Sebuah sudut di samping suatu lapak tukang sol sepatu. Leret matanya meriap-riap begitu cahaya redup memperoleh parasnya. Belek menggumpal di kedua sudut matanya. Ia menggeliat sebentar, meregangkan kedua kaki depannya.
Seperti ada binatang buas dlm perutku. Karena hampir sehari penuh tak kuberi jatah makan, ia menggigit-gigit dinding lambungku. Bau geliat pasar semakin membuatnya beringas, memaksaku segera melangkah ke arus keramaian. Aku mesti bergegas alasannya adalah hingar bingar itu lazimnya cuma berlangsung tiga-empat jam saja.
Bulunya kelabu. Terlihat sungguh kusam, penanda bahwa ia bukan piaraan. Ekornya terlihat layu, mungkin lapar yg membuatnya begitu. Gelambir perutnya bergoyang-goyang dikala ia melangkah gontai. Kedua matanya masih menyipit, mungkin menahan kantuk atau lapar.
Dia parkir di depan lelaki kurus tukang sol sepatu. Mengeong. Tapi langsung berjingkat melompat melarikan diri ketika tukang sepatu itu menghunus tinggi-tinggi sepatu yg tengah dikerjakannya.
Kadang gue berpikir, alangkah tak adilnya hidup ini. Takdir seenak perutnya membagikan nasib pada semua orang tanpa minta kesepakatan terlebih dahulu. Andaikan saja gue lahir selaku anak orang mampu, tentu saja gue tak akan seperti ini—siang-malam nyalang mataku berburu kelengahan orang. Seperti kucing itu.
Tulang rusuknya terlihat kembang kempis. Ia terpaku di depan sebuah toko kue. Menjilat-jilat kaki kanan pecahan depan, sambil sesekali menyaksikan kerumunan orang yg berjubel di depan etalase toko itu. Sejenak kemudian ia mendekat ke arah kerumunan kaki-kaki mereka. Seorang perempuan cantik secepatnya menjerit & menendangnya tatkala ia menggesek-gesekkan tubuhnya ke kaki putih mulusnya. Tak mau menyerah, ia coba kembali ke arah kaki-kaki tadi. Namun sebuah sapu meluncur deras, telak tentang perutnya. Termeong-meong larilah ia membawa nasib.
Pasar makin hiruk-pikuk seiring cahaya yg merambat naik ke puncak. Dan kuselipkan tubuhku di antara kemudian-lalang yg sarat -sesak itu.
Kedua mataku mulai bergerilya.
Langkahnya terhenti tatkala ia menyaksikan seekor kucing ganteng yg menunjukkan diri di ambang pintu rumah majikannya. Sebuah rumah makan Padang. Bulu-bulunya yg licin & berkilau, parasnya yg bersih berbinar, & perutnya yg tak menggelambir menandakan bahwa hidup tak pernah menyengsarakannya.
Ia duduk sejenak. Menunggu. Tampaknya ia tahu ada yg harus ditunggunya di situ.
Gadis itu!
Dari performa & lenggang-lenggoknya gue yakin bahwa gadis berambut panjang berkulit langsat itu dimanjakan oleh hidup. Bau parfumnya membuatku menjelma seekor lalat hijau yg mencium bacin ikan asin. Aku terus menguntitnya. Merangsek, sedikit demi sedikit. Sebuah dompet yg ujungnya menyembul & turut melenggang-lenggok di saku belakang celana jeans-nya tengah memenjarakan kedua mataku. Aku menunggu. Aku sungguh-sungguh menunggu tatkala mata pasar sedikit lengah dgn keberadaanku.
Tubuhnya pribadi tertegak begitu yg ditunggunya tiba. Si manja terlihat hirau dgn kedatangan majikannya yg begitu murah hati. Ia akal-akalan beranjak dr tempatnya menanti nasib baik. Tapi bahwasanya ia tak pergi. Kedua matanya bahkan kian nyalang mengawasi kelengahan si manja. Ia hanya memutar langkah, mencari posisi terbaik untuk merebut nasib baik.
Ia merapat pada tembok. Mengendap-endap. Matanya tak pernah lepas dr target. Selonjor ikan goreng yg lumayan besar terlihat diacuhkan. Entah si manja sudah bosan atau memang alasannya adalah tak lapar. Jaraknya dr target kini hanya beberapa langkah saja.
Ketika si kucing kusam tiba-tiba melompat dr balik persembunyiannya, si manja tampak betul-betul terkejut. Ia sukses menyambar sasarannya! Namun sayangnya ia mendapatkan jalan buntu tatkala langkahnya terperangkap di bawah meja para konsumen warung makan. Di pintu, si manja beserta majikannya sudah menghadangnya. Bahkan semua mata dlm warung makan itu kini tengah menyasar ke arahnya.
Dan kupikir dompet itu benar-benar potongan nasib yg berpihak kepadaku! Ternyata itu yakni mata kail kesialan. Pantat wanita itu begitu peka ternyata. Saat dompet itu sudah berpindah ke tangan kiriku, ia menoleh & eksklusif berteriak keras-keras.
Pada saat yg sama semua orang dlm warung makan itu menghardik kucing kusam itu. Ikan itu bukan lagi hal penting baginya. Dan aku, gue eksklusif mengambil langkah seribu. Kulempar saja dompet itu. Adapun kucing kusam itu berlari ke bawah meja terlebar. Sayangnya sang pemilik warung telah menerima sapu!
Kulihat macam-macam benda teracung ke arahku. Amarah terdengar begitu nyaring. Mereka sukses mengepungku!
Sebuah pukulan menghantam telak perutnya.
Nyeri dlm perutku kian bertambah-tambah. Ia mencoba keluar dr bawah meja. Namun sebuah tendangan menciptakan tubuhnya terbentur ke kaki meja. Dan kepalaku berdarah.
Suara perutku tenggelam di antara riuh rendah amarah tak bermata.
Ketika kucing itu bangun, gue harus berdiri. Ia masih berusaha mencari jalan keluar. Bukankah cita-cita masih terhampar selama nafasku masih sambung-bersambung? Ia melompat ke atas meja. Kuteriakkan “ampun, ampun”. Ia pikir sudah memperoleh sebuah celah di antara dua pot bunga, yg ternyata yakni suatu beling bening yg membohongi mata. Kupikir mereka masih punya hati, maka berkali-kali kuteriakkan “ampun”. Ia tertangkap. Samar-samar telingaku mendengar, “Bakar! Bakar!”
Ia tahu kaki depannya patah. Dan gue terkulai lungkrah, seperti sampah. Ia tak menangis—entah alasannya memang tak bisa menangis ataukah tahu bahwa tangis itu sia-sia saja. Sudah kuikhlaskan tubuhku pada ia yg menginginkannya. Kupejamkan mata, mungkin dlm gelap ada yg mau mengasihiku.
Mata muda itu adalah mata yg penuh dendam. Entah pada siapa dendam ia tujukan. Pada hidup? Pada kaki-kaki yg melecehkan & menjadikannya bonyok? Pada nasib? Pada kedua orangtuanya yg tak peduli akan jalan hidupnya? Ataukah pada kebodohannya sendiri alasannya lengah ketika bertindak?
Bagiku, kesialan semacam ini sudahlah biasa. Kaki patah? Ah, asalkan jangan kemauanku untuk terus hidup saja yg patah. Sebab, di depan sana niscaya masih ada remah-remah ikan untukku, selama gue masih mau mencari.
Alis kirinya membiru, jerawat. Ada darah di bibirnya. Basah keringat membuat darah di sekujur luka merembes ke pakaiannya. Kedua matanya telah terkatup saat sejumlah orang yg diundang “polisi” mengamankannya dr tornado amarah orang-orang pasar. Tubuhnya yg lungkrah diseret ke suatu mobil. Dengan bunyi “nguing, nguing, nguing” mobil itu melaju, meninggalkan kerumunan orang yg masih menyumpah-nyumpah.
Terseok-seok kubawa nasib. Tak perlu kuhibur diri atas semua kesialan yg dihadiahkan hari ini kepadaku. Aku tahu gue mesti ke mana. Mungkin di depan sana masih ada nasib baik yg menungguku.
Aku tahu rumah mobil itu tak jauh dr pasar. Ada sebuah pagar tinggi berhiaskan aksara-huruf yg berkilau bila tertimpa cahaya. Namun taman di depannya amatlah jelek. Kering-kerontang tak terurus. Tempat sampahnya pula jelek. Sering tak menyisakan remah-remah makanan untukku. Beda dgn pasar yg amat pemurah meski terkadang pula amat kejam.
Akhirnya kutemukan pula dirinya di sebuah ruangan yg sarat dgn suara nyaring “tik, tik, tik”. Pakaiannya berair-kuyub, namun tubuhnya telah bersih, sehingga memar-memar yg menghiasi tubuhnya tampak begitu faktual. Sebuah bentakan menjadikannya duduk di sebuah bangku panjang. Ia cuma menunduk ke lantai saat bentakan-bentakan lainnya susul-menyusul.
Kugesek-gesekkan tubuhku ke kaki kirinya yg selamat dr luka-luka. Ingin kuhibur dirinya. Tatkala mata keruhnya bertemu dgn mataku… ah, andai saja gue ini ibumu. Aku rasa kedua matanya bertelaga. Ketahuilah, bukan hanya dirimu yg mempunyai nasib serupa ini, begitu gue menjajal berkata.
Kedua tangannya tiba-tiba saja bergerak ke arah kepalaku. Lembut sekali belaiannya.
Sepasang bersepatu berjalan ke arahnya & mengulurkan sebuntal nasi, & detik berikutnya remah-remah ikan ia suguhkan ke hadapanku.
Bahagia gue menggerak-gerakkan ekorku. Ya, ya. Bukankah semestinya mirip ini? Aku tahu kamu sudah berguru dr hidup. (*)