Makalah Isi Dan Kandungan Al-Qur’an

                                                                          BAB I
                                                                 PENDAHULUAN
A). Latar Belakang
Kebangkitan insan tergantung dari tingkat pemikirannya perihal alam semesta, insan, dan kehidupan dengan menghubungkan ketiga bagian tersebut dengan sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia dan setelahnya. Jika manusia ingin berdiri maka mesti ada pergeseran mendasar dan menyeluruh kepada pemikirannya. Setiap manusia akan menjalani kehidupan di dunia ini menurut jawabannya yang lahir dari dalam hatinya yang disertai dengan doktrin atas tiga pertanyaan fundamental yakni: dari mana alam semesta, insan dan kehidupan ini? Mau insan sesudah kehidupan dunia? dan untuk apa manusia hidup di dunia ini? Jawaban atas tiga pertanyaan mendasar ini akan melahirkan aqidah dan jika diamati secara mendalam atas tiga pertanyaan mendasar tersebut probabilitas aqidah yang lahir darinya hanya ada tiga, adalah: aqidah materialisme, aqidah sekularisme, dan aqidah islam.
Islam sudah menuntaskan problematikan pokok ini dan dipecahkan dengan cara yang benar yakni sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal, serta menawarkan ketenangan jiwa. Islam menatap bahwa insan, alam semesta, dan kehidupan berasal (diciptakan) oleh Alloh SWT dan akan kembali kepada Alloh SWT. Oleh karena itu, didalam pandangan islam, Alloh SWT menciptakan manusia dengan tujuan yang mulia yakni beribadah kepada Alloh. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Alloh SWT di dalam Al-Qur’an :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: “Dan tidak Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaku” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
                                                                  BAB I Makalah Isi dan Kandungan Al-Qur'an

Ibadah yakni tunduk, patuh, dan merendahkan diri di hadapan yang maha kuasa (Yusuf Qardawy, 1979: 27). Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al Ubudiyah menyampaikan bahwa Ibadah adalah sebuah kata yang meliputi segala sesuatu yang dicintai dan diridhoi Allah dari seluruh ucapan dan amal perbuatannya baik batin maupun lahir. Berdasarkan defini para ulama tersebut, maka mampu dipahami makna ibadah di dalam Qur’an surat adz-dzariyat ayat 56 yakni menaati seluruh perintah Alloh SWT dan menjauhi seluruh larangan-Nya diseluruh aspek kehidupan yang dibarengi dengan niat nrimo semata-mata karena Alloh SWT. Oleh alasannya itu, islam memandang seluruh faktor kehidupan insan di wajah bumi ini harus mengikuti ketentuan (hukum) Alloh SWT sebagai bentuk pengabdian (ibadah) manusia kepada penciptaa-Nya. Namun, manusia tidak akan pernah mengetahui mirip apa bentuk ibadah (dedikasi) terhadap Alloh SWT jika tidak ada isyarat atau klarifikasi yang bersumber dari-Nya dan jika bentuk ibadah diserahkan terhadap manusia (untuk menafsirkannya), pasti kita akan melihat bentuk ibadah yang berbada-beda ditengah-tengah penduduk yang disebabkan tidak adanya isyarat dari sang pencita insan, alam semesta dan kehidupan.
Sebagai agama yang paripurna, islam mempunyai sumber hukum yang jelas dan bersumber dari Tuhan pencipta manusia, alam semesta, dan kehidupan yang kebenarannya telah terbukti dengan logika yaitu Al-Qur’an dan Hadist serta apa yang ditunjuk oleh keduanya (Ijma’ sobat dan Qiyas Syari’i). Al-Qur’an selaku kitab suci yang diturunkan oleh Alloh SWT untuk mengendalikan kehidupan manusia merupakan kitab suci yang mengontrol kehidupan insan secara komprehensif (menyeluruh) sudah terbukti selama 13 kala lamanya bisa menenteng umat insan (muslim dan nonmuslim) hidup dalam kenyamanan, kedamaian dan kesejahteraan. Namun, sehabis terpaut 13 periode lamanya hidup tanpa Rasulullah SAW, umat islam bagaikan buih ditengah lautan luas yang tidak tahu jalan pulang ketepian pantai yang disebabkan oleh peristiwa akhir zaman yang datang bagaikan angin angin puting-beliung yang menjajal mempora-porandakan aqidah dan prinsip hidup umat islam. Sejak 1918 masehi hingga saat ini umat islam menghadapi serangan pemikiran dari dua arah. Serangan ajaran pertama datang dari blok timur yang diadopsi oleh uni soviet abad itu dengan ideologi sosialisme-komunisnya (dikala ini institusinya telah runtuh, namun benih-benih pemikirannya masih terus dipropagandakan oleh para penganutnya). Sedangkan serangan ajaran yang kedua tiba dari blok barat yang memaksakan ideologi kapitalisme-demokrasi ditengah-tengah kehidupan umat islam (Agusmal, 2015).
Setelah berpuluh-puluh tahun serangan pemikiran itu tiba, umat islam hidup bagaikan anak ayam yang tidak tahu induknya, umat islam lupa terhadap kitab sucinya, jangankan mengamalkannya bahkan isi kandungannyapun banyak umat islam yang tidak mengetahuinya. Bahkan yang lebih ironis lagi, hadirnya kalangan islam liberal yang menilai Al-Qur’an sudah tidak relevan lagi mengendalikan kehidupan umat insan bahkan mewaspadai kebenaran Al-Qur’an. Berdasarkan uraian tersebut, maka judul makalah yang hendak ditulis pada peluang ini adalah Al-Quran Dan Pokok-Pokok Kandungannya selaku salah satu peran mata kuliah Studi Al-Qur’an dan Hadist di UIN Maliki Malang.
B). Rumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi diatas, maka penulis merumuskan masalah selaku berikut:
  1. Apa yang dimaksud dengan Al-Qur’an?
  2. Bagaimanakah cara membuktikan kebenaran Al-Qur’an?
  3. Bagaimana proses pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an?
  4. Bagaimanakah pokok-pokok isi kandungan Al-Qur’an?
1). Tujuan
Berdasarkan rumusan dilema, maka tujuan penulisan makalah ini adalah:
  1. Untuk mengetahui definisi Al-Qur’an
  2. Untuk memahami kebenaran Al-Qur’an
  3. Untuk mengenali proses pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an
  4. Untuk mengerti pokok-pokok isi kandungan Al-Qur’an
2). Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penulisan makalah ini adalah menjelaskan ihwal definisi Al-Qur’an, pengujian kebenaran Al-Qur’an dan menerangkan ihwal pokok-pokok isi kanduhngan Al-Qur’an. Sumber tumpuan yang akan digunakan yaitu kitab terjemahan Mabahis fii Ulumil Qur’an karya Syaikh Manna’ Khalil Al-Qaththon, terjemahan kitab Taisir Al-Wushul ila Al-Ushul karya Syaikh Atho’ bin Khalil, kitab Ushul Fiqih karya KH. Hafidz Abdurrahman, terjemahan kitab Al-Itqon fii Ulumil Qur’an karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi dan kitab Nizhomul Islam karya Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani. Variabel yang dikaji dalam makalah ini yakni Al-Qur’an dengan menggunakan sistem analisis deskriptif kualitatif.
                                                                    BAB II
                                                            PEMBAHASAN
2.1 Definisi Al-Qur’an
Secara bahasa Al-Qur’an berasalah dari qara’a yang mempunyai arti menghimpun atau menghimpun dan qira’ah mengumpulkan karakter-abjad dan kata-kata satu dengan yang lainnya dalam satu ucapan yang tersusun rapih. Qur’an pada awalnya seperti qira’ah, yakni masdar (infinitif) dari kata qara’a, qira’atan, qur’anan. Sedangakn secara istilah, Qur’an dikhususkan sebagai nama bagi kitab yang diturunkan terhadap Muhammad s.a.w., sehingga Qur’an menjadi nama khas kitab itu., selaku nama diri dan secara gabungan kata itu dipakai untuk nama Qur’an secara keseluruhan begitu pula untuk penamaan ayat-ayatnya. (Manna’ Khalil Al-Qaththan, 1992: 16). Syaikh Manna’ Al-Qaththan (1992: 1) juga mendefinisikan Al-Qur’anul Karim selaku mukjizat islam yang abadi dan mukjizatnya senantiasa diperkuat oleh kemajuan pengetahuan, kitab ini diturunkan oleh Alloh SWT terhadap Rasulullah Muhammad s.a.w untuk mengeluarkan manusia dari situasi yang gelap menuju cahaya yang terang serta membimbing mereka ke jalan yang lurus. Selain itu, Syaikh ‘Atho bin Khalil (1990: 68) mendefinisikan Al-Qur’an selaku kalam Alloh yang diturunkan terhadap Rasul-Nya Muhammad s.a.w. dalam bentuk wahyu melalui perantaraan jibril a.s. yang lafidz dan maknanya dari Alloh yang menjadi mukjizat, membacanya adalah ibadah, yang diriwayatkan terhadap kita secara mutawatir. Oleh karena itu, jika diamati secara konkret terhadap kitab suci Al-Qur’an disertai dengan mengkombinasikan seluruh pertimbangan para ulama maka dapat disimpulan bahwa Al-Qur’an yaitu kalam Alloh yang menjadi mukjizat islam yang diturunkan terhadap Rasulullah Muhammad s.a.w. melalui malaikat jibril a.s. yang lafadz maupun maknanya bersumber dari Alloh yang disampaikan kepada manusia secara mutawatir untuk mengatur seluruh aspek kehidupan insan agar menerima ridho Alloh serta keluar dari nilai-nilai kejahiliyaan.
Pembuktian Al-Qur’an Sebagai Kalam Alloh
  • Metode Berfikir Rasional
Perang aliran antar peradaban akan terus berjalan sepanjang zaman selama kebatilan dan kebenaran itu masih ada di paras bumi ini. Setiap insan yang hidup didunia ini pasti menginginkan kehidupan yang senang dan tentram dimana ketetraman itu hanya akan mereka peroleh tatkala mereka menjalani hidupnya dengan benar. Kebenaran akan selalu dicari setiap manusia yang mempunyai logika yang sehat, sayangnya, hari ini kita menghadapi suasana yang sangat memilukan dimana kebanyakan manusia hanya mengikuti dogma sebuah agama tanpa pembuktian rasional kepada kebenaran agama yang mereka ikuti itu. Tidak ada yang salah kalau setiap orang mengganggap bahwa Tuhan dan agamanya yang benar sebab siapapun berhak melaksanakan klaim. Namun yang terpenting dari suatu klaim kebenaran yakni proses pembuktian kebenaran kepada apa yang diklaim.
Kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan (alasan/klaim) dengan realitas (fakta). Untuk hingga terhadap kebenaran hakiki (bukan kebenaran parsial/palsu) maka mesti dikerjakan dengan anutan cemerlang yaitu dengan melibatkan empat komponen dalam proses berfikir (logika) yaitu fakta, otak, alat indra dan informasi awal. Sehingga yang dimaksud dengan ajaran cemerlang (al-fikru al-mustanir) yaitu proses mentransfer (memindakan) fakta atau realitas kedalam otak lewat panca indra yang disokong dengan gosip sebelumnya. Munculnya paham relativisme dalam kajian kebenaran yang memunculkan desain baru adalah kebenaran relatif bantu-membantu merupakan kedangkalan berfikir dan upaya pembodohan kepada umat insan alasannya metode berfikir kebenaran relativisme jauh dari nilai-nilai rasionalistik.
Untuk mengenali kebenaran sebuah agama mampu dikerjakan dengan metode berfikir rasional yang cemerlang adalah dengan melaksanakan pengujian kepada kitab sucinya, apakah sesuai dengan realitas atau tidak. Jika agama itu sesuai dengan realitas (membuat puas nalar), sesuai dengan fitrah insan, dan menentramkan jiwa maka agama itu yaitu benar dan merupakan agama yang diturunkan oleh Tuhan yang membuat manusia, alam semesta, dan kehidupan. Namun bila sebaliknya yang terjadi (tidak membuat puas logika, tidak menetramkan jiwa, dan tidak sesuai dengan fitrah manusia), maka agama itu yaitu agama yang batil. Proses berpikir seperti inilah yang akan melahirkan aqidah yang kokoh, yang tak lapuk oleh hujan tak lekang oleh panas.
  • Pembuktian Kebenaran Al-Qur’an
Selama ini sebagian besar umat islam memeluk agama islam hanya karena aspek keturunan, kesudahannya iman mereka gampang luntur tatkala menghadapi serangan aliran khususnya dari para orientalis (penyebar paham sekularisme) dan para misionaris (kristenisasi).
Untuk mengenali kebenaran agama islam maka harus dilihat kitab sucinya (Al-Qur’an), apakah menyanggupi persyaratan kebenaran atau tidak. Jika memuaskan logika, menetramkan jiwa, dan sesuai dengan fitrah manusia maka memiliki arti agama islam ialah benar dan Al-Qur’an ialah kalam Alloh. Begitupula sebaliknya, kitab sucinya jika tidak membuat puas akal, tidak cocok dengan fitrah manusia, dan tidak menetramkan jiwa maka agama dan kitab sucinya ialah batil.
Mengenai bukti bahwa Al-Qur’an yaitu kalam Alloh (perkataan Tuhan yang menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan) mampu dilihat dari substansi Al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur’an adalah kitab suci umat islam yang menggunakan bahasa arab yang dibawa disampaikan oleh seorang lelaki berjulukan Muhammad s.a.w yang diklaim oleh umat islam sebagai kalam Alloh. Berdasarkan pada fakta ini, maka mampu ditarik tiga hipotesis awal yang rasional tentang asal muasal Al-Qur’an, yakni:
  1. Al-Qur’an berasal dari orang arab
  2. Al-Qur’an berasal dari seorang lelaki berjulukan Muhammad s.a.w.
  3. Al-Qur’an berasal dari Tuhan yang membuat insan, alam semesta, dan kehidupan (kalam Alloh)
Pendapat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an berasal dari orang arab ialah pertimbangan yang tidak benar, alasannya mereka tidak bisa membuat karya yang keindahan dan kebenaran susunan kalimatnya mirip Al-Qur’an. Padahal dalam sejarah telah diceritakan bahwa orang-orang arab jauh sebelum Al-Qur’an diturunkan ialah masyarakat yang lihai (berilmu) dalam syair (mahir syair) tetapi tetapi tetap saja hingga hari ini mereka tidak mampu membuat karya yang keindahan bahasa dan susunan kalimat semacam dengan Al-Qur’an. Sejak awal, orang kafir quraisy yang meragukan kebenaran Al-Qur’an sudah ditantang oleh Alloh SWT, yaitu dalam firman-Nya:
قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ
Artinya: “Katakanlah: ‘Maka datangkanlah sepuluh surat yang (mampu) menyamainya”
(QS. Hud: 13).
Di dalam ayat lain:
قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ
Artinya: “Katakanlah: (‘Kalau benar apa yang kau katakan), maka cobalah datangkan sebuah surat yang menyerupainya” (QS. Yunus : 38).
Dari dahulu sampai kini orang-orang arab yang tidak senang islam telah berupaya keras mencobanya, akan namun tidak ada satupun yang berhasil walaupun mereka berafiliasi dalam hal itu. Hal ini membuktikan bahwa Al-Alquran bukan berasal dari perkataan mereka karena mereka tidak bisa menciptakan karya yang serupa, padahal ada tantangan dari Al-Quran dan mereka sudah berupaya menjawab tantangan itu.
Kemungkinan yang kedua bahwa Al-Qur’an berasal dari seorang laki-laki bernama Muhammad s.a.w. juga tidak mampu diterima oleh akal sebab beliau juga tergolong orang arab yang ialah bagian dari masyarakat dan bangsanya. Sehingga jikalau satu bangsanya telah gagal menciptakan karya yang semacam dengan Al-Qur’an padahal mereka sudah berhubungan maka bagaimanapun jeniusnya beliau (Muhammad s.a.w.), ia juga pasti tidak akan mampu membuatnya.
Terlebih lagi dengan adanya banyak hadits-hadits shahih yang berasal dari Nabi Muhammad SAW yang sebagian malah diriwayatkan lewat cara yang tawatur- yang kebenarannya tidak disangsikan lagi. Apabila setiap hadits ini dibandingkan dengan ayat manapun dalam Al-Quran, maka tidak akan dijumpai adanya kemiripan dari sisi gaya bahasanya. Padahal Nabi Muhammad SAW, disamping senantiasa membacakan setiap ayat-ayat yang diterimanya, dalam waktu yang serempak juga mengeluarkan hadits. Namun, ternyata keduanya tetap berbeda dari segi gaya bahasanya. Bagaimanapun kerasnya usaha seseorang untuk membuat aneka macam macam gaya bahasa dalam pembicaraannya, tetap saja akan terdapat kemiripan antara gaya yang satu dengan yang lain, sebab merupakan bagian dari ciri khasnya dalam berbicara. Karena tidak ada kemiripan antara gaya bahasa Al-Alquran dengan gaya bahasa hadits, memiliki arti Al-Quran itu bukan perkataan Nabi Muhammad SAW. Masing-masing keduanya terdapat perbedaan yang tegas dan terang. Itulah sebabnya tidak seorang pun dari bangsa Arab –orang-orang yang paling tahu gaya dan sastra bahasa arab– pernah menuduh bahwa Al-Quran itu perkataan Muhammad SAW, atau seperti dengan gaya bicaranya (Taqiyuddian An-Nabhani, 1953: 12).
Tantangan ini bukan cuma berlaku untuk orang arab, namun berlaku secara umum kepada seluruh umat insan yang meragukan kebenaran Al-Qur’an. Oleh alasannya itu, siapapun yang mencurigai kebenaran Al-Qur’an maka dipersilahkan untuk menjawab tantangan tersebut dan alhamdulillah sudah 14 kala Al-Qur’an diturunkan namun tidak ada satupun insan yang mampu menjadikannya.
Apabila dua kemungkinan telah terbantahkan dan tidak ada satupun manusia yang mampu menciptakan karya seperti Al-Qur’an berarti Al-Qur’an bukan buatan insan. Jika dua hipotesis telah terbantahkan maka bermakna Al-Qur’an ialah kallamullah (perkataan Tuhan yang membuat manusia, alam semesta, dan kehidupan) yang menjadi petunjuk dan undang-undang (peraturan) dan pembeda antara yang hak (benar) dan yang batil (salah). Barang siapa yang meyakini dan berpegang teguh terhadap ayat-ayatnya maka beliau akan selamat dan barang siapa yang mengingkarinya maka beliau akan menjadi orang yang celaka.
  • Proses Turunya Al-Qur’an dan Penulisannya
Al-Qur’an diturunkan kepada Rasululloh s.a.w selama 23 tahun yang lalu daerah turunnya terbagi menjadi dua daerah ialah Mekah dan Madinah. Ayat Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur di Mekah selama 13 tahun dan di Madinah selama 10 tahun. Ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan di Mekah berikutnya disebut selaku makiyah (al-maki), sedangkan ayat-ayat yang turun di Madinah disebut selaku madaniyah (al-madani). Terkadang al-Qur’an diturunkan terhadap Nabi Muhammad s.a.w secara berkelanjutan dan seringkali pula diturunkan dengan batas waktu yang lama alasannya adalah adanya pesan yang tersirat yang dikehendaki oleh Alloh di dalamnya adalah untuk menguatkan dan meneguhkan hati Rasulullah s.a.w. kepada banyak sekali macam hambatan dan rintangan dakwahnya, menjawab setiap tantangan yang timbul dengan dengan menawarkan mukjizat, supaya umat islam mampu menghafalkan, memahami dan mengamalkannya serta menyesuaikan dengan segala kejadian yang ada dan pentahapan dalam penetapan aturan. Hal ini sebagaimana firman Alloh:
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً ۚكَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ ۖوَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا
Artinya: “Berkatalah orang-orang kafir: ‘Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja? ‘ Demikianlah agar kami perkuat hatimu dengannya” (QS. Al-Furqan:32)
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا
Artinya: “Dan Al-Qur’an itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu dapat membacanya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bab” (QS. Al-Isra: 106).
Rasulullah s.a.w. memerintahkan kepada para sobat untuk menghafal dan menuliskan Al-Qur’an pada lembaran-lembaran yang yang dibuat dari kulit, daun, kaghid (sejenis kertas), tulang yang pipih, pelepah kurma, dan watu. Sebelum wafat, Rasulullah s.a.w. menjelaskan kepada para teman letak ayat-ayat Al-Qur’an secara tertib di dalam surat-suratnya, sehingga dikala Rasulullah s.a.w. wafat, Al-Qur’an sudah tertulis atas legislasi pribadi dari Rasulullah s.a.w., meskipun dikala itu belum tersusun rapi dalam satu kitab. Selain itu, para teman Rasulullah s.a.w. juga telah menghafal ayat-ayat Al-Qur’an sehingga sangat tidak masuk nalar terjadi kekeliriuan dalam pengumpulan dan penyusunan ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana tuduhan kaum musyrikin dan para orientalis.
  • Proses Pengumpulan Al-Qur’an
Dimasa pemerintahan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, kaum muslimin menghadapi banyak peperangan melawan orang-orang murtad dan kaum musyrikin, sehingga khalifah khawatir jangan sampai para sahabat yang menghafal Al-Qur’an mati syahid dalam peperangan. Kekhawatiran sang khalifah semakin berpengaruh sehabis terjadinya perang yamamah dimana banyak mengorbankan para penghafal Al-Qur’an sehingga Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq memerintah terhadap para sahabat untuk menghimpun Al-Qur’an yang telah tercatat pada daerah-tempat tertentu yang telah dilegislasi oleh Rasululloh s.a.w.
Para sobat meminta kesaksian dua orang dari mereka kepada setiap lembaran yang tercantum tulisan Al-Qur’an di dalamnya. Kedua orang saksi ini bersaksi bahwa lembaran tersebut telah ditulis di hadapan Rasulullah s.a.w. Para teman tidak merasa cukup dengan kesesuaian Al-Qur’an dengan hafalan saja, walaupun mereka mengenali bahwa setiap ayat sudah dihafal segolongan sobat secara mutawatir. Oleh alasannya itu, saat mereka menjumpai bahwa selesai surat at-Taubah tidak dapat menghadirkan dua orang saksi yang melihat ditulisnya final surat tersebut dihadapan Rasulullah kecuali Khuzaimah saja, maka mereka tidak menghimpun akhir ayat tersebut, sampai terbukti bahwa Rasulullah telah berpegang pada kesaksian Khuzaimah, dimana Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa kesaksian Khuzaimah sepadan dengan kesaksian dua orang muslim yang adil, barulah mereka mengumpulkan lembaran itu yang disaksikan oleh Khuzaimah, alasannya mengetahui bahwa para sobat telah menghafalnya (‘Atho bin Khalil: 73).
Dengan demikian, kodifikasi (pengumpulan) Al-Qur’an yang dilaksanakan Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah pengumpulan terhadap lembaran-lembaran goresan pena ayat-ayat Al-Qur’an yang ayat-ayat dan susunannya sudah dilegislasi Rasulullah s.a.w. sehingga menjadi satu kitab yang tersusun rapi dan sistematis sesuai dengan hasratAlloh SWT yang pengumpulan dan penulisannya dilaksanakan secara mutawatir.
  • Penetapan Mushhaf-Mushhaf
Pada era kekhalifahan Ustman bin Affan, penyebaran islam dan ekspansi kawasan kekuasaan islam bertambah luas akhir dari gencarnya ekspedisi jihad yang dikerjakan oleh Rasulullah s.a.w. yang diikuti oleh Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Ustman bin Affan. Islam memiliki kebijakan dimana setiap daerah yang ditaklukkan oleh kaum muslimin secara otomatis akan menjadi bagian negara islam dan dibawah perlindungan negara (islam) yang mendapatkan hak dan keharusan sebagaimana rakyat (muslim dan nonmuslim) yang lain. Oleh karena itu, para Khalifah senantiasa mengirimkan para qurra disetiap daerah yang ditaklukkan untuk mengajari mereka wacana Islam dan Al-Qur’an. Semakin luasnya daerah kekuasaan kaum muslimin menciptakan para qurra tersebar diberbagai kawasan sehingga masyarakatsetempat mempelajari qira’at (bacaan) dari qari yang dikirim terhadap mereka. Namun, bacaan (qira’at) Qur’an yang dibawakan oleh para qari berlawanan-beda antara satu dengan yang lainnya sehingga menyebabkan perbedaan dan keresahan ditengah-tengah kaum muslimin. Bagi sebagian orang tidak mempermasalahkan perbedaan alasannya mereka percaya bahwa semua perbedaan itu disandarkan terhadap Rasulullah s.a.w., tetapi lain halnya dengan sebagian pelajar baru yang tidak menyaksikan Rasulullah, mereka saling menyalahkan bahkan saling mengkafirkan.
Ketika Huzaifah bin al-Yaman menyaksikan keresahan dan perbedaan itu mampu menjadikan perpecahan ditubuh umat islam maka disaat ia ikut dalam perang melawan Armenia dan Azerbaijan dengan penduduk Irak, ia segera menghadap kepada Khalifah Ustman bin Affan dan melaporkan kepadanya ihwal perbedaan bacaaan qira’at yang berujung pada terjadinya perselisihan ditengah-tengah kaum muslimin. Setelah mendengar pengaduan dari Huzaifah bin Yaman, Khalifah Ustman segera mengantarutusan kepada Hafsah supaya mengantarkan mushhaf induk (mushhaf Abu Bakar ash-Shiddiq) dan Hafsah pun mengirimkan mushhaf itu terhadap Khalifah Ustman. Kemudian Khalifah memanggil Zaid bin Sabit al-Anshari, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk proses penyalinan mushhaf. Penulisan mushhaf tersebut dinamakan ar-Rasmul ‘Usmani. Dalam penyalinan mushhaf, terjadi perbedaan usulan antara Zaid bin Sabit al-Anshari dengan Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam, kemudian Khalifah Ustman bin Affan menyuruh terhadap mereka semua semoga usulan Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam yang diikuti sebab mereka adalah orang-orang Quraisy dimana Al-Qur’an diturunkan dengan dialek (logat) mereka. Setelah mereka selesai menyalin mushhaf tersebut, khalifah Ustman kemudian mengembalikan mushhaf induk terhadap Hafsah. Setelah itu, Khalifah Ustman mengirimkan mushhaf-mushhaf yang sudah disaling dari mushhaf induk ke seluruh daerah seraya memerintahkan kepada seluruh kaum muslimin untuk memperabukan bacaan-bacaan lain yang tidak sesuai dengan mushhaf mutawattir yang telah dikirimkannya tersebut.
Telah terjadi perbedaan pertimbangan perihal jumlah mushhaf yang diantarUstman bin Affan ke daerah-daerah lain. Ada yang beropini jumlahnya ada enam dan setiap kota menerima satu mushhaf, yakni Basrah, Kufah, Syam, Makkah, dan satu lagi yang diperuntukkan bagi masyarakatMadinah, serta satu mushhaf lagi yang disimpan secara khusus oleh Khalifah Ustman yang lalu disebut dengan mushhaf induk atau disebut juga selaku mushhaf imam. Ada juga yang mengatakan jumlahnya tujuh buah, lima musshaf masing-masing diantarkan ke Basroh, Kuffah, Syam, Makkah, dan Madinah. Sementara yang keenam diantarke Yaman dan ketujuh dikirimkan ke Bahrain. Pada kurun-periode berikutnya, kaum muslimin menyalin mushhaf-mushhaf lainnya dari mushhaf tersebut dengan tulisan dan bacaan yang serupa hingga hingga kepada kita pada ketika ini (‘Atho bin Khalil, 1990: 77).
Oleh karena itu, seluruh mushhaf yang disalin pada era Usman itu telah menghimpun bacaan-bacaan mutawatir yang berasal dari Alloh SWT melalui Rasulullah s.a.w. dan hingga kepada kita lewat tata cara yang mutawatir pula.
  • Pembubuhan Tanda Syakal Pada Mushhaf
Pada abad pemerintahan Imam Ali bin Abi Thalib, Muawiyyah bin Abu Sufyan menyaksikan kesalahan bacaan anaknya dalam tata bahasa arab sehingga ia menyampaikan sakwa terhadap Gubernur Basrah yang lalu diteruskan kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Setelah mendengar pengaduan tersebut, Imam Ali memerintahkan kepada Abu al-Aswad ad-Duali untuk meletakkan kaidah-kaidah nahwu dan cara pengucapannya yang tepat dan baku seta melaksanakan proses pensyakalan huruf-abjad dengan fathah, dhamah, dan kasrah pada mushhaf. Inilah yang menjadi permulaan ‘ilmu i’rabil Qur’an.
Pensyakalan biasa disebut dengan naqthan (titik) karena Abu al-Aswad ad-Duali menggunakan titik untuk menstandarisasi harakat suatu kata. Pada masa Daulah Abbasiyyah, Khalil bin Ahmad telah menandai dhamah dengan wawu kecil diatas abjad, fathah ditandai dengan alif kecil diatas abjad, dan kasrah ditandai dengan ya kecil dibawah abjad. Kemudian beliau menciptakan tanda syiddah dan sukun. Adapun at-tanqith dalam arti membubukan titik dibawah dan diatas karakter untuk membedakan satu huruf dari karakter yang yang lain, seperti membedakan ba, ta, dan tsa, telah dilakukan Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mar atas perintah al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqofi yang merujuk terhadap keputusan Abdul Malik bin Marwan saat al-Hajjaj menjadi gubernur Irak (Atho’ bin Khalil, 1990: 86).
  • Pokok-Pokok Isi Kandungan Al-Qur’an
Secara umum ditinjau dari sisi penunjukan maknanya, maka Al-Qur’an mampu diklasifikasikan menjadi beberapa bab, yakni mutasyabihat dan muhkamat, amar dan nahyi, amm dan khas, mutlaq dan muqayyad, mujmal dan mubayyan, serta nasikh, dan mansukh. Sedangkan jika ditinjau dari segi dimensi aturan maka ayat-ayat Al-Qur’an dibagi menjadi 3 dimensi hukum ialah kekerabatan makhluk dengan Alloh, kekerabatan insan dengan insan, dan relasi insan dengan dirinya sendiri.
Dimensi hukum yang menertibkan korelasi insan dengan Alloh yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang membicarakan problem seputar doktrin akan wujud dan kekuasaan Alloh SWT serta duduk perkara ibadah yang tata caranya telah dipatenkan oleh Alloh mirip sholat, puasa ramadhan, haji, dll. Contohnya firman Alloh SWT:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأُولِي اْلأَلْبَابِ
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat gejala (ayat) bagi orang yang cerdik” (QS. Ali Imran: 190).
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ
Artinya “(Dan) Di antara gejala kekuasaan-Nya yaitu diciptakan-Nya langit dan bumi serta berlain-lainannya bahasa dan warna kulitmu” (QS. Ar-Rum: 22).
أَفَلاَ يَنْظُرُونَ إِلَى اْلإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ، وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ، وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ، وَإِلَى اْلأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ
Artinya: “Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan? Dan langit, bagaimana beliau ditinggikan? Dan gunung-gunung, bagaimana beliau ditegakkan? Dan bumi, bagaimana beliau dihamparkan?” (QS. Al-Ghasyiyah: 17-20).
فَلْيَنْظُرِ اْلإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ، خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ، يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ
Artinya: “Hendaklah insan memperhatikan dari apa ia diciptakan? Dia diciptakan dari air menyembur, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dengan tulang dada perempuan” (QS. At-Thariq: 5-7).

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيدًا
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan terhadap Kitab yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan terhadap Kitab yang diturunkan sebelumnya. Dan siapa saja yang mengingkari Allah dan Malaikat-Nya dan Kitab-Kitab-Nya dan Rasul-Rasul-Nya dan Hari Akhir maka ia sudah sesat sejauh-jauh kesesatan” (QS. An-Nisa: 136)
Beberapa ayat-ayat diatas yaitu sebagian kecil dari ayat-ayat Al-Qur’an dengan berhubungan dengan aqidah (kekerabatan insan dengan Alloh SWT). Alloh SWT juga menegaskan di dalam Al-Qur’an beberapa ayat yang berhubungan dengan ibadah, contohnya:
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ (٤٣)
Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’ (Al-Baqarah: 43).
Yang dimaksud Ialah: shalat berjama’ah dan dapat pula diartikan: tunduklah kepada perintah-perintah Allah bersama-sama orang-orang yang tunduk. Sedangkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkubungan dengan hubugan manusia dengan manusia, contohnya:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275).
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (٧)لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ (٨)
Artinya: “apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah terhadap RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari masyarakatkota-kota Maka yaitu untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. (juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (alasannya) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka membantu Allah dan RasulNya. mereka Itulah orang-orang yang benar.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” (QS. Al-Maidah: 38).
Dua ayat diatas adalah sebagian kecil dari ayat-ayat yang mengontrol kekerabatan manusia dengan insan. Sedangkan acuan ayat-ayat Al-Qur’an yantg bekerjasama dengan kekerabatan manusia dengan dirinya sendiri ialah:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الأرْضِ حَلالا طَيِّبًا وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (١٦٨)
Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kau mengikuti langkah-langkah syaitan; alasannya adalah Sesungguhnya syaitan itu ialah lawan yang nyata bagimu” (QS. Al-Baqarah: 168)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا (٧٠)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kau kepada Allah dan Katakanlah Perkataan yang benar” (QS. Al-Ahzab: 70)
                                                                     BAB III
                                                                   PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pada klarifikasi diatas, maka dapat disimpulakan bahwa:
  1. Al-Qur’an ialah kalam Alloh yang menjadi mukjizat islam yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad s.a.w. melalui malaikat jibril a.s. yang lafadz maupun maknanya bersumber dari Alloh yang disampaikan terhadap insan secara mutawatir untuk menertibkan seluruh aspek kehidupan insan biar mendapatkan ridho Alloh serta keluar dari nilai-nilai kejahiliyaan.
  2. Al-Qur’an yaitu kitab suci yang terbukti kebenrannya secara rasional yang tidak dapat terbantahkan sepanjang zaman.
  3. Pengumpulan dan pembukuan Al-Qur’an dilaksanakan di kala khulafaurrasyidin dengan sistem yang mutawatir.
  4. Dimensi hukum di dalam Al-Qur’an terbagi menjadi 3 bab yaitu hubungan insan dengan Alloh, relasi manusia dengan insan, dan kekerabatan insan dengan dirinya sendiri.
Saran
Berdasarkan penjelasan diatas, maka anjuran yang dapat kami sampaikan adalah sebagai berikut:
  1. Pembelajaran tentang studi Al-Qur’an mesti terus ditingkatkan baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
  2. Studi pembelajaran Al-Qur’an mesti senantiasa mengikuti tata cara para ulama-ulama salaf (ahlus sunnah wal jamaah) dan menjauhi metode barat orientalis yang mencoba mengaburkan kesucian Al-Qur’an dengan hermaneutika tafsir.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Hafidz. 2012. Ushul Fiqih, Membangun Paradigma Berpikir Tasyri’i. Cetakan Kedua. Al Azhar Press. Bogor
An-Nabhani, Taqiyuddin. 2004. Nizham al-Islam. Cetakan Ketiga Belas. Hizbut Tahrir Indonesia. Jakarta.
As-Suyuthi, Jalaluddin. 2008. Al-Itqan fi Ulumil Qur’an. Cetakan Pertama. Indiva Pustaka. Surakarta.
Al-Qaththan, Manna Khalil. 2013. Mabahis fi Ulumil Qur’an. Cetakan Keenam belas. Pustaka Litera Antarnusa. Bogor
Khalil, ‘Atho Bin. 2011. Taisir al-Wushul ila al-Ushul. Cetakan Keempat. Pustaka Thariqul Izzah. Bogor.