Contoh makalah pendidikan anak usia dini di bawah ini mengangkat urusan yang berkaitan dengan kemajuan anak usia dini yakni: “Menemukan Sifat Genius Dalam Diri Setiap Anak”. Dengan keinginan makin memperbesar khazanah para pembaca khususnya yang bekerjasama dengan Pendidikan Anak Usia Dini baik usia pra sekolah sampai sekolah dasar.
I. PENDAHULUAN
Mungkin judul ini terlalu optimis alasannya yang dimaksudkan dengan setiap anak adalah setiap anak wajar . Normalitas mental yaitu limit-limit akseptabilitas yang ditentukan oleh metode kependidikan. Anak yang wajar mentalnya memiliki kemungkinan genius dalam dirinya, yang kalau digali, bisa didapatkan yang paling baik (yang unggul namun belum terlihat ) pada diri anak (hidden excellence in personhood). Kesadaran ini ialah sebuah langkah awal menangani kemelut pendidikan, satu di antara aneka macam masalah yang kini dihadapi oleh negara dan bangsa kita dalam masa reformasi ini.
II. ERA REFORMASI DAN PERANAN PENDIDIKAN
Marilah kita mengintip sekejap ke keadaan penduduk yang pada masa ini mengalami pergolakan yang luar biasa. Perubahan dan perbaikannya ke arah terwujudnya penduduk demokratis tidak bisa dilihat terlepas dart pergantian global dunia dalam memasuki kala reformasi. Sementara dengan terjadinya krisis doktrin yang ditujukan pada sistem dan struktur pemerintahan, muncul bayangan disintegrasi bangsa dan suasana khaos. Dalam situasi itu juga anak-anak kita selaku generasi penerus bangsa mesti tetap belajar meneruskan sekolahnya untuk menjadi anggota masyarakat yang bukan saja berkhasiat, melainkan juga baik dan pintar, yang mampu membangun masyarakatnya. Oleh sebab itu, kita mesti menoleh pada semua sumber sekolah (fasilitas , prasarana, media, fasilitas) yang masih tersedia untuk mampu dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kita mesti mencari potensi untuk pendidikan dan pembangunan negara kita agar mampu mengubah banyak sekali kendala yang kini dialami menjadi peluang (turning obstacles into opportunities).
Namun, peluang dan kemampuan tersebut tidak datang dengan sendirinya, terlebih jikalau martabat kehidupan manusia tidak digunakan selaku pertimbangan. Martabat insan menuntut kemerdekaan maupun kesamaan (equality), dua ciri yang terkait satu dengan lamnya dan bermuara pada situasi demokratis di rumah dan di masyarakat pada umumnya. Cara hidup yang teratur demi martabat manusia ialah sisi yang secara serempak dibina dengan segi spiritual dalam situasi keleluasaan (kemerdekaan). Pembinaan tersebut bermula dari rumah, dari orang renta, dan masuk akal bagi seseorang ibu betapa pun profesi dan karirnya memegang peranan penting dalam hidupnya, untuk memperlihatkan gesekan pendidikan pertamanya pada anggapan seorang anak yang bersifat hangat dan manusiawi, sebelum si anak mengenal pendidikan yang bersifat terlembaga dan resmi.
Memang mesti diakui bahwa setiap anak lahir dengan talenta, kesanggupan, talenta serta perilaku dan sifat yang berlawanan. Meskipun demikian sifat dan pembawaan anak mana pun menyerap emosi dan seluruh gambaran kemanusiaan dari orang tuanya, khususnya dari ibunya.
Orang renta kebanyakan berkeingman semoga anaknya menjadi insan berkhasiat dan pandai serta sukses dalam mobilitas masyarakat. Namun, banyak sekali penelitian menunjukkan (Goleman, 1996) bahwa IQ yang tinggi belum pasti melahirkan berhasil dalam mobilitas masyarakat. Potensi anak yang sangat bermacam-macam dalam banyak sekali bidang dan berbagai taraf inteligensi, yang dibesarkan pula dalam berbagai keadaan ekonomi sosial, psikologi, budaya serta alam biologis yang berlawanan mesti dipenuhi kebutuhannya supaya pembinaannya terjadi sesuai taraf perkembangannya (developmentally appropriate practice).
III. PARADIGMA BARU PENDIDIKAN MEMASUKI ABAD KE-21
Bagaimana sistem pendidikan, utamanya metode pra sekolah atau pendidikan anak usia dini harus menghadapi populasi target yang begitu heter
ogen dalam mengatasi problem yang begitu kompleks di dalam penduduk kita? Begitu kompleks masalahnya khususnya juga problem pendidikan kita, sehingga memperlihatkan berbagai liku-liku dengan kekurangan dari sudut mana pun kita melihatnya. Jelas salah satu kekurangan yang kini secara menyolok teramati yaitu tata cara pendidikan kita yang ikut bertanggung jawab terhadap karakteristik lulusan sekolah, lulusan sekolah kita itu yang sekarang belum menawarkan kemampuan untuk menangani krisis dogma, krisis ekonomi, dan krisis politik.Untuk memfokuskan langsung pada permasalahannya: adakah tata cara pendidikan, atau lebih tegas lagi, adakah kurikulum yang bisa menghasilkan lulusan yang tidak saja berinteligensi tinggi melainkan juga tidak mudah putus asa, memiliki ukuran ketahanmalangan (adversity Quotient) yang tinggi beyond their potential, bisa dan mau bersusah payah untuk bangsa dan negaranya, dan above all tetap menjaga martabatnya secara manusiawi (human) dalam kurun yang penuh godaan di kondusif kebaikan yang dikejar dalam masyarakat terutama berkiblat pada bahan belaka.
Abad ke-21 yang gres kita masuki yang disebut masa yang dilandasi oleh konsep Universal Giftedness yakni masa yang mempunyai kemungkinan menciptakan peradaban yang dihuni oleh masyarakat yang terdiri atas individu-individu yang mempunyai unlimited capacity dalam meraih perwujudan sifat yang baik maupun kecerdasan dan ketekunan menanggulangi problem.
Bila kita mengamati tata cara pendidikan negara tetangga, maka perlu diakui bahwa tetangga kita jauh lebih siap memasuki milenium ketiga. Peserta didiknya bukan saja mengalami keasyikan (enjoy) dalam pembelajarannya, melainkan juga excited, antara lain karena dapat mengalami akselerasi pembelajaran pada setiap jenjang pendidikan dengan sepertiga waktu yang secara lazim diperlukan untuk solusi jenjang pendidikan itu. Enjoyment itu menjinjing rasa puas, kebaikan, toleransi serta tanggung jawab, sedangkan excitement menjinjing motivasi belajar, peningkatan rasa ingin tahu.
IV. DAMPAK PENELITIAN NEUROSCIENCE TERHADAP KURIKULUM SEKOLAH
Akhir-akhir ini sekolah-sekolah di negeri kita yang tercinta ini sibuk menyebarkan dirt menjadi “sekolah plus”, namun bahwasanya tidak jelas spa dan bagaimana sekolah plus itu, alasannya adalah shift ke paradigma gres kependidikan belum tampak.
Paradigma baru kependidikan sebagai bush observasi dalam neuroscience (Clark, 1986) didasarkan pada perkiraan bahwa insan mempunyai kesanggupan tidak terbatas untuk belajar (limitless capacity to learn) dan dengan demikian mempunyai kemampuan yang hebat untuk mencipta dan produktif dengan landasan spiritual perihal keagungan hidup, bukan penginjakan harkat kahidupan. Kerangka pikirnya yakni bahwa dengan perkiraan tiada terbatasnya keberbakatan setiap orang (limitless expectancy of the giftedness of each person), setiap orang juga mempunyai keunikan keragaman yag sebaiknya dipandang sebagai kekuatan, bukan suatu defisit, dan kesannya mesti dirancang belajar terintegrasikan (integrated learning) selaku proses pembelajaran yang holistik yang mampu menyanggupi banyak sekali keperluan pembelajaran. Sebab (integrated learning) didasarkan pada pembelajaran observasi otak yang ternyata mampu memekarkan banyak sekali faktor inteligensi menjadi intelegensi jamak (multiple intelligence, Tagle, 1990). Kerangka pikir yang dibangun menciptakan metode pendidikan inclusive, tata cara pendidikan yang cocok (compatible education) menurut pembelajaran dengan otak yang cocok (brain compatible learning). Compatible education lewat integrated learning mempertahankan keseimbangan antara imbas arus global dalam kondisi lokal untuk mempertahankan dan mengembangkan kepentingan lokal, tats cara hidup dan budaya bangsa. Dengan demikian, anakanak kita walaupun exposed kepada pengalaman globalisasi penduduk tidak akan terpelanting dan “tercabut dari akarnya”.
Kurikulum berdasarkan integrated learning dipangkas volumenya hingga kurang 30% (mirip antara lain terjadi di Singapura). Langkah yang selanjutnya yaitu penyelamatan cara mengajar yang ialah langkah menurut perencanaan jangka panjang. Pemotongan beban silabus mengubah orientasi pendidikan yang kini masih berorientasi pada bahan (content-based). Content-based curriculum lebih memfokuskan pada hapalan isi detail teknis sebagaimana masih menjadi ciri dari kurikulum dan pembelajaran kita sehingga kurang mengacu pada proses berpikirnya.
Perubahan yang mesti terjadi bahkan terutama berorientasi pada proses pembelajaran yang lebih bersifat project based, bukan saja process based, apalagi bukan utamanya content-based. Pembelajaran seperti ini jugs akan memberi potensi kepada peserta asuh untuk berbagi kemampuannya secara inovatif, berfikir kritis serta berpikir etis. Dengan demikian, lulusan pendidikan itu bukan saja memeroleh landasan untuk bisa menjangkau kesempatan memeroleh pekerjaan yang sudah ads di penduduk , melainkan juga mengembangkan kemampuan kreatif sehingga antara lain dapat menciptakan lapangan kerja. Hal tersebut makin penting di tengah maraknya PHK di sekitarkita yang dalam tahun-tahun mendatang masih akan menghantui masyarakat kita. Oleh alasannya adalah itu, perubahan tersebut ialah sebagian dari pengatasan duduk perkara kita, alasannya adalah akan berpengaruh secara global terhadap banyak sekali aspek kehidupan masyarakat.
Aria Jalil, atase kebudayaan kita di Canberra, mengutip Freud, menyatakan: melakukan pekerjaan itu yaitu adab, orang yang tidak melakukan pekerjaan , atau kehilangan pekerjaan ialah orang yang peka kepada hadirnya anggapan yang tidak adab dan bahkan peka untuk terlibat dalam pekerjaan yang tidak budpekerti, mirip mengusik, menarik hati, memalsu, mengambil, merebut, merusak dan bahkan menjarah sesuatu yang bukan haknya, baik itu harta, nyawa, keleluasaan maupun kehormatan (dignity).
Sekolah yang menghasilkan lulusan yang mampu menciptakan lapangan kerja, yakni lulusan yang sopan santun yang bisa berkreasi, memperjuangkan penghasilan yang berkecukupan tanpa menjatuhkan martabatnya (dengan melakukan kongkalikong dan korupsi) yakni sekolah yang melatih perserta didiknya untuk berpikir inovatif dalam menanggulangi dilema melalui banyak sekali penugasan (projects) dalam kehidupan konkret yang terkait secara integrated dengan banyak sekali topik esensial mata pelajaran tertentu yang berkaitan dalam menjelajahi lingkungannya. Dengan demikian, keunggulan potensial yang timbul berdasarkan keunikan dan keanekaragaman individu akan menemukan potensi lebih lugs untuk terwujud karma adanya kecocokan pengalaman belajar dan talenta, meraih kesanggupan intelektual yang secara substansial lebih tinggi, bahkan meraih kelebihan. Ini bermakna bahwa genius dalam diri anak menunjuk pada an unlocking of capacity yang cuma bisa terjadi dan ditemukan lewat kurikulum dan cara berguru yang serupa sekali berlainan dari yang kini terjadi di sekolah-sekolah kita yang sebagian besar masih didasarkan pada metode yang “tradisional.”
Dan ini juga berarti bahwa pendidikan yang bermula dari rumah ialah pengertian wacana arti dan tujuan hidup serta inovasi suatu cara hidup yang benar dan secara asasi sama bagi seluruh umat insan, juga utamanya bagi penduduk Indonesia yang sekarang menghadapi periode reformasi.
DAFTAR PUSTAKA
- Clark, B. 1986. Growing Up Gifted. Columbia, USA: CE Merril Publishing Co.
- Jalil, Aria. 1998. Kurikulum Reformasi. Mencoba Berandai-andai (paper tidak diterbitkan), Canberra.
- Goleman, D. 1995. Emotional Intelligence. New York, USA: Bantam Books.
- Stolz, P.G. 1997. Adversity Quotient. The Most Important Factors in Achieving Success. New York, USA: Wiley & Sons.
- Tagle. 1990. A “Genius”, in Every Child: The Paradigm Shift of Integrative Learning in Education and Productivity. Innotech Journal, vol XVI no. 1, January–June 1993. ISSN 0115-7418.
- Toynbee, A. and Daisaku, I. 1976. Perjuangan Hidup, Suatu Dialog. Jakarta: PT. Indira.
Demikian contoh makalah pendidikan anak usia dini dengan tema mendapatkan sifat genius pada diri setiap anak. Semoga bermanfaat.