Lukisan Tertua Keraton Jogjakarta



Sebuah lukisan dengan sapuan tinta Cina menggambarkan seorang lelaki bangsawan berbusana a Lukisan Tertua Keraton Jogjakarta
Lukisan awal keraton Ngayogyakarta pada awal berdirinya tamat masa 18 karya Johannes Rach 


Sebuah lukisan dengan sapuan tinta Cina menggambarkan seorang lelaki aristokrat berbusana budpekerti Jawa. Dia berlengan panjang, berkain jarik, bertopi kuluk, dan di pinggangnya tersemat keris. Rambutnya yang panjang tampak digelung rapi. Bangsawan itu berlangsung didampingi seorang perempuan yang memberikan sekotak sirih, mungkin abdinya.

Mereka berjalan melintasi dua lapis pagar kayu tinggi menuju suatu lapangan, yang sekarang disebut selaku Alun-alun Lor. Dahulu kerap digunakan untuk pertunjukan rampogan hingga menghukum gantung para bromocorah.

Di depan mereka terlihat dua penjaga bertombak dan dua pohon beringin muda yang mengapit jalan lurus menuju bangunan pagelaran beratap tinggi. Di dalam bangunan itu telah menunggu serdadu-tentara yang duduk bersila. Lebih masuk ke dalam lagi, terlihat suatu singgasana sang Sultan.

Di atas lukisan itu tampak pita bertuliskan bahasa Belanda lama, Het Gezigt van het Dalem Sultan Sumatran Leggende op Het Eyland Groot Yava aan de Noord Oost Zyde. Sebuah suasana budaya Jawa di mata orang Eropa. Awalnya lukisan ini koleksi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, suatu komunitas penduduk seni dan ilmu pengetahuan di Batavia.

Lukisan itu karya seniman sohor Johannes Rach. Dia menggoreskan tinta cina dan air pada lembaran kertas yang didatangkan dari Belanda. Biasanya dia didampingi asisten dan seorang budak yang memayunginya saat di lapangan. Keunikan lukisan Rach ialah, dia tidak membuat bagan, tetapi cuma membuat garis perspektif untuk membantu menggambarkan ruang dan jarak.

Kini, lukisan masyhur dan bersejarah ini tersimpan di Perpustakaan Nasional, bab dari koleksi 202 lukisan Rach dan murid-muridnya yang dimiliki Indonesia. Sementara, Rijksmuseum Amsterdam, Belanda, hanya mempunyai 68 karya pelukis kurun VOC tersebut.

  Hambatan-hambatan rapat raksasa di lapangan ikada adalah

Rach adalah laki-laki asal Kopenhagen, Denmark. Pada usia 42 tahun beliau menjadi pegawai kesatuan penembak meriam VOC di Kastil Batavia, sekaligus merangkap selaku pelukis pemandangan topografi pada 1762-1783. Rumahnya sekitar Roea Malakka—kini Roa Malaka—Batavia. Banyak penguasa dan ningrat setempat yang memesan lukisan istana atau vila mereka kepada Rach.

Sulit memutuskan tahun berapa lukisan tersebut dibentuk, lantaran Rach tidak membubuhkan informasi tanggal pembuatannya. Namun, tampaknya Rach membuat lukisan itu sekitar 1757 sampai 1777.


Perkiraan tersebut berdasar bahwa bangunan Pagelaran dan Siti Hinggil—keduanya tampak pada lukisan Rach—telah akhir pada 1757. Sementara, tembok baluwarti yang mengelilingi keraton gres didirikan pada 1777—pada lukisan itu masih berupa pagar kayu.

Artinya, karya seni rupa ini merupakan lukisan tertua dan terlangka yang menggambarkan situasi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa permulaan berdirinya. Berdirinya kerajaan-kerajaan di Jawa nyaris selalu didahului oleh perseteruan saudara, pemberontakan, hingga campur tangan VOC. Di Jawa Tengah, perang perebutan takhta mahkota penerus ketiga sudah menyulut terpecahnya Kerajaan Mataram.

Perdamaian Giyanti yang ditandatangani pada 22 Rabiulakhir 1680 dalam kalender Jawa, atau 12 Februari 1755, sudah membagi kekuasaan Tanah Jawa menjadi Kasusunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Pembangunan bangunan inti Keraton Kasultanan Ngayogyakarta selesai pada 7 Oktober 1756, yang kemudian diperingati setiap tahunnya selaku hari jadi Kota Yogyakarta.

Kembali ke lukisan Rach, siapakah laki-laki aristokrat berbusana Jawa dan berkuluk yang berlangsung diiringi seorang abdinya itu? Mungkinkah itu Sultan Hamengkubuwana I, sang pendiri dan pitarah Kota Yogyakarta? (sumber)