Lelaki yang Tubuhnya Habis Dimakan Ikan-Ikan Kecil | Cerpen Mashdar Zainal

Ketika itu, ia masih tiga tahun. Hampir saban sore gue menggendongnya menuju pantai, kawasan di mana sampanmu lazimditambatkan. Aku berdiri dgn kaki tanpa ganjal, terendam pasir, terjilat pengecap ombak. Pada hari-hari yg melalui, di kawasan yg sama & pada waktu yg sama, gue senantiasa menantikan titik hitam muncul dr garis batas antara langit & bahari. Berkedip-kedip diguyur matahari sore. Titik hitam yg perlahan mengembang menampakkan wujudnya sebagai suatu sampan. Sampan kecil yg setia. Dengan kamu di dalamnya. Serta sebuah jala bau tanah yg selalu kuyup.

Hingga sore itu, sampanmu pulang dgn limpahan ikan—berbaga jenis & ukuran, yg tak bisa kuhisab jumlahnya, namun tanpa tuan. Tanpa tuan.

Dua belas tahun kemudian, tatkala ia telah berumur lima belas tahun, ia mengikuti jejakmu. Ia mulai bersampan untuk pertama kalinya. Pergi ke tengah maritim, seorang diri. Hari itu, gue begitu khawatir. Terbayang suatu senja dgn sampan sarat ikan, yg berenang ke tepian tanpa tuan. Aku takut, kisah kehilangan dua belas tahun silam itu terulang. Lepas dr itu, selama ini ia tak pernah melaut seorang diri. Ia hanya ikut-ikutan saja jadi buruh nelayan. Seperti pula remaja-remaja pesisir sebayanya. Dari satu bahtera ke perahu lain, bantu-bantu sekadarnya, dgn upah yg pula sekadarnya, cuma cukup buat jajan.

Seringkali ia berujar dgn murung, bahwa ia sudah cukup besar untuk pergi melaut sendiri, dgn perahu milik sendiri, dgn jala milik sendiri. Tak peduli sekecil apapun perahu itu. Lantas menghasilkan ikan sendiri. Tak peduli meski itu cuma seekor ikan teri.

Kerap kubisikkan padanya, “Dengar, Nak, suatu dikala, jikalau datang waktunya, kau akan pergi melaut dgn perahumu sendiri, sebagaimana para laki-laki remaja pergi melaut dgn perahunya sendiri. Namun, untuk itu, kau harus banyak berguru…

“Dengar, Nak, laut tak setenang tampaknya. Butuh kemampuan & nyali yg cukup untuk mengarunginya. Dan kamu bisa mempelajari itu dr bahtera-bahtera tempatmu bantu-bantu itu, dr orang-orang yg sudah menelan terlalu banyak rasa asin di lautan. Sejatinya, kamu sangat beruntung. Pada mereka kau belajar, & kau dibayar…”

Dan kata-kataku rupanya tak mempan untuk meredam gelegak kelelakiannya yg mulai matang. Dari hari ke hari ia makin bersikeras, katanya, “Mak sudah mulai tua, upah Mak sebagai buruh di pengeringan ikan tak akan cukup untuk menyanggupi keperluan sehari-hari. Sudah saatnya gue menggantikan bapak, bekerja & mengorganisir emak, bukan sebaliknya.”

Dan pagi itu, dgn wajah mengkilap, kulihat ia menyeret sampan kecil milikmu. Sampan setia yg telah mati suri selama dua belas tahun. Ia berjibaku seorang diri memperbaiki sampan kecil itu. Berbekal palu, paku, serta kayu-kayu bekas yg ia mampu entah dr mana. Hampir sepanjang hari ia menciptakan suara gaduh di belakang rumah. Jelang petang, ia menuntunku ke buritan seolah ingin menunjukkan kejutan.

  Jalan Sunyi Kota Mati | Cerpen Radhar Panca Dahana

“Lihatlah!” serunya. Dan sampan lawas itu, meski nyaris tak ada bedanya dgn sebelumnya, terlihat sudah siap untuk digiring melaut. Sebuah jala renta dgn benang senar yg telah diperbarui pula telah siap untuk dijabar. Rantainya yg karatan bergemerincing menjamah tanah.

“Semuanya akan dimulai dr sampan & jala ini,” ungkapnya penuh harapan.

Esok harinya, ia pun pergi, dgn jala tersampir di bahu. Dengan langkah tak terpatahkan ia menyeret sampan itu. Menyisakan jejak panjang di atas pasir. Setiap jengkal langkah & gerak tubuhnya yg merapat ke bibir pantai mengingatkanku padamu.

“Tak usah terlalu keras pada diri sendiri, kau masih berlatih. Jangan bersampan terlalu jauh, pulanglah bila merasa lelah,” pesanku di antara gemerisik ombak.

Ketika sampan itu mulai berayun-ayun di atas pengecap ombak, bersimpangan dgn bahtera-perahu lain, tubuhku berguncang sebentar. Seolah telah siap digempur kehilangan untuk kedua kali. Kulihat ia tersenyum tiada lepas, melambaikan tangan, lalu mendayung ke tengah laut. Menjelma titik kecil yg hilang di garis batas antara langit & laut.

Hari itu, nyaris setiap jam gue berjingkat ke lepas pantai. Dengan perasaan khawatir tiada dua. Tatkala matahari telah mencodongkan bayang-bayang rindang ketapang ke arah timur, gue melihat titik hitam kecil di batas garis antara langit & laut. Titik kecil hitam yg mengembang menampakkan wujudnya sebagai sampan kecil dgn seorang anak lima belas tahun di dalamnya. Aku bersorak girang melihatnya pulang. Aku tak peduli, bahkan seandainya ia tak membawa ikan sama sekali. Ini adalah hari pertamanya melaut. Seorang diri. Dan satu-satunya hal yg kuharapkan ialah ia cepat kembali. Dan ia kembali. Bahkan lebih singkat dr yg kubayangkan.

Ketika sampan itu sampai ke bibir pantai. Bocah itu berseru lantang & melompat dr dlm sampan. Ikan-ikan seperti berjatuhan dr tubuhnya.

“Lihatlah! Semua berkat bapak! Semua berkat bapak!” serunya. Tubuhnya berkilapan & menguarkan wangi bahari yg begitu pekat.

Aku melongok ke dlm sampan, & di dlm sampan itu terlihat ikan-ikan aneka macam jenis & ukuran berserak, berlompatan, menggelepar, melimpah ruah.

“Aku hampir saja karam, sebab sampannya terlalu mungil untuk memuat ikan sebanyak itu,” imbuhnya dgn wajah berbinar.

Orang-orang berhamburan mendekati sampanmu yg kini sudah menjadi sampannya. Pemandangan mirip itu—sampan kecil dgn ikan melimpah di dalamnya, nyaris tak pernah ditemui orang. Nelayan kecil dgn sampan kecil tak mungkin bisa menangkap ikan sebanyak itu. Pemandangan seperti itu terlihat untuk terakhir kalinya dua belas tahun silam. Saat kamu pergi & cuma memulangkan sampan.

  Monolog Angka | Cerpen Whani Darmawan

“Bagaimana kau menangkapnya?” seru riuh sahabat-temannya.

Bocah itu menjawab dgn besar hati, “Aku cuma melemparkan jala, & tatkala gue mengangkatnya, ikan-ikan itu sudah tersangkut begitu saja di sana.”

“Aku tak percaya, melaut tak mungkin semudah itu!”

“Menurutku ini yaitu balas kecerdikan ikan-ikan atas kebaikan bapakku,” serunya kemudian.

Barangkali orang-orang menganggapnya selaku bocah pembual. Bukankah mampu saja, seorang nelayan dgn perahu besar melihatnya terimbak-imbak di tengah laut dgn jala bobrok yg tak mungkin menciptakan apapun, lantas nelayan itu merasa kasihan & menuangkan sejumlah ikan ke sampan kecilnya.

“Aku yakin, ikan-ikan itu cuma membalas akal. Kata bapak, ikan yaitu makhluk yg tahu balas kecerdikan,” ungkapnya lagi.

Barangkali orang-orang tak akan paham dgn apa yg ia maksudkan. Tapi gue secepatnya paham. Cerita itu. Cerita itu barangkali sudah menjamur dlm kepalanya. Telah ia percayai sebagai suatu insiden aktual di masa silam. Mendekati sebuah legenda.

Dulu, selepas kau menghilang, ia kerap memintaku menceritakan kisahmu sebelum tidur. Ke mana kau pergi? Mengapa kamu tak pernah pulang? Dan gue pun mengarang dongeng itu. Cerita wacana lelaki yg tubuhnya habis dikonsumsi ikan-ikan kecil. Orang-orang menceritakan sebuah kebenaran padanya, bahwa bapaknya hilang dikala melaut, barangkali tenggelam oleh angin ribut. Tapi ia tak pernah memercayai kisah orang-orang. Ia lebih memercayai ceritaku…

Kusampaikan padanya, bahwa kamu takkan mungkin pergi tanpa alasan. Kau tak hilang begitu saja. Tidak pula karam oleh angin kencang. Kau cuma pergi untuk memberi makan ikan-ikan kecil yg ada di lautan. Ikan-ikan kecil yg kurus & kelaparan. Tatkala itu, musim memburuk, & ikan-ikan mirip menghilang begitu saja dr peredaran. Hasil tangkapanmu, atau tangkapan siapapun, tak pernah memuaskan. Berhari-hari kamu pergi melaut, pulang menjelang malam, & cuma menenteng beberapa ekor ikan.

Maka kamu berkata padaku, “Ikan-ikan menghilang, mereka tak ingin menghampiri jala, cuma ada ikan-ikan kecil yg berenang di permukaan. Ikan-ikan yg kecil, kurus & terlihat lapar. Tatkala tanganku kucelupkan ke permukaan air, ikan-ikan itu mengerubuti & memakan tanganku sedikit demi sedikit, mulai dr daki yg melekat hingga pecahan kulit yg paling tipis… Tak ada rasa sakit, hanya ada rasa geli yg menyenangkan.”

Lantas, semenjak kisah pertama ihwal ikan-ikan kecil itu, kau pun terus pergi ke bahari. Bukan untuk menangkap ikan, tetapi untuk memberi makan ikan. Ikan-ikan kecil.

Dari waktu ke waktu, ikan-ikan itu pun perlahan menjadi gemuk. Dan kamu sudah begitu setia memiara mereka. Dan mereka sudah begitu setia menunggu tubuhmu. Setiap kali pulang melaut, kamu selalu kehilangan penggalan tubuhmu. Karena ikan-ikan itu sudah memakannya sedikit demi sedikit. Tanpa rasa sakit. Hanya rasa geli. Mulai dr jemari tangan kiri, kemudian jemari asisten. Lalu lengan cuilan bawah, lalu lengan kepingan atas. Lalu jemari kaki, kemudian betis. Dan seterusnya, & seterusnya… Membuat tubuhmu aus & susut.

  Suatu Hari didalam Metro Mini | Cerpen Fanny J Poyk

Ikan-ikan itupun makin besar & gemuk, lalu beranak pinak. Dan tubuhmu pun semakin kurus, makin habis. Lalu, pada hari tatkala tubuhmu habis dimakan ikan-ikan, kau berpesan kepadaku, “Mungkin hari ini gue tak akan plang. Jadi jangan pernah menungguku. Jangan pernah mengkhawatirkan aku. Sisa tubuhku ini akan menjadi kenduri bagi ikan-ikan kecil, hingga habis. Sampai ikan-ikan itu menjadi sungguh-sungguh gemuk & kekenyangan. Selama berabad-abad, sejak pertama kali ikan diciptakan, ikan-ikan telah memberi makan begitu banyak anak insan, dgn tubuhnya. Termasuk nenek moyang kita, para nelayan. Kini, saatnya gue membalas kebijaksanaan mereka, memberi makan belum dewasa ikan. Dengan tubuhku…

“Kelak ikan-ikan yg kuberi makan itu pun akan menginformasikan para keturunan mereka untuk membalas budiku. Memberi makan anak cucuku. Ikan yaitu makhluk yg tahu balas kebijaksanaan. Kelak, sehabis tubuhku habis tak bersisa. Anak cucuku tak akan pernah kelaparan. Mereka tak akan pernah kekurangan ikan. Jala-jala mereka akan dihampiri ikan-ikan, & sampan-sampan mereka akan dilimpahi ikan-ikan.”

Lantas, gue kembali pada cerita yg sesungguhnya. Cerita perihal sebuah senja dgn sampan kecil yg berenang ke bibir pantai. Sampan kecil berisi sarat ikan. Sampan kecil tanpa tuan. Sampanmu seorang.

Sejak hari pertama pergi melaut & pulang dgn segunung ikan, ia kian bersemangat. Setiap pagi & petang pekerjaannya cuma menyelidiki sampan & memperbaiki jala. Lalu pergi melaut lagi esok paginya, & pulang dgn tangkapan ikan yg tak pernah sedikit. Dengan hasil tangkapan yg lumayan itu, ia bisa membeli sampan yg lebih layak. Membeli jala yg lebih lumrah. Bahkan ia bisa membangun kakus & merenovasi rumah papan yg selama puluhan tahun nyaris tak tersentuh perbaikan.

Bocah itu begitu membanggakan, ia sudah berdiri di atas cita-citanya untuk mengorganisir & menghidupi emaknya di usia senja. Hingga di usianya yg ke tujuh belas, sempurna tujuh belas hari selepas hari kelahirannya, sebuah sampan penuh ikan berenang ke bibir pantai. Tanpa tuan. Sampan itu ialah sampannya.

Sehari sebelumnya, salah seorang nelayan mengatakan, sebelum senja betul-betul turun, & beberapa nelayan yg pulang sore mulai menepikan perahunya, ia memergoki bocah itu tengah melongo di atas sampan yg bergoyang ringan. Satu tangannya dicelupkan ke permukaan bahari. Tatkala ditanya apa yg sedang dilakukannya, bocah itu menjawab dgn seruan, “Aku sedang memberi makan ikan-ikan kecil.” Dan nelayan itu bersumpah, ia memang melihat ikan-ikan kecil—yang tak terhitung jumlahnya, tengah berenang di permukaan bahari. Mengerubuti tangannya.

Sejak hari itu, ia tak pernah pulang. Tak pernah pulang.(*)