Lemahnya Etika Pelayanan Publik Di Dalam Birokrasi
Misi pegawanegeri birokrasi adalah memberikan pelayanan sebaik-baiknya terhadap penduduk , dengan meningkatkan kualitas sumber daya insan, sehingga mampu menunjukkan kemakmuran dan rasa keadilan pada masyarakat banyak. Pelayanan yang mengacu terkait dengan prinsip-prinsip good governance, sebagaimana tuntutan reformasi yaitu untuk mewujudkan clean government dalam penyelenggaraan negara yang didukung prinsip-prinsip dasar kepastian aturan, akuntabilitas, transparansi, keadilan, profesionalisme, dan demokratis seperti yang dikumandangkan oleh World Bank, UNDP, United Nation, dan beberapa forum internasional lainnya.
Akan tetapi, dari beberapa sumber menunjukkan masih ada abdnegara birokrasi yang mengabaikan pekerjaan melayani, yang sebenarnya menjadi tanggung jawabnya. Hal itu, terlihat dari birokrasi sedang berada dan melakukan pekerjaan pada lingkungan yang hirarkis, birokratis, monopolis, dan terikat oleh political authority (Utomo, 2002). Keadaan ini yang membuat birokrasi menjadi membudaya yang rigid/kaku, ada di lingkungan yang cuma sebatas following the instruction atau mengikuti aba-aba. Juga dikarenakan ada di dalam tightening control atau mengencangkan kendali, maka birokrasi menjadi tidak mempunyai inisiatif dan kreativitas. Hal ini menjadi informasi lazim budaya birokrasi yang menghendaki balas jasa (Thoha, 2003). Budaya dan mental birokrat tersebut kontradiktif dengan pelayanan yang terkait untuk merealisasikan prinsip-prinsip good and clean government, dan kurang menempatkan penduduk selaku orang yang dilayani, dan justru sebaliknya.
Selanjutnya birokrasi sungguh penuhdengan banyak tugas dan fungsi, alasannya tidak saja terfokus terhadap pelayanan publik, namun juga bertugas dan berfungsi selaku motor pembangunan dan kegiatan pemberdayaan (public service, development and empowering). Akibatnya menimbulkan birokrasi selaku lembaga yang tambun sehingga menghemat kelincahannya.
Birokrasi di Indonesia hingga saat ini belum efektif. Para birokrat di mata publik mempunyai gambaran buruk dan condong korup. Mereka tidak dapat mengikuti situasi ekonomi, sosial, dan politik yang sedang meningkat yang menuntut adanya sikap dinamis dan terbuka. Waktu dan biaya yang tidak terukur yaitu cermin tidak profesionalnya kerja penopang birokrasi. Mereka masih melestarikan budaya birokrasi kolonial. Inilah budaya birokrasi kita dikala ini yang jauh dari kesan melayani penduduk . Perubahan kepemimpinan yang terjadi ditingkat nasional maupun daerah ternyata tidak bisa mendorong reformasi yang terarah dalam memperbaiki gambaran birokrat dan sistim birokrasi kita.
Para pejabat politik gres pun harus berkonflik atau berkolusi di bawahnya alasannya dominasi mereka yang begitu berpengaruh. Karenanya di kurun reformasi ini, pergeseran pejabat politik di level nasional maupun kawasan yang dimotori oleh partai politik baru dengan minimnya jaringan birokrasi, pasti selami mengalami resistensi tinggi.
Bureaucratism berdasarkan laporan World Competition Report Indonesia menduduki ranking 31 dari 48 negara. Dalam laporan tersebut Indonesia termasuk tinggi tingkat korupsinya. Selanjutnya, ada juga tentang pelayanan aparatur birorkasi untuk negara meningkat , di dalamnya termasuk Indonesia.
Faktor buruknya pelayanan pegawapemerintah birokrasi disebabkan oleh: 1) Gaji rendah (56%), Sikap mental pegawapemerintah pemerintah (46%), Kondisi ekonomi buruk pada umumnya (32%), Administrasi lemah dan kurangnya pengawasan (48%), dan lain-lain (13%). Persentase lebih dari 100% disebabkan ada respons ganda dari responden (Smith). Dengan demikian, maka dibutuhkan adanya reformasi birokrasi di Indonesia.
Kata reformasi hingga ketika ini masih menjadi idola atau primadona yang didambakan perwujudannya oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dalam rangka development, yang diarahkan pada terwujudnya efisiensi, efektivitas, dan clean government. Kita semua tidak menutup mata, bahwa situasi telah berganti, dunia sudah mengglobal, sistem dan nilai pun berganti dan juga berkembang.
Era globalisasi menyentak kita melakukan penyesuaian dan anutan yang strategis. Aktivitas reformasi selaku padanan lain dari change, improvement, atau modernization. Arah yang hendak diraih reformasi yakni, efficiency, effectiveness, dan responsiveness concern in their administrative system.
Khan (1981) memberi pemahaman reformasi selaku sebuah usaha perubahan pokok dalam suatu tata cara birorkasi yang bermaksud mengubah struktur, tingkah laku, dan eksistensi atau kebiasaan yang telah usang. Sedangkan Quah (1976) mendefinisikan reformasi selaku suatu proses untuk mengganti proses mekanisme birokrasi publik dan perilaku serta tingkah laris birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional. Dari pemahaman ini, maka reformasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada proses dan mekanisme, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan perilaku serta tingkah laris (the ethics being). Hal ini, berarti menyangkut urusan yang bersinggungan dengan authority atau formal power (kekuasaan).
Oleh alasannya adalah itu, 1) perlu fatwa pembenahan dan pengembalian fungsi dan misi birokrasi terhadap konsep, makna, prinsip yang sesungguhnya. 2) Birokrasi sebagai komponen pemerintah mesti dikembalikan lagi untuk hanya terkonsentrasi kepada fungsi, tugas prinsip pelayanan publik (public service). Dengan demikian, birokrasi akan menjadi lebih lincah dan jelas kinerja atau performancenya. Tidak saja kinerja organisasi atau lembaganya namun juga membuat lebih mudah untuk membuat performance indicators dari masing-masing pegawanegeri atau birokrat. 3) Untuk itu, perlu adanya kebijakan presiden melalui political will melakukan reformasi di bidang birokrasi, dengan melepaskan birokrasi dari fungsi dan tugas dan misi sebetulnya tidak tergolong dalam kewenangannya. 4) Tetapi juga untuk melepaskan birokrasi sebagai alat politik (netralitas), serta membebaskan birokrasi untuk bersinergi dan berinteraksi dengan customer’s oriented yang pada hakikatnya yaitu kepentingan pelayanan untuk penduduk .
Birokrasi dan Pelayanan Publik Pro-kontra revisi UU No.22/1999 sudah mencuat menjadi tentang publik. Disinyalir pelaksanaannya dapat melahirkan disintegrasi bangsa, kurang terkontrolnya kawasan, serta provinsi dan sentra menjadi powerless. Namun sayangnya, hal-hal yang bersifat teknis luput dari perhatian. Dalam menyongsong otonomi tempat setidaknya ada 4 hal teknis yang perlu disediakan yakni 4 P: pembiayaan, prasarana, partisipasi penduduk , dan personil.
Penyiapan SDM baik kuantitas dan kualitas (pendidikan, ketrampilan, mental) mesti dilaksanakan. Keempat hal teknis tersebut lupa disediakan, sehingga implementasi dari UU tersebut menjadi sedikit semrawut. Penggalian dan pembangunan 4 P mampu dilakukan dengan baik dan perlu adanya prasyarat tata cara birokrasi yang sehat. Dalam goresan pena ini, penulis mencoba menyoroti faktor sistem birokrasi di daerah yang perlu dibenahi.
Pada abad pemerintahan Orde Baru, sistem birokrasi kita tidak terang, dan condong menjadi forum politik dibandingkan dengan lembaga administratif. Sehingga birokrasi menjadi forum upeti, minta dilayani- bukan sebaliknya yang semestinya melayani publik. Untuk itu, refleksi kesejarahan birokrasi mampu dijadikan tonggak, bagaimana tata cara birokrasi tersebut harus dibentuk. Birokrasi menurut Martin Albrow digunakan semenjak tahun 1745 oleh Vincent de Gounnay untuk menandakan pemerintahan Prusia. Birokrasi lahir sempurna pada waktunya, tatkala pemeliharaan ketertiban dan ketenteraman dan lalu upaya untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan menempati prioritas pertama. Penerangan desain ini berjalan secara luas dan berkembang di negara industri di Eropa dan Amerika. Birokrasi yang secara etimologis berarti ‘kekuasaan di belakang meja’ atau meminjam definisi Lance Castle ialah “orang-orang digaji yang berfungsi dalam pemerintahan”. Dalam kacamata awam birokrasi yakni abdnegara pemerintah (pegawai negeri), yang dalam jargon Korpri selaku abdi negara (yang melayani negara) bukan selaku abdi rakyat (civil servant) yang melayani masyarakat. Birokrasi juga dapat diartikan sebagai government by bureaus, ialah pemerintahan biro oleh personil yang diangkat oleh penguasa. Kadangkala birokrasi diartikan selaku pemerintahan yang kaku, macet, dan segala tuduhan yang negatif terhadap instansi yang berkuasa (red tape).
Rasanya kurang afdol jika kita membicarakan birokrasi tanpa menyinggung Weber. Walaupun bahu-membahu Weber secara eksplisit tidak mendefinisikan birokrasi. Birokrasi rasional oleh Weber dibebankan dengan birokrasi patrimonial. Pada pengertian pertama, birokrasi yang dimaksud memisahkan secara tajam antara kantor dan si pemegang jabatan, keadaan yang sempurna untuk pengangkatan dan kenaikan pangkat, hubungan otoritas yang disusun secara sistematis antara kedudukan, serta hak dan kewajiban yang dikelola dengan tugas. Sedangkan birokrasi patrimonial, kedudukan dan tingkah laku seluruh hirarki sebagian besar bergantung pada hubungan personal-kekeluargaan atau patront-client. Birokrasi yang paling rasional apalagi dahulu mempersyaratkan proposisi-proposisi menurut legitimasi dan otoritas, serta mempunyai ciri-ciri selaku berikut:
- Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya mengerjakan tugas-peran impersonal jabatan mereka.
- Ada hirarki jabatan terperinci.
- Fungsi-fungsi jabatan diputuskan secara tegas.
- Para pejabat diangkat berdasarkan suatu perjanjian .
- Mereka dipilih dengan kualifikasi profesional.
- Memiliki honor dan pensiun.
- Pos jabatan yaitu lapangan kerja pokoknya.
- Terdapat struktur karir dan promosi atas dasar merit tata cara dan keunggulan.
Apa yang dikemukakan Weber tentang birokrasi rasional merupakan forum administratif belaka. Secara fungsional birokrasi dalam sebuah negara diharapkan dan memiliki kegunaan memperlancar urusan-masalah pemerintahan dan pelayanan publik. Birokrasi menerima konotasi konkret. Sedangkan berdasarkan pandangan Marx, The bureaucracy had eventually become a caste which claimed to posess, through higher education, the monopoly of the interpretation of the state’s interests. Style birokrasi pada abad Orde Baru mirip dengan sinyalemen Marx di atas, yang memonopoli interpretasi atas kebenaran, ideologi, dan simbol-simbol negara. Meminjam ungkapan Karl D.Jackson model birokrasi Orde Baru disebut bureaucratic polity yang salah satu cirinya yaitu bahwa suasana politik memilih diri dan otonom vis a vis lingkungan domestik. Politik terwujud selaku kompetisi antara bundar birokrat-birokrat tingkat tinggi berpangkat tinggi dan perwira-perwira militer. Kepolitikan birokrasi ini menurut Crouch dicirikan oleh 3 hal, adalah forum politik yang lebih banyak didominasi ialah birokrasi ; Parlemen, parpol, kalangan kepentingan berada dalam kondisi lemah tanpa bisa mengendalikan birokrasi ; massa di luar birokrasi secara politik yaitu pasif.
Apa yang dikemukakan oleh Jackson dan Crouch di atas, tidak terlepas dari seni manajemen Soeharto dalam menjaga kekuasaan selama 32 tahun dengan jalan mengkooptasi kekuatan nonnegara berada dalam kendali dirinya lewat legitimasi UU, pengebirian UUD 45, Keppres, serta mengucilkan dan menjebloskan kelompok oplosan. Sehingga monopoli kekuasaan berada di tangannya. Kekuasaan Soeharto dan birokrasi selama 32 tahun tanpa terkontrol, balasannya adalah kasus mega KKN serta, mental abdnegara yang bobrok.
Setelah kita bicara birokrasi secara makro-politis, maka sekarang kita akan membicarakan secara mikro-administratif, yang dikaitkan dengan pelayanan publik. Telah menjadi diam-diam umum bahwa pelayanan lazim di instansi pemerintah selama ini lamban, ruwet, tidak efisien, dan bahkan menyebalkan karena banyak calo yang berkeliaran. Kita lihat di samsat, di loket stasiun misalnya, calo yang ada tidak pernah mampu diberantas, malahan dilindungi sebab menghadirkan fulus. Hal ini memberi kesan bahwa birokrasi kita adalah mirip ‘benang kusut’, akhirnya masyarakat enggan berhadapan dengan birokrasi. Inilah sebuah paradoks birokrasi kita, yang justru tidak mendinamisasi penduduk . Maka pelayanan publik selaku fungsi utama Birokrasi mendesak untuk dibenahi dan dibarengi dengan law enforcement yang tegas.
Sekadar untuk menengok pelayanan publik secara formal, maka berdasarkan keputusan Menpan nomor 81/1993 pelayanan publik ialah segala bentuk pelayanan umum yang dilakukan oleh instansi pemerintah di sentra, di daerah, dan di lingkungan BUMN/D dalam bentuk barang dan jasa, baik dalam pemenuhan kebutuhan penduduk maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-seruan. pelayanan publik menuntut tata laksana, mekanisme kerja, tata kerja, sistem kerja, wewenang, biaya, dll. Secara ideal pelayanan lazim yang dijalankan mesti sedapat mungkin mendorong kreativitas, prakarsa, serta tugas serta masyarakat dalam pembangunan. Hubungan pegawanegeri dengan masyarakat yang patront-client harus diubah menjadi hubungan produsen-konsumen, atau govenrment-citizen di mana penduduk merupakan primary stakeholder.
Tuntutan masyarakat sejalan dengan demokratisasi dan perkembangan teknologi, maka pelayanan publik dituntut lebih efisien, serba cepat, computerised, transparansi, komunikatif. Birokrasi terbaru mengemban misi fairer, faster, better and cheaper. Untuk ke arah itu tata cara mesti dibenahi, dituntut pegawanegeri yang mempunyai skill yang memadai, ramah, berpengetahuan luas, serta ditunjang alat yang canggih. Tanpa itu semua sukar rasanya birokrasi kita mengantisipasi tuntutan pelayanan publik masa-masa mendatang.
Birokrasi kita perlu mengganti orientasi dari ‘dilayani’ ke ‘melayani’ demikian pula orientasi negara perlu diubah dari ‘beamstenstaat’ ke ‘peoplestate’. David Osborn dan Ted Gaebler dalam “Reinventing Government” menyarankan adanya pergeseran orientasi pemerintahan di antaranya: pemerintahan lebih bertindak selaku pengarah dibandingkan dengan pelaksana, memberdayakan penduduk untuk melayani diri daripada memonopoli pelayanan, berorientasi pada hasil daripada input, lebih mementingkan keperluan penduduk luas ketimbang birokrasi, menyesuaikan dengan pergantian permintaan pasar, desentralisasi diperluas untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Perubahan orientasi itu perlu bahkan mesti, semoga birokrasi kita bisa menciptakan public good dan public interest atau high quality public goods and service.
Kalau orientasi birokrasi tidak berganti, maka akan timbul ekses-ekses seperti ‘immobilism-inability’ to functio’ (hambatan dan ketidakmampuan melaksanakan fungsi-fungsi secara efektif) ‘takenism’ (pernyataan sikap mendukung secara terbuka, tetapi sebetulnya cuma melaksanakan partisipasi minimal dalam pelaksanaannya), maupun ‘procrastination’ (bentuk partisipasi dengan mutu pelayanan diturunkan). Dalam realitasnya sumbangan pelayanan oleh Pemerintah Daerah kepada masyarakat cenderung birokratis, dan inefesiensi. Jumlah personil birokrasi “unskilled over loaded”. Fenomena tersebut menjadikan beberapa duduk perkara yang berkenaan dengan pelayanan publik, di antaranya:
- Masalah akuntabilitas pelayanan publik.
- Masalah opsi pemasokpelayanan (choices).
- Pengadaan pelayanan yang kompetitif.
- Desentralisasi administrasi.
- Kualitas Pelayanan
Dari tataran teoritik di atas, maka ada beberapa gosip pokok yang dapat dijadikan agenda dalam rangka memajukan pelayanan pemerintah kawasan terhadap penduduk :
1. Identifikasi dan standarisasi pelayanan pemda.
2. Peningkatan kinerja pelayanan pemda.
3. c.Peningkatan akuntabilitas pemda dalam pelayanan.
4. Peningkatan metode monitoring dan penilaian pelayanan.