Mak | Cerpen Ihan Sunrise

Dalam tidurnya Sani mirip menyaksikan tampang Mak. Perempuan paruh baya itu meringis-ringis menahan rasa sakit, sambil berusaha menggapai-gapai bahunya yg tertidur tak jauh dr Mak. “Sani! Bangun! Sani, ambilkan minum untuk Mak. Mak haus…”

“Bangun!”

Sani terperanjat. Ia lebih terkejut ketika melihat seorang perempuan renta membungkuk di hadapannya. Tangan kanan perempuan itu masih menjamah pundaknya. Degup jantung Sani secara tiba-tiba tak beraturan. Siapa nenek ini?

“Kamu ketiduran, Nak. Sudah hampir pukul sepuluh malam, pulanglah,” ujar perempuan itu sambil melirik jam yg menempel di tembok masjid.

Sani secepatnya memulihkan kesadarannya. Kepalanya masih terasa pening. Ia mengedarkan persepsi ke seluruh ruangan. Lalu kembali tertuju pada wanita renta yg masih berbalut mukena di hadapannya.

“Terima kasih, Nek,” ujar Sani pendek. Ia mirip orang linglung. Tak tahu mesti menyampaikan apa.

“Nenek duluan ya.”

“Iya, Nek. Sekali lagi terima kasih sudah membangunkan saya.”

Nenek tersebut mengangguk & segera menghilang di balik pintu masjid.

Sani memasukkan Quran sakunya ke dlm tas, lalu melepas mukena. Ia kembali menyandarkan kepala ke dinding. Merunut peristiwa hari ini yg membuatnya sampai ketiduran di dlm masjid usai salat Isya tadi. Kepalanya terasa berat. Matanya terasa sembab.

Tak sukar untuk mengembalikan kenangan itu. Suara Mak yg terisak-isak di telepon sudah terekam dgn baik di memorinya. Sampai kapan pun akan sulit bagi Sani untuk menghapusnya. Akhir-tamat ini setiap kali meneleponnya, Mak pasti menangis. Rasa sakit yg Mak rasakan selama bertahun-tahun seolah mencapai puncaknya tahun ini. Bukan bertahun-tahun, tiga ahad lagi genap sebelas tahun. Sejak ayah meninggal dunia.

Setiap kali melihat nama Mak muncul di layar teleponnya, jantung Sani selalu bereaksi berlebihan. Rasa panik mendadak menyelimuti hati & pikirannya. Begitu pula pagi tadi. Sani baru saja selesai sarapan. Hmm, lebih tepatnya sarapan sekaligus makan siang karena sudah pukul sepuluh pagi.

  Wakyat | Cerpen Putu Wijaya

Baru saja Sani merapatkan punggungnya ke lantai untuk beristirahat, terdengar bunyi ponsel berbunyi. Dari Mak. Segera ia mengangkatnya. Belum selesai ia mengucapkan assalammualaikum, sudah terdengar bunyi tangisan Mak di seberang sana.

“Sani! Kepala Mak sakit! Sakit sekali! Mak sudah tak tahan, Sani!”

Sani menggigit bibirnya berpengaruh-berpengaruh. Reaksi alamiah tatkala seseorang berupaya menahan tangis yg dipendam. Sani menarik napas kuat-besar lengan berkuasa. Ia teguhkan hatinya.

“Bukankah malam kemarin Mak bilang sudah agak mendingan?” tanya Sani.

Sejujurnya Sani tak tahu mesti mengatakan apa. Kebingungan melingkupinya. Setiap kali Mak menghubungi ia memang lebih banyak diam, membiarkan Mak berkeluh-kesah & menceritakan semua uneg-unegnya. ia cuma menanggapi sesekali, dgn kata-kata yg sudah dipilihnya biar tak menyinggung perasaan Mak. Mak lebih sensitif akhir-tamat ini.

Selama hampir sebelas tahun ini, Sani menjadi saksi akan sakit yg diderita Mak. Sakit tak kasat mata. Orang-orang menyebutnya saket donya. Guna-guna. Teluh. Santet. Entah apalagi. Sani tak ingin mendefinisikan penyakit Mak & tak hendak yakin. Ini zaman terbaru, bahkan dunia sudah mau akhir zaman. Mana ada orang yg masih melakukan praktik-praktik sesat mirip itu dgn argumentasi apa pun.

Namun kian Sani berupaya untuk tak mempercayainya, seolah seluruhnya makin nyata. Mak tak kunjung sembuh. Tak terhitung berapa banyak orang yg sudah berusaha untuk ‘mengeluarkan’ penyakit yg sudah bersarang di badan Mak. Banyak di antara mereka menyerah.

“Dikuncinya seumur hidup. Syaratnya terlalu berat. Mungkin belum berjodoh obat dgn saya,” ujar salah seorang penyembuh yg pernah mengobati Mak.

Sani cuma bisa membesarkan hati Mak dgn memintanya bersabar. Mengatakan bahwa Allah tak akan menambah beban hamba-Nya dgn ujian yg tak sanggup dipikulnya. Sembari itu Mak pula tak pernah putus berobat ke rumah sakit. Sani khawatir zat-zat kimia dr obat-obatan itu akan mempunyai pengaruh lebih buruk lagi bagi kesehatan Mak nantinya.

  Pohon Hayat | Cerpen Mashdar Zainal

“Apa cobaan yg Mak rasakan ini masih belum cukup? Mengapa nasib Mak sungguh buruk, Sani. Kepedihan demi kepedihan yg Mak rasakan mirip tak pernah ada habisnya.”

Pernyataan sekaligus pertanyaan yg dilontarkan Mak suatu hari itu membuat Sani kehilangan kata-kata. Sani berupaya memahami perasaan Mak & menguatkan hatinya sendiri.

“Sakit!!! Mak tak sanggup menahan lagi, Sani…”

Suara tangisan Mak kembali menyadarkan Sani. Air matanya mulai berlinang. Bibirnya bergetar. Hatinya terasa nyeri, perih, seperti luka yg ditaburi garam. Anak mana yg sanggup mendengar jerit tangis ibunya mirip itu. Apalagi dlm kondisi berjauhan seperti ini. Seharusnya Sani ada di sana bersama Mak.

Di dikala-saat seperti itu Sani mirip terlempar kembali ke masa lalu. Ayahnya tiba-tiba sakit parah. Hanya dlm waktu tiga bulan ayahnya sudah pergi meninggalkan mereka semua. Sakit yg pula sulit dipahami Sani. Orang-orang menyebutnya guna-guna. Santet. Teluh. Entah apalagi.

Ayahnya seorang pedagang hasil bumi. Persaingan usaha yg tak sehat rampung pada terenggutnya nyawa ayah. Namun akhir hayat ayah sepertinya tak cukup bagi orang yg bacin hati tersebut. Tak lama setelah itu Mak mulai sakit-sakitan. Sampai detik ini. Para penyembuh itu bilang, seluruh keluarganya akan dibinasakan.

Sani tak yakin itu. Tak ada manusia yg bisa mendahului takdir Tuhan. Mak pun tak ingin yakin, namun dr ke hari ia merasakan tubuhnya makin ringkih. Lemah. Tubuhnya mirip dicucuk-cucuk paku & disayat benda-benda tajam. Pikirannya berantakan. Ia tak pernah lagi merasakan kebahagiaan. Harta benda yg ditinggalkan ayah satu per satu hilang. Ada saja cara semoga harta benda itu berpindah tangan dr keluarga Sani. Entah hilang, dijual, hingga terbakar.

Sani yg dikala itu masih terlalu muda belum siap kehilangan ayah. Keluarga mereka kehilangan nakhoda. Hingga akibatnya kapal itu sungguh-sungguh tenggelam. Gelap. Kini Sani lah satu-satunya rujukan keluarga. Menjalankan wasiat ayah untuk mempertahankan Mak & adik-adiknya.

  Teriakan Aluna | Cerpen Juniar Amalia

Namun dgn segala beban & keadaan Mak selesai-simpulan ini, Sani pun rasanya nyaris menyerah. Ia merasa kekuatan dirinya semakin tergerus. Ia merasa mirip lilin yg menjajal bertahan di tengah tornado. Cahaya lilin yg kecil & bergerak liar itu kian menggerus dirinya. Ia merasa rapuh seperti daun kering. Merasa tak mempunyai arti mirip bunga-bunga rumput yg diterbangkan angin.

Sani semakin erat dgn luka. Ia suka menyendiri. Namun itu membuatnya semakin memaknai keberadaan air mata. Membuatnya tak betul-betul merasa sendiri. Saat ia diliputi kesedihan, air mata senantiasa hadir untuk melegakan jiwanya. Ia sering menangis membisu-diam. Sani harus bisa mengobati lukanya sendiri. Sani tak pernah menangis didepan Mak. Namun entah mengapa, kali ini ia tak berhasil menahan gelegak emosinya. Sani terisak-isak di telepon.

“Jangan menangis, Sani.” Lirih bunyi Mak di seberang sana. “Jangan menangis…”

“Bagaimana Sani tak menangis, Mak. Anak mana yg tak terluka hatinya mendengar ibunya merintih kesakitan seperti itu. Anak mana yg rela menyaksikan orang tuanya menderita seperti itu. Sedangkan Sani tak bisa berbuat apa-apa.”

“Maafkan Mak, Sani. Seharusnya ananda yg berkeluh kesah pada Mak. Seharusnya Mak yg menghidupi kalian semua, bukan kau. Maafkan Mak…”

Tangis Sani kembali pecah. Sani tak sanggup lagi membendung emosinya. Ia mengeluarkan kalimat-kalimat pedas yg entah ditujukan pada siapa. Sani merasa frustrasi. Ketakutan. Tak berdaya. Rapuh. Seharian itu Sani merasa dirinya sangat semrawut. Ia menangis hingga tertidur alasannya capek. Dalam tidurnya ia mirip dihadiri ayah. Memintanya berhenti menangis. Menyuruh Sani pergi ke masjid renta di pinggiran kota.

“Pulanglah…”

Nenek tadi tiba-tiba timbul kembali di hadapan Sani. Sani kembali terperanjat. Lamunannya buyar.

“Nenek masih di sini?”

“Nenek tak akan pulang sebelum kau pulang, Sani.”

Sani merasa ada yg ganjil. (*)