Beberapa jam yang kemudian, seorang sahabat menulis status di FB: “Makar dan makaryo itu beda tipis, setipis bulu kuduk ulat yang menggantung di atap jendela. Hasil jadinya yang berlainan. Mboten gundah to?” Tidak galau, kan?
Membaca status tersebut, jiwa usil aku datang-datang terpantik untuk menuliskannya lebih panjang. Setidaknya meluapkan apa yang berseliweran di batok kepala, sebelum pada karenanya hanya akan mengendap, menyisihkan ampas, dan terlewat begitu saja.
Status tersebut barangkali ditulis berhubungan dengan berita yang belakangan berhembus di beberapa media kita; penangkapan beberapa orang yang disangka hendak melaksanakan makar. Isu tersebut dikaitkan dengan rangkaian aksi 212. Isu yang beredar, apa pun itu, seharusnya tidak kita telan bundar-bulat mirip tahu bulat yang digoreng kagetan, limaratusan, yang maknyus itu, bukan? Sebab yang terjadi, gosip dari media kita acapkali sarat tendensi pada salah satu pihak. Maka, seharusnya kita cari tahu dulu kebenaran atas info tersebut. Setidaknya pembanding, sebelum menetapkan mengirimi mereka bunga atau bangkai ikan berbungkus koran.
Makar. Menurut KBBI: 1 logika bau; tipu muslihat; 2 perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang, dan sebagainya; 3 perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah.
Dari definisi tersebut, menurut dangkal cara berpikir aku, siapa pun yang berupaya melakukan tindak makar, pasti tidak bisa dibenarkan. Sebab mereka, para pelaku makar, akan senantiasa mencari-cari kesalahan, mencari celah untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah. Itu terjadi barangkali karena mereka terlalu menaruh benci. Hati mereka selalu dipenuhi kebencian. Ini akan berlawanan saat mereka memosisikan diri mereka sebagai oposan. Sebab bagaimana pun juga oposisi diharapkan dalam sebuah pemerintahan selaku penyeimbang atas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan.
Sedang makaryo adalah berkarya, atau kita –orang-orang jawa– sering mengartikannya sebagai bekerja. “Makaryo sik, golek upo.” Bekerja dulu mencari sesuap nasi.
“Lalu apa kaitan makar dan makaryo?”
Lagi-lagi menurut dangkal cara berpikir saya. Makar dan makaryo (melakukan pekerjaan ) pasti bersahabat kaitannya. Mereka yang melaksanakan atau merencanakan tindak makar, mengakibatkan makar selaku ladang menuju makaryo (bekerja). Sebab sesudah, misal, tindak makar tersebut berlangsung dengan baik dan berhasil menggulingkan pemerintahan yang ada, pasti akan digantikan dengan struktur pemerintahan yang mereka sepakati dari orang-orang mereka. Hal ini lalu akan menjadi semacam padi yang mulai menguning yang siap mereka panen yang lalu akan menyanggupi perut-perut mereka. “Bukankah satu dari sekian tujuan makaryo adalah untuk menyanggupi keinginan yang selsai pada tai dan seni?”
Sebagai epilog cocoklogi dari cara berpikir batok kepala yang minim kapasitas ini, mari sejenak kita baca kembali apa yang tersurat dan tersirat dari Q.S. Al Maidah ayat 8: “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kau untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, sebab adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, bahu-membahu Allah Maha Mengetahui apa yang kau kerjakan.” [11]