Mardanu mirip pada umumnya lelaki, bahagia bila dipuji. Tetapi final-tamat ini ia merasa risi bahkan mirip terbebani. Pujian yg menurut Mardanu kurang berdalih sering diterimanya. Tatkala bertemu teman-teman untuk mengambil duit pensiun, ada saja yg bilang, “Ini Mardanu, satu-satunya teman kita yg uangnya diterima utuh karena tidak punya utang.” Pujian itu sering diiringi acungan jempol. Tatkala berolahraga jalan kaki pagi hari mengelilingi alun-alun, orang pun memujinya, “Pak Mardanu memang andal. Usianya tujuh puluh lima tahun, tetapi tubuh tampak masih segar. Berjalan tegak, & kedua kaki tetap kekar.”
Kedua anak Mardanu, yg satu jadi pemilik kios kelontong & satunya lagi jadi sopir truk semen, pula jadi materi kebanggaan, “Pak Mardanu sudah tuntas mengangkat anak-anak hingga semua jadi orang berdikari.” Malah seekor burung kutilang yg dipelihara Mardanu tak luput jadi materi kebanggaan. “Kalau bukan Pak Mardanu yg memelihara, burung kutilang itu tak akan demikian lincah & cerewet kicaunya.”
Mardanu tak mengetahui kenapa hanya karena uang pensiun yg utuh, tubuh yg sehat, anak yg mapan, bahkan burung piaraan menciptakan orang sering memujinya. Bukankah itu hal biasa yg siapa pun mampu melakukannya bila mau? Bagi Mardanu, pujian cuma patut diberikan pada orang yg sudah melaksanakan pekerjaan hebat & berguna dlm kehidupan. Mardanu merasa belum pernah melakukan pekerjaan seperti itu. Dari semenjak muda hingga menjadi kakek-kakek ia belum berbuat jasa apa pun. Ini yg menjadikannya menderita alasannya adalah kebanggaan itu mirip menyindir-nyindirnya.
Enam puluh tahun yg kemudian tatkala bersekolah, dinding ruang kelasnya digantungi gambar para satria. Juga para tokoh bangsa. Tentu saja mereka telah melaksanakan sesuatu yg hebat bagi bangsanya. Mardanu pula tahu dr dongeng orang-orang, pamannya sendiri ialah seorang pejuang yg gugur di medan perang kemerdekaan. Orang-orang sering memuji mendiang paman. Cerita ihwal sang paman kemudian dikembangkan sendiri oleh Mardanu menjadi bayangan kepahlawanan; seorang pejuang muda dgn bedil bersangkur, ikat kepala pita merah-putih, maju dgn gagah menyerang musuh, kemudian roboh ke tanah & gugur sambil memeluk bumi pertiwi.
Mardanu amat terkesan oleh kisah kepahlawanan itu. Maka Mardanu kemudian mendaftarkan diri masuk tentara pada usia sembilan belas. Ijazahnya cuma Sekolah Menengah Pertama, & ia diterima sebagai prajurit tamtama. Kegembiraannya meluap-luap tatkala ia terpilih & mendapat peran sebagai penembak artileri pertahanan udara. ia berdebar-debar & melelehkan air mata tatkala untuk kali pertama dilatih menembakkan senjatanya. Sepuluh peluru besar akan menghambur ke langit dlm waktu satu detik. “Pesawat musuh niscaya akan meledak kemudian rontok bila terkena tembakan senjata yg mahir ini,” senantiasa demikian yg dibayangkan Mardanu.
Bayangan itu sering terbawa ke alam mimpi. Suatu malam dlm tidurnya Mardanu mendapat perintah siaga tempur. Persiapan cuma setengah menit. Pesawat musuh akan datang dr utara. Mardanu melompat & menjangkau senjata artilerinya. Tangannya berkeringat, jarinya lekat pada tuas pelatuk. Matanya memandang tajam ke langit utara. Terdengar derum pesawat yg segera timbul sambil menabur tentara payung. Mardanu mempesona tuas pelatuk & ratusan peluru menghambur ke angkasa dlm hitungan detik. Ya Tuhan, pesawat musuh itu mendadak oleng & mengeluarkan api. Terbakar. Menukik & terus menukik. Tentara payung masih berloncatan dr perut pesawat & Mardanu mengarahkan tembakannya ke sana.
Ya Tuhan, tiga parasut yg sudah mengembang secara tiba-tiba kuncup lagi kena terjangan peluru Mardanu. Tiga prajurit musuh meluncur bebas jatuh ke bumi. Tubuh mereka pasti akan luluh-lantak begitu terbanting ke tanah. Mardanu hampir bersorak tetapi tertahan oleh kedatangan pesawat musuh yg kedua. Mardanu memberondongnya lagi. Kena. Namun pesawat itu sempat menembakkan peluru kendali yg meledak cuma tiga meter di sampingnya. Tubuh Mardanu terlempar ke udara oleh kekuatan ledak peluru itu & jatuh ke lantai kamar tidur sambil mencengkeram bantal.
Ketika tersadar Mardanu kecewa berat; kenapa peperangan hebat itu hanya ada dlm mimpi. Andaikata itu kejadian kasatmata, maka ia sudah melaksanakan tugas besar & hebat. Bila demikian Mardanu mau dipuji, mau pula mendapatkan penghargaan. Meski demikian, Mardanu senantiasa mengenang & mengawetkan mimpi itu dlm ingatannya. Apalagi hingga Mardanu dipindahtugaskan ke bidang administrasi teritorial lima tahun kemudian, perang & serangan udara musuh tak pernah terjadi.
Pekerjaan administrasi yakni hal biasa yg begitu datar & tak ada nilai istimewanya. Untung Mardanu hanya empat tahun menjalankan peran itu, kemudian tanpa terasa masa antisipasi pensiun datang. Mardanu mendapat peran gres menjadi anggota Komando Rayon Militer di kecamatannya. Di desa kawasan ia tinggal, Mardanu pula bertugas menjadi Bintara Pembina Desa. Selama menjalani peran teritorial ini pun Mardanu tak pernah menemukan kesempatan melaksanakan sesuatu yg penting & berarti hingga ia pada umur lima puluh tahun.
Pagi ini Mardanu berada di becak langganannya yg sedang meluncur ke kantor pos. ia mau ambil uang pensiun. Kosim si abang becak sudah ubanan, pipinya mulai lekuk ke dalam. Selama mengayuh becak napasnya terdengar megap-megap. Namun seperti biasa ia mengajak Mardanu bercakap-cakap.
“Pak Mardanu mah bahagia ya, tiap bulan tinggal ambil duit banyak di kantor pos,” kata Si Kosim di antara tarikan napasnya yg berat. Ini pula kebanggaan yg terasa menenteng beban. ia jadi ingat selama hidup belum pernah melaksanakan apa-apa; selama jadi tentara belum pemah terlibat perang, bahkan belum pula pernah bekerja sekeras tukang becak di belakangnya. Sementara Kosim pernah bilang, dirinya sudah mujur bila sehari mendapat lima belas ribu rupiah. Beruntung, karena ia sering mengalami dlm sehari tak mendapatkan serupiah pun.
Masih bersama Kosim, pulang dr kantor pos Mardanu singgah ke pasar untuk membeli pakan burung kutilangnya. Sampai di rumah, Kosim diberinya upah yg menciptakan tukang becak itu tertawa. Kemudian terdengar kicau kutilang di kurungan yg tergantung di kaso emper rumah. Burung itu senantiasa berperilaku bila didekati majikannya. Mardanu belum menaruh pakan ke wadahnya di segi kurungan. ia ingin lebih lama menikmati tingkah burungnya; mencecet, mengibaskan sayap & merentang ekor sambil melompat-lompat. Mata Mardanu tak berkedip menatap piaraannya. Namun secara tiba-tiba ia harus menengok ke bawah sebab ada sepasang tangan mungil memegangi kakinya. Itu tangan Manik, cucu wanita yg masih duduk di Taman Kanak-kanak.
“Itu burung apa, Kek?” tanya Manik. Rasa ingin tahu terpancar di wajahnya yg sejati.
“Namanya burung kutilang. Bagus, kan?”
Manik diam. ia tetap menengadah, matanya terus memandang ke dlm kurungan.
“O, jadi itu burung kutilang, Kek? Aku sudah usang tahu burungnya, tapi baru kini tahu namanya. Kek, gue bisa nyanyi. Nyanyi burung kutilang.”
“Wah, itu manis. Baiklah cucuku, cobalah menyanyi, Kakek ingin dengar.”
Manik bangkit membisu. Barangkali anak Taman Kanak-kanak itu sedang mengingat cara bagaimana guru mengajarinya menyanyi.
Di pucuk pohon cempaka, burung kutilang bernyanyi… Manik menyanyi sambil menari & bertepuk-tepuk tangan. Gerakannya lucu & menggemaskan. Citra dunia anak-anak yg amat menawan. Mardanu kesengsem, & tertarik. Nyanyian cucu terasa merasuk & mengendap dlm hatinya. Tangannya gemetar. Manik terus menari & menyanyi.
Selesai menari & menyanyi, Mardanu merengkuh Manik, dipeluk & direngkuh ke dadanya. Ditimang-timang, lalu dikirim ke ibunya di kios seberang jalan. Kembali dr sana Mardanu duduk di bangku agak dibawah kurungan kutilangnya. ia lama bengong. Berkali-kali ditatapnya kutilang dlm kurungan dgn mata redup. Mardanu gelisah. Bangun & duduk lagi. Bangun, masuk ke tempat tinggal & keluar lagi. Dalam pendengaran terulang-ulang suara cucunya; Di pucuk pohon cempaka, burung kutilang bernyanyi….
Wajah Mardanu menegang, kemudian mengendur lagi. Lalu perlahan-lahan ia bangun mendekati kurungan kutilang. Dengan tangan masih gemetar ia membuka pintunya. Kutilang itu seperti biasa, berperilaku elok bila didekati oleh pemeliharanya. Tetapi sesudah Mardanu pergi, kutilang itu menjulurkan kepala keluar pintu kurungan yg sudah menganga. ia seperti galau berhadapan dgn udara bebas, tetapi akhirnya burung itu melayang ke arah pepohonan.
Ketika Manik tiba lagi ke rumah Mardanu beberapa hari kemudian, ia memperoleh kurungan itu sudah kosong.
“Kek, di mana burung kutilang itu?” tanya Manik dgn mata membulat.
“Sudah kakek lepas. Mungkin sekarang kutilang itu sedang bareng temannya di pepohonan.”
“Kek, kenapa kutilang itu dilepas?” Mata Manik masih membulat.
“Yah, biar kutilang itu bisa bernyanyi di pucuk pohon cempaka, seperti nyanyianmu.”
Mata Manik makin membulat. Bibirnya bergerak-gerak, namun belum ada satu kata pun yg keluar.
“Biar kutilang itu mampu bernyanyi di pucuk pohon cempaka? Wah, itu hebat. Kakek jago, hebat banget. Aku suka Kakek.” Manik melompat-lompat gembira.
Mardanu tertegun oleh kebanggaan cucunya. Itu pujian pertama yg paling enak didengar & tak membuatnya menderita.
Manik kembali berlenggang-lenggok & bertepuk-tepuk tangan. Dari mulutnya yg mungil terulang nyanyian kegemarannya. Mardanu mengiringi tarian cucunya dgn tepuk tangan berirama. Entahlah, Mardanu merasa amat lega. Plong.