Makalah Penyitaan

         PENYITAAN

              By: Yuli,dkk.

BAB I PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Penyitaan ialah salah satu upaya paksa dalam proses peradilan pidana yang dilakukan oleh penyidik untuk mengambil atau merampas sebuah barang tertentu dari seorang tersangka, pemegang, atau penyimpan dan disimpan dibawah kekuasaannya. Pengertian penyitaan dirumuskan pada pasal 1 butir 16 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi “Penyitaan ialah serangkaian langkah-langkah penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan”.

Tujuan dari dilakukannya penyitaan yakni untuk kepentingan pembuktian, terutama ditujukan selaku barang bukti dimuka sidang pengadilan. Didalam proses penanganan dan solusi perkara pidana, upaya pembuktian ialah upaya yang paling esensial dalam proses pembuktian didepan persidangan majelis hakim yang mengadili terdakwa, alasannya didalam persidangan tersebut Jaksa Penuntut Umum (JPU) berusaha mengajukan berbagai macam alat bukti yang sah dibarengi barang bukti guna menandakan dan meyakinkan hakim atas kesalahan terdakwa melaksanakan tindakan melawan hukum sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan JPU[1].

Ketentuan Pasal 44 ayat (2) KUHAP perihal tanggung jawab atas benda sitaan dijabarkan lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 ihwal Pelaksanaan KUHAP (PP No.27/1983). Dalam Pasal 30 peraturan pemerintah tersebut diatur mengenai pemisahan tanggung jawab antara “tanggung jawab secara yuridis” dan “tanggung jawab secara fisik” atas benda sitaan.Tanggung jawab secara yuridis atas benda sitaan dikelola pada pasal 30 ayat (2) PP No.27/1983 yang berbunyi “Tanggung jawab secara yuridis atas benda sitaan tersebut, ada pada pejabat sesuai dengan tingkat pemeriksaan”.

 

B.     RUMUSAN MASALAH

1.      Apa pemahaman dan tujuan penyitaan?

2.      Apa prinsip pokok sita?

3.      Apa yang dimaksud dengan sita revindikasi?

4.      Apa yang dimaksud dengan sita jaminan?

5.      Apa yang dimaksud dengan sita harta bareng ?

6.      Bagaimana standar sita harta bareng ?

 

C.     TUJUAN

1.Untuk mengenali pemahaman dan tujuan penyitaan

2.Untuk mengetahui prinsip pokok sita

3.Untuk mengenali sita revindikasi

4.Untuk mengetahui sita jaminan

5.Untuk mengetahui sita harta bersama

6.Untuk mengenali standar sita harta bersama

 

BAB II PEMBAHASAN

A.     Pengertian dan Tujuan Penyitaan

1.      Pengertian Penyitaan

Penyitaan berasal dari terminologi beslag (Belanda),[2] dan perumpamaan Indonesia beslah tetapi perumpamaan bakunya adalah sita atau penyitaan.

Pengertian yang terkandung di dalamnya yakni:

langkah-langkah menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke dalam keadaan penjagaan (to take into custody the property of a defendant),

langkah-langkah paksa pengamanan (custody) itu dijalankan secara resmi (official) berdasarkan perintah pengadilan atau hakim, barang yang diposisikan dalam pengawalan tersebut, berupa barang yang disengketakan, namun boleh juga barang yang mau dijadikan sebagai alat pembayaran atas pelunasan utang debitur atau tergugat, dengan jalan memasarkan lelang (executorial verkoop) barang yang disita tersebut, penetapan dan pengawalan barang yang disita, berjalan selama proses pemeriksaan, sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan sah atau tidak langkah-langkah penyitaan itu.

2.      Tujuan Penyitaan

a.       Agar Gugatan Tidak Illusoir

Tidak dipindahkan terhadap orang lain melalui jual beli atau penghibahan, dan sebagainya.

Tidak dibebani dengan sewa-menyewa atau diagunkan terhadap pihak ketiga.

b.      Objek Eksekusi Sudah Pasti

Memberi jaminan kepastian bagi penggugat, objek hukuman apabila putusan berkekuatan hukum tetap.

B.     Beberapa Prinsip Pokok Sita

1.      Sita Berdasarkan Permohonan

a.       Bentuk Lisan

Permintaan sita mampu diajukan dengan lisan. Hal itu sesuai dengan prinsip yang dianut HIR-RBG bahwa jalannya proses pemeriksaan di persidangan ialah beracara secara ekspresi (mondelinge procedure). Undang-undang membenarkan permintaan sita secara ekspresi di depan persidangan. Apabila permohonan sita diajukan dengan lisan, usul itu dicatat dalam gosip acara sidang, dan menurut undangan itulah hakim mengeluarkan perintah sita jika permohonan dianggap mempunyai dasar alasan yang cukup.[3]

b.       Bentuk Tertulis

Bentuk ini dianggap paling tepat alasannya memenuhi administrasi yustisial yang lebih baik. Itu sebabnya Pasal 227 ayat (1) HIR mengharapkan agar sita diajukan dalam bentuk tertulis berbentuksurat seruan:

a)      Permintaan disatukan dengan surat gugatan

Permintaan sita, dapat diajukan bahu-membahu dengan surat somasi. Dicantumkan pada bab selesai uraian dalil dan kejadian somasi, sehingga penempatannya dalam gugatan dikemukakan sebelum petitum gugatan. Menyatukan ajakan   dalam somasi, secara teoretis sangat tepat jikalau dikaitkan dengan fungsi sita selaku somasi aksesori yang bersifat asesor dengan pokok kasus pada satu sisi, maupun dari segi tujuan seruan sita selaku upaya menghindari gugatanmengalami illusoir pada segi lain.

  Makalah Israf

b)      Diajukan dalam surat tersendiri

Cara ini dijelaskan dalam Pasal 227 ayat (1) HIR, pengajuan sita dikerjakan secara terpisah dari pokok perkara. Berarti permintaan sita, diajukan tersendiri di samping gugatan pokok pperkara yang mengizinkan prinsip peradilan di Indonesia digolongkan dalam apa yang dinamakan “tata cara kontinentalyang ditandai dengan adanya forum kasasi o1eh badan pengadilan tertinggi. Kasasi diadakan semata-mata untuk mengawasi sisi penerapan hukumnya dalam setiap putusan badan pengadilan.

2.      Permohonan Berdasarkan Alasan

a.       Ada kegelisahan atau persangkaan bahwa tergugat mencari logika untuk menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya, hal itu dilaksanakan selama proses pemeriksaan masalah berjalan.

b.      Kekhawatiran atau persangkaan itu harus nyata dan berdalih secara objuktif.

c.       Sedemikian rupa eratnya isi somasi dengan penyitaan, yang apabila tidak dilakukan dan tergugat menggelapkan harta kekayaan, menjadikan kerugian kepada penggugat.

 

C.     Sita Revindikasi

1.      Pengertian

Sita revindikasi (revindicatoir beslag) atau revindicatie beslag, termasuk golongan sita tetapi memiliki kekhususan tersendiri dibanding dengan Conservatoir beslag. Kekhususan itu, utamanya terletak pada objek barang sitaan dan kedudukan penggugat atas barang itu:

Hanya terbatas barang bergerak yang ada di tangan orang lain (tergugat), barang itu, berada di tangan orang lain tanpa hak, dan agar dikembalikan usul sita diajukan oleh pemilik barang itu sendiri kepadanya.

Oleh karena yang meminta dan mengajukan penyitaan yakni pemilik barang sendiri maka lazim disebut pula penyitaan atas usul pemilik[4]  owner’s claim. Dengan demikian, bentuk sita revindikasi ialah upaya pemilik barang yang sah untuk menuntut kembali barang miliknya dari pemegang, yang menguasai barang itu tanpa hak.

Agar lebih faktual, tergugat memegang dan menguasai barang bergerak milik penggugat, tanpa alasan yang sah. Pemilik mengajukan somasi yang diajukan kepada pemegang dengan maksud agar barang itu kembali terhadap penggugat selaku pemilik yang sah. Untuk menjamin barang itu tidak digelapkan atau dialihkan tergugat selama proses persidangan berlangsung, penggugat meminta agar pengadilan meletakkan sita milik (revindicatoir beslag) atas barang itu.

2.      Urgensi Sita Revindikasi

Urgensi sita revindikasi berkaitan erat dengan ketentuan Pasal 1977 KUHPerdata. Menurut ayat (1) pasal ini:

Barang siapa yang menguasai barang bergerak, dianggap selaku pemilik yang tepat atas barang itu. Dalam pengkajian aturan, sudah diajarkan kepercayaan bezit geld als volkomen Titel, yang mempunyai arti penguasaan atas barang bergerak dianggap sebagai bukti pemilikan yang tepat atas barang itu.

Berdasarkan iktikad tersebut, untuk menyingkir dari jatuhnya barang itu terhadap pihak ketiga yang berakibat barang itu dianggap miliknya, sungguh urgen meletakkan sita terhadapnya.[5]

3.      Penerapan Sita Revindikasi dalam Transaksi Tertentu

Seperti yang telah diterangkan, pada prinsipnya sita revindikasi berdasarkan pasal 1977 KUH Perdata, hanya mampu diterapkan kepada penguasaan barang tanpa hak atau secara melawan aturan (unlawful). Namun demikian, kepada ketentuan biasa tersebut, terdapat beberapa pengecualian yang mengijinkan sita revindikasi kepada barang yang ada di bawah penguasaan orang lain, meskipun penguasaan itu menurut titel yang sah. Yang paling penting di antaranya:

a.       Dalam Transaksi Pinjam Barang

Pasal 1751 KUH Perdata menyampaikan, jika barang itu berada di bawah penguasaan orang lain berdasarkan atas hak:

Pinjam atau meminjam, dan

Sebelum waktu perjanjian tunjangan habis, atas argumentasi mendesak dan sekonyong-konyong barang itu sungguh diperlukan pemilik sendiri,

Pemilik mampu meminta terhadap hakim untuk memaksa peminjam (pemakai) mengembalikan barang itu kepadanya.

Memperhatikan ketentuan di atas, meskipun penguasaan dan pemakaian barang menurut ketentuan aturan yang sah ialah pinjam-pakai menurut pasal 1750 KUH Perdata, pemilik barang selaku pihak yang meminjamkan mampu meminta biar diletakkan sita revindikasi di atasnya, meskipun waktu yang diperjanjikan belum habis, asal usul pengembalian disokong dengan alasan mendesak dan sekonyong-konyong barang itu benar-benar diharapkan pemilik (yang meminjamkan).

 

b.      Berdasarkan Hak Reklame (Reclamerecht)

Hak reklame yakni permintaan aturan untuk meminta kembali barang (rechtsvordering reclame) yang dijual terhadap pembeli atau pemegang barang apabila pembeli tidak melunasi pembayaran harga yang disepakati. Dalam masalah yang demikian, bila pedagang berniat hendak membatalkan jual-beli, dalam somasi si pedagang dapat meminta sita revindikasi berdasarkan hak reklame yang diberikan undang-undang kepadanya.

4.      Syarat atau Alasan Pokok Sita Revindikasi

a.       Objek sengketa yaitu barang bergerak

b.      Pemohon yaitu pemilik barang

c.       Barang berada di bawah penguasaan tergugat tanpa hak berdasar jual-beli maupun pinjam

d.      Menyebut dengan seksama barang yang akan disita.[6]

5.      Tata Cara Sita Revindikasi

a.       Dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan

b.      Penyitaan dilaksanakan panitera atau juru sita

c.       Memberitahukan penyitaan kepada tergugat

d.      Juru sita dibantu dua orang saksi

  Puisi Angan - Oleh Cihcir Peuting

e.       Pelaksanaan dikerjakan di kawasan barang terletak

f.        Membuat informasi acara sita

g.       Meletakkan barang sitaan di daerah semula

h.       Menyatakan sita sah dan berharga

D.     Sita Jaminan

Sita Jaminan (Conversatoir Beslag) dasar Hukum pasal 227 HIR perkataan conservatoir beslag adalah berasal dari perkataan conserveren yang berarti menyimpan. Makna conversatoir Beslag yakni untuk menyimpan hak-hak seorang untuk mempertahankan agar penggugat tidak dirugikan oleh tindakan tergugat.

Syarat-syarat utama sita jaminan adalah :

1.       Ada sangka yang berdalih, bahwa tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau dilakukan akan menggelapkan atau menghilangkan barang-barangnya;

2.      Barang yang disita itu berbentukkepunyaan yang terkena sita, artinya bukan milik penggugat; 3. Permohonan diajukan terhadap

3.      Ketua Pengadilan yang menyelidiki perkara tersebut; Dapat dikerjakan atau ditaruh baik tehadap barang bergerak atau yang tidak bergerak.

Ciri-ciri sita jaminan yaitu selaku

berikut :

Sita jaminan diletakkan atas harta yang disengketakan status kepemilikannya atau kepada harta kekayaan tergugat dalam sengketa utang piutang atau juga dalam sengketa dan tututan ganti rugi.

Obyek sita bisa barang bergerak atau tidak bergerak, bisa berwujud atau tidak berwujud.

Pembatasan sita jaminan bisa cuma barang-barang tertentu atau seluruh harta kekayaan tergugat.

E.      Sita Harta Bersama

1.      Pengertian Sita Harta Bersama

 Sita harta bareng ialah suatu pembagian harta bareng antara suami isteri yang hendak melakukan perceraian. Selama proses perceraian itu masih berlangsung, somasi sita marital dapat diajukan. Dalam perkawinan, terdapat 3 macam harta, ialah harta bareng , harta bawaan, dan harta perolehan. Harta bareng ialah harta benda yang didapatkan selama perkawinan tersebut berlangsung.

2.      Pengaturan Sita Harta Bersama

Pengaturannya didapatkan dalam beberapa peraturan perundangan-undangan seperti yang dikemukakan berikut in:

a.Pasal 190 KUH Perdata yang berbunyi:

Sementara masalah berlangsung, dengan izin hakim, istri boleh mengadakan langkah-langkah-langkah-langkah untuk mempertahankan agar harta kekayaan persatuan tidak habis atau diboroskan.[7]

Ketentuan tersebut dulunya berlaku bagi kalangan Eropa dan Tionghoa. Tetapi KUH Perdata perihal perkawinan dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun demikian semenjak UU No. 1 Tahun 1974 berlaku, Pasal 66 menegaskan segala ketentuan

Ketentuan Pasal 190 KUH Perdata tersebut, dapat dijadikan materi orientasi dalam kedudukannya sebagai aturan adab tertulis.

826.                                  24 ayat (2) abjad c PP No. 9 Tahun 1975[8]

Menurut pasal ini, selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat atau menurut pertimbangan bahaya yang mungkin muncul, pengadilan mampu mengizinkan dan menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-istri.

Dari segi redaksi, ketentuan ini lebih tegas dari Pasal 190 KUH Perdata, sebab di dalamnya terdapat perkataan menjamin terpeliharanya harta bareng . Namun terlepas dari itu, nyaris tidak ada perbedaan antara keduanya. Sama-sama berencana mengamankan eksistensi dan keutuhan harta bareng biar tidak jatuh terhadap pihak ketiga.

826.                                  Pasal 78 abjad c UU No. 7 Tahun 1989

Berdasarkan Pasal 78 abjad c, lingkungan peradilan agama pun telah mempunyai aturan hukum positif wacana forum sita harta bareng (sita marital). Bahkan sita tersebut dalam lingkungan peradilan agama, tidak hanya dikelola dalam Pasal 78 UU No. 7 Tahun 1989, tetapi juga dalam Pasal 136 ayat (2)

Huruf b Kompilasi Hukum Islam (KHI),62 yang serupa suara redaksinya dengan Pasal 24 ayat (2) abjad c PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 78 aksara c UU No.7 Tahun 1989. Dengan demikian, landasan penerapan sita harta bersama dalam lingkungan peradilan agama telah diatur dalam berbagai bentuk peraturan perundang-seruan.

d.Pasal 823 Rv yang berbunyi:

Tindakan-langkah-langkah yang boleh dijalankan sehubungan dengan Pasal 190 KUH Perdata yakni penyegelan, pencatatan harta kekayaan dan evaluasi barang-barang, penyitaan jaminan atas barang-barang bergerak bareng atau jaminan atas barang-barang tetap bareng …..

Pasal ini merupakan salah satu di antara beberapa pasal lainnya yang mengatur sita marital. Ketentuannya mulai dari Pasal 823-830 Rv. Dapat dilihat bahwa pengaturan sita marital dalam Rv sangat luas. Sebaliknya, dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 hanya berisikan satu pasal. Sedang dalam HIR dan RBG sama sekali tidak disinggung.

3.      Lingkup Penerapan Sita Harta Bersama

a.       Pada masalah perceraian

b.      Pada perkara pembagian harta bersama

c.       Pada perbuatan yang membahayakan harta bareng

F.      Kriteria Sita Harta Bersama

1) Tuntutan perceraian atau pembagian harta bersama ditolak pengadilan (pasal 823e Rv).

Penolakan somasi mesti disertai dengan:

1. sita harta bersama, serta

2.pencoretan, pendaftaran dan pengumumannya pada buku register (pasal

830 Rv).

2) Berdasarkan penetapan pengangkatan sita yang dikeluarkan pengadil

permintaan salah satu pihak (Pasal 823 c dan Pasal 823 h Rv),

3) Gugatan perceraian dan pembagian harta bersama dikabulkan, kembali

  Review Kuntum Farm Field, Rekreasi Keluarga Paling Hits Di Bogor, Tonton D...

menurut keputusan itu, telah dijalankan pembagian harta bareng .

 

Apabila penyitaan atas barang tidak bergerak telah sempat didaftarkan

diumumkan sesuai dengan ketentuan Pasal 198 ayat (1) HIR maka

berakhirnya sita marital, aturan mewajibkan juru sita untuk mencoret

dan pengumuman itu dari buku register yang bersangkutan. Bahkan yang dan

lebih sempurna, apabila pencoretan itu disertai dengan menempatkan kutipan

penolakan atau penetapan pengangkatan maupun pengabulan itu dalam sura

Atau sebaliknya, biar putusan pengabulan atas penyitaan lebih sempurna,

putusan mampu ditempatkan atau diumumkan dalam surat kabar.

 

Cara yang demikian dianggap bermanfaat melindungi pihak ketiga Schub

dengan itu dalam pembaruan aturan acara, perlu diperhatikan ketentuan Pasal

826 Rv yang mengharuskan memberitahukan putusan pengadilan tentang pemb

harta bersama dengan cara:

menempatkan kutipan putusan tersebut dalam surat kabar,

kutipan menampung, tanggal putusan, amar putusan pengabulan somasi,

dan kawasan tinggal suami-istri,

Alasan dan dasar usulanputusan, dilarang diangkut dalam

alasannya adalah dalam perkara perceraian dan pembagian harta bersama hal tersebut

dianggap bersifat konfidensial. Masyarakat umum dianggap tidak pantas atau

etis untuk mengetahuinya.

BAB III PENUTUP

A.     Kesimpulan

Penyitaan yakni tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke dalam keadaan penjagaan. Tujuan penyitaan yaitu supaya gugatan tidak illusoir, objek hukuman telah pasti.

Prinsip pokok sita:

a.Sita berdasarkan permohonan

b.Permohonan berdasarkan argumentasi

Sita revindikasi (revindicatoir beslag) atau revindicatie beslag, tergolong golongan sita tetapi mempunyai kekhususan tersendiri dibanding dengan Conservatoir beslag. Hanya terbatas barang bergerak yang ada di tangan orang lain (tergugat), barang itu, berada di tangan orang lain tanpa hak, dan supaya dikembalikan ajakan sita diajukan oleh pemilik barang itu sendiri kepadanya.

4.      Syarat atau Alasan Pokok Sita Revindikasi

 

a.       Objek sengketa yaitu barang bergerak

b.      Pemohon yakni pemilik barang

c.       Barang berada di bawah penguasaan tergugat tanpa hak berdasar jual-beli maupun pinjam

d.      Menyebut dengan seksama barang yang mau disita.

5.      Tata Cara Sita Revindikasi

 

a.       Dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan

b.      Penyitaan dilakukan panitera atau juru sita

c.       Memberitahukan penyitaan kepada tergugat

d.      Juru sita dibantu dua orang saksi

e.       Pelaksanaan dilaksanakan di daerah barang terletak

f.        Membuat berita acara sita

g.       Meletakkan barang sitaan di kawasan semula

h.       Menyatakan sita sah dan berguna

 

Sita harta bersama merupakan suatu pembagian harta bareng antara suami isteri yang mau melaksanakan perceraian. Selama proses perceraian itu masih berlangsung, gugatan sita marital mampu diajukan. Dalam perkawinan, terdapat 3 macam harta, yakni harta bersama, harta bawaan, dan harta perolehan. Harta bareng yaitu harta benda yang ditemukan selama perkawinan tersebut berlangsung.

Kriteria Sita Harta Bersama

Apabila penyitaan atas barang tidak bergerak telah sempat didaftarkan

 

Diumumkan sesuai dengan ketentuan Pasal 198 ayat (1) HIR maka

 

Berakhirnya sita marital, aturan mewajibkan juru sita untuk mencoret

 

Dan pengumuman itu dari buku register yang bersangkutan. Bahkan yang dan

 

Lebih tepat, apabila pencoretan itu dibarengi dengan menempatkan kutipan

 

Penolakan atau penetapan pengangkatan maupun pengabulan itu dalam sura

 

Atau sebaliknya, agar putusan pengabulan atas penyitaan lebih tepat,

 

Putusan mampu ditempatkan atau diumumkan dalam surat kabar.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

  Arif, Kamus Hukum, Edisi Lengkap, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas) Hal. 374.

  H.M.A, Kuffal, Barang Bukti Bukan Alat Bukti yang Sah, (Malang : UMM Press, 2013) Hal. 52.

Sudikno, Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1988) Hal.63. 

 

  R.Subekti, R.Sousilo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Bandung: Pradnya,cet 25) Hal. 60. 

  Subekti, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Bina Cipta, 1977) Hal.49.

  Marianne, Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1999) Hal. 49.

 

PP wacana Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 ihwal Perkawinan, diundangkan tanggal 1 April 1975, LNRI Tahun 1975, No. 12.



[1] H.M.A, Kuffal, Barang Bukti Bukan Alat Bukti yang Sah, (Malang : UMM Press, 2013) Hal. 52.

[2] Marianne, Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1999) Hal. 49.

[3] Subekti, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Bina Cipta, 1977) Hal.49.

[4] Arif, Kamus Hukum, Edisi Lengkap, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas) Hal. 374.

[5] Sudikno, Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1988) Hal.63.

[6] Ibid, Sudikno, Hal. 64.

[7] R.Subekti, R.Sousilo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Bandung: Pradnya,cet 25) Hal. 60.

[8] PP perihal Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diundangkan tanggal 1 April 1975, LNRI Tahun 1975, No. 12.