CABAI-CABAI dlm cobek itu belum lagi lumat seutuhnya, tapi Tinah sudah meraupnya dgn tangan telanjang, lalu mengusap-ratakan ke wajah suaminya –yang sedang asyik menonton TV. Lelaki itu meraung, berjalan pontang-panting mencari air buat basuh muka. Segenap wajah & matanya bagai dicelup ke bara api. Panas amit-amit. Sementara Tinah bergegas pergi dr rumah itu sambil menuntun tangan anaknya yg cuma termenung.
“Kita akan pergi dr rumah ini! Tak usah balik!” dengusnya sarat emosi.
Sepanjang jalan menjauhi rumah itu, Tinah membayangkan, ada dinding-dinding yg ambrol. Dinding-dinding itu yakni kesabaran yg terus ia bangun dr waktu ke waktu. Sepanjang jalan menuju antah-berantah itu, Tinah menangis. Seakan seseorang tengah memberikan omelan ke mukanya: Kau menikahi laki-laki yg salah… Kau berada ditengah keluarga yg salah… Sementara anaknya akan tetap terdiam sepanjang waktu & akan tetap tak menggubris kemana pun Tinah bakal membawanya pergi.
Di dunia ini cuma Tinah yg peduli pada bocah itu. Bocah tujuh tahun yg gres menguasai beberapa perbendaharaan kata. Bocah tujuh tahun yg bahkan masih kesusahan menutup bibirnya sendiri. Sehingga ia sungguh-sungguh melongo hampir seharian. Mulutnya yg bagai pintu tak berdaun itu kerap menjadi bidikan utama tabokan suami Tinah. Dan meski ditabok, bocah itu tampaknya sudah kehilangan banyak ekspresi sejak dilahirkan, kecuali bengong, & sesekali menggumam.
Rumah itu mungil, cuma enam kali dua belas meter. Tanpa halaman, terasnya cuma diisi rak plastik yg berisi sandal-sepatu yg lebih kerap berantakan ketimbang tertata rapi. Tak ada pot bunga ataupun hijau-hijauan yg lain. Kali pertama menyaksikan rumah itu, Tinah merasa kurang sreg. Tinah tak menggemari rumah yg tak ada hijau-hijaunya. Tapi, garis nasib tampaknya memang menggiring Tinah ke tempat tinggal itu, menikah dgn laki-laki yg bertahun-tahun terakhir ia anggap sebagai lelaki yg salah.
Rumah mungil itu sebaiknya tak menjadi rumah yg begitu jelek seandainya penghuninya cuma Tinah & suaminya seorang, ditambah dgn bocah termenung itu pastinya. Tapi, Tinah tentu tak bisa berharap mirip itu. Sebab, rumah mungil itu bukanlah rumah suami Tinah, melainkan rumah mertua Tinah. Rumah yg tak mampu Tinah utak-atik sesuka hati. Dulu Tinah pernah menjajal merubah tata letak meja & bangku diruang tamu. Lalu, mertua Tinah, khususnya yg wanita, mengoceh tak reda-reda. Menyindir Tinah sebagai orang lancang yg suka menjamah barang yg bukan miliknya. Tinah pula pernah mencoba menaruh tiga pot bugenvil di teras rumah yg sempit itu. Tapi, kata mertua Tinah, bunga di teras rumah cuma akan mengotori teras, utamanya kalau daun-daunnya sudah kering & rontok. Pada hasilnya, tiga pot bugenvil itu Tinah pindah ke depan pagar, di atas got tertutup, dipinggir trotoar. Semenjak itu, Tinah tak sudi lagi mengganti atau menyentuh apa pun yg ada di rumah tersebut, kecuali ada perintah yg turun.
Di rumah itu banyak sekali perintah yg turun. Sampai-hingga kalau Tinah mau menghitungnya, alih-alih menuliskannya dlm sebuah daftar, perintah itu akan menghabiskan satu buku tulis kosong dlm sebulan. Tinah yakin begitu.
Rumah mungil itu dihuni enam kepala. Sepasang mertua Tinah yg bagai ratu & raja, suami Tinah yg berlagak bagai pangeran, serta kakak ipar Tinah, seorang perawan bau tanah—yang demi Tuhan, sama sekali tak mampu dipercaya. Tinah & bocah melamun itu sudah masuk dlm hitungan. Tinah pernah membayangkan, seandainya setiap orang menerima jatah ruang sekat di rumah itu, maka setiap orang cuma punya daerah satu kali dua meter. Tak jauh-jauh dr lebar liang kubur. Bisa dibilang begitu.
Di rumah itu tak ada yg bangun lebih pagi ketimbang Tinah. Dan, Tinah kadang merasa serba salah. Seisi rumah itu akan menyalahkan Tinah bila mereka telat kerja karena tak dibangunkan pagi-pagi. Disisi lain Tinah akan mendapat dampratan yg sama karena mengusik orang yg sedang yummy-lezat tidur. Suatu kali Tinah pernah menyarankan mereka untuk memasang weker dikamar masing-masing. Dan, kata mereka, “Wekernya ya ananda itu, tak bakal soak & tetep mampu bunyi meski tak pakai baterai,” sambil tergelak-gelak. Tinah ikut tergelak atau akal-akalan tergelak sebagai perumpamaan syukur bahwa mereka masih punya selera humor.
Di rumah itu hampir semua pekerjaan rumah dipasrahkan pada Tinah, mulai mencuci celana dlm mertua hingga menjemur kasur yg ketumpahan susu. Sebab, kakak ipar Tinah suka sekali bermain telepon genggam diatas kasur sambil makan biskuit celup & minum susu. Ditemani kucing putih kesayangannya. Tak jarang, perawan tua itu menaruh gelas susunya diatas seprai sambil terbahak-bahak sendiri menatap layar telepon genggam. Karena itu, sedikit saja kain seprai tersebut terpesona, susu dlm gelas eksklusif ambyar. Atau kalau tidak, kucing yg manjanya persis dgn sang majikan itulah yg akan menyenggol gelas susu. Apa yg lebih rumit dr susu yg tumpah diatas kasur? Tinah kerap mengumpat dlm hati, bagaimana mungkin dirinya mampu mempunyai ipar set*lol itu. Bahkan anak kecil sekalipun tak akan menaruh gelas susu diatas kasur. Dan kalau susu itu sudah menyiram kasur, perawan renta tersebut akan teriak-teriak, mengumpat kebodohannya sendiri, atau menyalahkan si kucing yg tak hati-hati, & kembali menyerahkan semua perkara rumit tersebut pada Tinah seorang.
Hanya satu pekerjaan di rumah itu yg tak dilaksanakan oleh Tinah: mengolah makanan. Lidah ibu mertua Tinah yaitu lidah perasa dgn sensor sempurna. Tidak ada kuliner yg boleh masuk ke ekspresi orang serumah kecuali cocok dgn lidahnya. Dan alasannya adalah itu, ibu mertua Tinah melarang Tinah menyentuh sayur-mayur & bumbu-bumbu, kecuali satu: meracik sambal. Orang serumah sepakat bahwa Tinah dilahirkan untuk mengulek sambal. Bahkan, ibu mertua Tinah mengakui bahwa sambal bikinannya satu tingkat dibawah sambal lumatan Tinah. Dan karena itu, dlm urusan meja makan, Tinah mendapat satu peran utama: mempersiapkan sambal.
Semua orang di rumah itu tak bisa makan tanpa pedas-pedas. Kalau tak ada pedas-pedas, Tinah bakal jadi bulan-bulanan kata-kata pedas. Sebentar saja sambal telat terhidang, orang-orang yg makan di depan TV itu bakal mengomel, mengatai Tinah lelet, tak bisa tangkas. Oh Tuhan, pikir Tinah, siapa yg menciptakan lantai rumah ini senantiasa kesat, menciptakan piring-piring senantiasa beraroma jeruk, menjadikan air dlm kolam mandi selalu bening. Kerap kali Tinah ingin mengusapkan sambal lumatannya itu ke wajah mereka semua, hingga rata. Wajah-wajah itu tentu jauh lebih bermanfaat andai kata menjadi cobek. Tempat cabai-cabai dilumat. Tempat segala pedas berpusat.
Tinah kerap mengajukan pertanyaan, kapan semua opera sambal yg menjemukan itu bakal berakhir. Dulu, tatkala hamil, Tinah sempat berpikir bahwa dongeng Upik Abu itu akan secepatnya berakhir setelah si jabang bayi lahir. Sepertinya orang-orang di rumah itu merindukan kedatangan bocah cilik. Tapi, begitu bayi itu lahir—dengan parasnya yg melamun—, orang-orang berpaling. Suami Tinah sendiri nyaris tak pernah menggendong si bengong, bahkan semasa si termenung masih bayi. Dan pada suatu hari yg tak pernah ingin Tinah ingat, suaminya pernah berseloroh dgn wajah datar, “Karma apa ini, dikasih anak kok ibarat lubang jamban begitu!”
Waktu itu spontan Tinah mengumpat suaminya selaku musyrik yg melecehkan ciptaan Tuhan. Mereka terlibat berkelahi ekspresi & ujung-ujungnya Tinah mendapat bonus tamparan di pipi. Rasa panas di pipi itu tak pernah hilang dr wajah Tinah, sampai kini.
Dua mertua Tinah pula sama, mereka tak pernah kesengsem dgn cucunya sendiri yg cuma mampu bengong. Kerap kali mereka melemparkan sindiran-sindiran ringan yg sangat menyakiti hati Tinah.
“Bocah apa ini? Sudah tujuh tahun kok bisanya cuma ha ho ha ho… Cucu si anu gres empat tahun tetapi sudah hapal doa mau makan, anak si anu belum genap tiga tahun malah sudah mampu mengurutkan abjad,” ujar ibu mertua Tinah.
Demi kata-kata itu, Tinah dijangkiti sulit tidur semalam suntuk. Hingga ia berpikir untuk mengulek verbal mertuanya sebelum benar-benar pergi dr rumah itu. Tapi, tentu saja Tinah masih terlalu waras untuk melaksanakan itu.
Suami Tinah sendiri adalah seorang guru olahraga. Meski cuma guru olahraga, pikir Tinah, guru tetaplah guru yg seharusnya pandai mempertahankan sikap & kata-kata. Tapi, lelaki itu tidak. ia bersikap begitu manis pada semua orang, terutama pada para gadis, tetapi tak pada istri sendiri. Satu hal lagi yg menciptakan Tinah kian muak pada suaminya, lelaki itu suka sekali menggoda tukang bakso yg biasa berhenti di depan rumah. Seorang gadis muda dgn tubuh sarat , berkeliling dgn gerobak bakso di atas jok motor. Suami Tinah kerap membangga-banggakan gadis itu. Katanya, masih muda, cantik, tetapi tak aib berkeliling jualan bakso. Salut. Calon istri idaman…
Tinah percaya sekali, mata suaminya sudah tertutup pantat bahenol si tukang bakso. Lelaki itu tak pernah mampu menyaksikan apa yg sudah dilakukan istrinya sendiri di rumah, mulai pagi hingga pagi lagi. Mendaki segunung pakaian kotor sampai menjilati susu tumpah diatas kasur. Mengilapkan setumpuk perkakas dapur sampai mengurus bocah luar biasa itu. Tinah bisa mengukur dgn terperinci tatapan mesum suaminya pada tukang bakso itu. Suaminya yg seorang guru olahraga.
Dinding kesabaran Tinah ambrol sore ini. Dan semua bermula dr sambal. Sepulang mengajar, lelaki itu celingak-celinguk menengok meja makan. Lalu tiba-datang menyerapahi Tinah. Sebab, di meja makan cuma ada nasi & tempe goreng. Ibu mertua Tinah tak mengolah makanan hari ini. Sebab, ia harus pergi ke saudara dgn suaminya & perawan tuanya. Tadi pagi ibu mertua Tinah sudah pesan, masak nasi saja di mesin penanak, tak usah masak lauk, goreng tempe boleh, tapi tak usah banyak-banyak. Sebab, mereka yakin, sore bakal pulang dgn banyak masakan. Dan Tinah cuma menjalankan titah tersebut. Akan tetapi, hingga sore tatkala suaminya pulang, mertuanya belum pula pulang. Dan kalau meja makan itu sepi, semua murni kesalahan Tinah.
“Jangan cuma mengurusi bocah bengong tak memiliki kegunaan itu, suamimu baru pulang kerja… Lapar! Apa saja yg sudah kamu kerjakan seharian di rumah? Ha? Meja makan bisa kosong melompong begini.”
Tinah tak menjawab. Sebab, sekali saja ia menjawab, umpatan lelaki itu akan menjadi-jadi. Sambil mendengar lelaki itu uring-uringan, Tinah masih saja berjibaku dgn muntahan kucing di sofa. Mana kucing brengsek itu? Tinah betul-betul ingin menyembelih kucing itu & menyajikan dagingnya diatas meja, tepat di paras lelaki yg berteriak-teriak tersebut.
“Kau tak punya telinga ? Sambal! Mana sambal?” lelaki itu menggebrak meja.
Entakan itu membuat bocah termangu yg menggelosor dilantai terhenyak. Tinah tak menghiraukan. ia masih saja sibuk mengepel sofa. Sampai laki-laki itu melempar gelas plastik –yang mendarat tepat di batok kepala Tinah. Membuat kepala Tinah ngilu berdenyut-denyut.
“Hei, tuli! Sekarang bikinkan suamimu sambal, lewati itu semua. Suamimu mau makan. Sambal! Sekarang!”
Tinah mendengus sejenak, meninggalkan lap berair diatas sofa. Bergegas ke lemari es. Meraup puluhan cabe –yang terasa begitu cuek di tangan Tinah, tanpa tomat, tanpa bawang merah, tanpa bawang putih.
Di dapur, Tinah membalikkan cobek yg tengkurap lantaran belum kering habis dicuci. Tinah menumpahkan semua cabe ditangannya ke lesung cobek. Tanpa mencucinya. Menyambar ulek-ulek. Dan menggerus cabai-cabe itu tanpa ampun. Penuh gurat emosi. Keringatnya bercucuran, air matanya berlinangan, menitis ke lesung cobek. Bersatu padu dgn lumatan paling pedas.
Belum lagi cabai-cabe itu lumat seutuhnya, Tinah sudah meraupnya dgn tangan, bergegas ke meja makan di depan TV, kemudian mengusap-ratakan lumatan cabe itu ke wajah suaminya. Lelaki itu meraung. Tinah tahu betul apa yg harus ia lakukan, ia mesti gegas, pergi dr rumah itu. Sebelum lelaki dgn lumatan cabe di wajah itu silih melumatnya.(*)