BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Islam secara khusus tidak dapat disamakan dengan makna pendidikan secara lazim. Pendidikan Islam dikenal dan diyakini oleh penganut agama Islam selaku sebuah kegiatan pendidikan yang bersumber dari pokok anutan Islam (al-Alquran) dan al-Hadits sebagai penjelasnya. Pendidikan Islam yang mulai dirintis semenjak turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW mengalami pasang dan surut seiring dengan perjalanan panjangnya melintasi ruang dan waktu hingga periode kini.
Hal tersebut bergantung pada bagaimana pelaku sejarah pada masanya itu melaksanakan proses pendidikan. Puncak kejayaan pendidikan Islam dimulai dengan berkembang luasnya forum-forum pendidikan Islam dan madrasah-madrasah formal di aneka macam sentra kebudayaan Islam. Hal ini dipengaruhi oleh jiwa dan semangat kaum muslimin pada waktu itu yang sangat dalam penghayatan dan pengamalannya terhadap pemikiran Islam.
Dengan demikian, dalam sebuah lembaga pendidikan niscaya terjadi kemajuan dan kemajuan, dan ini sama halnya dengan pendidikan Islam. Dalam pendidikan Islam ada beberapa periode yaitu masa perintisan, era kejayaan, kala kemunduran, dan ada pula periode pembaharuan. Pada masing-masing era berpengaruh dalam kemajuan pendidikan Islam. Agar lebih jelasnya akan disampaikan dalam pembahasan selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pendidikan Islam pada kurun kejayaan?
2. Bagaimana pendidikan Islam pada era kemunduran?
3. Bagaimana pendidikan Islam pada masa pembaharuan?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pendidikan Islam pada periode Kejayaan.
2. Untuk mengenali pendidikan Islam pada abad kemunduran.
3. Untuk mengetahui pendidikan Islam pada era pembaharuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masa kemajuan/Kejayaan Pendidikan Islam
Masa kejayaan pendidikan Islam dimulai dengan berkembang pesatnya kebudayaan Islam yang ditandai dengan meningkat luasnya forum-lembaga pendidikan Islam dan madrasah-madrasah formal serta universitas dalam aneka macam sentra kebudayaan Islam. Pendidikan tersebut sangat berpengaruh dalam membentuk pola kehidupan, budaya dan menghasilkan pembentukan dan perkembangan dalam aneka macam faktor budaya kaum muslimin.[1]
Masa Bani Abbasiyah ialah periode keemasan Islam, atau sering disebut dengan ungkapan ‘’The Golden Age’’. Pada abad itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu wawasan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa aneh ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menciptakan banyak sekali inovasi gres di aneka macam disiplin ilmu wawasan. Daulah Abbasiyah berkuasa selama 524 tahun ialah dari tahun 132 – 556 H/ 750 – 1258 M.[2]
Sistem Bani Abbasiyah memalsukan cara Umayyah. Dasar-dasar pemerintahan Abbasiyah diletakkan oleh khalifah kedua, yaitu Abu Ja’far al-Mansyur. Sistem politik Abbasiyah yang dijalankannya antara lain; Para Daulah tetap dari turunan Arab murni, kota Bagdad sebagai ibu kota negara yang menjadi sentra aktivitas politik, ilmu pengetahuan dipandang selaku sesuatu yang sungguh penting, keleluasaan berpikir dan HAM pernah diakui penuh, dan para menteri turunan Persia diberi hak penuh dalam melaksanakan pemerintahan. Sedangkan metode sosial kemasyarakatan terjadi pergantian yang sangat menonjol, di antaranya yakni :
1. Tampilnya kalangan Mawali yang menduduki tugas dan posisi penting di pemerintahan.
2. Masyarakat terdiri dari dua kalangan, ialah :
a. Kelompok khusus, yakni Bani Hasyim, pembesar negara, aristokrat yang bukan Bni Hasyim.
b. Kelompok lazim, yakni seniman, ulama, usahawan, pujangga dan lain-lain.
3. Di dalam kekuasaan Daulah Abbasiyah terdapat bangsa yang berbeda-beda (bangsa Mesir, Syam, Jazirah Arab, Irak, Persia, Turki).
4. Lahirnya keturunan gres balasan dari terjadinya perkawinan gabungan dari aneka macam bangsa.
5. Lahirnya kebudayaan gres akibat dari terjadinya pertukaran pikiran dan budaya yang dibawa oleh masing-masing bangsa.
1. Faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan pendidikan
a. Adanya kekayaan yang melimpah dari hasil kharaj, baik pertanian maupun perdagangan. Dengan dana dari kekayaan tersebut para khalifah mampu dengan mudah merealisir perencanaannya didalam dan diluar negeri, serta pengembangan ilmu wawasan.
b. Perhatian beberapa khalifah yang besar kepada ilmu pengetahuan mirip ; al Mansyur (754 – 775M), al Mahdi (775 – 785M), Harun al Rasyid (785 – 809), al Ma’mun (813 – 833), al Wathiq (824 – 847) dan al Mutawakkil (847 – 861M). Tak kalah pentingnya ialah imbas keluarga Barmak, yang berasal dari Balkh ( Bactra ), sentra ilmu wawasan dan filsafat Yunani di Persia. Keluarga Barmak ini memiliki efek dalam pengembangan ilmu wawasan dan filsafat Yunani di Bagdag. Mereka di samping menjadi Wazir juga menjadi pendidik dari anak-anak Khalifah.
c. Kecenderungan umat Islam di dalam menggali menyebarkan ilmu wawasan besar sekali, maka banyaklah ulama di setiap kota Islam pada periode itu.
d. Kondisi masyarakat Irak, yang mendesak perlunya sebuah ilmu gres karena sungai Dajlah dan Furat menuntut penataan sistem pengairan yang lebih baik serta pengelolaan perpajakan yang lebih tepat.
e. Umat Islam pada abad itu telah bercampur baur dengan orang-orang Persia, khususnya Mawali, mereka inilah yang memindahkan ilmu wawasan dan filsafat dari bahasa mereka ke dalam bahasa Arab.
f. Bagdad sebagai pusat pemerintahan, lebih dahulu maju dalam ilmu pengetahuan, dari pada Damaskus pada periode itu.
g. Lancarnya relasi kerja sama, dengan negara-negara maju lainnya seperti ; India, Bizantium, dan sebagainya.
Dari ketujuh faktor di atas, tampaknya yang pertama, kedua dan ketiga ialah aspek yang paling memilih, sedangkan aspek-faktor yang yang lain cuma ialah penunjang saja. Sekalipun demikian, keterkaitan satu dengan yang lainnya juga turut berpengaruh.
a. Berdirinya sekolah-sekolah
Di antara faktor-faktor yang menimbulkan berdirinya sekolah-sekolah di luar masjid adalah bahwa:
1) Khalaqah-khalaqah (Lingkaran) untuk mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan. Yang di dalamnya juga terjadi diskusi dan perdebatan yang ramai, sering satu sama lain saling mengganggu, di samping mengganggu, orang-orang yang beribadah dalam masjid. Keadaan demikian mendorong untuk dipindahkannya khalaqah-khalaqoh tersebut keluar bundar masjid dan diresmikan bangunan-bangunan selaku ruang-ruang kuliah atau kelas-kelas tersendiri. dengan demikian aktivitas pengajaran dari khalaqoh-khalaqoh tidak saling mengusik satu sama lain.
2) Dengan berkembang luasnya ilmu wawasan, baik tentang agama maupun umum maka diharapkan kian banyak khalaqah-khalaqah (lingkaran pengajaran ),yang mustahil keseluruhan tertampung dalam ruang masjid. Di samping itu terdapat faktor-faktor yang lain, yang mendorong bagi para penguasa dan pemegang pemerintahan pada kala itu untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai bangunan yang terpisah dari masjid antara lain:
a) Pada era Turki mulai berpengaruh dalam pemerintahan bani Abbasiyah, dan untuk mempertahankan kedudukan mereka dan pemerintahan, mereka berupaya menggoda kaum muslimin pada umumnya dengan jalan mengamati pendidikan dan pengajaran bagi rakyat lazim.
b) Mereka mendirikan sekolah-sekolah di berbagai kawasan dan dilengkapi dengan segala fasilitas dan kemudahan yang dibutuhkan. Mereka mendirikannya di samping dengan impian untuk menerima simpati dari biasanya dan juga berharap mendapat ampunan pahala dari yang kuasa.
c) Para pembesar Negara pada kurun itu dengan kekuasaannya telah sukses menghimpun harta kekayaan yang banyak. Mereka khawatir kalau nantinya kekayaan tersebut tidak bisa diwariskan terhadap anak-anaknya alasannya diambil oleh sultan, anak-anak mereka hidup terlantar dan hidup dalam kemiskinan. Di samping itu, didirikannya madrasah-madrasah tersebut ada relevansinya dengan usaha untuk menjaga dan menyebarkan pedoman keagamaan dari para pembesar Negara yang bersangkutan. Dalam mendirikan sekolah ini, mereka mempersyaratkan harus diajarkan anutan agama tertentu, dan dengan demikian anutan keagamaan tersebut akan berkembang dalam masyarakat. Adapun forum pendidikan formal :
(1) Madrasah Nizamiah diresmikan oleh Nizam Al Mulk, perdana menteri saljuk pada madrasah besar, diantaranya Baghdad, Balkh, Naidabur, Harat, Asfahan, Basran, Marw, dan Masul. Tetapi madrasah Nizamiah Baghdad ialah madrasah paling besar dan paling penting. Tujuan Nizam Al Mulk mendirikan madrasah-madrasah itu adalah memperkuat pemerintahan Turki Saljuk dan untuk menyiarkan madzhab keagamaan pemerintahan. Guru-guru madrasah ini di antaranya Abu Ishaq As Syiraji (guru tetap), Abu Nasr As Sabagh, Abu Qasim Al’alawi, Abu Abdullah Al-thabari, Abu Hamid Al Ghazali, Radliyudin Al Kazwaeni dan Al Fairuz Abadi. Rencana pengajaran ialah ilmu syari’ah dan ilmu fiqh dalam4 madzhab.
(2) Madrasah nuruddin zinki, diresmikan oleh nuruddin zinki di damaskus. Madrasah yang diresmikan ialah madrasah An Nuriyah Al Qubra di Damaskus (563 H). Gedung madrasah terdiri dari diwan (aula kawasan kuliah), masjid, kawasan istirahat untuk guru, asrama, kawasan tinggal pesuruh madrasah, kamar kecil dan lapangan. Ilmu-ilmu yang di ajarkan ialah ilmu al qur’an, syari’ah, bahasa arab, kedokteran, dan ilmu pasti.
(3) Perguruan Tinggi
(a) Baitul Hikmah di Baghdad, didirikan pada era harun Al-Rasyid (170-193 H). kemudian di perbesar oleh khalifah Al-ma’mun (198-218). Pada Baitul Hikmah bukan saja di ajarkan ilmu-ilmu agama islam, tetapi juga ilmu-ilmu pengetahuan mirip ilmu alam, kimia, falaq, dan lain-lain. Guru besar Baitul Hikmah adalah salam, yang menguraikan teori-teori ilmu niscaya dalam al Maj’sthi (almageste) kitab karangan bathlimus (ptolemee). Kemudian guru besar al khawarizmi, ahli ilmu niscaya, andal falaq, dan pencipta ilmu aljabar. Guru besar Muhammad bin musa bin syakir, seorang ahli ilmu ukur, ilmu bintang dan falaq. Di Baitul Hikmah dikumpulkan buku-buku ilmu pengetahuan dalam beragam bahasa seperti bahasa Arab, Yunani, Suryani, Persia, India, dan Qibtia.
(b) Darul Ilmi di Kairo. Didirikan oleh al Hakim Biamrillah Al Fathimi di pinggir sungai nil untuk menyaingi Baitul Hikmah di Baghdad.ilmu yang di ajarkan diantaranya: ilmu agama, falaq, kedokteran, dan berhitung.
b. Terjadinya asimilasi antara bangsa arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu wawasan, pada masa pemerintahan bani abbas bangsa-bangsa non arab banyak yang masuk islam.
c. Pengaruh Persia: bangsa Persia banyak berjasa dalam pertumbuhan ilmu filsafat dan sastra.
d. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan ekonomi.
e. Pengaruh yunani masuk lewat terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu terutama filsafat,dan juga tidak mampu dilupakan gerakan raksasa untuk menerjemahkan ilmu-ilmu yunani dan buku-bukunya kedalam bahasa arab.[5]
Gerakan terjemahan berjalan dalam 3 fase: fase Pertama: khalifah al mansur hingga harun arsyid pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bifang astronomi, dan manriq pada fase kedua: mulai berlangsung pada kurun khalifah al ma’mun hingga tahun 300 H. Pengaruh dari kebudayaan yang sudah maju terutama melalui gerakan terjemahan, menenteng kemajuan di bidang ilmu wawasan, dan juga ilmu wawasan agama, imbas gerakan terjemah terlihat dari kemajuan ilmu wawasan umum khususnya di bidang astronomi kedokteran filsafat, kimia dan sejarah dalam bidang astronomi terkenal nama al fazari sebagai astronomi islam yang pertama kali menyusun astrolob.
Al Fargani dari Eropa yang dikenal dengan nama Al-Faragnus menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan dalam bahasa latin oleh Gerard Cremona dan Johannes hispalensis. Dalam kedokteran dikenal nama Al Razi dan Ibnu Sina. Dalam bidang optikal Abu Ali Al Hasan Ibnu Al-Haythami yang di Eropa diketahui dengan Al Hazem. Dalam bidang kimia populer nama Jabir Ibnu Hayan di matematika terkenal nama Muhammad Ibnu Musa Al Khawarizmi. [6]
Di dalam bidang sejarah terkenal nama Al Mas’ud. Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat antara lain Al Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Sehingga pada kala 150 tahun nyaris semua ilmu yang pernah wujud di dunia pada waktu itu sudah ada dalam bahasa Arab. Sehigga bahasa Arab menjadi satu-satunya bahasa dunia yang mesti kita ketahui bila kita ingin bergerak pada bidang apapun, pada waktu itu.
C. Perkembangan ilmu wawasan pada kurun Daulah Abbasiyah
Kemajuan yang diraih oleh Daulah Abbasiyah, khususnya dalam bidang ilmu merupakan puncak kejayaan Islam sepanjang sejarah. Hal ini disebabkan sebab : (1) suasana dan kondisi yang sungguh menunjang, (2) keterlibatan semua pihak secara ikhlas dan betul-betul , (3) adanya kemerdekaan dan keleluasaan berpikir menciptakan umat Islam menjadi sungguh dinamis dan inovatif, jauh dari sikap fatalis dan taklid. Perkembangan ini juga menenteng Daulah Abbasiyah ke daerah utama dan terhormat dalam kebudayaan, peradaban serta dunia pedoman atau filsafat.[7]
Pada kurun ini sudah dilahirkan ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Iman Syafe’i, dan Imam Ibn Hambal dalam bidang aturan, Imam al Asy ‘ari, Imam al Maturidi, pemuka-pemuka Mu’tazilah seperti Wasil ibn Atha, Abu al Huzail, al Nazzam dan al Jubba’i dalam bidang teologi, Zunnun al Misri, Abu Yazid al Bustami, dan al Hallaj dalam bidang mistisisme atau al tasawwuf, al Kindi, al Farabi, ibn Sina, dan ibn Maskawaih dalam bidang filsafat, dan ibn Al Hazam, ibn Hayyan, al Khawarizmi, al Mas’udi dan al Razi dalam bidang ilmu pengetahuan.
1. Ilmu-ilmu Agama
a. Ilmu Tafsir
Tumbuh dan berkembangnya ilmu tafsir dalam kurun ke tiga Hijriah dalam rangka memenuhi keperluan dasar yang mendesak, untuk mengetahui arti dan maksud ayat-ayat al-Qur’an, selaku akhir kian bertambah banyaknya pemeluk Islam yang bukan Arab.
b. Ilmu Hadist
Pembukuan Hadist secara lebih sempurna, baru mulai dilakukan pada abad ini. Beberapa karya besar yang populer seperti Shahih al Bukhari, Shahih al-Muslim, Sunan Ibn Majah, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasai dan al Muwatha’ oleh Imam Malik.
Karya-karya yang tiba kemudian lebih banyak bersumber dari kitab-kitab tersebut. Kalaupun ada yang menyelenggarakan pengumpulan atau penulisan langsung, sedikit sekali jumlahnya.
c. Ilmu Qira’a
Lahirnya ilmu ini karena adanya perbedaan lahjat di dalam membaca al-Qur’an antara orang-orang Arab dengan orang Islam yang bukan Arab, perbedaan aksara al-Qur’an pada mushaf Usman yang tidak bertitik dan berbaris. Dalam keanekaragaman itulah, tampil Harun Ibn Musa al-Bashini (w. 170 H) sebagai orang pertama yang membahas bacaan dari sisi dasar dan sanad yang dianut masing-masing.
d. Ilmu Kalam
Ilmu ini secara praktis, sebetulnya sudah ada sebelumnya, namun barulah merupakan sebuah ilmu yang bangkit sendiri dengan pembahasan yang sistematis dan mendalam pada periode Daulah Abbasiyah ini.
Munculnya ilmu ini mempunyai kaitan dekat dengan masuknya bangsa-bangsa yang telah berperadaban ke dalam Islam, yang menuntut menjelaskan aqidah Islamiah, tidak cukup dengan dasar-dasar akal dan ajaran filsafat saja.
Selain itu, dimaksudkan pula untuk mempertahankan Islam dari serangan luar dan sekaligus menjinjing pergantian besar dalam sejarah fatwa aqidah Islam.
Mutakallim yang terkenal pada abad itu, antara lain seperti : Washil ibn Atha’, Amr ibn Ubaid penggagas fatwa Mu’tazilah, Abu Hasan al-Asy’ari, Al Juwaini pemuka ajaran Asy’ariyah dan masih banyak lagi yang lainnya.
Suatu hal yang perlu dicatat yakni bahwa kaum mutakallim, khususnya Mu’tazilah, telah berhasil mempertahankan Islam dari serangan orang-orang Masehi, dengan memakai ilmu kalam ini. Turut pula mensugesti kemajuan ilmu kalam karena khalifah al-Ma’mun yang sungguh tertarik pada kemerdekaan berpikir. Hal inilah antara lain mendorong hidup suburnya Ilmu Kalam dan Ilmu Filsafat di dalam Islam.[9]
e. Ilmu Fiqh
Munculnya ilmu ini sehubungan dengan timbulnya aneka macam masalah di kelompok umat Islam pada masa kedua Hijriah. Jarak antara lahirnya Islam dengan Daulah Abbasiyah cukup jauh. Dalam hal seperti ini diharapkan adanya kepastian syara’ sehubungan dengan persoalan-duduk perkara yang muncul dikalangan umat Islam tersebut. Maka muncullah beberapa anutan seperti Al Auziah dan Al Sauriyah, tetapi aliran ini tidak bertahan lama, alasannya adalah aliran-ajarannya tidak dibukukan dengan baik.
f. Ilmu Tasawwuf
Orang pertama yang menggunakan kata sufi (tasawwuf) ialah Abu Hasyim al-Kufi (w.150H). Imam al-Gazali (w. 502 H) kemudian mengembangkannya melalui karya-karyanya, antara lain Ihya Ulum al-Din dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya. Mereka para mahir tasawwuf ini, menyampingkan kehidupan duniawi, hidup dalam kesederhanaan, sebab dengan demikian, mereka akan merasa lebih erat dengan Tuhan.
g. Ilmu Tarikh
Muhammad ibn Ishak (w. 152 H) yang mula-mula menulis tarikh Nabi Muhammad SAW, kemudian diringkaskan oleh Ibn Hisyam (w.218 H) dengan bukunya Syarh Ibn Hisyam. Penulis-penulis tarikh yang lain pada periode ini yaitu Ibn Abi Mahruf, Al Waqidi, Ibn Al Kilbi, Ibn Sa’ad ibn al-Hikam, Ibn Qutaibah dan Nubkhiti.
h. Ilmu Nahwu
Abu Al Aswad al Duali yang hidup pada kala Daulah Umayyah, diketahui sebagai peletak dasar ilmu ini, yang diperolehnya dari Ali ibn Abi Thalib.
Setelah pemerintahan dipegang oleh Daulah Abbasiyah, perkembangannya kian pesat lagi. Di Bashrah dibangun madrasah yang khusus medalami ilmu ini.
2. Ilmu-ilmu Umum
a. Ilmu Filsafat
Ilmu ini muncul dan meningkat pada masa Daulah Abbasiyah. Ilmu ini diperoleh melalui penterjemahan buku-buku filsafat Yunani yang terdapat di berbagai negeri, seperti Mesir, Syiria, Mesopotamia, dan Persia, dan bahkan dari Yunani sendiri.
Para cendekiawan muslim bukan cuma menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat yang mereka pelajari dan buku-buka Yunani tersebut, tetapi menambah ke dalamnya hasil-hasil penyelidikan yang mereka kerjakan sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil ajaran mereka dalam lapangan filsafat.
Filosof-filosof muslim, sebagaimana halnya dengan filosof Yunani, bukan hanya memiliki sifat filosof, tetapi juga sifat ahli ilmu pengetahuan. Karangan-karangan mereka bukan cuma terbatas dalam lapangan filsafat saja tetapi juga mencakup aneka macam ilmu wawasan.
b. Ilmu Falak
Orang pertama menelaah ilmu ini, adalah muhammad ibn ibrahim al-farazi. Diawali dengan lahirnya buku al-sindu hindu pada kurun khalifa al-mansur, lalu meningkat pada masa al-ma’mun dengan dibangunnya teropong bintang dan terjemahkannya buku yunandi al-magiste, karya potelemeus oleh husain ibn ishak.
Pada kurun ini pula dikemukakan teori tentang terjadinya gerhana, dan tidak tampaknya matahari di daerah kutub. Teori ini sudah disempurnakan dengan alat pengukur dan kecepatan perjalanan bintang atau astrologi.
c. Ilmu Kedokteran
Ilmu ini mulai dikenal pada era Daulah Abbasiyah dengan hadirnya hadirnya George Bakhtisyu ke istana, atas permintaannya al-Mansur untuk mengobati dirinya. Banyak dukungan yang sudah diberikan para ilmuawan Muslim dalam bidang ini, baik dalam faktor ilmu kedokteran maupun seni penyembuhan dan pelayanan kesehatan penduduk .
d. Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Ilmu ini digunakan secara praktis, dikala membuat penyusunan rencana pembangunan kota baghdad pada kala al-manshur. Pada kurun al-mahdi, jabir ibn hayyam (721-815 M) sudah menulis ilmu kimia, pertambangan dan watu-batuan yang dimanfaatkan oleh barat dikemudian hari.
Perkembangan berikutnya dilaksanakan oleh muhammad ibn-ibrahim al-farazi, dengan menterjemahkan buku matematika sinhind dari india.
Al-khawarizmi, terkenal pula sebagai mahir matematika yang amat luas pengaruhnya dimasa pemerintahakan al mu’tasim. Karyanya al-mukhtasar fi hisab al-jabr wa al-muqabalah (buku padat ringkas perihal perkiraan retorasi dan ekuasi). Karya tersebut sudah mengabdikan nama dia sendiri dalam perumpamaan al-qharitma (sistem notasi aritmatika dengan angka arab 1 dan seterusnya yang dalam desain modem disebut logarisma (kaedah untuk pemecahan dilema berhitung tertentu mirip mencari komplotan terbesar).
Sistema al-gharitma tersebut, baru diketahui dieropa, pada masa ke-12M, sebelumnya hanya dikenal tata cara rumawi.
Pada matematis lainnya yang terkenal adalah, umar al-khayyam, nasir al-din a-tusi dan lain-lain.
e. Fisika
Ada sebuah hal yang ialah ciri khas dari karya ahli fisika muslim pada kurun itu, yaitu terpadunya kepekaan terhadap azas-azas teori dasar yang mencerminkan kekaguman dan kehormatan kepada ciptaan ilahi dengan pendekatan simpel.
Ahli fisika muslim yang terkenal, antara lain mirip al-birunidan ibn sinayang bekerja sama dalam menganalisa desain-desain fisika pada kurun itu, ibn al-haytham (al-hazam) yang memplopori study ihwal gerak dan refraksi atau penyesuaian cahaya dan pendekatan kepada hukumnya, dalam karyanya al-munazir (buku optika).
Demikianlah pertumbuhan dan pertumbuhan ilmu wawasan pada kurun daulah abbasiyah yang telah meraih puncaknya, tetapi berdasarkan badri yatim, kemajuan yang dicapai abbasiyah tidak terlepas dari usaha bani umayyah selaku perintis perkembangan, namun usaha tersebut tidak terkonsentrasi, alasannya adalah pada era ini pusat perhatian terfokus kepada pengembangan wilayah islam. Walaupun kemajuan islam mencapai puncak keemasannya pada daulah abbasiyah, tetapi kemunduran juga terjadi pada kurun khalifah terakhir. Hal ini disebabkan beberapa hal, antara lain:[10]
1) Wilayah kekuasaan yang semakin luas.
2) Heterogenitas.
3) Merajalelanya budaya KKN.
4) Pemberontakan prajurit jenissari.
5) Merosotnya ekonomi dan.
6) Terjadinya stagnasi dalam lapangan ilmu pengetahuan.
E. Bentuk-bentuk Kemajuan Pendidikan Islam di Masa Lalu
Harun Nasution mengklasifikasikan sejarah Islam pada tiga era yang mana masa pertama disebut dengan abad klasik dimulai tahun 650 sampai 1250 M.,semenjak lahirnya islam sampai hancurnya pemerintahan Baghdad, sedangkan pada kala kedua disebut dengan abad pertengahan yaitu dari hancurnya baghdad sampai timbulnya pandangan baru-pandangan baru baru di Mesir yakni sejak tahun 1250 sampai 1800 M. Dan terakhir periode modern yakni mulai tahun 1800 M. hingga sekarang. Dan adapun bentuk-bentuk pendidikan islam kurun klasik atau kala lalu yaitu antara lain:[11]
1. Kurikulum
Kurikulum dalam lembaga pendidikan islam dimasa klasik pada mulanya berkisar pada bidang study tertentu. Namun seiring pertumbuhan social dan cultural, bahan kurikulum makin luas. Pada masa Nabi di Madinah, materi pelajaran berkisar pada berguru menulis, membaca Al-Quran, keimanan, ibadah, etika, dasar ekonomi, dasar politik, dan kesatuan. Setelah wilayah Islam kian luas, Islam harus bersinggungan dengan budaya masyarakat non Islam yang mengakibatkan problem social makin kompleks.
Problem social tersebut pada kesudahannya kuat besar kepada kehidupan keagamaan dan intelektual Islam, termasuk ilmu helenistik yang terjalin kontak dengan Islam. Perkembangan kehidupan inteleketual dan kehidupan keagamaan dalam Islam membawa suasana lain bagi kurikulum pendidikan Islam.
Maka, diajarkanlah ilmu-ilmu gres mirip tafsir, hadist, fikih, tata bahasa, sastra, matematika, teologi, filsafat, astronomi, dan kedokteran Pada kala kejayaan Islam, mata pelajaran bagi kurikulum sekolah tingkat rendah adalah al-Quran dan agama, membaca, menulis, dan syair.
Dalam banyak sekali perkara-kasus lain dikhususkan untuk membaca al-Alquran dan mengajarkan sebagian prinsip-prinsip pokok agama. Sedangkan untuk belum dewasa amir dan penguasa, kurikulum tingkat rendah sedikit berlawanan. Di istana-istana bisanya ditegaskan pentingnya pengajaran khitabah, ilmu sejarah, dongeng perang, cara-cara pergaulan, disamping ilmu-ilmu pokok mirip al-Alquran, syair, dan fikih.
2. Metode Pengajaran
Metode pengajaran merupakan salah satu faktor yang penting dalam proses belajar mengajar untuk mentransfer pengetahuan atau kebudayaan dari seorang guru kepada anak didiknya. Melalui tata cara pengajaran terjadi proses internalisasi dan penyeleksian ilmu oleh murid, sehingga murid mampu menyerap apa yang disampaikan gurunya. Metode pengajaran yang digunakan pada era Masa Abbasiyah mampu dikelompokkan menjadi 3 macam, yakni :
a. Metode verbal
Metode ini mampu berbentukdikte, ceramah, qira`ah, dan dapat berupa diskusi. Dikte (imla) yakni tata cara untuk memberikan wawasan yang dianggap baik dan aman sehingga pelajar memiliki catatan yang dapat membantunya terutama bagi yang daya ingatnya tidak berpengaruh. Metode ceramah (al asma`), adalah guru membacakan bukunya atau menjelaskan isi buku dengan hafalan, sedangkan murid mendengarkannya. Pada ketika tertentu guru memberi peluang kepada murid untuk menulis dan mengajukan pertanyaan. Metode qira`ah (membaca) umumnya digunakan untuk membaca. Sedangkan diskusi ialah sistem pengajaran dalam pendidikan Islam dengan cara perdebatan.
b. Metode hafalan
Metode ini dijalankan oleh murid dengan cara membaca berulang-ulang sehingga pelajaran menempel di benak mereka. Dalam proses selanjutnya, murid mengeluarkan kembali pelajaran yang dihafalnya sehingga dalam sebuah diskusi beliau dapat menyikapi, mematahkan lawan, atau memunculkan ide baru.
c. Metode goresan pena
Metode ini merupakan tata cara pengkopian karya-karya ulama. Metode ini di samping bermanfaat bagi proses penguasaan pengetahuan juga sungguh besar artinya bagi penggandaan jumlah buku alasannya adalah pada kurun itu belum ada mesin cetak.
3. Kehidupan Murid
Ciri utama kehidupan murid dalam pendidikan tingkat dasar yakni :
a. Diharuskannya belajar membaca dan menulis.
b. Bahan pengajarannya menggunakan syair-syair dan bukan al Qur`an alasannya adalah dikhawatirkan mereka membuat kesalahan yang mau menodai al Qur`an.
c. Murid-murid diajarkan membaca dan menghafalkan al Qur`an.
d. Pada sekolah dasar tidak ditentukan lamanya belajar dan tergantung pada kesanggupan belum dewasa.
e. Hubungan guru dan murid selaku kekerabatan orang renta dan anak.
Pada pendidikan tingkat tinggi murid-murid bebas menentukan guru yang mereka sukai yang dianggapnya paling baik. Di antara ciri khas pendidikan di masa Masa Abbasiyah yakni teacher oriented , adalah mutu suatu pendidikan tergantung pada guru. Pelajar bebas mengikuti sebuah pelajaran yang dikehendaki dan mampu mencar ilmu dimana saja, misdalnya di perpustakaan, toko buku, rumah ulama atau daerah terbuka.
Pelajar dapat dikelompokkan menjadi dua, adalah pelajar tidak tetap, yang terdiri dari para pekerja yang mengikuti pelajaran untuk menunjang profesi dan pelajar tetap, yaitu pelajar yang memiliki tujuan utama untuk berguru dan menghabiskan sebagian hidupnya untuk belajar. Setiap pelajar membuat daftar guru-guru yang mengajar yang disebut Mu`jam al Masyakhah. Daftar tersebut dipakai sebagi bukti bahwa mereka telah belajar terhadap guru-guru yang populer dan dapat mengenali kualitas hadits yang mereka terima dari seorang guru.
4. Rihlah Ilmiyah
Yaitu pengembaraan atau perjalanan jauh untuk mencari ilmu. Dengan adanya tata cara ini pendidikan di kala Masa Abbasiyah tidak hanya di batasi dengan dinding kelas (school without wall) namun menawarkan kebebasan kepada murid untuk berguru kepada guru-guru yang mereka inginkan. Guru-guru juga melaksanakan perjalanan dan pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mengajar sekaligus berguru, sehingga metode rihlah ilmiyah disebut dengan learning society (penduduk belajar).
Kebebasan perjalanan di berbagai daerah Islam menjadikan pertukaran anutan (culture contact) terus berlangsung antar penduduk Islam sehingga dinamika sosial dan peradaban Islam terus berjalan. Syalabi, mengutip dari Nicholson menjelaskan bahwa melaksanakan perjalanan ilmiah laksana lebah mencari bunga ke daerah yang jauh lalu mereka kembali ke kota kelahirannya dengan membawa madu yang elok.
5. Wakaf
Lembaga wakaf menjadi sumber keuangan bagi lembaga pendidikan Islam. adanya sistem wakaf dalam Islam disebabkan oleh metode ekonomi Islam yang menilai bahwa ekonomi berafiliasi akrab dengan akidah dan syari`ah Islam sehingga aktifitas ekonomi mempunyai tujuan ibadah dan kemaslahatan bersama. Oleh sebab itu di dikala ekonomi Islam mencapai perkembangan, umat Islam tidak segan-segan membelanjakan uangnya untuk kepentingan dan kesejahteraan umat Islam mirip halnya untuk pelaksanaan pendidikan Islam. Dengan dipelopori penguasa Islam yang cinta ilmu seperti Harun al Rasyid dan al Ma`mun maka berdirilah lembaga-lembaga pendidikan untuk keilmuan. Menurut Syalabi, bahwa khalifah al Ma`mun yakni orang yang pertama kali memberikan pendapatnya wacana pembentukan tubuh wakaf.
F. Masa Kemunduran Pendidikan Islam
Sepanjang sejarah semenjak permulaan dalam fatwa terlibat dua contoh yang saling berlomba mengembangkan diri dan mempunyai imbas besar dalam pengembangan acuan pendidikan umat Islam. Kedua pola tersebut yakni: Pola fatwa tradisional dan Pola ajaran rasional. Pada acuan fatwa tradisional ini senantiasa mendasarkan diri pada wahyu, yang lalu bermetamorfosis contoh pedoman sufistis dan menyebarkan pola pendidikan sufi yang sangat mengamati aspek-faktor batiniyah dan adat atau kecerdikan pekerti insan. Sedangkan pada contoh ajaran rasional, mementingkan akal pikiran yang menimbulkan teladan pendidikan empiris rasional yang sangat mengamati pendidikan intelektual dan penguasaan material.[12]
Pada abad jayanya pendidikan Islam, kedua pola pendidikan tersebut menghiasi dunia Islam, sebagai dua pola yang berpadu dan saling melengkapi. Akan namun saat contoh pemikiran rasional diambil alih oleh Eropa dan dunia Islam pun meninggalkan pola berfikir tersebut. Sehingga tinggal anutan sufistis yang sifatnya memang sangat memperhatikan kehidupan batin yang kesudahannya mengabaikan dunia material. Dari aspek inilah dibilang bahwa pendidikan dan kebudayaan Islam mengalami kemunduran.
Setelah kita mengetahui asas kebangkitan peradaban Islam kini kita perlu mengkaji karena-karena kemunduran dan kejatuhannya. Dengan begitu kita dapat mengambil pelajaran dan bahkan menguji letak kelemahan, kemungkinan dan tantangan. Kemunduran sebuah peradaban tidak bisa dikaitkan dengan satu atau dua faktor saja. Karena peradaban yaitu suatu organisme yang sistematik, maka jatuh bangunnya suatu peradaban juga bersifat sistematik. Artinya kekurangan pada salah satu organ atau elemennya akan membawa dampak pada organ yang lain. Setidaknya antara satu aspek dengan aspek yang lain, yang secara umum dibagi menjadi faktor eksternal dan internal berkaitan akrab sekali.[13]
Untuk menjelaskan aspek penyebab kemunduran umat Islam secara eksternal kita rujuk paparan al-Hasan, faktor-faktor tersebut yakni:[14]
1. Faktor ekologi dan alami, ialah keadaan tanah dimana negara-negara Islam berada yakni gersang, atau semi gersang. Kondisi ini juga rentan dari segi pertahanan dari serangan luar. Demikian pula di tahun 1347-1349 terjadi wabah penyakit yang mematikan di Mesir, Syiria dan Iraq. Karena faktor ini penduduk tidak terfokus pada sebuah kawasan tertentu dan terhadap pendidikan.
2. Perang salib yang terjadi dari 1096-1270, dan serangan Mongol dari tahun 1220-1300an. ”Perang Salib” menurut Bernand Lewis,” pada dasarnya merupakan pengalaman pertama imperialisme barat yang ekspansionis, yang dimotivasi oleh tujuan bahan dengan memakai agama selaku medium psikologisnya.
3. Hilangnya perdagangan islam internasional dan hadirnya kekuatan barat. Pada tahun 1492 Granada jatuh dan secara kebetulan Columbus mulai petualangannya. Dalam mencari rute ke India ia menempuh jalur yang melalui negara-negara islam. Pada dikala yang serupa Portugis juga mencari jalan ke Timur dan juga melalui negara-negara Islam. Disaat itu kekuatan umat Islam baik di maritim maupun di Barat dalam sudah memudar. Akhirnya pos-pos perdagangan itu dengan mudah dikuasai mereka.
Meskipun barat muncul sebagai kekuatan gres, umat muslim bukanlah peradaban yang seperti peradaban antik yang tidak dapat bangun lagi. Peradaban Islam terus dan bahkan berkembang pelan-pelan dan bahkan dianggap selaku ancaman barat. Akan tetapi kolonialis menyaksikan bahwa kekuatan Islam yang selama itu sukses mempersatukan banyak sekali kultur, etnik, ras, dan bangsa mampu dilemahkan yaitu dengan cara adu domba dan teknik divide et impera sehingga konflik intern menjadi tak terhindarkan dan akhirnya negara-negara Islam terfragmentasi menjadi negeri-negeri kecil.
Menurut Ibnu Khaldun aspek-faktor penyebab runtuhnya sebuah peradaban lebih bersifat internal dari pada eksternal. Suatu peradaban dapat runtuh alasannya timbulnya materialisme, adalah kegemaran penguasa dan masyarakat menerapkan gaya hidup malas yang dibarengi sikap bermewah-mewah. Sikap ini tidak hanya negatif tapi juga mendorong tindak korupsi dan dekadensi susila.
M. M. Sharif dalam bukunya Muslim Thougt, mengungkapkan tanda-tanda kemunduran pendidikan dan kebudayaan Islam tersebut sebagai berikut : “…… kita saksikan bahwa asumsi islam telah melakukan satu perkembangan yang mahir dalam jangka waktu yang terletak diantaraabad ke VII dan abad ke XIII M. Selanjutkan diungkapkan juga bahwa alasannya adalah-alasannya adalah pikiran Islam menurun dan melemah antara lain selaku berikut:[15]
1. Telah berkelebihan filsafat Islam (yang bercorak sufistis) Al-Ghazali di Timur dan berkelebihannya pula Ibnu Rusyd dalam memasukkan filsafat Islamnya (yang bercorak rasionalistis) ke dunia Islam barat. Sehingga Al-Ghazali dengan filsafat islamnya menuju kerohanian sampai menghilang ke dalam maga tasawuf mendapat sukses di timur, dan Ibnu Rusd dengan filsafatnya yang berlawanan dengan Al-Ghazali dengan menuju ke jurang materialisme menerima sukses di Barat.
2. Umat Islam, terutama pada pemerintahannya (khalifah, sultan, amir-amir) melupakan ilmu wawasan dan kebudayaan yang mana pada mulanya mereka memberi kesempatan untuk meningkat dan memperhatikan ilmu wawasan dengan menunjukkan penghargaan yang tinggi kepada para mahir ilmu pengetahuan. Namun pada kurun ini mereka lebih mementingkan pemerintahan, begitu pula dengan para andal ilmunya yang terlibat dalam urusan-problem pemerintahan.
3. Terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang diikuti dengan serangan dari luar, sehingga menjadikan kehancuran yang menimbulkan berhentinya acara pengembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam.
G. Dampak dari Faktor-Faktor Kemunduran Pendidikan Islam
Dari beberapa faktor yang telah dipaparkan diatas yang pasti ada efek yang terjadi baik kepada umat Islam itu sendiri dan terutama pada pendidikan yang mana dengan semakin ditinggalkannya pendidikan intelektual, maka makin statis kemajuan kebudayaan Islam, alasannya daya intelektual generasi penerus sudah tidak mampu lagi untuk menyelenggarakan kreasi-kreasi gres, bahkan telah menimbulkan ketidakmampuan untuk mengatasi dilema-problem baru.
Dalam bidang fiqh, yang terjadi ialah berkembangnya taqlid buta dikalangan umat. Apa yang sudah ada dalam kitab-kitab fiqh usang dianggapnya sebagai sesuatu yang sudah baku, mantap, benar, dan mesti dibarengi serta dikerjakan sebagaimana adanya. Dengan perilaku hidup yang fatalistis tersebut, kehidupan mereka sungguh statis.
Ketika umat Islam mengalami kehancuran dan kemunduran dalam pendidikan utamanya dalam bidang intelektual, maka pada waktu itu kehidupan sufi berkembang dengan pesat. Karena kondisi putus asa yang merata dikalangan umat sehingga mengakibatkan orang kembali kepada Tuhan (bersatu dengan Tuhan) sebagaimana diajarkan oleh para ahli sufi.
Kemunduran dan kemerosotan mutu pendidikan dan pengajaran juga nampak terang pada sangat sedikitnya materi kurikulum dan mata pelajaran serta menyempitnya bidang-bidang ilmu pengetahuan umum di madrasah-madrasah. Sehingga kurikulum pada umumnya madrasah-madrasah terbatas hanya pada ilmu-ilmu keagamaan murni seperti : Tafsir, Al-Qur’an, hadits, fiqh (termasuk ushul fiqh) dan ilmu kalam atau teologi bahkan dalam ilmu kalam pun masih ada madrasah-madrasah yang meragukan. Dengan bahan yang sungguh sederhana ternyata total buku yang mesti dipelajari pun sungguh sedikit. Begitupun dengan metode pengajaran pada kala itu yang sungguh beroritentasi pada buku pelajaran sehingga sering terjadi pelajaran cuma menunjukkan komentar-komentar atau syarah kepada buku-buku pelajaran yang dijadikan pegangan oleh guru tanpa ada pasokan pendapat sendiri dari guru tersebut.
Oleh alasannya itu pertumbuhan ilmu pengetahuan pada era ini mampu dikatakan macet total. Keadaan yang demikian berjalan selama era kemunduran kebudayaan dan pendidikan Islam, hingga era ke 12 H/18 M.
H. Masa Pembaharuan Pendidikan Islam
Setelah warisan filsafat dan ilmu wawasan Islam diterima oleh bangsa Eropa dan umat Islam telah tidak memperhatikannya lagi maka secara berangsur-angsur telah membangkitkan kekuatan di Eropa dan mengakibatkan kekurangan di golongan umat Islam. Secara berangsur-angsur namun niscaya, kekuasaan umat Islam ditundukkan oleh kekuasaan bangsa Eropa.
Sebenarnya kesadaran akan kekurangan dan ketertinggalan kaum muslimin dari bangsa-bangsa Eropa dalam aneka macam bidang kehidupan ini, sudah timbul mulai abad ke 11 H/17 M dengan kekalahan-kekalahan yang diderita oleh kerajaan Turki Usamani dalam peperangan dengan negara-negara Eropa. Kekalahan-kekalahan tersebut mendorong raja-raja dan pemuka-pemuka kerajaan untuk menyelidiki alasannya adalah-sebab kekalahan mereka dan belakang layar kelebihan lawan. Mereka mulai mengamati pertumbuhan kebudayaan Eropa, terutama Perancis yang ialah sentra kemajuan kebudayaan Eropa pada kurun itu dan mengantarduta-duta untuk mempelajari kemajuan Eropa, khususnya di bidang militer dan pertumbuhan Ilmu pengetahuan.[16]
Dalam bidang pengembangan ilmu wawasan terbaru dari Barat, untuk pertama kali dalam dunia Islam dibuka sebuah percetakan di Istambul pada tahun 1727 M. Guna mencetak berbagai macam buku ilmu wawasan yang diterjemahkan dari buku-buku ilmu wawasan barat, Al-Qu’ran dan ilmu-ilmu pengetahuan agama lainnya.
Penduduk Mesir oleh Napoleon Bonaparte tahun 1798 M, yaitu ialah tonggak sejarah bagi umat Islam untuk mendapatkan kembali kesadaran akan kelemahan dan keterbelakangan mereka. Ekspedisi Napoleon tersebut bukan hanya memperlihatkan akan kekurangan umat Islam, namun juga sekaligus memperlihatkan kebodohan mereka. Ekspedisi Napoleon tersebut disamping menjinjing pasukan serdadu yang kuat, juga menenteng pasukan ilmuwan dengan seperangkat peralatan ilmiah, untuk menyelenggarakan observasi di Mesir. Inilah yang memuka mata kaum muslimin akan kelemahan dan keterbelakangannya, sehingga balasannya timbul banyak sekali macam perjuangan pembaharuan dalam segala bidang kehidupan, untuk mengejar-ngejar ketertinggalan dan keterbelakangan mereka, tergolong usaha-perjuangan di bidang pendidikan.
1. Pola-Pola Pembaharuan Pendidikan Islam
Dalam diri kaum muslimin pada abad itu terjadi tiga pola ajaran pembaharuan Pendidikan Islam yaitu :[17]
a. Golongan yang berorientasi pada contoh pendidikan terbaru di Barat.
Pada dasarnya mereka beropini bahwa sumber kekuatan dan kesejahteraan hidup yang dialami oleh Barat ialah selaku hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang mereka capai. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dicapai oleh bangsa-bangsa Barat kini, tidak lain yaitu merupakan pengembangan dari ilmu wawasan dan kebudayaan yang pernah berkembang di dunia Islam. Oleh alasannya itu, mereka bertekad untuk mengembalikan kekuatan dan kejayaan umat Islam, sumber kekuatan dan kesejahteraan tersebut harus dikuasai kembali.
Pembaharuan pendidikan dengan contoh Barat ini, mulanya muncul di Turki Usmani pada selesai kala ke 11 H / 17 M setelah mengalami kalah perang dengan aneka macam negara Eropa Timur pada periode itu, yang ialah benih bagi timbulnya usaha sekularisasi Turki yag berkembang kemudian dan membentuk Turki Modern. Sultan Mahmud II (yang memerintah di Turki Usmani 1807-1839), ialah pencetus pembaharuan pendidikan di Turki.[18]
Usaha-perjuangan yang dijalankan oleh Sultan Mahmud II diantaranya:
1) Mengadakan pergantian dalam kurikulum madrasah dengan menyertakan wawasan-wawasan biasa kedalamnya yang semula hanya mengajarkan pengetahuan agama.
2) Mengeluarkan perintah agar anak sampai umur cukup umur jangan dihalangi masuk madrasah.
3) Mendirikan sekolah militer, sekolah teknik, sekolah kedokteran dan sekolah pembedahan.
4) Mengirim siswa-siswi ke Eropa, untuk memperdalam ilmu pengetahuan dan teknologi pribadi dari sumber pengembangan.
Pola pembaharuan pendidikan yang berorientasi ke barat ini, juga nampak dalam perjuangan Muhammad Ali Pasya di Mesir yang berkuasa pada tahun (1805-1848) yaitu dengan menyelenggarakan pembaharuan dengan jalan mendirikan sekolah yang memalsukan tata cara pendidikan dan pengajaran Barat, menghadirkan guru-guru dari Barat (utamanya dari Perancis), mengantarkan pelajar ke Barat untuk belajar, menterjemahkan buku-buku Barat ke dalam bahasa Arab.
b. Gerakan pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada sumber Islam yang murni.
Pola ini berpandangan bahwa sebetulnya Islam sendiri merupakan sumber bagi pertumbuhan dan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan terbaru. Menurut analisis mereka, diantara sebab-alasannya kelemahan umat Islam adalah sebab mereka tidak lagi melakukan pemikiran agma Islam secara sebaiknya. Ajaran-pedoman Islam yang menjadi sumber perkembangan dan kekuatannya ditinggalkan, dan menerima anutan-ajaran Islam yang telah tidak murni lagi.
Pola pembaharuan ini telah dirintis oleh Muhammad bin Abdal-Wahab, kemudian dicanangkan kembali oleh Jamaluddin Al-Afgani dan Muhammad Abduh (akhir masa 19 M).
c. Usaha pembaharuan pendidikan yang berorientasi pada nasionalisme.
Rasa nasionalisme muncul bareng dengan berkembangnya teladan kehidupan modern, dan mulai dari Barat. Bangsa-bangsa Barat mengalami kemajuan rasa Nasionalisme yang lalu mengakibatkan kekuatan-kekuatan politik yang berdiri sendiri. Keadaan tersebut mendorong pada umumnya bangsa-bangsa Timur dan bangsa terjajah yang lain untuk membuatkan nasionalisme masing-masing.
Disamping itu, adanya keyakinan di kelompok pemikir-pemikir pembaharuan di golongan umat Islam, bahwa pada hakikatnya ajaran Islam mampu diterapkan dan sesuai dengan segala zaman dan kawasan. Oleh alasannya itu, inspirasi pembaharuan yang berorientasi pada nasionalisme ini pun bersesuaian dengan pedoman Islam.[19]
2. Dualisme Sistem Pendidikan Islam
Sistem pendidikan terbaru, kebanyakan dilaksanakan oleh pemerintah, yang pada awalnya ialah dalam rangka menyanggupi tenaga-tenaga mahir untuk kepentingan pemerintah, dengan mengguanakan kurikulum dan membuatkan ilmu-ilmu pengetahuan modern. Sedangkan sistem pendidikan tradisional yang ialah sisa-sisa dan pengembangan sistem zawiyah, ribat atau pondok pesantren dan madrasah yang telah ada di kalangan masyarakat, kebanyakan tetap menjaga kurikulum tradisional yang hanya menawarkan pendidikan dan pengajaran keagamaan. Dualisme sistem dan pola pendidikan inilah yang berikutnya mewarnai pendidikan Islam di semua negara dan masyarakat Islam.
Pada lazimnya perjuangan pendidikan untuk memadukan antara kedua metode sudah diadakan, dengan jalan memasukkan kurikulum ilmu pengetahuan terbaru ke dalam tata cara pendidikan tradisional, dan memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum sekolah-sekolah terbaru. Dengan demikian diperlukan metode pendidikan tradisional akan berkembang secara berangsur-angsur mengarah ke tata cara pendidikan modern. Dan inilah yang sebenarnya diharapkan oleh para pemikir pembaharuan pendidikan Islam, yang berorientasi pada aliran Islam yang murni.[20]
I. Analisis Fakta Sejarah
Pemikiran pembaharuan Islam terjadi sekitar pada era ke 17 M. Pemikiran pembaharuan di dalam tubuh Islam sendiri didasari atas kesadaran kaum muslimin akan ketertinggalan mereka dalam banyak sekali bidang utamanya dalam bidang pendidikan ketimbang orang-orang Barat.[21]
Para pemikir Islam salah satunya ialah Sultan Mahmud II berusaha untuk menyelenggarakan pergantian dalam kurikulum madrasah dengan menambahkan pengetahuan-pengetahuan umum kedalamnya yang semula hanya mengajarkan wawasan agama. Yang inspirasinya seperti mengadopsi fatwa-anutan dari Barat, akan namun sesungguhnya merupakan ajaran Islam yang murni yang menghendaki keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat.
Adapun pemikir-pemikir muslim lainnya mengemukakan tema pembaharuan dengan opini/wangsit dasar adalah :
1. Mengembalikan pedoman Islam terhadap bagian aslinya, dengan bersumberkan Al-Qur’an dan Al-Hadist, dan membuang segala bid’ah, khurafat, tahayul dan gaib.
2. Menyatakan dan membuka kembali pintu ijtihad.
Menurut kalangan berfikir usaha pembaharuan pendidikan yang berorientasi pada nasionalisme berupaya memperbaiki kehidupan umat Islam dengan mengamati suasana dan kondisi objektif umat Islam yang bersangkutan. Dalam perjuangan mereka bukan semata mengambil unsur-bagian budaya Barat yang telah maju, namun juga mengambil bagian dari budaya warisan bangsa yang bersangkutan. Ide kebangsaan inilah yang akibatnya menyebabkan timbulnya usaha merebut kemerdekaan dan mendirikan pemerintahan sendiri di kelompok pemeluk Islam.
Sebagai akhir dari pembaharuan dan kebangkitan kembali pendidikan Islam ini, terdapat kecenderungan dualisme metode pendidikan Islam di kebanyakan negara muslim, yaitu perpaduan antara sistem pendidikan terbaru dan tata cara pendidikan tradisional.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari klarifikasi diatas mampu diambil sebuah kesimpulan bahwa:
1. Kejayaan pendidikan Islam dimulai dengan kemajuan lembaga-forum pendidikan Islam non formal diantaranya; kuttab, pendidikan rendah di istana, toko-toko kitab, rumah para ulama, majelis atau salon kesusastraan, badiah (padang pasir,dusun daerah tinggal badwi), rumah sakit, perpustakaan, masjid, dan ribath. Adapun aspek-aspek yang mensugesti kejayaan pendidikan Islam; adanya lembaga-forum formal seperti sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah, terjadinya asimilasi antara bangsa arab dengan bangsa lain yang lebih dahulu maju, dan pengaruhpengaruh dari Persia, India dan efek Hellenisme di abad Abbasiyah.
2. Kemunduran pendidikan Islam di mulai dengan runtuhnya daulah Bani Abbasiyah yang disebabkan oleh berlebihannya sufisme, sekurang-kurangnya kurikulum Islam, tertutupnya pintu ijtihad, adanya pemberontakan serta serangan dari luar yang mengakibatkan runtuhnya sendi-sendi pendidikan dan kebudayaan Islam.
3. Pendidikan Islam mengalami fase kebangkitan kembali yang dinamakan fase pembaharuan. Pada fase ini pendidikan Islam mulai naik dengan beberapa tokoh yang menjadi penggagas. Kebangkitan kembali umat Islam khususnya bidang pendidikan adalah dalam rangka untuk pemurnian kembali pemikiran-pedoman Islam dengan aktivis di banyak sekali kawasan mirip Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Pembaharuan di Turki, dan Muhammad Iqbal di India. Terjadinya tiga acuan pembaharuan aliran pendidikan Islam. Ketiga pola tersebut ialah : Pola pembaharuan yang berorientasi pada pola pendidikan Barat. Golongan yang berorientasi pada sumber Islam yang murni. Usaha yang berorientasi pada Nasionalisme.
B. Saran
Demikianlah makalah ini untuk menyanggupi tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Agama Islam. Apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kekurangan penulis meminta terhadap pembaca biasanya dan khususnya kepada dosen mata kuliah Sejarah Pendidikan ini untuk menunjukkan usulan dan kritik yang membangun untuk makalah ini. Praktis-mudahan Allah Swt senantiasa memberkahi kita semua. Amin ya Rabbal ‘Alamin .
DAFTAR PUSTAKA
Ali Mufrodi,1997.Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Logos, Jakarta,
Armstrong, Karen, 2003, “Islam Sejarah Singkat” Yogyakarta: Jendela
Asrohah, Hanun. 2001. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Badri Yatim, 2014. Sejarah Peradaban Islam, PT Grafindo Persada, Jakarta,
Harun, Maidir, dan Firdaus, 2001.Sejarah Peradaban Islam, Padang: IAIN-IB Press
Hasan, Hasan Ibrahim, 2009. Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, Cet. III
Nata, Abudin, 2004, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta; PT Raja Grafindo Persada,
Nizar, Samsul. editor. 2009.” Sejarah Pendidikan Islam”. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Cet: Ke-3.
Ramayulis. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam mulia.
Samsul Munir Amin, 2013. Sejarah Peradaban Islam, Amzah, Jakarta,
Samsul Nizar, 2007.Sejarah Pendidikan Islam:Menelusuri Jejak Sejarah Era Rosullullah Sampai Indonesia, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, Vol. 1 Agustus
Sunanto, Musrifah, 2003, Sejarah Islam Klasik.Jakarta Timur; Prenata Media
Suwendi. 2004. Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam.Jakata: PT Raja Grafindo Persada.
Syarif, Muslim Thought Diponegoro, Bandung,
Tafsir, Ahmad, 1990, “Filsafat Umum”, Bandung, PT Remaja Rosyda Karya,
Zuhairini. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
[2] Ibid Hal 48
[7] Ibid 130
[10] Ramayulis. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: kalam mulia,hal.109
[12] Samsul Nizar. editor. 2009. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Cet: Ke-3. Hlm 183.
[13] Samsul Nizar. editor. 2009. Hlm 190.
[14] Samsul Nizar. editor. 2009. Hlm 191.
[15] M.M. Syarif, Muslim Thought Diponegoro, Bandung, hal. 161-164
[16] Suwendi. 2004. Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam.Jakata: PT Raja Grafindo Persada. Hal 140
[17] Musrifah Sunanto, 2003, “Sejarah Islam Klasik” Jakarta Timur; Prenata Media, hal: 223-228
[18] Ahmad Tafsir, 1990, “Filsafat Umum”, Bandung, PT Remaja Rosyda Karya, hal: 125
[19] Dra. Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Bumi Aksara. Jakarta,2011. Hal.111
[20] Abudin Nata, 2004, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, hal 283-286