close

Makalah Sejarah Fatwa Ekonomi Islam Ibnu Tamiyah

 MAKALAH

SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI  ISLAM IBNU TAMIYAH

BY: CITRA, DKK.


BAB I

             PENDAHULUAN

Latar belakang problem Kehidupan manusia tidak mampu dipisahkan dengan persoalan ekonomi yang mana melibatkan hubungan antar manusia dengan manusia yang lain, kekerabatan itu mesti didasarkan pada norma-norma agama islam yang mengatur segala aspek kehidupan termasuk yang berhubungan dengan problem mu’amalah. Dalam konteks, perjuangan berbagi sistem ekonomi islam, kita mencoba melihat sebuah konsep aliran yang sangat brilian pada waktu itu, sebagai ilham dan petunjuk. Untuk itu penulis menjajal memberikan pokok-pokok anggapan dari salah satu ulama yakni: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang berkaitan dengan problem ekonomi, meskipun jarak antara kita dan lahirnya beliau sangat jauh. Ia hidup pada selesai abad ke 7 dan awal periode ke 8 hijriah, ia memiliki ilmu wawasan yang sangat dalam perihal aliran islam. Islam era sekarang membutuhkan pandangan ekonomi yang jernih ihwal apa yang diperlukan dan bagaimana sesuatu itu bisa dikerjakan. Untuk merealisasikan hal tersebut dibutuhkan keleluasaan dalam berupaya dan hak milik, yang dibatasi oleh aturan budbahasa dan diawasi oleh negara yang adil dan mampu menegakkan hukum syari’at. Seluruh kegiatan ekonomi dibolehkan, kecuali yang secara tegas dihentikan oleh syari’at.

  

BAB II

     PEMBAHASAN

A.     RIWAYAT HIDUP

Ibnu Taimiyah, nama lengkapnya yakni Ahmad Taqi al-Din Abu al-‘Abbas bin Syinab ad-Din Abdul al-halim bin Abdul as-Salim bin ‘Abdi Allah.Beliau lahir pada hari senin tanggal 10 Rabiul Awal tahun 661 H atau bertepatan dengan 22 Januari 1262 M di Harran erat Damaskus. Dia mengambil alih posisi ayahnya sebagai guru dan khatib di masjid-masjid sekaligus memulai karirnya yang controversial dalam kehidupan masyarakat. Ia termasuk seorang yang populer, tajam perasaannya, berpikir dan bersikap bebas, setia kepada kebenaran, piawi dalam berpidato, penuh keberanian dan keteguhan, lebih dari itu beliau memiliki semua kriteria yang mengantarkan kepada pribadi yang hebat.[1]

Ibnu Taimiyah lahir dari golongan keluarga terhormat dan disegani pada zamannya. Keluarga yang tergolong sangat pandai dan islami. Ayahnya Syihab al-Din ‘Abd halim bin Abd al-‘Alam (627-682 H) ialah seorang ulama besar yang memiliki kedudukan tinggi di masjid Agung Damaskus. Ia bertindak selaku khatib dan imam besar di masjid tersebut serta sekaligus sebagai guru dalam mata pelajaran tafsir dan hadits as-Sukhariyah, salah satu lembaga pendidikan Islam yang bermazhabkan Hambali, sungguh maju dan berkualitas waktu itu. Ibnu Taimiyah tergolong salah seorang pelajar lembaga pendidikan tersebut.[2]

Kakek Ibnu Taimiyah populer alim, yang bernama Syekh Majd al-Din Abi Barakah ‘Abd al-Salim bin ‘Abd Allah (590-652 H), ia adalah seorang mufassir, muhaddits, ushuli fiqih, nahwi dan musharmif. Sedangkan paman ibnu Taimiyah dari pihak bapak al-Khatb fakhr al-Din, ialah seorang cendikiawan muslim populer dan pengarang yang produktif pada zamannya. Dan adik pria Ibnu Taimiyah juga termasuk mahir dalam ilmu waris, ilmu pasti (al-riyadiyyah) dan ilmu hadits.[3]

Ibnu Taimiyah sendiri semenjak kecil telah menunjukkan ciri-ciri dan sikap-perilaku konkret untuk berkembang menjadi alim besar. Seperti digambarkan oleh Dr.Muhammad Amin:

“Ibnu Taimiyah sendiri semenjak kecil dikenal sebagai anak yang memiliki kecenderungan otak luar biasa, tinggi kemampuan dan kemauan dalam studi, tekun dan cermat dalam memecahkan persoalan, tegas dan teguh dalam menyatakan dan mempertahankan usulan (pendirian), tulus dan tekun bersedekah shaleh, rela berkorban dan perilaku berjuang untuk jalan kebenaran”.


B.     PEMIKIRAN EKONOMI

Ibnu Taimiyah membahas ajaran ekonomi dalam dua buku, yaitu: al-Hisbah fi al-Islam (Lembaga Hisbah dalam Islam) dan al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Ishlah al-Ra’iyah (Hukum Publik dan Privat dalam Islam). Dalam buku pertama, beliau banyak membahas wacana pasar dan intervensi pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Dalam buku kedua, ia membicarakan pendapatan dan pembiayaan publik.

 

1.      Harga Yang Adil, Mekanisme Pasar dan Regulasi Harga

a.      Mekanisme Harga Yang Adil

Mekanisme harga yakni proses yang berjalan atas dasar gaya tarik menarik antara konsumen dan produsen baik dari pasar output (barang) ataupun input (aspek-faktor bikinan). Adapun harga diartikan selaku sejumlah uang yang menyatakan nilai tukar suatu unit benda tertentu.[4]

Ada dua tema yang seringkali didapatkan dalam pembahasan Ibnu Taimiyah tentang duduk perkara harga, ialah kompensasi yang setara/adil (‘iwad al-mitsl) dan harga yang setara/adil (tsaman al-mitsl). Dia berkata; “Kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan itulah esensi dari keadilan (nafs al-‘adl)”[5]

‘Iwad al-mitsl adalah penggantian sebanding yang ialah nilai harga yang setara dari sebuah benda menurut adab kebiasaan. Kompensasi yang setara tanpa ada suplemen dan pengurangan, disinilah esensi dari keadilan. Sedang tsaman al-mitsl adalah nilai harga dimana orang-orang memasarkan barangnya dapat diterima secara biasa selaku hal yang seimbang dengan barang yang dijual itu ataupun barang-barang yang sejenis yang lain di tempat dan waktu tertentu.

Keadilan yang diharapkan oleh Ibnu Taimiyah berhubungan dengan prinsip la dharar ialah tidak melukai dan tidak merugikan orang lain. Maka dengan berbuat adil akan menangkal terjadinya kezaliman. Konsep Ibnu Taimiyah ihwal kompensasi yang adil dan harga yang adil, memiliki dasar pengertian yang berbeda.[6]

Dalam mendefinisikan “kompensasi yang setara”, Ibnu Taimiyah berkata: “yang dimaksud kesetaraan ialah kuantitas dari objek khusus dalam penggunaan secara lazim (‘urf). Itu juga berkait dengan nilai dasar (rate / si’r) dan kebiasaan”. Lebih dari itu ia menambahkan: “penilaian yang benar terhadap kompensasi yang adil didasarkan atas analogi dan taksiran dari barang tersebut dengan barang lain yang setara (ekuvalen)”. Inilah sungguh-sungguh adil dan sungguh-sungguh diterima dalam penggunaannya.[7]

Permasalahan kompensasi yang adil, timbul ketika membongkar dilema etika dan keharusan aturan (berkaitan dengan kepemilikan barang). Adapun prinsip-prinsip itu berhubungan dengan perkara-masalah berikut:[8]

a.       Ketika seseorang bertanggung jawab terhadap luka atau rusaknya orang lain, kepada hak milik (amwal), keperawanan dan keuntungan (manafi)

b.      Ketika seseorang mempunyai kewajiban membayar kembali barang atau profit yang setara atau membayar ganti rugi atas terlukanya salah satu bagian dari anggota tubuhnya

c.       Ketika seseorang dipertanyakan telah menciptakan perjanjian tidak sah ataupun kesepakatan yang sah pada peristiwa yang menyimpang dalam kehidupan maupun hak milik.

Makara yang melatarbelakangi adanya rancangan kompensasi yang adil tersebut disebabkan oleh adanya praktek ketidakadilan yang terjadi pada periode itu, dimana kesetaraan terhadap ganti rugi tidak diberlakukan sebagaimana mestinya, maka dengan melihat keadaan tersebut, Ibnu Taimiyah memperlihatkan perbedaan yang signfikan antara kompensasi yang adil dengan harga yang adil. Dan agaknya, desain kompensasi yang adil ini ialah sebuah ajaran bagi masyarakat dan para hakim dalam melakukan tugasnya di pengadilan.

Ibu Taimiyah membedakan antara soal legal-etik dengan faktor ekonomi dari harga yang adil. Ia memakai ungkapan kompensasi yang setara dikala menelaah dari segi legal etik dan harga yang setara ketika meninjau dari faktor ekonomi. Sebuah desain yang dilatar belakangi oleh hukum dan budbahasa, maka Ibnu Taimiyah mengemukakan rancangan kompensasi yang setara berdasarkan aturan moral yang sungguh tinggi.[9]

Kompensasi yang adil timbul dari budpekerti kebiasaan dalam hal menilai harga suatu benda. Sedangkan harga yang adil timbul alasannya adanya aktivitas undangan dan penawaran kepada nilai harga benda. Adapun persamaannya, sama-sama memakai desain keadilan, yang mana harus didasarkan pada akad dan persetujuan antara kedua belah pihak dengan tidak adanya komponen merugikan pihak lain.

 

b.      Mekanisme Pasar

Pasar dalam pemahaman ilmu ekonomi yakni konferensi antara seruan dan penawaran. Dalam pengertian ini, pasar bersifat interaktif, bukan fisik. Adapun prosedur pasar ialah proser penentuan tingkat harga menurut kekuatan seruan dan penawaran. Pertemuan antara permintaan (demand) dan penawaran (supply) dinamakan equilibrium price (harga seimbang).[10]

  Pertanyaan Dan Tanggapan Teori Akuntansi

Ibnu Taimiyah juga memiliki persepsi perihal pasar bebas, dimana suatu harga diperhitungkan oleh kekuatan penawaran dan undangan. Ia menyampaikan;

“naik turunnya harga tak selalu berkait dengan penguasaan (zulm) yang dikerjakan oleh seseorang. Sesekali karena sebab adanya kelemahan dalam bikinan atau penurunan impor dari barang-barang yang diminta. Jadi, jikalau keperluan kepada jumlah barang meningkat, sementara kesanggupan menyediakannya menurun, harga dengan sendirinya akan naik. Disisi lain, jika kemampuan penyediaan barang berkembangdan undangan menurun, harga akan turun. Kelangkaan dan kelimpahan tak mesti diakibatkan oleh perbuatan seseorang. Bisa saja berhubungan dengan alasannya yang tidak melibatkan ketidakadilan. Atau sesekali mampu juga disebabkan oleh ketidakadilan. Maha besar Allah, yang membuat kemauan pada hati insan”.[11]

Dari pernyatan diatas terdapat indikasi peningkatan harga yang terjadi disebabkan oleh perbuatan ketidakadilan atau zulm para penjual. Perbuatan ini disebut manipulasi yang mendorong terjadinya ketidak sempurnaan pasar. Tetapi pernyataan ini tidak mampu disamakan dalam segala keadaan, alasannya adalah mampu saja argumentasi naik dan turunnya harga disebabkan oleh kekuatan pasar. Tampaknya ada kebiasaan yang terjadi di zaman Ibnu Taimiyah, peningkatan harga terjadi akibat ketidakadilan atau malpraktek dari para penjual, sehingga kata yang digunakan adalah zulm, yang memiliki arti pelanggaran hukum atau ketidakadilan.

Ibnu Taimiyah menyebutkan dua sumber persediaan, adalah buatan setempat dan import barang-barang yang diminta (ma yukhlaq aw yujlab min dzalik almal almatlub). Untuk menggambarkan usul kepada barang tertentu, dia mengguanakan istilah raghbah fi al-syai yang berarti keinginan kepada sesuatu, yakni barang. Hasrat ialah salah satu faktor paling penting dalam usul, aspek yang lain yakni pendapatan yang tidak disebutkan oleh Ibnu Taimiyah. Perubahan dalam supply digambarkannya sebagai peningkatan atau penurunan dalam persediaan barang-barang, yang disebabkan oleh dua faktor, adalah buatan setempat dan impor.[12]

 Pernyataan Ibnu Taimiyah di atas menunjuk pada apa yang kita kenal sekarang sebagai pergeseran fungsi penawaran dan ajakan, yakni ketika terjadi kenaikan seruan pada harga yang serupa dan penurunan pada harga yang serupa atau sebaliknya, penurunan ajakan pada harga yang sama dan pertambahan persediaan pada harga yang sama. Apabila terjadi penurunan persediaan disertai dengan kenaikan permintaan, harga-harga ditentukan akan mengalami kenaikan, dan begitu juga sebaliknya.[13]

Namun demikian, kedua pergeseran tersebut tidak selamanya beriringan. Ketika permintaan berkembangsementara persediaan tetap, harga-harga akan mengalami kenaikan. Ibnu Taimiyah menerangkan,

“Apabila orang-orang memasarkan barang dagangannya dengan cara yang mampu diterima secara biasa tanpa dibarengi dengan kezaliman dan harga-harga mengalami peningkatan sebagai konsekuensi dari penurunan jumlah barang (qillah al-syai), atau peningkatan jumlah penduduk (katsrah al-khalaq), hal ini disebabkan oleh Allah SWT”.[14]  

Pernyataan Ibnu Taimiyah di atas sepertinya menggambarkan pergantian secara terpisah. Penurunan barang dengan kata lain adalah jatuhya penawaran. Sedangkan meningkatnya penduduk akan mengakibatkan terjadinya kenaikan seruan, alasannya adalah itu bisa dibilang sebagai naiknya seruan. Naiknya harga alasannya adalah jatuhnya supply atau naiknya usul, dalam perkara itu dikarakteristikkan sebab Allah SWT, mengindikasikan bahwa mekanisme pasar itu ialah keadaan alamiah.

Ibnu Taimiyah memperlihatkan penjelasan yang rinci ihwal beberapa aspek yang mensugesti undangan dan konsekuensinya. Berikut aspek-aspek tersebut:[15]

a.       Permintaan penduduk (al-ragabah) yang sangat bermacam-macam (people’s desire) terhadap barang. Faktor ini tergantung pada jumlah barang yang tersedia (al-matlub). Suatu barang akan kian digemari kalau jumlahnya relatif kecil (scarce) dibandingkan dengan yang banyak jumlahnya.

b.      Tergantung terhadap jumlah orang yang membutuhkan barang (demander/consumer/tullab). Semakin banyak jumlah peminatnya, semakin tinggi nilai sebuah barang.

c.       Harga juga dipengaruhi oleh besar lengan berkuasa lemahnya kebutuhan terhadap suatu barang, selain juga besar dan kecilnya undangan. Jika kebutuhan kepada suatu barang besar lengan berkuasa dan berjumlah besar, maka harga akan naik lebih tinggi kalau ketimbang bila kebutuhannya lemah dan sedikit.

d.      Harga juga akan beragam berdasarkan kualitas pembeli barang tersebut (al-mu’awid). Jika pembeli ialah orang kaya dan terpercaya (kredibel) dalam membayar kewajibannya, maka kemungkinan beliau akan mendapatkan tingkat harga yang lebih murah daripada orang yang tidak kredibel (suka menangguhkan kewajiban atau mengingkarinya).

e.       Tingkat harga juga dipengaruhi oleh jenis duit yang dipakai selaku alat pembayaran. Jika memakai jenis mata uang yang biasa digunakan, maka kemungkinan harga relatif lebih rendah jika dibandingakan dengan menggunakan mata duit yang tidak umum atau kurang diterima secara luas.

f.        Hal di atas mampu terjadi alasannya adalah tujuan dari suatu transaksi haruslah menguntungkan penjual dan pembeli. Jika pembeli mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan uang dan mampu memenuhi semua janjinya, maka transaksi akan lebih mudah atau tanpa gangguan dibandingkan dengan jikalau pembeli tidak mempunyai kemampuan membayar dan mengingkari janjinya. Tingkat kesanggupan dan dapat dipercaya pembeli berlawanan-beda. Hal ini berlaku bagi pembeli maupun penjualnya, penyewa dan yang menyewakan, dan semua orang juga. Obyek dari suatu transaksi sering kali (secara fisik) nyata atau juga tidak positif. Tingkat harga barang yang lebih kasatmata (secara fisik) akan lebih rendah daripada yang tidak nyata. Hal yang serupa dapat dipraktekkan untuk pembeli yang adakala mampu mengeluarkan uang alasannya mempunyai duit, namun kadang-kadang mereka tidak memiliki duit cash dan ingin meminjam. Harga pada masalah yang pertama kemungkinan lebih rendah ketimbang yang kedua.

g.       Kasus yang serupa dapat dipraktekkan pada orang yang menyewakan sebuah barang. Kemungkinan ia berada pada posisi sedemikian rupa, sehingga penyewa dapat menemukan faedah dengan tanpa embel-embel biaya apapun. Akan namun, adakala penyewa tidak dapat mendapatkan faedah ini bila tanpa tambahan biaya, mirip yang terjadi di desa yang dikuasai penindas atau oleh perampok, atau di suatu kawasan diusik oleh hewan-binatang pemangsa. Sebenarnya, harga sewa tanah mirip itu tidaklah sama dengan harga tanah yang tidak memerlukan biaya-biaya embel-embel ini.[16]

 

c.       Regulasi Harga

Regulasi harga yakni pengaturan kepada harga barang-barang yang dilaksanakan oleh pemerintah. Regulasi ini bertujuan untuk memelihara kejujuran dan kemungkinan masyarakatbiasa menyanggupi keperluan pokoknya.[17]

Ibnu Taimiyah membedakan dua jenis penetapan harga, yakni penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum serta penetapan harga yang adil dan sah menurut hukum. Penetapan harga yang tidak adil dan cacat aturan ialah penetapan harga yang dikerjakan pada dikala peningkatan harga-harga terjadi balasan kompetisi pasar bebas, adalah kelangkaan supply atau peningkatan demand (kenaikan jumlah penduduk).[18]

a.       Pasar yang Tidak Sempurna

Pada kondisi terjadinya ketidak sempurnaan pasar[19] , Ibnu Taimiyah mengusulkan penetapan harga oleh pemerintah. Misalnya dalam masalah dimana komoditas kebutuhan primer yang harganya naik akibat adanya manipulasi atau perubahan harga yang disebabkan oleh dorongan-dorongan monopoli. Maka dalam kondisi seperti inilah, pemerintah mesti menetapkan harga yang adil bagi penjual dan pembeli.[20]

Contoh nyata dari pasar yang tidak tepat ialah monopoli kepada kuliner dan barang-barang kebutuhan dasar yang lain. Dalam kasus ini penguasa harus menetapkan harga (qimah al mitsl) terhadap transaksi antara penjual dan pembeli. Seorang monopolis jangan dibiarkan secara bebas untuk memakai kekuatannya dalam memilih harga semaunya yang mampu menzalimi penduduk .[21]

Walaupun menentang keras praktik monopoli, Ibnu Taimiyah mempersilakan orang-orang berbelanja barang- barang dari pelaku monopoli, karena bila hal ini dilarang, penduduk akan bertambah menderita. Salah satu cara yang efektif menurut Ibnu Taimiyah adalah penetapan harga oleh pemerintah.[22]

  Pengirim Teknologi Informatika (Pti): Pertumbuhan Ms Office

Ibnu Taimiyah menentang peraturan yang berlebihan dikala kekuatan pasar secara bebas bekerja untuk memilih harga yang kompetitif, dengan tetap memperhatikan pasar tidak sempurna. Ibnu Taymiyah menganjurkan bahwa bila pedagang melakukan penimbunan dan memasarkan pada harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang wajar , padahal orang- orang memerlukan barang ini, maka pedagang diharuskan untuk menjualnya pada tingkat ekuivalen. Secara kebetulan, rancangan ini bersinonimdengan apa yang disebut harga adil. Lebih jauh, kalau ada elemen-unsur monopoli (terutama dalam pasar materi kuliner dan kebutuhan primer lainnya), maka pemerintah harus turun tangan melarang kekuatan monopoli.[23]

b.      Musyawarah untuk Menetapkan Harga

Otoritas pemerintah dalam melaksanakan pengawasan harga harus dirundingkan terlebih dulu dengan penduduk yang berkepentingan. Tentang ini, Ibnu Taimiyah menerangkan sebuah metode yang diajukan pendahulunya, Ibnu Habib, bahwa pemerintah harus menyelenggarakan musyawarah dengan para tokoh perwakilan dan pasar. Yang lain juga diterima hadir, balasannya mereka harus diperiksa keterangannya. Setelah melaksanakan negosiasi dan penyelidikan perihal transaksi perdagangan, pemerintah harus secara persuasif menunjukkan ketetapan harga yang disokong oleh para akseptor musyawarah, juga penduduk seluruhnya. Kaprikornus keseluruhannya harus setuju dengan hal itu.[24]

Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan:

“Imam (penguasa) harus mengadakan musawarah dengan para tokoh yang merupakan wakil dari para pelaku pasar (wujuh ahl suq). Anggota penduduk lainnya juga dipperkenankan menghadiri musyawarah tersebut sehingga dapat menerangkan pernyataan mereka. Setelah melakukan musyawarah dan pengusutan terhadap transaksi jual beli mereka, pemerintah mesti meyakinkan mereka pada sebuah tingkat harga yang mampu membantu mereka dan penduduk luas, hingga mereka menyetujuinya. Harga tersebut dilarang ditetapkan tanpa persetujuan dan izin mereka”.[25]

 Kaprikornus terang agaknya, bahwa fatwa Ibnu Taimiyah sangat mengamati kondisi pasar, bagaimana sikap pemerintah dalam mengawasi harga yang beredar dipasaran, pengusutan, maupun memutuskan harga. Dalam kondisi ketidak sempuranaan pasar, maka pemerintah dianjurkan untuk menyelenggarakan pengawasan kepada harga yang beredar. Namun syarat dan ketentuan juga diterangkan oleh Ibnu Taimiyah, bahwa dalam menyelenggarakan pengawasan, penyelidikan, maupun penetapan harga, mesti dijalankan dengan musyawarah, dan seluruh oknum yang terkait harus menyetujui dari hasil musyawarah tersebut.

Dalam kitabnya al-hisbah, penetapan harga diperlukan untuk menangkal insan menjual makanan dan barang lainnya hanya kepada golongan tertentu dengan harga yang ditetapkan sesuai harapan mereka. Oleh karena itu, regulasi harga (fixed price policy) sangat membuat lebih mudah usaha mikro dalam menghadapi menipulasi pasar yang biasanya dijalankan oleh usahawan besar. Kebijakan ini sering dipakai oleh pemerintah untuk melindungi sektor perjuangan mikro dari kehancuran.[26]

 

2.      Uang dan Kebijakan Moneter

a.      Karakteristik dan Fungsi Uang

Secara khusus, Ibnu Taimiyah menyebutkan dua fungsi utama uang, yakni sebagian pengukur nilai dan media pertukaran bagi sejumlah barang yang berlawanan, Ia menyatakan:

“Atsman (harga atau yang dibayarkan sebagai harga, yaitu duit) dimaksudkan sebagai pengukur milai barang-barang (mi’yar al-amwal) yang dengannya jumlah nilai barang-barang (maqadir al-amwal) mampu diketahui: dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri”.[27]

 Pada kalimat terakhir pernyataannya tersebut (…dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri), sebagaimana yang diungkapkan juga oleh Al-Ghazali, menawarkan bahwa beliau menentang bentuk jual beli uang untuk menerima laba. Perdagangan duit berarti menimbulkan uang selaku komoditas yang dapat diperdagangkan, dan ini akan mengalihkan fungsi uang dari tujuan yang bantu-membantu. Terdapat sejumlah argumentasi mengapa uang dalam Islam dianggap selaku alat untuk melakukan transaksi, bukan diperlakukan selaku komoditas yakni:[28]

1)      Uang tidak memiliki kepuasan intrinsik (intrinsic utility) yang dapat membuat puas kebutuhan dan impian manusia secara eksklusif. Uang harus dipakai untuk membeli barang dan jasa yang membuat puas keperluan.Sedangkan komoditi mempunyai kepuasan intrinsik, mirip rumah untuk ditempati, kendaraan beroda empat untuk dikendarai. Oleh karena itu uang tidak boleh diperdagangkan dalam Islam.

2)      Komoditas mempunyai mutu yang berlawanan-beda, sementara uang tidak. Contohnya duit dengan nominal Rp.100.000,00 yang kertasnya kumal nilainya sama dengan kertas yang bersih. Hal itu berlainan dengan harga mobil baru dan mobil bekas meskipun versi dan tahun pembuatannya sama.

3)      Komoditas akan menyertai secara fisik dalam transaksi perdagangan. Misalnya kita akan menentukan sepeda motor tertentu yang dijual di showroom. Sementara uang tidak memiliki identitas khusus, kita mampu berbelanja kendaraan beroda empat tersebut secara tunai maupun cek. Penjual tidak akan menanyakan bentuk uangnya mirip apa.

Islam menempatkan fungsi duit semata-mata selaku alat tukar dan bukan selaku komoditi, sehingga tidak pantas untuk diperdagangkan apalagi mengandung komponen ketidakpastian atau spekulasi (gharar) sehingga yang ada yakni bukan harga uang terlebih dikaitkan dengan berlalunya waktu namun nilai uang untuk ditukar dengan barang.[29]

Berdasarkan persepsi tersebut, Ibnu Taimiyah menentang keras segala bentuk perdagangan duit, karena hal ini mempunyai arti mengalih fungsikan duit dari tujuan yang sebenarnya.[30]  Jika duit harus ditukar dengan duit, maka pertukaran tersebut harus lengkap (taqabud) dan tanpa ada jeda (hulul). Jika dua orang saling bertukar duit, yang salah satu di antara mereka mengeluarkan uang dengan kontan sementara yang lain berjanji akan membayarnya nanti, maka orang pertama tidak mampu memakai uang yang dijanjikan dalam transaksi tersebut hingga dia benar-benar dibayar. Hal ini menjadikan orang pertama kehilangan potensi menggunakan duit tersebut untuk menyanggupi kebutuhannya. Itulah alasan Ibnu Taimiyah saat menentang perdagangan uang.[31]

 

b.      Pencetakan Uang Sebagai Alat Tukar Resmi

Ibnu Taimiyah hidup pada zaman pemerintahan Bani Mamluk. Pada dikala itu harga-harga barang ditetapkan dalam dirham, adalah mata uang peninggalan Bani Ayyubi. Karena desakan keperluan masyarakat terhadap mata uang dengan penggalan lebih kecil, maka Sultan Kamil Ayyubi memperkenalkan mata uang baru yang berasal dari tembaga yang disebut dengan Fulus. Dirham ditetapkan sebagai alat transaksi besar, dan Fulus dipakai untuk transaksitransaksi dalam nilai kecil. Inilah yang kelak kemudian menginspirasi pemerintahan Sultan Kitbugha dan Sultan Dzahir Barquq untuk mencetak Fulus dalam jumlah sungguh besar dengan nilai nominal yang melebihi kandungan tembaganya (intrinsic value). Akibatnya keadaan perekonomian makin memburuk, alasannya adalah nilai mata duit menjadi turun. Berkenaan dengan adanya fenomena penurunan nilai mata uang tersebut, Ibnu Taimiyah beropini selaku berikut:[32]

“Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang selain emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa mengakibatkan kezaliman kepada mereka”.

Dari yang dia nyatakan tersebut, mampu diketahui bahwa dia melihat adanya hubungan antara jumlah uang yang beredar di penduduk , total volume transaksi yang dilaksanakan, dan tingkat harga produk yang berlaku. Pernyataan dalam kalimat pertama (penguasa seharusnya mencetak Fulus sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi penduduk ) dimaksudkan untuk mempertahankan harga agar tetap stabil. Menurutnya, nilai intrinsik mata duit mesti sesuai dengan daya beli penduduk di pasar sehingga tidak seorang pun, termasuk pemerintah dapat mengambil untung dengan melebur duit dan menjualnya dalam bentuk logam lantakan, atau mengubah logam tersebut menjadi koin dan memasukkannya dalam peredaran mata uang, alasannya adalah sifat- sifat alamiah duit yang termasuk klasifikasi token money, kian susah bagi pemerintah untuk menjaga nilai duit. Yang dapat dilakukan pemerintah yaitu tidak mencetak uang selama tidak ada kenaikan daya serap sektor riil kepada uang yang dicetak tersebut.

 

c.       Mata Uang Yang Buruk Akan Menyingkirkan Mata Uang Yang Baik

Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa duit yang bermutu buruk akan menyingkirkan mata duit yang bermutu baik dari peredaran. Ia pertanda hal ini selaku berikut :

  CONTOH TEKS DESKRIPSI DALAM BAHASA INGGRIS

“Apabila penguasa membatalkan penggunaan mata duit tertentu dan mencetak jenis mata duit lainnya bagi penduduk , hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki duit alasannya adalah jatuhnya nilai mata uang usang menjadi cuma suatu barang. Ia bermakna telah melakukan kezaliman sebab menghilangkan nilai tinggi yang semula mereka miliki. Lebih ketimbang itu, jika nilai intrinsiknya mata uang tersebut berbeda, hal ini akan menjadi suatu sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulakan mata uang yang buruk dan menukarkannya dengan mata uang yang bagus dan lalu mereka akan membawanya ke kawasan lain dan menukarkannya dengan mata uang yang jelek di kawasan tersebut untuk dibawa kembali ke wilayahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat akan menjadi hancur”.[33]

Pada pernyataan tersebut, Ibnu Taimiyah menyebutkan balasan yang mau terjadi atas masuknya nilai mata uang yang jelek bagi masyarakat yang sudah terlanjur memilikinya. Jika mata duit tersebut kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai mata duit, memiliki arti hanya diperlakukan selaku barang lazimyang tidak mempunyai nilai yang serupa disbanding dengan saat berfungsi sebagai mata uang. Disisi lain, seiring dengan kedatangan nilai mata duit yang baru, penduduk akan menemukan harga yang lebih ramah biaya untuk barang-barang mereka.[34]

Di bagian simpulan pernyataan ia di atas, dinyatakan bahwa duit yang berkualitas buruk akan menyingkirkan duit dengan mutu baik dari peredaran. Hal itu akibat beredarnya mata uang lebih dari satu jenis pada dikala itu dengan kandungan logam mulia yang berlawanan. Sebagaimana dinyatakan di atas, bahwa 1 Dirham yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga, sekarang menjadi terdiri atas 1/3 perak dan 2/3 tembaga. Masyarakat yang masih memegang Dinar dan Dirham usang termotivasi untuk menukar uangnya tersebut dengan produk-produk dari mancanegara sebab akan mendapatkan jumlah produk yang lebih banyak atau lebih menguntungkan.

Selanjutnya, makin banyak masyarakat beralih pada penggunaan Fulus sebagai alat transaksi, risikonya peredaran Dinar sungguh terbatas, Dirham berfluktuasi, bahkan adakala menghilang. Sementara Fulus beredar secara luas. Banyaknya Fulus yang beredar akibat meningkatnya kandungan tembaga dalam mata duit Dirham mengakibatkan tata cara moneter pada waktu itu tidak stabil.[35]

 

BAB III

          PENUTUP

A.     Kesimpulan

Ibnu Taimiyah merupakan salah satu ulama yang banyak memberikan pemikiran dalam bidang ekonomi. Hal ini dilatarbelakangi alasannya adalah pada dikala Ibnu Taimiyah hidup, beliau berada dalam suasana sosio-ekonomi yang kurang stabil karena keadaan politik yang sedang bergejolak, dimana banyak terjadi kebijakan pemerintah yang kurang menghiraukan aspek kemaslahatan umat. Di antara kebijakan tersebut adalah pencetakan mata duit yang memiliki nilai materi dasar yang melebihi dari harga mata duit tersebut, sehingga banyak penduduk yang menyebabkan duit untuk dilebur dan dijual batangan. Pencetakan duit juga tidak melihat keperluan penduduk kepada duit tersebut sebagai alat transaksi, dan banyak praktik jual beli uang yang berdasarkan Ibnu Taimiyah mengandung komponen spekulasi yang mendekati judi.

Dalam melihat pasar, beliau mengakui bahwa prosedur harga dan mekanisme pasar pada dasarnya yaitu sunnatullah, ialah terjadi di luar setting seseorang atau pemerintah, bahkan pemerintah tidak berhak memutuskan kebijakan harga dalam prosedur pasar yang terjadi secara alami. Hanya ketika terjadi pasar yang tidak tepat, dimana usul terlalu tinggi sedang supplai barang terbatas, pemerintah melarang prakik monopoli dan menimbun keperluan yang dibutuhkan penduduk , terutama keperluan hidup yang pokok bagi penduduk . Dalam kasus ini, pemerintah berwenang memakai kebijakannya untuk menstabilkan harga dengan jalan musyawarah oleh semua pihak, baik para penjual dan pembeli serta penggagas “pasar”.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Amalia, Euis, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Pustaka Asatruss, 2005,    Cet. 1

Azwar Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja      Grafindo   Persada, 2006, Ed. 3

Chamid, Nur, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka        Pelajar, 2010, Cet. 1

Gibb, H. R. dan J. H. Kramers, “Ibnu Taimiyah”, dalam Shorter Encyclopaedia of   Islam, Standford J. Shaw dan William R. Polk, ed., Leiden: E. J. Brill, 1961

Islahi, Abdul Azim, Economic Concepts of Ibnu Taimiyah, London: Islamic    Foundation, 1988

L. Stoddard, Dunia Baru Islam, terj. Tudjimah dkk., Jakarta: Panitia Penerbit Dunia       Baru Islam, 1966

Misanan, Munrokhim, dkk., Text Book Ekonomi Islam, Yogyakarta: Direktorat          Perbankan Syariah Bank Indonesia DPbS BI & Pusat Pengkajian dan         Pengembangan Ekonomi Islam Universitas Islam Indonesia (P3EI UII)

Taimiyah, Ibnu. MajmuFatawa Syaikh al-Islam. Riyadh: Matabi’ al-Riyadh, 1963

—————- al-Hisbah fi al-Islam. Kairo: Dar al Sha’b, 1976



[1]Kahlid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyah perihal Pemerintah. Terjemah Masrohi, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995) hal. 20         

[2]Muhammad Amin, Ijtihad Ibnu Taimiyyah dalam Bidang Fiqih Islam, (Jakarta: INS, 1991) Seri INS 9. hal. 7-8

[3]Ibid. hal. 11

[4]Euis Amalia,  Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), Cet.1,, hal. 167

[5]Ibnu Taimiyah, Majmu’ , Op. Cit., Vol. 29, hal. 521

[6]Ibid., hal. 520

[7]Loc.Cit.

[8]Umarudin, M, Ibnu Taimiyah: Pemikiran dan Pembaharuan dalam Buku Mihrajan Ibnu Taimiyah, hal. 725-726., lihat juga dalam, Nur Chamid, Op.cit., hal. 233

[9]Ibnu Taimiyah, Majmu’ , Loc.Cit., Vol. 29, hal. 521

[10]Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. 1., hal. 230

[11]Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam, (Riyadh: Matabi’ al-Riyadh, 1963), Vol. 8 hal. 583

[12]Adiwarman Azwar Karin, Sejarah Pemikira…Op.Cit., hal. 364-365

[13]Ibid., hal,366

[14]Ibnu Taimiyah, al-Hisbah fi al-Islam (Kairo: Dar al Sha’b, 1976), hal. 24

[15]Ibnu Taimiyah, Majmu’ ,Op.Cit., Vol. 29, hal. 523-525

[16]Munrokhim Misana dkk., Text Book Ekonomi Islam, (Yogyakarta:Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia DPbS BI & Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam Universitas Islam Indonesia (P3EI UII, 2007), hal. 155-156

[17]Adiwarman Azwar Karim, Op.cit., hal. 172

[18]Ibid., hal. 368

[19]Ibnu Taimiyah, al-Hisbah. Op.Cit., hal. 25-26

[20]Nur Chamid, Op.cit., hal. 236

[21]Ibnu Taimiyah, al-Hisbah. Loc.Cit., hal. 26

[22]Ibnu Taimiyah, Majmu’ , Op.Cit., Vol. 29, hal. 240

[23]Munrokhim Misanan dkk, Op.cit., hal. 161

[24]Ibid., hal. 165, lihat juga dalam, Euis Amalia, Op.cit., hal. 175

[25]Ibnu Taimiyah, al-Hisbah. Op.Cit., hal. 41

[26]Euis Amalia, Ibid., hal. 175-176

[27]Ibnu Taimiyah, Majmu’ , Op.Cit., Vol. 29, hal. 472

[28]Nur Chamid, Op.cit., hal. 239

[29]Ibid., hal. 239-240

[30]Ibid., hal. 373-374

[31]Abdul Azim Islahi, Op.cit., hal. 140-141

[32]Nur Chamid, Op.cit., hal. 240

[33]Ibnu Taimiyah, Majmu’, Op.Cit., Vol. 29, hal.469

[34]Loc.Cit., hal. 376

[35]Nur Chamid, Op.cit., hal.244-245