close

Makalah Hakikat Islam, Nubuwwah, Dan Risalah (Filsafat Dakwah)

Makalah Hakikat Islam, Nubuwwah, dan Risalah dalam Mata Kuliah Filsafat Dakwah


BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Filsafat yaitu alam berpikir atau alam asumsi, maka berfilsafat yaitu berpikir. Adanya aliran filsafat tentu berawal dari para tokoh-tokoh filsuf, sehingga menyebabkan pedoman filsafat dari kala ke masa berlawanan-beda. Dalam aliran tersebut tentu banyakpembahasan-pembahasannya, salah satunya pembahasan mengenai hakikat Islam, nubuwwah dan risalah. Hakikat ialah dasar (KBBI, 2016) yang mempunyai arti kalimat yang digunakan untuk menunjukkan makna yang sesungguhnya dari sesuatu mirip benda, kondisi atau anutan.

Seperti halnya hakikat Islam salah satunya adalah menghormati logika manusia, sebagaimana syarat sahnya keimanan seseorang yang memang mesti pandai. Begitu juga hakikat nubuwwah, bahwa nubuwwah merupakan orang yang menjadi opsi Allah untuk menerima wahyu-Nya dan kenabian adalah sifat (hal) Nabi, yang berkenaan dengan Nabi. Ada pun pesan yang disampaikan oleh seorang Nabi, pesan tersebut berasal dari Allah SWT, maka lazimdisebut sebagai risalah. Risalah ialah pesan-pesan Allah SWT yang terangkum dalam anutan agama Islam sebagai tutorial jalan hidup (way of life) bagi umat manusia. Sebagaimana dalam makalah ini kami akan menerangkan mengenai hakikat Islam, nubuwwah dan risalah.

                                                                                                           

  1. Rumusan Masalah

       Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah makalah ini yaitu selaku berikut :

1.    Bagaimana hakikat Islam ?

2.    Bagaimana hakikat nubuwwah ?

3.    Bagaimana hakikat risalah ?


  1. Tujuan Penulisan

Tujuan Penulisan Makalah ini yakni :

1.    Mengetahui hakikat Islam.

2.    Mengetahui hakikat nubuwwah.

3.    Mengetahui hakikat risalah.

 

  1. Manfaat Penulisan

            Supaya kami dan para pembaca dapat mengetahui serta mengetahui hakikat Islam, nubuwwah dan risalah beserta pembahasan lainnya yang bersangkutan dengan Islam, nubuwwah dan risalah.






BAB II

PEMBAHASAN

  1. Hakikat Islam

Islam secara etimologi (bahasa) mempunyai arti tunduk, patuh, atau berserah diri. Adapun berdasarkan syari’at (terminologi), jika dimutlakkan berada pada dua pemahaman :

Pertama : Apabila disebutkan sendiri tanpa diiringi dengan kata akidah, maka pemahaman Islam meliputi seluruh agama, baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), juga seluruh masalah ‘aqidah, ibadah, doktrin, perkataan dan tindakan. Kaprikornus pengertian ini memperlihatkan bahwa Islam adalah mengakui dengan lisan, meyakini dengan hati dan berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla atas semua yang sudah ditentukan dan ditakdirkan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ihwal Nabi Ibrahim Alaihissallam [1] :

إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ ۖ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ

“(Ingatlah) ketika Rabb-nya berfirman kepadanya (Ibrahim), ‘Berserahdirilah!’ Dia menjawab: ‘Aku berserah diri kepada Rabb seluruh alam.” [Al-Baqarah: 131]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman :

إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

“Sesungguhnya agama di segi Allah yakni Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang sudah diberi Kitab kecuali sesudah mereka memperoleh ilmu, sebab kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sangat, Allah sangat cepat perkiraan-Nya.” [Ali ‘Imran: 19]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, ia tidak akan diterima, dan di darul baka ia termasuk orang yang rugi.” [Ali ‘Imran: 85]

Menurut Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahulllah, definisi Islam yakni :

َاْلإِسْلاَمُ: َاْلإِسْتِسْلاَمُ ِللهِ بِالتَّوْحِيْدِ وَاْلإِنْقِيَادُ لَهُ باِلطَّاعَةِ وَالْبَرَاءَةُ مِنَ الشِّرْكِ وَأَهْلِهِ.

“Islam yakni berserah diri kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tunduk dan patuh kepada-Nya dengan ketaatan, dan berlepas diri dari tindakan syirik dan para pelakunya.”

Kedua: Apabila kata Islam disebutkan serentak dengan kata akidah, maka yang dimaksud Islam ialah perkataan dan amal-amal lahiriyah yang dengannya tersadar diri dan hartanya [2], baik beliau meyakini Islam atau tidak. Sedangkan kata keyakinan berkaitan dengan amal hati [3].

Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا وَلَٰكِن قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ ۖ وَإِن تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُم مِّنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Orang-orang Arab Badui berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman, namun katakanlah, ‘Kami sudah tunduk (Islam),’ alasannya iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jikalau kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan menghemat sedikit pun (pahala) amalmu. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [Al-Hujuraat: 14]

Mochammad Natsir dalam bukunya Capita Selecta telah menjabarkan, terdapat lima hakikat Islam, diantaranya :

1)        Islam menghormati nalar insan

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Mereka yang ingat akan Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan berbaring dan memikirkan perihal kejadian langti dan bumi, (berkata); “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau jadikan (semua) ini dengan tidak berguna. Mahatinggi Engkau, maka lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. Ali Imran [3]: 191).

Menurut Dr Hamid Fahmy Zarkasy dalam Ikhtitam Islamia edisi Januari 2016, prinsipnya dalam Islam berlaku ‘intellego ut credam’ (saya faham biar aku beriman). Hal ini sebagaimana syarat sahnya keimanan seseorang yang memang harus berilmu. Maka dalam Islam, tidak terkena aturan atau belum mukallaf belum dewasa yang belum hingga pada usia akhil baligh.

Oleh alasannya itu tidak mengherankan bila ulama Islam terdahulu tidak saja hebat dalam masalah agama, tetapi juga pakar dalam berbagai bidang keilmuan. Ibn Sina contohnya, ia sosok mufassir yang juga mahir kedokteran dan filsafat. Dengan kata lain, Islam yakni agama yang tidak mampu dipisahkan dengan keilmuan.

Bahkan, suatu fakta sangat mengherankan terekam oleh Souck Hurgronje yang lalu disampaikan dalam pidatonya di Universitas Leiden pada 1907.

“Dan berulang kali telah kejadian, masyarakatnegeri (Indonesia) yang tengah melarikan diri, diburuoleh pasukan kita (Belanda) meninggalkan beberapa kitab. Disini ternyatalah, bagaimana ulama-ulama itu dalam perjalan mereka mengembara melalui hutan-hutan dan rawa-rawa, tidak meninggalkan pembacaan dan penyelidikan ilmu.” (M. Natsir, Capita Selecta halaman 173).

2)        Menuntut ilmu wajib hukumnya

  Contoh Makalah Ilmu Pengetahuan Teknologi Dan Seni Dalam Islam

Agama Islam mengharuskan tiap-tiap pemeluknya, lelaki dan wanita belajar dan menghormati mereka yang mempunyai ilmu.

 

أُطْلُبُ الْعِلْمَ مِنَ الْمَحْدِ إِلَى اللَّهْدِ

 

Artinya: “Carilah ilmu dari buaian hingga liang lahat.” (HR. Muslim)

3)        Dilarang taklid buta

Agama Islam melarang orang bertaklid buta, mendapatkan sesuatu sebelum diperiksa, meskipun hadirnya dari kelompok sebangsa dan seagama, ataupun dari ibu-bapak dan nenek moyang sekalipun. Hal ini mampu dilihat dari bagaimana tugas media memompakan misinya lewat beragam bentuk tulisan, tayangan dan acara untuk mengelabui umat Islam.

4)        Mendorong lahirnya penemuan dan pembaharuan

Agama Islam mengasyikkan pemeluknya agar senantiasa berupaya mengadakan barang yang belum ada, merintis jalan yang belum ditempuh, menciptakan inisiatif dalam hal keduniaan yang memberi faedah bagi penduduk .

“Siapa yang ingin mengenali kedudukannya di sisi Allah hendaklah ia mengamati bagaimana kedudukan Allah dalam dirinya. Sesungguhnya Allah menempatkan hambaNya dalam kedudukan sebagaimana beliau menempatkan kedudukan Allah pada dirinya.” (HR. Al Hakim)

5)        Berpetualang

Agama Islam menggemarkan pemeluknya, pergi meninggalkan kampung dan halaman, berlangsung ke negeri lain, memperhubungkan silaturrahim dengan bangsa dan kelompok lain, saling bertukar wawasan, panorama-pemandangan dan perasaan.

أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ

“Maka apakah mereka tidak berlangsung di paras bumi, lalu mereka memiliki hati yang dengan itu mereka mampu mengetahui atau memiliki telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sebenarnya bukanlah mata itu yang buta, namun yang buta, yakni hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj [22]: 46).

 

  1. Hakikat Nubuwwah

1)      Pengertian Nubuwwah

Kata nubuwwah berasal dari kata “naba-a” yang memiliki arti kabar (informasi dan kisah) Kata “nubuwwah” sendiri merupakan mashdar dari “naba-a”. Dalam Al-Qur’an kata ”nubuwwah” disebutkan sebanyak lima kali, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Nubuwwah ialah wahyu yang diturunkan terhadap Nabi untuk disampaikan kepada manusia. Makara nubuwwah ialah orang yang menjadi pilihan Allah untuk menerima wahyu-Nya dan kenabian adalah sifat (hal) Nabi, yang berkenaan dengan Nabi. Pengertian ini sesuai dengan Kamus Dewan yang menyebutkan nubuwwah ialah hal yang berafiliasi dengan Nabi.

Konsep Nabi dan Rasul ialah salah satu ketimbang prinsip utama dalam Islam, konsep ini berhubungan dengan desain keadilan Tuhan alasannya Tuhan yang Maha Adil yang membuat sekalian makhluk terutama insan. Nabi bertugas dan bertanggung jawab menyampaikan wahyu Tuhan. Nabi diseleksi sendiri oleh Tuhan daripada kelompok manusia yang sempurna sifat-sifatnya. Kehadiran Nabi dan Rasul sangat penting utamanya kepada masyarakat manusia dan makhluk-makhluk Tuhan yang lain. Oleh alasannya adalah itu Tuhan yang bersifat dengan segala sifat yang tepat pencipta sekalian makhluk di muka bumi tergolong insan.

Untuk itulah Tuhan mewakilkan Nabi dan Rasul untuk membawa manusia kepada kebaikan, kejayaan dan kesempurnaan. Nabi dan Rasul adalah manusia opsi Allah SWT yang bertugas memberi petunjuk terhadap insan ihwal keesaan Allah SWT dan membina mereka supaya melaksanakan fatwa-Nya. Ciri-ciri mereka dikemukakan dalam Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah SWT artinya adalah :

“… yaitu orang-orang yang memberikan risalah-risalah Allah. Mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada takut terhadap seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah selaku pembuat perkiraan.” (QS. Al-Ahzab : 39)..

Dalam kajian Ilmu Sosiologis, an-Nubuwwah merupakan jembatan transisi dari era primitif menuju kala penggunaan nalar. Rasulullah dan para Nabi diutus Tuhan yakni untuk membawa manusia dari zaman gelap-gulita menuju zaman yang terperinci benderang, masa tidak berpengetahuan terhadap abad berpengetahuan, kurun ini maksudnya ialah masa manusia dalam kebodohan ialah abad-periode ini, bangsa Arab tidak memiliki aturan hukum yang menjadi ajaran bagi insan

mirip kitab suci yang diwahyukan terhadap Nabi Muhammad SAW, abad

penyimpangan adat dan iman, insan tidak berbudi, wanita tidak dihargai abad inilah disebut dengan periode jahiliyah Nubuwwah adalah perkataan yang mengandung arti isu tentang Allah dan ihwal urusan-persoalan keagamaan, terutama ihwal apa yang bakal terjadi di kemudian hari. Adapun nubuwwah itu ada bermacam-macam seperti halnya

2)      An-Nubuwwah dalam Pandangan Al-Qur’an

Dalam al-Qur’an digambarkan nubuwwah yakni sebuah anugerah yang kuasa atau santunan rabbani terhadap siapa pun insan dari golongan hamba-hambanya yang Dia harapkan. Derajat an-Nubuwwah itu tidak bisa diperoleh dengan perjuangan yang optimal atau dengan menawarkan seberapa banyak kepatuhan dari ibadah.  Dengan kata lain nubuwwah itu hanyalah dianugerahkan terhadap siapa pun manusia yang diseleksi oleh Allah dari golongan hamba-hambanya yang berhak dan pantas memikulnya. Orang yang dianugerahkan dengannya dinamakan Nabi. Nubuwwah juga ialah tugas yang perkasa dan tanggung jawab yang amat berat  selaku tersebut dalam al-Qur’an.

“Sesungguhnya Kami akan memperlihatkan kepadamu perkataan yang berat.” (QS. Al-Muzammil)

Nubuwwah bukanlah sesuatu yang mampu diperoleh secara warisan atau lewat kekuatan atau darah keturunan dan kedudukan, cuma ialah hasil dari pemilihan Allah ke atas segolongan insan yang dimuliakan dari kalanganhamba-hamba-Nya. Sesuai dengan Firman Allah :

اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ

“Allah memilih utusan-delegasi-(Nya) dari malaikat dan dari insan; sebetulnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Hajj : 75)

إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَىٰ آدَمَ وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيمَ وَآلَ عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِينَ

“Sesungguhnya Allah sudah menentukan Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat (di kala mereka masing-masing)” (QS. Ali-Imran : 33)

Gambaran ayat al-Qur’an di atas menjelaskan bahwa an-Nubuwwah itu yakni perlindungan Allah semata-mata bukan karena pangkat dan jabatan kehormatan. Oleh karena itu, kaum musyrikin Quraisy merasa terkejut dan keheranannya serta terus menentang dikala mengetahui bahwa Muhammad bin Abdullah SAW dipikulkan dengan tugas ini, sedangkan beliau seorang yatim piatu, miskin dan tidak memiliki sembarang dampak  dan kuasa di tengahtengah penduduk .

Menurut persepsi mereka, Muhammad tidak mempunyai apa-apa yang boleh menyebabkan baginda seorang yang ternama dan agung. Menurut pendapat orang-orang Quraisy peran an-Nubuwwah hanyalah layak dipikul oleh seorang hartawan bangsawan dari golongan pemimpinpemimpin dan pembesar-pembesar kaum Quraisy saja. Dalam masalah ini Allah telah mengecam sikap kaum Quraisy yang ndeso dan rendah  di gambarkan dalam al- Qur’an.

  Strategi Kepemimpinan

“Dan mereka berkata Mengapa al-Qur‟an tidak diturunkan kepada orang besar dari salah satu dua kota ? (31) Apakah mereka hendak membagi-bagikan kehidupan di antara mereka dalam kehidupan dunia ini dan tinggikan sebahagiannya dari lainnya beberapa derajat biar sebahagiannya mampu bekerja untuk lainnya, rahmat Tuhanmu itu lebih baik dari kekayaan yang mereka kumpulkan. (32)” (QS. Az- Zukhruf: 31-32)

3)      An-Nubuwwah berdasarkan Ahli Pikir

Menurut para ulama Ahlus-Sunnah, Nubuwwah yaitu pangkat yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba yang diinginkan-Nya tanpa diusahakan dan dengan jalan memperlihatkan wahyu kepadanya. Namun perihal nubuwwah selaku ”sesuatu yang tiba tanpa diusahakan”, masalah ini memanggil kontradiksi dari para ahli falsafah, mereka menyatakan bahwa an-Nubuwwah adalah perkara yang dapat diusahakan karena an-Nubuwwah itu ialah hasil dari keheningan jiwa dan hasil dari keutamaan akal pekerti.

Selain itu, para andal falsafah juga beropini bahwa an-Nubuwwah yaitu kasus yang dapat diperoleh oleh manusia dengan perjuangan tekun dan sebab karena-alasannya adalah tertentu. Makara menurut pandangan mereka, an-Nubuwwah merupakan perkara yang bukan semata-mata anugerah (perlindungan) dari Allah namun insan juga bila berusaha betul-betul bisa menerimanya. Di sisi lain Abū Hasan al-Ashy’ari berpendapat bahwa nalar dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Dengan wahyu mampu dimengerti bahwa yang patuh kepada Tuhan akan menemukan pahala dan yang tidak patuh kepada-Nya akan memperoleh hukuman yang setimpal atas perbuatan yang dikerjakan di dunia. Jadi berdasarkan al-Ashyari akal tidak bisa untuk mengenali kewajibankewajiban yang dilaksanakan oleh manusia, untuk itulah wahyu diperlukan.

Wahyu disampaikan oleh seorang Nabi yang merupakan pilihan dari Allah dan diberikan terhadap hamba mana yang Ia kehendaki. Sependapat dengan al-Ashy’ari yakni al-Baghdadi, yang beropini bahwa walaupun logika mampu mengetahui Tuhan, namun dalam konteks pahala dan siksa, baik dan jelek diputuskan oleh wahyu. Kemudian pandangan ini juga menerima tempat dalam aliran Imam al-Haramain al-Juwainy Menurutnya dalam duduk perkara di luar syari’at atau aturan tidak dapat diketahui nalar manusia tetapi harus melalui perantaraan wahyu. Wahyu disampaikan oleh seorang Nabi, oleh itu, menurut al-Juwainy pengiriman Nabi atau Rasul ialah hak Allah semata-mata.

Nubuwwah yaitu dukungan Allah kepada hamba, yaitu hamba-hamba-Nya yang ditugaskan untuk memberikan risalah-Nya kepada makhluknya-Nya. Menurut Pandangan al-Afghani, beliau memberikan sebuah istilah berkaitan dengan dilema nubuwwah bahwa penduduk adalah mirip suatu badan, di mana seluruh anggota badan saling berafiliasi dan setiap anggota badan mempunyai peran dan fungsinya sendiri-sendiri. Al-Afghani mengumpamakan bahwa kalau tubuh dihentikan hidup tanpa adanya roh, maka demikian pula penduduk . Roh penduduk yaitu an-Nubuwwah atau nasihat falsafah. Jadi Nabi dan hebat falsafah (al-Hakim) bagi penduduk sama kedudukannya dengan roh bagi tubuh

Bagaimana saat Nabi Muhammad SAW mendapatkan wahyu dari Allah SWT, ihwal masalah ini Muhammad Rasyid Ridha menerangkan langkah-langkah atau antisipasi yang dijalankan Nabi Muhammad SAW mendapatkan nubuwwah dan risalah ialah seperti sebuah menyerupai wacana ruh beliau yang mulia laksana cermin yang mengkilat. Allah mengutus Rasulnya untuk menenteng pemikiran terhadap manusia. Agama yang dibawa Nabi kepada umatnya yakni selaku isyarat terhadap segala permasalahan baik kasus di dunia maupun di alam baka.

4)      An-Nubuwwah menurut Filosof Islam

Sedangkan berdasarkan hebat falsafah, masalah al-Nubuwwah al-Farabi berpijak terhadap sendi-sendi ilmu jiwa dan metafisik dan ini rapat keterkaitannya dengan politik dan etika. Artinya al-Farabi dalam menafsirkan al-Nubuwwah secara psikologi dan menurutnya ini selaku fasilitas untuk menghubungkan alam bumi dengan alam langit, hal ini didasarkan dari pada teori Mimpi. Menurutnya kalau khayalan telah terlepas dari tindakan-perbuatannya ketika jaga, maka di masa tidurpun beliau masih mempergunakan selaku fenomena psikologi.

An-Nubuwwah yang digambarkan oleh al-Farabi dalam aneka macam manifestasi ialah hasil interaksi antara nalar dan kemampuan menggandakan daya khayalan. An-Nubuwwah yang sejati yaitu sebagaimana agama yang didasarkan padanya, ialah simbolisasi atau artifisial dari kebenaran yang sama yang dimengerti secara demonstratif dan intelektual dalam filsafat Semua Nabi menurut al-Farabi mempunyai kapasitas intelektual yang luar biasa juga memiliki daya khayalan yang sangat peka. Daya ini memungkinkan imajinasi mereka mendapatkan arus pancaran atau emanasi.

Pembahasan dilema an-Nubuwwah ini juga dibicarakan oleh Ibnu Miskawayh bahwa semua manusia memerlukan kepada Nabi, alasannya adalah Nabi selaku sumber berita untuk mengenali sifat-sifat keutamaan dan sifat-sifat terpuji, Nabi adalah pembawa pedoman suci daripada Tuhan. Menurut Ibnu Miskawayh, Nabi adalah insan pilihan yang menemukan hakikat-hakikat kebenaran, disebabkan pengaruh logika aktif atas daya imajinasinya.

Hakikat-hakikat yang sama diperoleh juga oleh ahli falsafah. Perbedaan antara Nabi dan mahir falsafah terletak pada cara memperoleh kebenaran. Para jago falsafah menemukan kebenaran dari bawah ke atas, ialah dari daya inderawi naik ke daya khayal dan naik lagi ke daya pikir sehingga mampu berhubungan dan menangkap hakikat kebenaran dari akal aktif sebagai rahmat Tuhan. Penjelasan tersebut dapat dijadikan petunjuk bahwa Ibn Maskawayh berusaha menghubungkan antara agama dan falsafah, sehingga keduanya harus sesuai dan harmonis sebab sumber keduanya sama. Makara menurut Ibnu Maskawayh bahwa sumber kebenaran yang  diperoleh oleh Nabi dan mahir falsafah yaitu sama ialah melalui logika aktif.

Al-Ghazālī memberi pandangannya ihwal desain an-Nubuwwah yang merupakan  anugerah Allah yang  tidak boleh diperoleh dengan usaha. Walaupun demikian an-Nubuwwah itu bukanlah sebuah kebetulan  murni (tanpa kepatutan alamiah) sehingga setiap makhluk yang  merayap dan berjalan dengan kakinya boleh menjadi penerimanya. An-Nubūwwah juga bukan pula  diperoleh melalui upaya murni sehingga setiap orang yang  berpikir boleh memperoleh. Kaprikornus an-Nubuwwah yang  merupakan fitrah khusus para Nabi tidaklah diperoleh mereka, namun langkah-langkah-tindakan yang  mengalir dari bentuk-bentuk khusus mereka bergantung pada perolehan dan opsi mereka untuk merencanakan diri mendapatkan wahyu.

Menurut Ibnu Sina tentang desain an-Nubuwwah bahwa, para Nabi atau Rasul ialah manusia yang paling utama. Tuhan menganugerahkan kepada mereka (Nabi) daya akal yang besar dan berpengaruh serta mempunyai daya suci. Dengan akal istimewa yang diperoleh tanpa lewat latihan, mereka dapat berafiliasi dengan nalar aktif dan mampu mendapatkan cahaya atau wahyu dari Tuhan. Bagi Ibnu Sina an-Nubuwwah  merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan. Pandangan ini menyatakan bahwa ajaran an-Nubuwwah ialah anutan manusia yang umum saja, punya nilai kebenaran namun juga memiliki kekurangan sebab sumber an-Nubuwwah bukan hanya berasal dari atas (Tuhan), namun juga berasal dari bawah (manusia atau masyarakat).  Oleh itu tugas yang agung dan Maha berat tersebut itulah tugas nubuwwah dan peran kerasulan di pikulkan ke atas segolongan insan pilihan Allah saja dan tidak dibagi-bagikan kepada seluruh manusia untuk diatur sesuka hati masing-masing sebagaimana Allah membagi-bagikan rezeki dan menetapkan kadarnya bagi setiap manusia.

  Daftar Kota Di Indonesia Menurut Jumlah Penduduk

Bahwa an-Nubuwwah  yaitu sebuah gelar atau anugerah yang tidak mampu dicari, yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba pilihan-Nya yang telah meraih manusia kamil (memiliki logika teoritis dan simpel) dengan cara memperlihatkan wahyu kepadanya. Seperti yang telah disebutkan dalam Al-Alquran: ”Itulah isyarat Allah, dengan itu Dia menawarkan isyarat kepada siapa saja di antara hamba-hamba-Nya yang Dia inginkan. Sekiranya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah amalan yang sudah mereka kerjakan. Mereka itulah orang-orang yang telah kami berikan kitab, pesan yang tersirat dan kenabian ” (al-An‟am: 88-89). An-Nubuwwah yaitu derajat tertinggi dan kehormatan yang diperoleh manusia dari Tuhan.

Kaprikornus, seperti yang sudah diuraikan di atas, bahwa gelar nubuwwah cuma diberikan kepada orang-orang tertentu saja, bukan terhadap sembarang orang. Terhadap dasar penerapan an-Nubuwwah  dapat kita lihat dalam argumen  bahwa Ibnu Sīnā mempercayai Nabi atau Rasul selaku delegasi Allah SWT. Dalam perkara ini penetapan kerasulan menurut Ibnu Sīnā ialah suatu kemestian bagi Tuhan untuk mengirim Rasul.

Ibnu Sīnā  berkeyakinan bahwa adanya para Rasul selaku delegasi Allah, masalah ini terlihat dari segi dasar penetapan hakikat an-Nubuwwah. Kaprikornus hakikat an-Nubuwwah  Ibnu Sīnā yakni memakai pendekatan filosofis dimana dia menandakan kemungkinan dapatnya para Nabi atau Rasul memperoleh  pancaran wahyu dari Tuhan. Pentingnya gejala nubuwwah dan wahyu dewa merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina sudah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan : intelektual, “imajinatif”, keajaiban, dan sosio politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang terang ihwal motivasi, watak dan arah ajaran keagamaan.

Tesa di atas menggambarkan bahwa bergotong-royong Ibnu  Sina telah terikat dengan keyakinannya kepada wahyu. Perkara  ini dapat dipahami dengan mengikuti sejarah hidupnya Ibnu Sina bahwa dia disebutkan dalam aneka macam sumber  telah menghafal al-Qur‟an sejak berumur sepuluh tahun. Oleh  sebab itu, iman Ibnu Sina terhadap wahyu telah ada dalam dirinya.

 

  1. Hakikat Risalah

Risalah Islam yaitu pesan-pesan Allah SWT yang terangkum dalam fatwa agama Islam sebagai tutorial jalan hidup (way of life) bagi umat insan. Secara harfiyah (etimologis), risalah berasal dari bahasa Arab yang artinya pesan atau message (Inggris). Pembawa risalah disebut rasul (messenger), delegasi, atau pembawa risalah.

Dalam konteks agama (Islam), ungkapan risalah dimaknai sebagai kerasulan, adalah para pembawa pesan dari Allah SWT (wahyu). Kata risalah dan rasul berakar dari kata yang serupa, ialah Ra-Sin-Lam. Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, kata yang berakar Ra-Sin-Lam terdapat 513 kali di dalam Al-Qur’an dengan aneka macam bentuk, 442 kali lainnya berkaitan dengan kerasulan pernyataan pokok-pokok dari sejumlah ayat tersebut, misalnya dalam Surat Yunus: 47, An-Nahl: 36, Al-Isra: 15, yang berbunyi:

Tiap-tiap umat memiliki Rasul, maka apabila tiba Rasul mereka, diberilah keputusan diantara mereka dengan adil dan mereka tidak di dzalimi sama sekali” (QS. Yunus: 47)

Dan bekerjsama sudah kami utus terhadap setiap umat seorang Rasul dengan ajakan: sembahlah Allah dan jauhilah taghut” (QS.An-Nahl: 36)

Dan tiadalah kami menyiksa suatu kaum sampai kami mengutus seoarang Rasul” (QS.Al-Isra: 15).

Dengan demikian, secara maknawiyah (terminologis), risalah adalah pesan yang diturunkan Allah SWT kepada para delegasi-Nya (rasul). Dalam konteks Islam, pesan yang dimaksud yakni Kalamullah berupa ayat-ayat Al-Quran yang menjadi sumber utama fatwa agama Islam. Risalah Islam sendiri berisikan kepercayaan, ibadah, dan akhlak, atau doktrin, islam, dan ihsan. Kata Islam, Muslim, dogma, ibadah, adab, iman, dan ihsan pun menjadi kata-keyword .





 

BAB III

PENUTUP

  1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan makalah ini yakni :

1)      Islam secara etimologi (bahasa) memiliki arti tunduk, patuh, atau berserah diri. Adapun menurut syari’at (terminologi) mengakui dengan ekspresi, meyakini dengan hati dan berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla atas semua yang sudah ditentukan dan ditakdirkan. Terdapat lima hakikat Islam berdasarkan Mohammad Natsir :

a.       Islam menghormati akal insan

b.      Menuntut ilmu wajib hukumnya

c.       Dilarang taklid buta

d.      Mendorong lahirnya penemuan dan pembaharuan

e.       Berpetualang

2)      Konstruk anutan perihal an-Nubuwwah  pada dasarnya, jikalau dilihat dari pandangan baru-inspirasi fundamentalnya para filosof, akan tampakselaku sinergi antara keberagamaan dan keilmuan. Artinya antara ajaran kepada doktrin normatif religius (agama) dan aliran rasional (filsafat).  Pemikiran wacana anNubuwwah berdasarkan jalan rasional, tanpa mereduksi faktor spiritualitas keagamaannya.  dengan berbagai argument-argumen yang pada satu sisi rasional dan pada sisi yang lain berdasarkan persepsi al-Qur’an untuk mencari titik temu.

3)      Secara harfiyah (etimologis), risalah berasal dari bahasa Arab yang artinya pesan atau message (Inggris). Dengan demikian, secara maknawiyah (terminologis), risalah yaitu pesan yang diturunkan Allah SWT kepada para utusan-Nya (rasul).

  

  1. Saran

Dengan dibuatnya makalah ini supaya mampu bermanfaat bagi para pembaca dan kami selaku pembuat makalah. Serta dengan dibuatnya makalah, kami meminta usulan kepada para pembaca untuk mengoreksi kalau ada kesalahan dalam sistematika penulisan dan isi pembahasan pada makalah.








DAFTAR PUSTAKA

Almanhaj. (2012, Januari 19). Retrieved from Almanhaj Web site: almanhaj.or.id

Aminuddin, J. d. (2011). Konsep An-Nubuwwah Dalam Diskursus Filsafat. Universiti Kebangsaan Malaysia, 199-208.

Hidayatullah. (2016, Juni 1). Retrieved from Hidayatullah Web site: www.hidayatullah.com

Risalah Islam. (2013, Oktober 6). Retrieved from Risalah Islam Web site: www.risalahislam.com

 

 

 

 

Disusun oleh :
– Fitria Nur Hasannah
– Hafidudin Riziq