Lelaki bau tanah itu duduk di dingklik paling belakang suatu bus jurusan Surabaya-Yogyakarta. Ia sudah tua, meski belum terlalu renta. Wajahnya tirus. Kulitnya gelap. Kuku-kuku tangannya jarang diiris & kotor. Janggut & alisnya beruban. Giginya kuning-kuning & mulutnya anyir tembakau. Ia mengenakan kopiah hitam yg warnanya sudah kemerahan. Bajunya gombal. Celananya gombal. Dan ia mencangklong tas kain murahan warna hijau renta—yang sepertinya isinya pula cuma gombal.
Tanpa saya minta, ia mengumbar dongeng pada saya. Ia bilang berasal dr Sukodono, Sidoarjo, mau pergi ke Jogja, menyusul anak gadisnya yg minggat ikut pacarnya. Anak satu-satunya. Ia bilang, sudah nyaris sebulan anaknya belum pulang. Bilangnya mau cari kerja di Jogja. Ia ditawari bisnis di Jogja sama pacarnya. Ia bilang mirip menggerutu, semua itu gara-gara hape.
Semenjak dibelikan hape, anaknya ke mana-mana bawa hape, makan bawa hape, ke kamar mandi bawa hape, bahkan tidur pun ngeloni hape. Sebab hape itu pula si anak kenal sama pacarnya yg tinggal di Jogja. Kenalnya melalui pesbuk atau apa namanya. Dan sejak mampu pacar tampan dr hape, anaknya senantiasa melawan kalau dikasih tahu. Disuruh bersih-bersih rumah, malas. Disuruh jaga lapak sayur di pasar, malah ngomel-ngomel. Kalaupun mau jaga, matanya terus melotot lihat hape.
Akibatnya gak ada yg mau mampir beli sayur. Akibatnya sayur-sayur busuk. Dimarahin malah ganti murka. Hapenya diminta malah murka membabibuta, bapaknya gak diajak bicara selama tiga hari, hingga dibela-belain pecah simpanan sama utang-utang duit temannya buat beli hape baru. Setelah beli hape gres malah pergi ke Jogja. Bapaknya ditinggal dhewean di kampung. Kalau ibunya masih ada pasti bakal mati berdiri lihat anak gadisnya dugal mirip itu. Untung ibunya sudah tak ada.
Setelah melamun beberapa jenak, dgn sangsi, lelaki bau tanah itu mengeluarkan hape dr saku celana.
Dia tunjukkan hape merek China itu pada saya. Ia bilang, alamat pacar anaknya yg di Jogja mungkin ada di hape itu. Pasti ada di situ. Soalnya anaknya menyinggung soal pergi ke Jogja sebelum beli hape gres yg duitnya utang-utang itu.
Ia mengaku tak terlalu paham bagaimana memakai hape. Ia memerintahkan saya menyalakan hape itu, melihat-lihat, & mencari alamat rumah pacar anaknya. Saya balik tanya, alamat itu disimpan di mana? Dan ia balas, pokoknya alamat itu ada di dlm hape. Ia pula bilang hape itu boleh saya otak-atik.
Sayang, hape yg diserahkan pada saya itu rupanya hape mati. Saya sampaikan, mungkin baterainya sudah habis & perlu dicas. Saya tanya, apakah ia menenteng kabel cas. Ia bilang tak tahu apa-apa soal kabel cas. Sejurus kemudian ia mirip mengingat-ingat, lalu ia berujar di rumahnya memang ada kabel kecil pendek yg dibeli bareng hape itu. Tapi ia tak membawanya. Hape ini tak mampu nyala kalau tak diisi listrik, kata saya. Ia manggutmanggut, sambil mengawasi hape yg sudah berpindah ke tangannya.
Setelah itu ia membisu, tangannya melambailambai ke lubang AC di atas kepalanya. “Anginnya keluar terus dr sini,” gumamnya. Setelah itu ia bersedekap & memejamkan mata.
Saya percaya ia tak tidur. Sebab saya menyaksikan air mata meleleh dr dua mata tuanya yg terpejam akal-akalan tidur itu. Saya terus memandangi wajah bau tanah yg terpejam di samping saya, & diam-membisu saya mengutuki anak gadisnya. Demi pacar yg baru dikenal lewat hape ia rela meninggalkan orang tua yg waktu kecil sudah merawat & menceboki. Balas budi macam apa itu?
Karena tak ada pembicaraan apa pun, saya menentukan memejamkan mata. Membayangkan diri saya menjadi laki-laki tua yg ditinggal anak gadisnya pergi demi pacarnya. Mungkin itu sangat menyakitkan.
Bus berhenti di Stasiun Madiun, saya turun. Dan laki-laki tua itu masih saja memejamkan mata sambil bersedekap damai. Mulutnya menganga. Saya tak berupaya membangunkan, sebab takut itu akan menganggunya.
Selepas turun dr bus, tak henti-henti saya membayangkan bagaimana kisah lelaki bau tanah itu berikutnya. Apakah ia akan sampai di Jogja & menemukan anaknya dgn bekal hape mati? Ataukah ia bakal tersesat di suatu daerah & jadi gelandangan? Apakah anak gadisnya masih mau mendapatkan kalau laki-laki itu menemukannya? Atau barangkali anak gadisnya pula kena tipu oleh pacarnya? Atau barangkali, anak gadisnya cuma mengarang, bekerjsama ia tak pernah punya pacar & ia tak pergi ke Jogja atau ke mana pun?
Atau mampu jadi, lelaki bau tanah itu cuma mengarang dongeng soal anak gadisnya yg pergi ke Jogja mengikuti pacarnya? Tapi bagaimana dgn hape mati itu? Bukankah bisa saja itu hape hasil mencopet atau nemu entah di mana.
Kepala saya pusing menimbang-nimbang alternatif cerita epilog untuk lelaki bau tanah dlm bus yg ditinggal anak gadisnya itu. Maka, kesannya saya memilih untuk mengembalikan cerita itu ke kisah semula: ia memang sedang pergi ke Jogja menyusul anak gadisnya yg durhaka dgn bekal hape mati.
Dan, inilah simpulan kisah yg kemudian saya putuskan: lelaki renta itu tak akan pernah bertemulagi dgn anak gadisnya, sebab setelah ia bersedekap & memejamkan mata, ia tak pernah bangun lagi.
Rasanya mati yaitu ending yg lebih mudah & lebih baik baginya, dibandingkan dengan mesti menghadapi bermacam kemungkinan & rasa sakit yg berlarut-larut. (*)