Lelaki Penggali Kubur Cerpen Budi Setiawan

Empat dr lima wanita yg jatuh cinta padanya seketika menjauh begitu tahu lelaki itu penggali kubur. Sepertinya pekerjaan & cintanya selalu memiliki kisah yg seram.

Ada yg seketika minggat, dgn wajah pucat, seakan menyaksikan mayat. Ada pula yg malu-malu menolak, dgn memberikan banyak argumentasi yg tak masuk logika, kemudian memblokir kontaknya diam-diam.

Pernah ia bercerita sudah usang menjalin asmara dgn seorang wanita, janda kaya beranak tiga. Perempuan itu bantu-membantu tak pernah mempersoalkan apa pekerjaannya. Ia merasa lega balasannya ada pula yg bisa menerima. Namun begitu mulai serius membahas perkawinan, & laki-laki itu mencoba menerangkan pekerjaannya pada ketiga anaknya, wanita itu eksklusif ketakutan. “Aku sih cinta, asalkan ananda berhenti melakukan pekerjaan sebagai penggali kubur,” katanya.

Namun ia yakin, akibatnya cinta yg lahir dr keterpaksaan tak akan pernah bisa bareng : jikalau seseorang itu tak mau menerimamu apa adanya. Dan mereka pisah.

Beberapa handai tolan menyalahkan, menganggapnya gila sudah menyia-nyiakan potensi menjadi orang kaya pada usia sudah berkepala tiga. “Jodoh itu ada di tangan Tuhan,” jawabnya.

Ah, jodoh itu kita yg memilih, seloroh kawan-kawannya. Mengingat itu semua, ia sering tersenyum: menggali kubur ternyata lebih mudah ketimbang menghadapi hati perempuan. Karena menggali kubur cuma jatuh cinta pada kekasihnya, maut.

Tentu saja ia tak pernah punya cita-cita berprofesi selaku penggali kubur. Ayahnya yg buruh tani, suatu sore mengabarkan tuan tanahnya meninggal dunia. Lalu ayahnya membisikinya soal wasiat tuan tanah itu.

Tak mungkin ia melalaikan wasiat yg disampaikan ayahnya. Setiap kali ke rumah, tuan tanah itu selalu berpesan pada ayahnya. “Nanti kalau maut menjemput saya, tolong bilang pada anakmu buatkan saya liang kubur.” senantiasa itu yg ayahnya ucapkan berulang-ulang. Bahkan ia rela membayar di muka dua kali lipat dr harga biasa. Orangnya memang banyaomong, namun lucu, suka bercerita abstrak. “Kamu yg buat saya mampu tenang tatkala Izrail datang.”

“Menjadi buruh tani sejak kecil, ia sudah begitu jago, namun untuk menggali kubur supaya orang merasa damai dgn kematiannya, itu tak praktis. Saya mampu minta tolong pada orang lain, namun beda kalau ananda yg buat, Gus. Saya percaya di tanganmu ada semacam doa yg mampu membimbing para jenazah,” ujar Juragan Karjo sebuah hari.

  Putu Cangkir | Cerpen Chaery Ma

“Nah, ananda penggali kubur yg tak hanya membuat orang mati jadi tenang. Kalau nanti saya mati, saya pengin ananda yg menggali kubur saya. Saya pengin diatas gundukan saya terlihat dlm kondisi baik-baik saja. Saya yakin, malaikat pasti akan mengampuni saya & mempersilakan saya masuk surga.”

Ia tersenyum mendengar kelakar itu.

Ayahnya pun kemudian memintanya menggali liang kubur Juragan Karjo.

****

Sejak itu ia menjadi sering diminta menggali kubur. Ayahnya bilang ia memang ditakdirkan Tuhan untuk pekerjaan itu. “Tak banyak orang yg mau menjadi penggali kubur. Padahal bila tulus itu bisa menjadi ladang pahala yg amat besar. Orang yg akan mati, niscaya banyak yg merasa panik. Karena mereka sebentar lagi bakal berpulang ke rumah Tuhannya. Tapi beda, bila ananda yg membuatnya, di dlm kubur sana mereka pasti tak akan pernah merasa kesepian & sendirian. Menurut Juragan Karjo, itu bakatmu yg tak dimiliki semua penggali kubur lain.”

Setelah bertahun-tahun menjadi penggali kubur, ia tetap merasa gamang setiap kali mengingat Juragan Karjo. Tatkala Juragan Karjo meninggal karena kanker kelenjar getah bening, ia pula yg alhasil membuat liang kuburnya. Tatkala membuat liang kubur Juragan Karjo, ia termenung menatap gundukan makam yg terbaring di atas tanah itu: apakah harus murka alasannya adalah merasa sudah dijerumuskan pada pekerjaan ini, atau ia seharusnya berterima kasih sebab berkat Pak Jo, ia mampu punya pekerjaan. Tatkala banyak temannya sukar mendapat pekerjaan, punya pekerjaan selaku penggali kubur pastinya masih jauh lebih beruntung ketimbang menjadi pengangguran.

Dulu tatkala awal menghadiri acara reuni sahabat-sobat sekolah, ia sering melihat verbal kaget, ngeri namun pula tak memercayai, tatkala ia bilang pekerjaannya penggali kubur. Ia terbiasa mendengar cibiran setelahnya: kamu niscaya senang bila ada orang mati. Bila rezeki dokter dr orang sakit, ananda dapat rezeki dr orang mati. Dan mereka tertawa, seolah maut yakni hal yg lumrah sebagai bahan guyonan.

Kerap ia dicurigai punya semacam ilmu penangkal yg bisa menghalau arwah orang mati supaya tak terus-menerus menghantui. Pastilah tak simpel menjadi penggali kubur bagi orang-orang yg sudah mati itu. Apalagi bila ada mayat yg memiliki banyak dosa. Ia tetap tabah, terus menggali walaupun tanah akan kembali gugur. Ia pernah menggali kubur orang yg berzina. Para pembunuh. Sampai pengedar narkoba. Ia pun harus kerja extra , sebab liang kuburnya seperti menolak badan mereka itu.

  Insomnia | Cerpen Teguh Affandi

Berhari-hari ia tak mampu tidur. Kerap menimbang-nimbang liang kubur orang yg mati itu. Bagaimana caranya, biar orang yg berdosa itu mati, tanah yg ia gali tak gugur lagi.

Tentu saja tak hanya ingatan jelek. Ia sering merasakan terima kasih yg tulus dr keluarga yg ditinggalkan, karena ia sudah mau menggali kubur itu, entah milik istri, suami, anak, orang bau tanah, atau yg masih ada kekerabatan darah. Ada yg memberinya duit, sembako, sampai baju koko. Ia pernah menggali kubur seorang kakek, yg meninggal pada usia 110 tahun, & ia begitu heran. Tanpa hitungan jam, liang kubur itu pribadi jadi. Barangkali seorang kakek tadi merupakan orang yg baik sehingga ada malaikat yg sudi membantunya untuk menggali.

*****

Ketika usianya menginjak 40 tahun, ayahnya membujuknya untuk terus menikah. Ayah hendak mengenalkannya pada seorang wanita, yg berdasarkan ayah “saleh”, anak kenalan Ayah dikala mereka mondok. Ayah sudah lebih dr 20 tahun hidup sendiri. Ibu meninggal. Andai saat itu ia sudah menjadi penggali kubur, ia niscaya akan menggali kubur ibunya dgn rasa sedih & benci.

Ia bisa mengetahui cita-cita ayahnya. Ia tak keberatan dikenalkan dgn perempuan itu. Memang santun, meski terlalu pendiam. Bagaimanapun, wanita itu tak terlalu mempersoalkan pekerjaannya. Kadang mengajukan pertanyaan, bagaimana rasanya menggali kubur? “Pasti menakutkan sekali ya berteman dgn orang mati.” Kadang wanita itu mau mengirimkan bekal kuliner saat ia dipanggil untuk menggali kubur, meski tatkala pulang perempuan itu eksklusif lari terbirit-birit.

Hubungan mereka jadi sarat ketidakharmonisan, Setelah pertengkaran tak termaafkan itu. Perempuan itu kecewa sebab ia sudah menuduhnya tak perawan. Perempuan itu mulai kesal & membalasnya. “Jangan-jangan karena ananda terlalu sering bekerjasama dgn orang mati hingga hatimu pun mati.” Ia ingin menangis. Ia ingin bercerita apa yg sebetulnya terjadi & menjadikannya menuduh mirip itu. Ia benci kehilangan perempuan itu. Namun perempuan itu tak pernah muncul lagi.

  Gentong Tua | Cerpen Muna Masyari

Dari orang-orang mati ia akhirnya mencar ilmu mendapatkan kenyataan. Kesedihan tak lagi memiliki arti apa-apa bagi penggali kubur mirip dia.

****

Diantara siapa pun mati yg mesti ia gali kuburnya, inilah yg paling menjadikannya gemetar. Ia belum sekali pun menjajal menggali liang itu.

Sudah lebih dr tiga jam ia cuma termangu duduk di atas tanah kuburan. Ada tangis laki-laki, percakapan yg bagai terdengar di kejauhan, kasak-kusuk tentang kematiannya setelah berbulan-bulan tergolek di rumah sakit. “Sebelum mengembuskan napas terakhir, ia berpesan, bila ia mati ia ingin ananda yg menggali kuburnya,” kata anaknya, pelan.

Dan ia masih saja termangu. Bukan karena ia tak tahu bagaimana cara menggali. Ia tahu, dr pengalaman beberapa tahun, menggali kubur liang orang mati senantiasa ada dua opsi. Kalau simpel pasti banyak pahala, sedangkan sukar terlalu banyak dosa, & ini memang sudah menjadi risikonya sebagai penggali kubur. Maka, ia suka membawa sabit, linggis, hingga beberapa patahan bambu untuk menyangga tanah yg simpel gugur. Ia pula selalu menjinjing bejana untuk menyedot liang yg banyak air, bahkan pernah ia mendapatkan liang kubur yg berisi banyak belatung.

Itu sudah umumbaginya. Ia tak pernah mempersoalkan hal-hal ajaib seperti itu.

Di matanya, menggali liang kubur orang yg mati ini lebih mengerikan. Bayangan buruk yg berkecamuk dlm pikirannya bercampur dgn kesedihan & kemarahan. Sungguh tak pernah ia duga akan menggali kubur orang yg paling dibencinya. Pamannya. Yang ia pergoki tatkala Ayah sedang pergi suatu hari. Masuk mengendap ke dlm kamar ibunya, & dgn matanya ia lihat mereka berdua berbuat yg tak sewajarnya.

Ia bahkan tak berani menggerakkan kedua tangannya. Masih ia dengar bunyi isak tangis mereka, pula gumam percakapan & suara langkah kaki kemudian lalang, bahkan ia mampu merasakan tatapan heran orang-orang yg memandanginya karena tak kunjung menggali kubur itu.

Sampai pelan-pelan ia angkat pacul dgn kedua tangan yg masih gemetar, berulang kali menghunjam tanah kuburan. Ia tahu, ayahnya niscaya bangga bila ia bisa menggali kubur bagi mayit ini.

Mungkin akan menjadi galian tersulit selama ia menjadi penggali kubur. (*)