Locus & Tempus Delicti

Ajaran kausalitas memiliki sejarah panjang dalam dunia aturan. Meski sebelumnya aliran kausalitas lebih populer dalam ranah ilmu wawasan alam dan filsafat, ketenaran kausalitas merentang dalam lintas disiplin ilmu khususnya ilmu aturan dan ilmu ekonomi. Berbeda dengan ilmu alam yang melihat kausalitas secara lazim, hukum menyaksikan hubungan kausalitas dari segi partikularistik. Hukum berfokus kepada apakah A mengakibatkan terjadinya kebakaran terhadap B, dan bukan apakah A menjadikan kebakaran saja. Dalam ilmu ekonomi dan hukum perdata, anutan kausalitas dipergunakan dalam membahas limitasi pertanggungjawaban atas kejahatan yang mengandung ketidakpastian kausal (causal uncertainty).
LOCUS DELICTI
Yurisprudensi mengenal tiga macam Teori Locus Delicti, yaitu :
  1. Teori tindakan materieel; tindakan madi.
  2. Teori alat atau instrument.
  3. Teori balasan.
Teori Perbuatan Materieel
Delicta commissionsi (delik-delik yang diwujudkan dengan tindakan aktif) kebanyakan terjadi di daerah dan waktu perbuatan (dader) merealisasikan segala komponen tindakan dan bagian pertanggungjawaban pidana (criminal liablility). Tempat dan waktu terjadi dellicta omission nis (delik yang hanya mampu diwujudkan dengan perbuatan passif atau tidak berbuat atau berbuat lain ketimbang yang diperintahkan oleh hukum pidana) terwujudnya ditempat dan waktu perbuatan sebaiknya berbuat  menurut perintah aturan pidana.
Misalnya sesorang saksi dipanggil oleh PN Makassar untuk memperlihatkan kesaksian dipengadilan pada tanggal 1 juni 2009, namun saksi tersebut tidak tiba pada hari itu, alasannya dianggapnya yakni tindakan tercela untuk timbul di Pengadilan. Maka ia mampu dipersalahkan melakukan delik yang tercantum dalm pasal 522 KUUH pidana. Tempat terjadinya delik yaitu di Makasar, alasannya di sanalah beliau tidak berbuat atau passif atau pun berbuat lain daripada dating di Pengadilan, sedangkan seharusnya ia tiba. Alasan ketidak datangannya bukanlah ialah alasan penghapus pidana.
TEORI ALAT
Azenwijes paard-arrest, H.R. pada tanggal 6 April 1915 (N.J. 1915, p. 427) memutuskan, bahwa tempat (locus delicti) terwujudnya delik yaitu daerah di mana alat (insrument) bekerja. Hoge raad di Nederland menganut ajran tersebut. Di Jerman, teori alat tersebut theorie der langen Hand  (hr.: teori wacana panjang), dan di Nederland disebut der leeer van het instrument (aliran wacana alat).
Pengertian alat, instrument, langen Hand, mampu berupa binatang, benda, bahkan orang yang tak mampu bertanggungjawab (misalnya orang yang sakit jiwa atau kanak-kanak yang belum mengetahui yang baik dan buruk).
Menurut usulan Hazwinkel-Suringa, bahwa teori alat berguna antara lain untuk melindungi kepentingan negara dari kepentingan orang gila Theorie v/h instrument, teori tangan panjang atau alat paling baik dipraktekkan kepada delik pers, dalam hal pengerjaan goresan pena yang mencemooh seseorang di dalam Negeri (pasal 310 s/d 319 dan 134 KUUH Pidana) menulis karangan di lur negeri dan mempergunakan percetakan di Indonesia untuk publikasinya.
Percetakan (kalau memennuhi persaratan pasal 62 ayat 1 KUUH Pidana) ialah alat/instrument, sedangkan pembuatanya berada di mancanegara. Pembuatan delik pers tersebuat barulah mampu dituntut di Indonesia, bila pembuatnya itu datang di Indonesia lalu ditangkap atau beliau diserahkan oleh negara gila, tempat orang yang menulis karangan (lembaga uitlevering = penyerahan tertuduh).
Contoh lain : Seorang warga negara Malaysia yang berada di wilayah Sabah (Malaysia) di erat perbatasan dengan Indonesia melepaskan tembakan senapan ke arah musuhnya berada di kawasan Indonesia, orang kena tembak tersebut meninggal dunia saat itu juga akhir luka berat yang mengakibatkannya mengeluarkan darah.
Ajaran tindakan materieel tidak mampu dipakai kepada kasus ini oleh Pengadilan Indonesia, sebab pembuat berada di Malaysia pada ketika melakukan perbuatan menembak. Juga masalah ini tidak dirangkum oleh asas nasionalitas passif atau asas pertolongan oleh karena delik pembunuhan ex pasal 338 dan 340 KUUH Pidana Indonesia tidak disebut di dalam pasal 4 ke 1 KUUH Pidana Indonesia.
Kalau pengadilan Indonesia hendak memidana pembuat itu, maka ia mesti menggunakan teori alat, sebab bekerrjanya alat terjadi di daerah Indonesia, sekalipun pemakai alat (senapan) itu berada di daerah Malaysia.
Teori Alat sudah dipakai H.R. dalam arrestnya tanggal 6 April 1915 (N.J. 1915 : 427) yang masalah posisinya yaitu sebagai berikut : pada waktu Perang Dunia Pertama (1915-1918) pemerintah menciptakan peraturan pidana yang melarang orang untuk memasukan kuda ke dalam kawasan Jerman. Seseorang penyelundup licik menyebrangi perbatasan negeri Belanda dan Jerman, sedangkan kuda yang akan diselundupkan ditinggalkannya di kawasan Belanda.
Dengan seutas tali pengikat itu, ia mempesona kuda itu ke dalam daerah Jerman. Di dalam hakim penyelundupan kuda ke Jerman itu menyatakan, bahwa dia tidak dapat di pidana, oleh alasannya pada ketika ia mempesona kuda beliau tidak berada di kawasan Belanda, namun di wilayah Jerman. H.R tidak membenarkan pembelaan penyelundupan itu dengan menyatakan, bahwa “seseorang dapat saja berbuat dengan menggunakan alat (tali) di sebuah kawasan lain dibandingkan dengan di mana orang itu berada”.
Kesimpulan : Delik terwujud di daerah di mana alat yang dipakai itu menuntaskan (uitwerking) delik.
Menurut Utrecht (1961 : 239), teori alat ialah perhiasan (aanvulling) teori perbuatan materieel.
TEORI AKIBAT
Kadang-kadang juga teori alat tak mampu menunjukkan penyelesain yang dikehendaki, alasannya adalah tidak ada alat yang digunakan. Juga teori tindakan materieel tidak dapat memecahkan dilema. delicti yakni daerah terwujudnya balasan. Dalam hal ini anutan alasannya adalah dan balasan memegang peranan.
Menurut Hazewinkel Suringan untuk delik-delik materieel, ialah yang mensyaratkan terwujudnya suatu akhir substantieel, teori yang paling cocok digunakan adalah teori balasan. Misalnya delik penipuan ex pasal 378 KUUH Pidana Indonesia. Akibat penipun yakni penyerahan barang oleh yang tertipu terhadap penipu disebabkan oleh salah satu upaya yang disebut di dalam pasal 378 : nama artifisial, martabat imitasi, tipu akal kancil atau rangkaian perkataan-perkataan bohong.
KUUH Pidana tidak mengatur perihal tempus dan locus delicti. Pada hakekatnya juga KUHAP (U.U. No. 8 Tahun 1981) juga tidak mengontrol segala exspressis verbis tempus dan locus delicti, namun memilih komptensi relative Pengadilan Negri. Ayat 1 pasal 84 KUHAP cuma menyatakan, bahwa “Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala kasus perihal tindakan melawan hukum yang dilakukan dalam daerah hukumnya”. Namun, ayat 2 memungkinkan juga Pengadilan Negeri yang bukan di daerahnya dilaksanakan tindak kriminal mengadili terdakwa yang bersangkutan kalu ia berdomisili, berdiam terakhir, ditemukan atau ditahan di kawasan aturan pengadilan negeri tersebut, dengan syarat bahwa sebagian besar saksi yang diundang lebih dekat daerah tinggalnya ketimbang tempat kedudukan pengadilan itu dijalankan. Ayat 2 tersebut memungkinkan tidak sesuainya teori locus delicti dengan kawasan diadilinya kasus tersebut oleh Pengadilan Negeri tersebut.
Berbeda dengan sebagian besar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Negara-negara, maka penulis mendapatkan bahwa Yugoslav Criminal Code (Official Gazette of the Federal People’s Republic of Yugoslavia No. 30 of July 29, 1959) menetapkan di dalam pasal 15, yang menjelaskan,bahwa:
       Ayat 1 menerangkan, bahwa delik diwujudkanya di daerah di mana pembuat sudah bertindak atau di daerah di mana ia berkewajiban untuk bertindak dan di kawasan di mana risikonya terwujud. Ketentuan ini sesuai dengan teori perbuatan materiel (yang menyangkut delicta commissionis dan delicta omissionis dan teori akibat, sedangkan teori  instrument tidak dapat ditemukan di dalamnya.)
       Ayat 2 menyangkut delik yang berupa percobaan (ex pasal 53 KUUH Pidana Indonesia), yang locus delictinya berganda, yang di mana pembuat sedang berbuat dan di mana balasan perbuatannya (percobannya) telah dan sseharusnya terwujud sesuai dengan kesengajaannya.
Ajaran perihal de meervoudige locus delicti, yaitu beberapa (lebih dari satu) tempat yang diterima sebagai daerah terwujudnya delik.
Dalam relasi ini perlu diperhatikan pendapan van Hamel (1927 : 212) yang mengemukakan, bahwa yang mesti diterima sebagai locus delicti, yakni :
  1.  Tempat seseorang pembuat (dader) sudah melaksanakan perbuatannya yang tidak boleh (atau yang dipereintahkan) oleh Undang-Undang Pidana.
  2. Tempat alat yang dipergunakan oleh pembuat bekerja.
  3. Tempat akhir eksklusif perbuatannya sudah terwujud.
  4. Tempat sesuatu akhir konstitutif sudah terwujud.
Patut dikemukakan bahwa baik KUUHP Pidana Indonesia, maupun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia (UU No.8 tahun 1981) tidak memperlihatkan penafsiran asli atau pemikiran tentang tempus dan locus delicti.Rancangan KUUHPidana tahun 1975 Lembaga Pembinaan Hukum Nasional tidak juga menguraikan temupus delicti, tetapi merumuskan locus delicti di dalam pasal 13. Yang berbunyi selaku berikut:
“Tempat tindakan melawan hukum yaitu tempat terlaksananya semua bagian-komponen tindakan melawan hukum”
Dari rumusan ini daptlah ditarik kesimpulan, bahwa delik dapat terwujud di luar daerah Negara Indonesia dalam hal semua unsure-komponen delik terwujud disana
TEMPUS DELICTI
Seperti halnya locus delicti KUUH  Pidana Indonesia dan juga sebagian besar Code Penal Negara-negara lain,tidak mengatur tentang tempus delicti. Hal itu diserahkan pada Ilmu Hukum Pidana dan praktek pelaksanaan aturan pidana.
Penentuan waktu tewujudnya delik formeel,adalah yang terwujud dengan melaksanakan perbuatan yang tidak boleh tanpa hal-hal sebagai berikut :
  1.  mengenaai pemalsuan atau perusakan mata duit,tenggang waktu mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan oleh si pembuat ;
  2.  tentang kejahatan tersebut dalam pasal 328,329,330 dan 333,tenggang waktu dimulai pada hari setelah orang pribadi terkena oleh kejahatan dibebaskan atau meninggal dunia.
Adalah masuk logika jika pembuat undang-undang pidana tidak saja mensyaratkan bahwa komponen-komponen delik mesti dirumuskan, namun  juga mesti  ditetapkannya waktu (tempus) dan daerah (locus) delik. Hal ini sungguh penting bagi tertuduh untuk mengetahui delik apa yang dituduhkan oleh Penuntut Umum, dan kapan dan di tempat mana delik itu dinyatakan terjadi, semoga supaya beliau dapat menyiapkan pembelaannya. Dan juga dalam putusan Hakim (bahkan juga dalam surat tuduan jaksa) waktu dan daerah delik mesti dimuat dalam bagian yang menampung hal-hal yang sudah terbukti menurut hakim.
Teori-teori yang mampu digunakan dalam tempus delicti               
Jonkers dikemukakan, bahwa untuk memilih tempus delicti, dikala terwujudnya  delik, maka teori-teori perihal locus delicti belaku juga. Hanya Jonkers (sama dengan Hazewinkel-Suringa) mengemukakan, bahwa untuk melengkapi ketiga klasifikasi teori tersebut, masih dibutuhkan satu teori atau fatwa lagi untuk mengatasi persoalan kesulitan penentuan waktu dan te,pat delik seperti telah dikemukakan oleh Hazewinkel-Suringa bahwa penembak yang mati lebih dahulu daripada yang ditembak.
Teori anutan keempat yakni de leer van de meervoudige locus  delicti en tempus delicti, ialah fatwa tentang kawasan dan waktu delik yang jamak. Dalam hal penembak mati  lebih dulu  dari orang yang ditembak, maka Jonkers berpendapat bahwa logislah jikalau ketika terwujudnya delik bertepatan dengan saat matinya korban dan dia tidak oke dengan usulan Vos yang menyatakan,bahwa  waktu delik yakni dikala pembuat melaksanakan perbuatan materiel. Kalau Vos mengambil argumentasi bahwa dapt terjadi,penembak lebih dahulu mati ketimbang yang ditembak, maka janggal juga jika dikatakan penembak  membunuh tertembak,sedangkan  yang ditembak masih hidup.
Maka Jonkers, berkesimpulan bahwa teori tempus dan locus delicti yang jamak (meervoudige tempus delicti) yang harus dipakai oleh hakim. Karena Hakim mampu menilai masalah demi masalah yang dihadapinya,dan untuk tiap perkara mampu diatasi sesuai dengan sifat terutama.

  Uncac Dan Pidana Mati Tipikor ; Sebuah Persoalan