kenapa tidak?
Pagi-pagi sekali keesokan harinya ia menuju rumah orang berilmu. Mula-mula yg di seberang kampungnya. Tidak ada kemenyan, pun bunga tujuh rupa. Sedang tak ada tamu. Kebetulan, pikir Handoko.
Pak Amir, nama orang berakal itu. ia pribadi mempersilakan Handoko masuk ke ruangan tempat ia biasa mendapatkan tamu. Meski sedikit heran, padahal ia pasti tau kedatangannya bukan untuk minta diterawang. ia bergegas menjelaskan, semoga tak timbul salah praduga,
“Pulanglah!”
Kalimat pungkas pak Amir sehabis beberapa pernyataan hasil penerawangan beliau yg dipungkiri Handoko setengah mati, alasannya ia tanpa jeruk purut atau keris yg biasa dipertontonkan sambil menusuk-nusuk badan & lidahnya yg kebal. Malah mengusirnya. Tak memberi waktu untuk menyelesaikan isi hati, alasan kedatangannya ke tempat itu. Agar melakukan pekerjaan sama, jangan menerima tamu jikalau tak beserta dirinya.
Mengetahui misinya tak berhasil, ia menuju kampung yg satu lagi. Menemui seorang perempuan sepuh berkulit kunyahan sirih, pinang, & tembakau.
“Akan ada sesuatu yg kurang baik menantimu di hadapan.”
Handoko mati kata. Dua orang pandai menyampaikan hal sama. Apa-apaan! Bukannya seharusnya mereka pula cemas tentang diri mereka, jika ini ihwal dirinya yg makelar. Tentang kolaborasi, seandainya mereka setuju, ia bisa membelikan kalung emas yg pernah dimiliki istrinya. Yang sudah dijual waktu mereka mendirikan rumah, beberapa tahun lalu. Handoko masygul. Mencoba melalaikan pesan tersirat mereka.
Istri Handoko tengah memetik daun jeruk perut di belakang rumah. Niatnya memasak ayam kampung rica andaliman tatkala langit yg tadinya cerah tiba-tiba mendung. Awan hitam bergelombang seakan hujan mau tumpah. Jemari wanita itu secepatnya terhenti di pucuk pohon jeruk perut berdaun lebat. Bukan alasannya adalah awan gelap yg tiba tiba-tiba, tetapi iring-iringan kendaraan beroda empat menuju rumahnya.
Asap knalpotnya sama hitam dgn awan. Perasaannya pribadi tak tenteram. Sedapnya kuliner ayam berandaliman yg tadi bersiborok dlm pikirannya, hilang saat itu juga. Berganti ketakutan tak berhingga. ia nyaris hafal dgn ciri-ciri mobil-kendaraan beroda empat caleg yg lewat depan rumahnya. Kecemasannya makin bertambah tatkala awan hitam yg tadi bergulung berhenti di atap rumah.
Dia berlari ke dalam, mendapati Handoko yg tengah tertidur sepulang dr sawah tadi bersamanya.
“Bang, bangkit Bang. Banyak orang tiba ke tempat tinggal kita…,” bisik istrinya mengguncang tubuh suaminya.
Lelaki itu berdiri, melongok ke muka rumah. Pemilu telah usai. Caleg yg kalah & menang sudah diumumkan melalui program di televisi tadi malam. Mereka yg sekarang tegak di depan rumah, mengingatkannya akan ucapan orang akil beberapa waktu lalu.
Handoko menjangkau pundak istrinya, melompati tembok rumah belakang setelah perempuan itu. Menerobos ladang jagung & belukar berduri yg berkembang usai padi dipanen. Mereka tengadah ke langit, sedikit lega awan hitam tak mengikuti. Tetap menggantung di atap rumah yg makin usang makin kecil dr atas bukit. Salahkan orang pintar! Aku hanya makelar! Lelaki itu meradang. (*)