Makalah Wacana Ijab Kabul Dan Talak

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Di dalam agama Islam, Allah mengusulkan kita untuk melaksanakan pernikahan. Pernikahan ialah suatu proses dimana seorang wanita dan seorang pria menyatukan kekerabatan mereka dalam ikatan kekeluargaan dengan tujuan mengontrol kehidupan rumah tangga dan keturunan.
Pernikahan dalam Islam merupakan sebuah proses yang sakral, mempunyai adat-budbahasa tertentu dan tidak bisa di kerjakan secara sembarang pilih. Jika pernikahan tidak dikerjakan menurut syariat Islam maka akad nikah tersebut bisa menjadi sebuah tindakan zina. Oleh alasannya itu, kita selaku umat Islam mesti mengetahui kiat-tips akad nikah yang tepat dengan kaidah agama Islam agar akad nikah kita dinilai ibadah oleh Allah SWT.  
Manusia selaku makhluk sosial tidak mampu terlepas dari ketergantungan dengan orang lain. Menurut Ibnu Khaldun, manusia itu (pasti) dilahirkan di tengah-tengah masyarakat, dan mustahil hidup kecuali di tengah-tengah mereka pula. Manusia memiliki naluri untuk hidup bersama dan melestarikan keturunannya. Ini diwujudkan dengan akad nikah.
Pada dasarnya perceraian itu ialah hal yang di bolehkan namun hal tersebut ialah hal yang dibenci olah Allah SWT. Maka dari itu, sebisa mungkin manusia menyingkir dari perceraian tersebut. Tetapi apabaila sudan kadung bercerai, maka haruslah kita berpikir kembali ihwal apa yang sudah diputuskan alasannya adalah suami memiliki hak, yaitu hak merujuk terhadap istri yang telah terlanjur di ceraikan.
Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir alasannya adalah beberapa hal, yaitu sebab terjadi talak yang dijatuhkan terhadap suami terhadap istrinya, atau alasannya perceraian yang terjadi antara keduanya, atau karena alasannya-alasannya adalah lain. Hal-hal yang menjadikan putusnya perkawinan akan dijelaskan didalam makalah ini.
Namun disetiap perceraian antara suami dan istri ada kata untuk kembali.Pada dasarnya rujuk bermakna kembali, dan masih bersifat lazim maka dari itu dalam pembahasan kali ini kami akan menjajal membahas atau mengkhususkan arti dari Talak dan rujuk tersebut ke dalam sebuah ijab kabul, kita semua mengetahi bahwa akad nikah itu yaitu suatu ikatan yang sungguh kuat antara pria dan perempuan (mitsaqah ghalidhon
Pernikahan yang menjadi usulan Allah dan Rasull-Nya ini ialah kesepakatan yang sungguh berpengaruh atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya ialah ibadah.
Pernikahan yang telah dikontrol sedemikian rupa dalam agama dan Undang-undang ini mempunyai tujuan dan pesan tersirat yang sungguh besar bagi manusia sendiri. Tak lepas dari hukum yang diturunkan oleh Allah, pernikahan mempunyai banyak sekali macam aturan dilihat dari keadaan orang yang hendak melaksanakan ijab kabul.
B.     Rumusan Masalah
Rumusan problem dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana Konsep Pernikahan dalam Islam?
2.      Bagaimana Islam memandang perihal Talak?
C.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dalam makalah ini yaitu:
1.      Memahami Konsep Pernikahan dalam Islam.
2.      Memahami Islam menatap tentang Talak.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pernikahan dalam Islam[1]
Menurut Departemen Agama RI, akad nikah yaitu komitmen yang menghalalkan antara laki-laki dan wanita dengan janji menikahkan arau mengawinkan. Kata nikah nikaahun  atau pernikahan telah menjadi kosa kata bahasa indonesia sebagai padanan kata perkawinan zawaajun. 
Istilah nikah berasal dari bahasa Arab, ialah ( النكاح ), adapula yang mengatakan perkawinan menurut ungkapan fiqh dipakai perkataan nikah dan perkataan zawaj.[2] Sedangkan menurut perumpamaan Indonesia ialah perkawinan.
Dewasa ini seringkali dibedakan antara ijab kabul dan perkawinan, akan namun pada prinsipnya perkawinan dan akad nikah cuma berlawanan dalam mempesona akar katanya saja.[3] Perkawinan ialah ;
عبارة عن العقد المشهور المشتمل على الأركان والشروط
Sebuah istilah tentang akad yang sungguh jelas dan terangkum atas rukun-rukun dan syarat-syarat.[4]
Para ulama fiqh pengikut mazhab yang empat (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali) pada umumnya mereka mendefinisikan perkawinan pada :
عقد يتضمن ملك وطء  بلفظ انكاح أو تزويج أو معناهما
Akad yang membawa kebolehan (bagi seorang pria untuk berhubungan badan dengan seorang perempuan) dengan (diawali dalam janji) lafazh nikah atau kawin, atau makna yang sama dengan kedua kata tersebut.[5]
B.     Rukun Nikah
1.      Wali
Berdasarkan sabda Rasulullah Sallallahu `Alaihi Wasallam:
ايُّمَا امْرَأةِ نُكِحَتْ بِغَيْرِ اذِنِ وَلِيْهَا، فَنِكَحُهَا بَاطِلٌبَاطِلٌ
Artinya : “ Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal… batal.. batal.” (HR Abu Daud, At-Tirmidzy dan Ibnu Majah)
2.      Saksi
Rasulullah sallallahu `Alaihi Wasallam bersabda:
لاَ نِكَاحَ الاَّ بِوَلِي وَ شَاهِدَيْ عَدْلِ
Artinya : “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.”(HR Al-Baihaqi dan Ad-Daaruquthni. Asy-Syaukani dalam Nailul Athaar berkata : “Hadist di kuatkandengan hadits-hadits lain.”)
3.      Akad Nikah
Akad nikah yakni kesepakatanyang berjalan antara dua pihak yang melangsungkan akad nikah dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul yakni penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang mesti dipenuhi:
1.      Adanya suka sama suka dari kedua kandidat mempelai.
2.      Adanya Ijab Qabul.
3.      Adanya Mahar.
4.      Adanya Wali.
5.      Adanya Saksi-saksi.
Untuk terjadinya aqad yang memiliki balasan-akibat hukum pada suami istri haruslah menyanggupi syarat-syarat selaku berikut :
1.      Kedua belah pihak telah tamyiz.
2.      Ijab qobulnya dalam satu majlis, ialah ketika mengucapkan ijab qobul tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut adab dianggap ada penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab qobul.
Di dalam ijab qobul haruslah dipergunakan kata-kata yang dipahami oleh masing-masing pihak yang melakukan aqad nikah selaku menyatakan kemauan yang timbul dari kedua belah pihak untuk nikah, dan tidak boleh memakai kata-kata garang. Dan berdasarkan sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
Syeikh Abu Bakar Jabir Al-Jazaairi berkata dalam kitabnya Minhaajul Muslim. “Ucapan saat pernikahan seperti: Mempelai lelaki : “Nikahkanlah aku dengan putrimu yang berjulukan Fulaanah.” Wali perempuan : “Aku nikahkan kamu dengan putriku yang berjulukan Fulaanah.” Mempelai laki-laki : “Aku terima nikah putrimu.”
3.      Mahar (Mas Kawin)
Mahar yaitu tanda keseriusan seorang laki-laki untuk menikahi seorang perempuan. Mahar juga merupakan pinjaman seorang laki-laki terhadap wanita yang dinikahinya, yang berikutnya akan menjadi hak milik istri secara sarat . Kita bebas menentukan bentuk dan jumlah mahar yang kita inginkan alasannya adalah tidak ada batasan mahar dalam syari’at Islam, tetapi yang disunnahkan adalah mahar itu diubahsuaikan dengan kesanggupan pihak kandidat suami. Namun Islam mengusulkan biar meringankan mahar. Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling gampang (ringan).”(H.R. Al-Hakim: 2692)
C.    Khitbah ( peminangan )
Seorang lelaki yang sudah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut terhadap walinya.
Apabila seorang laki-laki mengenali wanita yang mau dipinangnya sudah apalagi dulu dipinang oleh laki-laki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya sampai saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)
1.      Yang perlu diamati oleh wali
Ketika wali si perempuan dihadiri oleh lelaki yang hendak meminang si wanita atau dia hendak menikahkan perempuan yang di bawah perwaliannya, sebaiknya dia memerhatikan perkara berikut ini:
a.       Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya laki-laki yang demikian dan si perempuan yang di bawah perwaliannya juga menyepakati maka hendaknya ia menikahkannya alasannya adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
فَسَادٌ عَرِيْضٌ إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَ
“Apabila tiba kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan perempuan kalian. Bila kalian tidak melakukannya pasti akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al- Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
b.      Meminta pertimbangan putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan dihentikan memaksanya.
Persetujuan seorang gadis yakni dengan diamnya karena umumnya beliau malu.
D.    Anjuran pernikahan dalam Islam
Islam sudah menganjurkan terhadap manusia untuk menikah. Dan ada banyak hikmah di balik tawaran tersebut. Antara lain adalah :
1.      Sunnah Para Nabi dan Rasul
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَن يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ
Dan bahwasanya Kami telah menyuruh beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami menawarkan terhadap mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul menghadirkan sesuatu ayat melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap kala ada Kitab. (QS. Ar-Ra’d : 38).
Dari Abi Ayyub ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Empat hal yang merupakan sunnah para rasul : [1] Hinna’, [2] berparfum, [3] siwak dan [4] menikah. (HR. At-Tirmizi 1080)
2.      Bagian Dari Tanda Kekuasan Allah
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya yakni Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, biar kamu condong dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu betul-betul terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(QS. Ar-Ruum : 21)
3.      Salah Satu Jalan Untuk Menjadi Kaya
وَأَنكِحُوا الأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang patut dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui.(QS. An-Nur : 32)
4.      Ibadah Dan Setengah Dari Agama
Dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Orang yang diberi rizki oleh Allah SWT seorang istri shalihah bermakna telah dibantu oleh Allah SWT pada separuh agamanya. Maka dia tinggal menyempurnakan separuh sisanya. (HR. Thabarani dan Al-Hakim 2/161).
5.      Tidak Ada Pembujangan Dalam Islam
Islam berpendirian tidak ada pelepasan kontrol gharizah seksual untuk dilepaskan tanpa batas dan tanpa ikatan. Untuk itulah maka diharamkannya zina dan seluruh yang menjinjing kepada tindakan zina.
Tetapi di balik itu Islam juga menentang setiap perasaan yang bertentangan dengan gharizah ini. Untuk itu maka dianjurkannya biar kawin dan melarang hidup membujang dan kebiri.
Seorang muslim tidak halal menentang perkawinan dengan asumsi, bahwa hidup membujang itu demi berbakti terhadap Allah, padahal dia mampu kawin; atau dengan argumentasi semoga mampu seratus persen mencurahkan hidupnya untuk beribadah dan memutuskan relasi dengan duniawinya.
Abu Qilabah mengatakan “Beberapa orang teman Nabi berniat akan menjauhkan diri dari duniawi dan meninggalkan perempuan (tidak kawin dan tidak menggaulinya) serta akan hidup membujang. Maka berkata Rasulullah s.a.w, dengan nada marah lantas ia berkata:
‘Sesungguhnya orang-orang sebelum kau hancur lantaran keterlaluan, mereka memperketat kepada diri-diri mereka, oleh karena itu Allah memperketat juga, mereka itu akan tinggal di gereja dan kuil-kuil. Sembahlah Allah dan jangan kamu menyekutukan Dia, berhajilah, berumrahlah dan berlaku luruslah kamu, maka Allah pun akan meluruskan kepadamu.
Kemudian turunlah ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُحَرِّمُواْ طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللّهُ لَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu mengharamkan yang baik-baik dari apa yang dihalalkan Allah untuk kamu dan jangan kamu melewati batas, karena sebenarnya Allah tidak suka terhadap orang-orang yang melewati batas. (QS. Al-Maidah: 87)
6.      Menikah Itu Ciri Khas Makhluk Hidup
Selain itu secara filosofis, menikah atau berpasangan itu adalah ialah ciri dari makhluq hidup. Allah SWT telah memastikan bahwa makhluq-makhluq ciptaan-Nya ini diciptakan dalam bentuk berpasangan satu sama lain.
وَمِن كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan biar kau mengingat kebesaran Allah.(QS. Az-Zariyat : 49)
E.     Tujuan Nikah
Orang yang menikah sepantasnya tidak cuma bermaksud untuk menunaikan syahwatnya semata, sebagaimana tujuan kebanyakan insan pada hari ini. Namun hendaknya ia menikah sebab tujuan-tujuan berikut ini:
1.      Melaksanakan proposal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang sudah mampu untuk menikah maka hendaknya dia menikah….”
2.      Memperbanyak keturunan umat ini, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, sebab (pada hari akhir zaman nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat lainnya.”
3.      Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, menundukkan pandangannya dan persepsi istrinya dari yang haram. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَوَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada pria yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengenali apa yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah terhadap wanita-perempuan yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)
F.     Hukum Pernikahan[6]
Jumhur (secara umum dikuasai) ulama memutuskan hukum menikah ada lima: mubah, sunnat, wajib, makruh dan haram.
1.      Sunnah
Mereka sepakat bahwa aturan asal akad nikah yakni sunnah. Mereka berargumentasi dengan Sabda Rasulullah SAW:
“Wahai para pemuda, siapa diantaramu yang telah memiliki kemampuan untuk menikah, menikahlah sebab menikah itu lebih memelihara pandanagan mata daan lebih menertibkan seksual. Siapa yang belum memiliki kesanggupan, hendaklah beliau berpuasa, alasannya adalah puasa merupakan penjagaan baginya ”. (Muttafaq Alaih)
Selanjutnya aturan nikah bisa berganti-ubah menjadi mubah, wajib, makruh dan haram dalam hal itu tergantung maksud dan kondisi atau keadaan orang yang bersangkutan.
c.       Mubah
Menikah hukumnya menjadi mubah atau boleh bagi orang yang tidak memiliki aspek pendorong  atau faktor yang melarang untuk menikah. Ini berargumentasi terhadap biasanya ayat dan hadits yang merekomendasikan menikah.
d.      Wajib
Seseorang yang dilihat dari pertumbuhan jasmaniahnya sudah patut untuk menikah, kedewasaan rohaniahnya suadah matang dan memiliki ongkos untuk menikah serta untuk menghidupi keluarganya dan bila ia tidak menikah khawatir terjatuh pada tindakan mesum atau zina hukum, maka menikahnya hukumnya wajib. Hal ini didasarkan pada hadits Bukhari Muslim Di point a.
e.       Makruh
Seseorang yang dipandang dari kemajuan jasmaniahnya telah layak untuk menikah kedewasaan rohaniahnya telah matang tetapi beliau tidak mempunyai ongkos untuk bekal hidup beserta istri lalu anaknya. Jadaia makruh untuk menikah dan direkomendasikan untuk mengendalikam nafsunya lewat puasa. Ia lebih baik tidak meikah dulu, alasannya menikah bagina akan membawa kesengsaraan juga bagi istri dan ananaknya.
f.       Haram
Pernikahan menjadi haram hukumya bagi seseorang yang menikahi wanita dengan maksud menyakiti, mempermainkan dan memeras hartanya. Demikian juga nikah dengan wanita yang haram dinikahi. Hala itu seperti memadu dua permpuan bersaudarapada waktu yang sama. Jika seseorang menikah dengan maksud maksud demikian, nikahnya sah sebab menyanggupi syarat dan rukunya yang normal. Hanaya ia berdosa alasannya adalah maksud buruknya itu. Ia tidak berdosa jikalau maksud buruknya itu diurungkan dan tidak dilaksanakannya.
G.    Hukum Walimah
Jumhur ulama berpendapat bahwa menyelenggarakan pesta pernikahan hukumnya sunat muakkad (sungguh sunat). Hal itu menurut terhadap sabda Rasulullah SAW:
“Adakanlah pesta meskipun cuma memotong seekor kambing!” (Hadits Muttafaq’alaih)
Demikian juga sunat hukumnya memberitahukan penyelengaraan pernikahan, berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
“Umumkanlah pernikahan ini, selenggarakanlah akadnya di masjid dan sesudah itu adakanlah pertunjukan rebana!”. (HR. Ahmad dan AT-Tirmidzi)
H.    Hukum Menghadiri Walimah
Berbeda dengan aturan menyelenggarakaan pesta pernikahan yang cuma berhukum sunnah saja, menghadiri pesta itu hukumnya wajib bagi orang yang diundang. Beralasan terhadap hadits Nabi dibawah ini:
“bila salah seorang diantaramu dipanggil untuk menghadiri suatu pesta hendaklah beliau menghadirinya”. (Muttafaq’alaih)
I.       Waktu Pelaksanaan Walimah[7]
Walimah dilakukan bersama-sama dengan janji atau setelahnya, atau bertepatan dengan malam pertama atau sesudahnya. Masalah ini sifatnya fleksibel sesuai kebiasaan dan tradisi. Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. mengundang para sobat sesudah lewat malam pertama dengan Zainab.
J.      Macam-macam Pernikahan Terlarang[8]
1.      Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah ijab kabul antara pria dan wanita dengan menyebutkan deadline tertentu saat pernikahan misal satu minggu, satu bulan atau satu tahun dan seterusnya yang bila telah hingga pada waktu yang sudah ditetapkan maka pernikahan itu putus dengan sendirinya nikah mut’ah disebut juga nikah sementara dibatasioleh waktu waktu tertentu. Tujuan nikah ini untuk hiburan, bersenang-senag dan melampiaskan hawa nafsu semata.
2.      Nikah Syighar
Para ulama Fiqh memakai kata syighar untuk makna menetralisir beban mahar dari proses akad nikah. Kemudian pemahaman nikah syighar ialah ijab kabul dua jodoh (empat orang) dengan menyebabkan kedua perempuan itu selaku mahar masing-masing. Secara agresif niakah syighar bisadikatakan Dua orang laki-laki tukar menukar wanita anak atau adiknya untuk dijadikan istri dengan anak wanita Anda. Nikah Syighar merupakan salah satu bentuk perkawinan dalam budbahasa jahiliyah.
3.      Nikah Tahlil
Tahlil artinya memperbolehkan atau menghalalkan atau membolehkan atau pembolehan. Nikah Tahlil memiliki arti nikah untuk memperbolehkan atau pembolehan ialah pernikahan yang dikerjakan seorang dengan tujuan untuk manghalalkan wanita yang dinikahinya, dinikahi lagi oleh bbekas suaminya yang sudah mentalah tiga. Laki-laki yang telah melaksanakan pernikah untuk tujuan itu disebut (muhallilun) dan laki-laki mantan suaminya yang telah menjatuhkan talak tiga yang dibela disebut (muhallalun lahu). Nikah tahlil hukumnya haram.
Apabila pria yang kedua itu menikahiperempuan itu bukan untuk tujuan menghalalkan dinikahi oleh bekas suaminya yang pertama melainkan bermaksud untuk memina rumah tangga sebagaimana perintah agama dan mengikuti sunah Rasul maka akad nikah tidak dinamakan nikah tahlil dan hukumnya sah.
4.      Pernikahan Silang
Dalam pembahasan mengenai hukum akad nikah silang adalah orang islam menikah dengan orang yang tidak beragama Islam. Dapat dikelompokkan meenjadi dua bagian yakni pria muslim yang menikah dengan perempuan non muslim dan wanita muslim yang menikah dengan laki-laki non muslim. Hukum laki-laki muslim yang menikah dengan wanita non muslim ada dua macam adalah:
a.       Laki-laki muslim haram menikahi perempuan non muslim berdasarkan firman Allah:
“Jangan kamu menikahi wanita-perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita yang mukmin lebih baik ketimbang wanita yang musyrik walaupun beliau memikaat hatimu….”(Al-Baqarah:221)
b.      Wanita muslim haram nikah dengan laki-laki non muslim.
K.    Perceraian
Perceraiaan antara suami istri itu diperbolehkan tetapi merupakan  tindakan terakhir dan pekerjaan yang boleh, tetapi dibenci Allah. Nabi SAW bersabda:
“Dari Umar ra Dari Rasululllah saw dia bersabda perbuatan halal yang paling dibenci allah ialah perceraian” (HR. Abu Daud dan Hakim)
Didalam Islam putusnya perceraian itu secara garis besar mampu dikelompokan menjadi 4 yakni:
1.      Salah satu dari suami istri meninggal
2.      Khulu’
3.      Talak
4.      Fasakh
Dari keempat macam bentuk putusnya ijab kabul tersebut yang akan dibahas lebih lanjut yakni Talak.
L.     Pengertian dan Hukum Talak[9]
Talak artinya melepasakan ikatan. Dalam hubungannya dengan ketentuan hukum perkawian, talak mempunyai arti lepasnya ikatan akad nikah dengan ucapan talak atau lafal lain yang mkasudnya sama dengan talak. Talak adalah hak suami, artinya istri tidak bisa melepaskan diri dari ikatan ijab kabul bila tidak dijatuhi talak oleh suaminya.
            Talak terambil dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya “melepaskan atau meninggalkan”. Menurut istilah syara’, thalaq yakni:
حلّ ربطة الزّواج وانّها ء العلا قة الزّوجيّة
Artinya “melepas tali perkawinan dan menuntaskan kekerabatan suamu Istri”.[10]
            Al-Jazary mendefinisikan:
الطّلا ق ازالة النّكح اونقصان حلّه بلفظ مخصو ص
Artinya “talak ialah menetralisir ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya denga memakai kata-kata tertentu”.
            Menurut Abu Zakaria Al-Anshari, talak yaitu:
حلّ عقد النّكاح بلفظ الطّلاق ونحوه
Artinya “melepas tali pernikahan dengan kata talak dan yang semacamnya”.
            Kaprikornus, talak itu adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalam hal talak ba’in, sedangkan arti meminimalkan pelepasan ikatan perkawinan adalah berkurangnya hak talak bagi suami yang menjadikan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dari satu menjadi hilang hak talak itu, ialah terjadi dalam talak raj’i.[11]
Talak itu menurut hukum asalnya makruh. Demikian usulan ulama Syafi’iah dan Hanabilah. Mereka berargumentasi dengan sabda rasulullah SAW ihwal perbuatan halal yang paling di benci diatas. Ulama Hanafiyah beropini bahwa pada dasarnya talak yakni haram. Mereka berdalih dengan sabda rasulullah :
Artinya ; “Allah mengutuk orang yang kawin hanya maksud menyicipi dan sering cerai istri”
Disamping makruh sebagai aturan asalnya talak dapat menjadi wajib, sunah, atau haram karena argumentasi-alasan tertentu ;
1.      Wajib jika antara suami istri sering terjadi pertengkaran dan telah diatasi dengan hakim atau wasit ( juru hening ) dari kedua belah pihak, tetapi proses perdamaian tidak berhasil mendamaikan lagi.
2.      Sunah jika suami tidak sangup lagi memberi nafkah atau istri tidak mampu mempertahankan kehormatannya.
3.      Haram bila talak diperlakukan dan justru perceraian akan menenteng kerugian bagi kedua belah pihak.
M.   Macam-macam Talaq
Ditinjau dari sisi waktu dijatuhkannya talak itu, maka talak dibagi menjadi tiga macam, sebagai berikut:
1.      Talak Sunni, adalah talak yang dijatuhkan sesuai dengan permintaan sunnah. Dikatakan talak sunni jika memenuhi empat syarat:
a.       Istri yang ditalak sudah pernah digauli, bila talak dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli, tidak tergolong talak sunni.
b.      Istri dapat secepatnya melakukan iddah suci sehabis ditalak, adalah dalam keadaan suci dari haid. Menurut Ulama Syafi’iyah, perhitungan iddah bagi perempuan berhaid yakni tiga kali suci, bukan tiga kali haid. Dan bukan tergolong talak sunni kalau talak terhadap istri yang sudah lepas haid (monopause) atau belum pernah haid, atau sedang hamil, atau talak alasannya adalah suami meminta tebusan (khulu’), atau ketika istri dalam haid.
c.       Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam kondisi suci, baik dipermulaan, dipertengahan, maupun diakhir suci, kendati beberapa saat kemudian datang haid.
d.      Suami tidak pernah menggauli istri selama era suci dimana talak itu dijatuhkan. Talak yang dijatuhkan oleh suami ketika istri dalam kondisi suci dari haid tetapi pernah digauli bukan termasuk talak sunni.[12]
2.      Talak Bid’i, yakni talak yang dijatuhkan tidak cocok atau berlawanan dengan tuntutan sunnah, tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni. Yang tergolong talak bid’i yaitu:
a.       Talak yang dijatuhkan terhadap istri padda waktu haid (menstruasi), baik dipermulaan haid maupun dipertengahannya.
b.      Talak yang dijatuhkan kepada istri dalam keadaan suci namun pernah digauli oleh suaminya dalam kondisi suci.
3.      Talak la sunni wala bid’i, adalah talak yang tidak tergolong klasifikasi talak sunni dan tidak pula tergolong talak bid’i, yaitu:
a.       Talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum pernah digauli.
b.      Talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum pernah haid, atau sudah lepas dari haid.
c.       Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang hamil.[13]
            Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai ucapan talak, maka talak terbagi menjadi dua macam, selaku berikut:
1.      Talak sharih, yakni talak dengan memanfaatkan kata-kata yang terang dan tegas, dapat dipahami selaku pernyataan talak atau cerai saat itu juga diucapkan, mustahil dimengerti lagi. Imam Syafi’i mengatakan bahwa kata-kata yang dipergunakan untuk talak sharih ada tiga, ialah talak, firaq, dan sarah, ketiga ayat itu disebut dalam Al-Qur’an dan hadist.
Ahl al-Zhahiriyah berkata bahwa talak tidak jatuh kecuali dengan mempergunakan salah satu dari tiga kata tersebu, alasannya adalah syara’ telah mempergunakan kata-kata ini, padahal talak adalah tindakan ibadah, akibatnya diisyaratkan mempergunakan kata-kata yang telah ditetapkan oleh syara’. Beberapa acuan talak sharih yakni seperti suami berkata pada istrinya:
a.       Engkau aku talak sekarang juga. Engkau aku cerai kini juga.
b.      Engkau aku firaq kini juga. Engkau saya pisahkan kini juga.
c.       Engkau saya sarah kini juga. Engkau saya lepas kini juga.
d.      Apabila suami menjatuhkan talak terhadap istrinya dengan talak sharih maka menjadi jatuhlah talak itu dengan sendirinya, sepanjang ucapannya itu dinyatakan dalam keadaan sadar dan atas kemauannya sendiri.[14]
2.      Talak Kinayah, yaitu talak dengan memanfaatkan kata-kata sindiran, atau samar-samar, mirip suami berkata pada istrinya:
a.       Engkau sekarang sudah jauh dariku.
b.      Selesaikan sendiri segala urusanmu.
c.       Janganlah engkau mendekatiku lagi.
d.      Keluarlah engkau dari rumahmu kini juga.
e.       Pulanglah ke rumah orang tuamu kini.
f.       Susullah keluargamu sekarang juga.
g.      Ucapan-ucapan tersebut mengandung kemungkinan cerai dan mengandung kemungkinan lain.
h.      Tentang kedudukan talak dengan kata-kata kinayah atau sindiran ini sebagaimana dikemukakan oleh Taqiyuddin Al-Husaini, bergantung kepada niat suami. Artinya, bila suami dengan kata-kata tersebut tidak berencana menjatuhkan talak, maka menjadi jatuhlah talak itu, dan jikalau suami dengan kata-kata tersebut tidak bermaksud menjatuhkan talak maka talak tidak jatuh. [15]
            Ditinjau dari sisi ada atau tidak adanya kemungkinan bekas suami merujuk kembali bekas istri, maka talak dibagi menjadi dua macam, sebagai berikut:
1.      Talak Raj’i,
yakni talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya yang telah pernah digauli, bukan karena menemukan ganti harta dari istri, talak yang pertama kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya. Dr. As-Siba’i mengatakan bahwa talak raj’i yakni talak yang untuk kembalinya bekas istri terhadap bekas suaminya tidak membutuhkan pembaruan akad nikah, tidak memerlukan mahar, serta tidak memerlukan persaksian.
Setelah terjadi talak raj’i maka istri wajib beriddah, hanya kemudia jikalau suami hendak kembali terhadap bekas istri sebelum habis periode iddah, maka hal itu mampu dilakukan dengan menyatakan rujuk terhadap bekas istriya, maka dengan berakhirnya era iddah itu kedudukan talak itu menjadi talak ba’in, lalu jikalau sesudah berakhirnya masa iddah itu suami ingin kembali terhadap bekas istrinya maka wajib dilakukan dengan pernikahan gres dan mahar yang baru pula. [16].Talak raj’i cuma terjadi pada talak pertama dan kedua saja, menurut firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 229:
الطّلاق مرّتا ن فاِمسا ك بمعروف او تسرىح باِحسا ن (البقرة )
“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang bagus.” Ayat ini memberi makna bahwa talak yang disyari’atkan Allah adalah talak yang dijatuhkan oleh suami satu demi satu, tidak sekaligus, dan bahwa suami bole kembali kepada bekas istrinya sehabis talak pertama dengan cara yang bagus, demikian pula sehabis talak kedua. Hak merujuk hanya terdapat dalam talak raj’i saja.
2.      Talak Ba’in,
yakni talak yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas suami kepada bekas istrinya. Untuk mengembalikan bekas istri kedalam ikatan perkawinan dengan bekas suami harus melalui ijab kabul yang nikah baru, lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya.
Talak ba’in ada dua macam, yaitu talak ba’in shugro dantalak ba’in kubro. Talak ba’in shugro ialah talak ba’in yang menetralisir pemilikan bekas suami kepada istri tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas istri. Artinya bekas suami boleh mengadakan pernikahan baru dengan bekas istri, baik dalam era iddahnya maupun sesudah berakhir kala iddahnya. Yang termasuk talak ba’in shugro yakni talak sebelum berkumpul, talak dengan penggantian harta atau yang disebut khulu’, talak karena aib (cacat badan), karena salah seorang dipenjara, talak alasannya penganiayaan, atau yang semacamnya.[17]
Talak ba’in kubro yaitu talak yang menetralisir pemilikan bekas suami kepada bekas istri serta menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas istrinya, kecuali sehabis bekas istri itu kawin lagi dengan laki-laki lain, telah berkumpul dengan suami kedua itu serta sudah bercerai secara masuk akal dan sudah selesai menjalankan iddahnya. Talak bain kubro terjadi pada talak yang ketiga. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 230:
فاِن طلقّها فلا تحلّ له من بعد حتّي تنكح زوجاً غيره (البقرة)
“lalu jikalau suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya, sampai beliau kawin dengan suami lainnya”.[18]
            Ditnjau dari sisi cara suami memberikan talak kepada istrinya, talak ada berbagai macam, adalah selaku berikut:
1.      Talak dengan ucapan, yakni talak yang disampaikan oleh suami dengan ucapan dihadapan istrinya dan istri mendengar secara langsung ucapan suaminya itu.
2.      Talak dengan tulisan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami dengan secara tertulis kemudian disampaikan kepada istrinya, lalu istri  membacanya dan mengetahui isi dan maksudnya. Talak yang dinyatakan secara tertulis mampu dipandang jatuh (sah), meski yang bersangkutan mampu mengucapkannya. Sebagaimana talak dengan ucapan ada talak sharih dan talak kinayah, maka talak dengan tulisanpun demikian pula. Talak sharih jatuh dengan semata-mata pernyataan talak, sedangkan talak kinayah bergantung kepada niat suami. [19]
3.      Talak dengan arahan, yaitu talak yang dilaksanakan dalam bentuk kode oleh suami yang tuna wicara (bisu) dapat dipandang selaku alat komunikasi untuk menunjukkan pemahaman dan memberikan maksud dan isi hati. Oleh karena itu, isyarat baginya sama dengan ucapan bagi yang dapat berbicara dalam menjatuhkan talak, sepanjang arahan itu terang dan meyakinkan berniat talak atau menyelesaikan perkawinan, dan aba-aba itulah satu-satunya jalan untuk menyampaikan maksud yang terkandung dalam hatinya. Sebagian fukoha mensyari’atkan bahwa untuk sahnya talak dengan isyarat bagi tuna wicara itu adalah buta huruf. Jika yang bersangkutan mampu menulis dan bisa menulis, maka talak baginya tidak cukup dengan isyarat, karena tulisan itu lebih mampu menunjuk maksud dibandingkan dengan kode, dan tidak beralih dari goresan pena ke aba-aba, kecuali karena darurat, ialah tidak mampu menulis.
4.      Talak dengan delegasi, ialah talak yang disampaikan oleh suami lewat perantaraan orang lain selaku delegasi untuk memberikan maksud suami itu terhadap istrinya yang tidak berada dihadapan suami bahwa suami mentalak istrinya. Dalam hal ini delegasi berkedudukan selaku wakil suami untuk menjatuhkan talak suami dan melaksanakan talak itu.[20]
N.    Sifat Dan Kedudukan Hukum Talak
1.      Talak Suami Yang Dipaksa
Orang yang dipaksa itu tidak memiliki keleluasaan untuk berbuat dan berkehendak, padahal hasratdan usaha termasuk bagian pokok taklif. Oleh karena itu, tidak adanya keinginandan ikhtiar pada orang yang dipaksa, mempunyai arti hilang pula taklif yang memiliki arti mukrah itu tidak bisa dimintai tanggung jawab  terhadap apa yang beliau lakukan.  
Berdasarkan hal tersebut, maka Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Daud, serta Abdullah bin Umar r.a., dan Ibnu Abbas r.a. mereka menyampaikan bahwa talak yang dipaksa itu tidak sah. Akan tetapi pengikut Imam Syafi’i  menyelenggarakan pemisahan apakah orang yang dipaksa menalak itu meniatkan talak atau tidak. Jika ia meniatkan talak, maka terdapat dua usulan dan yang paling shahih talaknya sah. Jika tidak meniatkan talak, ada dua usulan dan yang paling shahih ialah sah. Begitu juga Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya menyampaikan bahwa talak orang yang dipaksa tetap sah. Seperti halnya pembebasan terhadap hambanya, namun jual belinya tidak sah. Makara, mereka menyelenggarakan pemisahan antara jual beli disatu pihak dengan talak dan pembebasan dilain pihak. [21]
Masing-masing dari dua kelompok berargumentasi dari hadis Nabi SAW.:
رفع عن امّتى الخطاء والنسيان ومااستكرهواعليه (اخرجه ابن ماجه و ابن حبان والدّار قطني والحاكم)
Artinya: “Diangkat dosa dari umatku kekeliruan, kelupaan, dan apa yang mereka dipaksa untuk menjadikannya.” (hadis yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Daruqutni, dan Hakim)
Allah SWT. juga berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nahl: 106
………..الاّمن اُكره و قلبه مطمئنّ با لايمان……. (النحل)
Artinya: “……Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (beliau tidak berdosa)…” (QS. An-Nahl: 106).[22]Kaprikornus, jelas dan benar bahwa orang yang dipaksa untuk menjatuhkan talak messkipun atas pilihannyadalam persepsi syara’ dia disebut orang yang dipaksa juga.
Dalam memisahkan antara jual beli dengan talak, Imam Abu Hanifah mengemukakan argumentasi bahwa talak yaitu suatu masalah yang mesti diberi pengajaran. Oleh sebab itu, beliau berpendapat bahwa talak walaupun gurauan atau sungguhan kedua-duanya sama sah. [23]
2.      Talak Suami Yang Marah
Marah ialah suatu kondisi seseorang yang tidak bisa menggambarkan apa yang ia ucapkan dengan kesadaran, alasannya emosinya melakukan pekerjaan penuh. Oleh sebab itu, talak yang diucapkan saat marah pada dasarnya tidak sah, alasannya adalah dalam sebuah hadis yang artinya: “Tidak ada talak, dan tidak ada pembebasan hamba pada orang yang sedang murka” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).
Marah itu ada tiga macam yakni:
a.       Marah sekali, sehingga akalnya hilang sama sekali, orang yang demikian talaknya tidak sah.
b.      Permulaan murka, talaknya sah.
c.       Setengah marah, ulama berlawanan pertimbangan , namun yang lebih kuat ialah yang mengatakan talaknya tidak sah. [24]
3.      Talak Suami Main-main (Bergurau)
Tentang yang main-main atau bergurau menjatuhkan talak, maka terdapat perbedaan usulan, adalah:
a.       Jumhur ulama menyampaikan bahwa talaknya jatuh, sebagaimana nikahnya juga sah.
b.      Segolongan ulama mengatakan bahwa, talaknya tidak sah. Ini Pendapat mazhab Maliki. Mereka mensyaratkan talaknya bisa sah kalau:
1)      Rida/sadar apa yang diucapkan;
2)      Tahu apa yang diucapkan;
3)      Memang niatnya talak.
Dengan demikian, jikalau hanya untuk coba-coba, maka talaknya tidak sah. Allah SWT. berfirman:
و ان عزمواالطّلق فاِنّ الله سميع عليم (البقرة)
Artinya : “Dan kalau mereka bera’zam (bertetap hati untuk) talak, maka sebenarnya Allah maha mendengar. Lagi maha mengenali.” (Al-Baqarah: 227). [25]
4.      Talak Suami Yang Mabuk
        Tentang talak dalam kondisi suami sedang mabuk terdapat perbedaan pertimbangan .
        Imam Syafi’i, Ahmad, dan Asy-Syaukani beropini bahwa talak dalam keadaan suami mabuk itu tidak sah, dengan argumentasi bahwa mabuk itu sama dengan orang gila dalam hal hilangnya logika. Padahal adanya logika merupakan sandaran bagi taklif. Ada juga yang berpendapat bahwa talaknya orang mabuk itu sah sebab tidak sama dengan orang abnormal.
            Tidak sahnya talak bagi suami yang sedang mabuk, juga disamakan dengan orang yang melaksanakan shalat, adalah orang yang dalam keadaan sedang mabuk, maka shalatnya tidak sah.
            Dengan demikian, jika dilihat dari persoalannya, apakah orang mabuk itu hukumnya sama dengan orang aneh, jawabannya para fukoha berlainan usulan.
       Jumhur fukoha berpendapat bahwa talak orang yang mabuk itu sah. Mereka berpendapat bahwa orang mabuk dengan orang abnormal itu tidak sama, sebab orang mabuk itu menghancurkan akal pikirannya berdasarkan keinginansendiri, sehingga mereka memutuskan terjadinya talak bagi orang mabuk selaku pinjaman pengajaran.
       Sedangkan fukoha yang menyampaikan bahwa talak orang mabuk itu tidak sah, menganggap bahwa orang mabuk yakni sama dengan orang gila.
5.      Talak Suami Yang Pelupa
            Suami pelupa tergolong orang yang salah. Oleh sebab itu, Ulama Hanafi berpendapat bahwa talaknya pelupa ialah tidak sah.
6.      Talak Suami Yang Bingung
Orang bingung adalah tidak memahami apa yang diucapkan alasannya sesuatu yang menimpanya, sehingga akal kesadarannya hilang. Oleh sebab itu, talaknya suami dalam kondisi gundah tidak sah.
Pada dasarnya, aturan talak secara lazim yaitu boleh, akan namun sesuai dengan kondisi suami istri, maka talak mampu dibedakan selaku berikut:
a.       Talak Hukumnya Makruh
            Bila dijatuhkan oleh suami kepada istri dalam kondisi:
1)      Suci yang belum dicampuri.
2)      Jelas sedang hamil.
b.      Talak Hukumnya Wajib
            Bila diputuskan oleh hakamain atau qadi (pengadilan agama) dan talak dengan alasan-alasan prinsipil yang dibolehkan syara’.
c.       Talak Hukumnya Sunnah
            Bila suami tidak mampu menawarkan nafkah, dan istrinya tidak mampu mejaga diri.
d.      Talak Hukumnya Haram
Bila dijatuhkan oleh suami terhadap istri dalam keadaan:
1)      Haid atau nifas.
2)      Istri suci namun sudah dicampuri, dan belum jelas hamil atau tidaknya.
3)      Talak tiga dengan satu kalimat.
4)      Talak tiga denga beberapa kalimat, namun dalam satu majlis.
O.    Dasar Hukum Talak
1.      Q.S At-Thalaq Ayat 1:
َا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْراً -١
            “Hai Nabi, kalau kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kau ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang masuk akal) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka melakukan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-aturan Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka bahu-membahu ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan setelah itu sesuatu hal yang baru.”
2.      Q.S At-Thalaq Ayat 2:
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَن كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً -٢
“Apabila mereka telah mendekati simpulan iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu sebab Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman terhadap Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa terhadap Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.”
3.      Q.S Al-Baqarah Ayat 231,
yang artinya: “Apabila kau mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati tamat iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma´ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma´ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, alasannya dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh dia sudah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-aturan Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang sudah diturunkan Allah kepadamu adalah Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah sebetulnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pernikahan ialah akad yang menghalalkan antara laki-laki dan perempuan dengan kesepakatan menikahkan atau mengawinkan. Kata nikah nikaahun  atau akad nikah telah menjadi kosa kata bahasa indonesia selaku padanan kata perkawinanzawaajun. Perkawinan ialah sunnatulah atau hukum alam yang umun berlaku baik bagi manusia, binatang maupun tumbuh-tanaman.
Hukum pernikahan ditinjau dari sisi hukum syar’i ada lima macam yaitu sunnah, makruh, wajib, haram dan mubah.
Talak artinya melepasakan ikatan. Dalam keterkaitannya dengan ketentuan aturan perkawian, talak bermakna lepasnya ikatan akad nikah dengan ucapan talak atau lafal lain yang mkasudnya sama dengan talak. Talak yaitu hak suami, artinya istri tidak bisa melepaskan diri dari ikatan pernikahan bila tidak dijatuhi talak oleh suaminya. Dan talak itu berdasarkan hukum asalnya makruh.
B.     Saran
Demikianlah makalah ihwal “Pernikahan dan Talak” yang dapat kelompok kami sampaikan. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan banyak kesalahan. Untuk itu kami mohon maaf dan kritikannya yang membangun untuk perbaikan makalah ini selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat. Amin.



DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet. 1999. Fiqih Munakahat. Bandung: CV Pustaka Setia.
Al-Imam Taqi al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Damsyiqi al-Syafi’i. tanpa tahun.Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar. Semarang: Usaha Keluarga
 Al-Jaziri, Abdurrahman. 1986.  Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Fikr
Djalil, Abdul.  2000.  Fiqh Rakyat Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan. Yoyakarta: LKIS Yogyakarta
Ghazali, Abdul Rahman. 2003. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana.
H.Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo,2000
Kamal, Mukhtar. 1974. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang
Mubarok, Jaih. 2002. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press
Sabiq, Sayyid. 1997. Fikih Sunnah. Bandung: Al-Ma’terpelajar.
Shihab, Muhammad Quraish. 2010. 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui. Jakarta: Lentera Hati

  Buku-Buku Penunjang Ujian Nasional (UN) dan Ujian Sekolah/Madrasah (USM) 2016/2017

[1] H.Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo,2000. Hlm2.

[2] Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h.45

[3] Sudarsono, Hukum Keluarga Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 62

[4] Al-Imam Taqi al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Damsyiqi al-Syafi’i, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar, (Semarang: Usaha Keluarga, t.th.), Juz 2, h. 36

[5] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), Jilid IV, h.87

[6]  H.Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo,2000  hal 43

[7] Sabiq, Sayyid.2008.Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq jld 2.hlm 413

[8] H.Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo,2000 hal 43

[9] H.Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo,2000 hal 49

[10] Sabiq, Sayyid. 1997. Fikih Sunnah. Bandung: Al-Ma’cerdik. Hal  9

[11] Ghazali, Abdul Rahman. 2003. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana. Hal 192

[12] Ghazali, Abdul Rahman. 2003. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana. Hal 193

[13] Ghazali, Abdul Rahman. 2003. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana. Hal 194

[14] Ibid 195

[15] Ibid 196

[16] Ibid 197

[17] Ibid 198

[18] Ibid 199

[19] Ibid 199

[20] Ghazali, Abdul Rahman. 2003. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana. Hal 120

[21] Abidin, Slamet. 1999. Fiqih Munakahat. Bandung: CV Pustaka Setia. Hal 48

[22] Abidin, Slamet. 1999. Fiqih Munakahat. Bandung: CV Pustaka Setia hal 49

[23] Ibid

[24] Ibid hal 50

[25] Abidin, Slamet. 1999. Fiqih Munakahat. Bandung: CV Pustaka Setia ahl 51