Diantara banyak hal di stasiun, yg paling menjengkelkan pasti tatkala mengantre tiket. Apalagi, kalau di ujung barisan ternyata ada seorang wanita renta mirip Mak Darsih.
Betapa ia sangatlah lamban, utamanya tatkala menarik uang lembaran yg terselip di dompet koinnya. Bahkan, dijumlah pula di atas meja loket dgn tangan gemetaran sambil berulang-ulang menaikkan kacamatanya yg melorot. Antrean seketika menjelma menjadi barisan siput sawah.
Orang-orang di antrean saling menggerutu. Seorang laki-laki melipatkan tangan di dada, berjungkat-jungkit pula telapak kakinya mengetuk-ngetuk lantai seperti mengiringi waktu yg bergulir. Seorang ibu stres berat alasannya adalah bayinya merengek di dekapan. “Lama banget, sih!” katanya.
Mak Darsih tak peduli. Betul-betul tak peduli. Sepertinya alasannya ia 74 tahun, atau karena semua itu terjadi di balik punggungnya yg bungkuk.
Tak kunjung usai ia menghitung, sampai penjaga tiket di hadapannya menguap lebar. Lalu, seorang perempuan tiba-tiba menyebelahi.
“Aku bantu, Nek,” kata wanita itu, yg semula berdiri persis di belakang Mak Darsih, yg nanti memperkenalkan dirinya selaku Linda.
Selepas tiket terbeli, mereka berkenalan, & beriringan melintasi kemudian lalang orang-orang untuk mencapai bangku tunggu.
Jam bau tanah stasiun berdentang sekali, berdiri membelakangi dinding yg memisahkan loket & ruang tunggu. Dari barat, kereta barang melesat & membelah angin & meraung klaksonnya, seolah-olah meminta orang-orang biar menjauhi tepi-tepi rel kereta. Lantai stasiun bergetar dikala kereta itu melintas & meninggalkan aroma mesin yg tajam.
Mak Darsih bergeming, tapi tak lama setelahnya, ia jadi sering tolah-toleh & melempar pandang ke jendela berkaca nako di seberangnya. Selain garis-garis keriput & bintik-bintik hitam, Linda pula menangkap kecemasan pada raut paras Mak Darsih.
“Tolong titip sebentar, Mbak,” kata Mak Darsih sambil menepuk tas selempangnya yg tiarap di dingklik. Ia kemudian berdiri & melangkah ke arah jendela & mengamati hiruk pikuk jalan raya di luar sana.
“Cari apa, Nek?” tanya Linda sesudah Mak Darsih kembali duduk di sampingnya.
“Aku mencari, Yok, anakku.” Mak Darsih tersenyum saat menyampaikan itu. Ia kemudian menyeka keningnya dgn sapu tangan biru.
“Kalian kesepakatan berjumpa di sini?”
“Oh, tidak. Aku khawatir ia menyusul kemari.”
Percakapan hasilnya berjalan. Itu menggembirakan, khususnya bagi Mak Darsih, karena ia—sebagaimana lansia kebanyakan—memang gemar bercerita.
Mak Darsih ingin pulang ke Waru, desa pesisir yg letaknya di antara Tegal & Pemalang. Di desa itulah ia dilahirkan & berkembang selaku wanita matang. Bahkan, ketika menikah pun, sampai melahirkan Yok, ia masih setia tinggal di sana.
Yok, putranya, menghabiskan masa mudanya di Waru, tetapi sesudah menikah ia pindah ke Semarang. Sedangkan, Mak Darsih di Desa Waru cuma bareng suaminya— bapaknya, Yok. Suatu pagi di Desa Waru, setelah melalui malam biasa saja, Mak Darsih berdiri & merasa badannya sangat segar, tetapi suaminya tak pernah bangkit lagi. Semenjak itulah Mak Darsih tak pernah lagi bangun di kamar yg sama, karena Yok telah membawanya ke Semarang.
Dan bahu-membahu, Mak Darsih tak cuma berharap untuk pulang, melainkan pula menghabiskan sisa-sisa napasnya di desa itu. Ia sering membayangkan dirinya di teras rumah orang tuanya, duduk di bangku tua milik ayahnya dulu sambil menatap rumput terbaring di sepanjang bentangan tanah yg rampung pada pasir cokelat Pantai Trenggono.
Bila itu terjadi, pasti ia pula akan mencicipi betapa udara di Desa Waru sangatlah sejuk saat membelai lengannya yg kendur, pipinya yg melorot, & rambutnya yg sudah tipis & kelabu. Bersamaan dgn itu, ia akan mendengar desir angin beradu dgn gemerisik ranting-ranting pepohonan yg meliuk-liuk, rerumputan, & dedaunan kering yg terlempar-lempar, pula debur ombak.
Keinginannya untuk pulang senantiasa dihalangi oleh Yok. Maka itu, peluangnya yg terakhir—menghabiskan sisa usianya di Waru—membisu-diam ia sembunyikan di dlm benak.
Satu-satunya orang yg tahu keinginan itu bukanlah Yok, terlebih Marni, menantunya yg culas, namun malah Karyo, pedagang sayur keliling yg saban pagi di tepi gang buntu berteriak, “Sayur segar!” Itu sebuah mengambarkan bagi Mak Darsih untuk merapat ke pagar, mengintai dr kejauhan.
Seperti polisi di film India, sesudah ibu-ibu lain usai membeli, meninggalkan Karyo & gerobak sayurnya, barulah Mak Darsih timbul terakhir untuk mengambil belanjaan yg sudah ia pesan. Ia kemudian menawarkan secarik kertas pada Karyo; daftar belanjaan yg ditulis oleh Marni, menantunya, untuk diambil di pagi berikutnya.
“Dulu di Desa Waru, orang-orang tak pernah merasa miskin, padahal motor pun jarang punya. Setiap bapak, kalau bukan nelayan pasti petani. Sedangkan, seorang ibu selalu tinggal di rumah, mengawalanak-anaknya,” kata Mak Darsih pada Karyo ketika mengambil belanjaan.
Belum pula ceritanya tuntas, dr pagar rumah, seorang anak kecil memanggilnya, “Eyang Uti, Yana ngompol lagi!” Bergegaslah Mak Darsih lintang pukang kembali ke rumah.
“Setelah Ashar, gue & anak-anak desa yg lain akan tinggal di langgar. Kami mengaji bersama, kemudian berlarian di halaman langgar atau di pinggir pantai, tertawa-tawa di atas bahtera-perahu renta sambil melihat maritim, menyimak debur ombak.
Oh iya, guru ngaji kami berjulukan Pak Nawawi. ia cowok gagah dr kampung tetangga & senantiasa datang dgn sepeda jengki hitam nan tinggi. ia pujaan gadis-gadis Waru,” kata Mak Darsih pada Linda.
“Sepertinya menyenangkan, Nek,” kata Linda dgn suara lembut & ramah. Ia kemudian mengeluarkan dua bungkus roti dr tasnya. “Dimakan, Nek,” katanya.
Mak Darsih terdiam sambil memandang Linda dgn mata berair. Ia lantas menerima roti tersebut & mengajukan pertanyaan, “Kenapa wanita baik sepertimu seorang diri di stasiun?”
“Suamiku dipindah kerja ke Cirebon, Nek. Aku tidak mau seorang diri di Semarang. Aku lebih baik pulang ke Jakarta, bantu bantu ibu di rumah,” kata Linda. Karena sambil mengunyah roti, ia terdengar mirip bergumam.
“Beruntung sekali memiliki istri sepertimu,” kata Mak Darsih dgn bunyi kencang sebab ia mengunyah roti.
“Betul begitu, Nek?”
“Tentu saja. Marni bahkan tak pernah membantuku.”
“Siapa Marni, Nek?”
“Dia menantuku. Setiap pulang kerja, ia eksklusif masuk kamar. Padahal, jelas-terperinci gue sedang menjemur bajunya. Bahkan, gue yg menyuapi Yana & mengawasi Dito. Mereka cucuku. Ah, gue akan merindukan mereka,” kata Mak Darsih.
Ada kesedihan yg tersirat tatkala Mak Darsih menceritakan itu. Ia lalu melongo, terasa hampa matanya tatkala memandang langit di atas perkampungan di balik dinding belakang stasiun. Linda memperhatikannya sambil memperlambat gerak mulutnya yg tersumpal roti.
Ketika Mak Darsih akan menyeka mulut dgn sapu tangan biru, Linda mengeluarkan sebungkus tisu dr tasnya. “Pakai ini, Nek.”
Mak Darsih tersenyum, lantas mempesona selembar tisu.
“Ini kali ketiga gue menjajal pulang ke Desa Waru. Kali pertama & kedua, Yok & Marni datang ke stasiun, membawaku pulang ke rumahnya,” kata Mak Darsih, sambil memandangi jendela di seberangnya.
Linda hanya mendengarkan sambil sesekali melempar pandang keluar jendela. Mungkin ia pun penasaran pada Yok & Marni. Lalu, terdengar denting dr pengeras suara yg menempel pada pilar, menyusul suara wanita yg menyampaikan, Kereta Kaligung dalam waktu dekat akan tiba. Beberapa orang di ruang tunggu bersiap-siap, sisanya tetap duduk tenang, tergolong Mak Darsih.
“Kamu tahu, bahkan Marni tak membiarkanku membaca Alquran lama-lama selepas Maghrib. Ia merasa istirahatnya terusik. Yok yg melarangku, tetapi gue tahu bahwa Marni yg meminta. Begitulah. Rumah orang bau tanah yakni rumah anak, tetapi rumah anak belum tentu rumah orang tuanya, terutama bila memiliki menantu mirip Marni,” kata Mak Darsih.
“Lalu, nenek akan tinggal bareng siapa di Desa Waru?” tanya Linda.
Belum sempat terjawab pertanyaan itu, lantai tiba-tiba bergetar, terdengar pula klakson kereta meraung-raung. Kereta Kaligung dr timur melambat & berdecit & kesudahannya berhenti & orang-orang di ruang tunggu berdiri, lalu berdesak-desakan di pintu-pintu gerbong kereta.
“Terkadang gue heran kenapa mereka berebut pintu, bukankah setiap orang mendapatkan dingklik,” kata Mak Darsih. Saat pintu-pintu gerbong kereta mulai sepi, Mak Darsih beranjak dr dingklik tunggu, lalu merayapi lantai dgn langkahnya yg rentan.
“Hati-hati di jalan, Nek!” teriak Linda.
Mak Darsih menoleh ke belakang, melambaikan tangan sambil tersenyum kepadanya.
Ia lantas menapaki tangga kecil, kemudian memasuki pintu gerbong, sedangkan Linda di kursi tunggu menatap jendela kereta & masih sempat melihat kepala Mak Darsih berseliweran di antara penumpang lain. (*)