Lelaki itu tiada memiliki wajah yg tetap, tetapi bahwasanya ia ada. Ia selalu bersembunyi di balik rerimbunan kalimat yg dibentuk di jalan-jalan sejarah. Ia mengamati langit, bumi, matahari, rembulan, kepekatan & darah dr balik gumpalan kabut yg diciptanya sendiri.
“Siapakah… lelaki… itu? Di… di… mana… ia?”
Orang-orang bertanya-tanya. Mengeluarkan suara gagap dgn badan meremang gemetar. Wajah mereka pasi, serupa lilin-lilin di keheningan isu terkini dingin. Ya, mereka mencicipi keberadaannya, tetapi mereka tak yakin ia sungguh-sungguh ada. O, adakah laki-laki yg bertahan hidup di balik kabut selama itu? Dan sang laki-laki, cuma ia sendiri yg mengetahui bahwa ia sungguh ada.
Kelam merangkaki belukar malam. Kini laki-laki itu kembali untuk menebarkan nyeri dlm pekat. Di bawah suatu pohon yg sudah meranggas, tangannya mengacung-acung ke udara, ”Akulah semesta!”
Langit merah. Tanah pecah & angin rebah. Kengerian berhembus menerjang kabut, melalui lorong-lorong peradaban yg tergali oleh waktu, membongkar kebiadaban diri di dasar yg paling sunyi. Ah, walau Socrates hidup lagi, tak akan mampu untuk membawanya kembali ke jalan negosiasi.
“Aku akan merencanakan semua,” kata laki-laki itu pelan sambil menyepak-nyepak kepala manusia yg berantakan di mana-mana. Diambilnya suatu tengkorak kepala kecil. Diamatinya beberapa dikala. Pasti bayi yg sungguh mungil, pikirnya. Lalu dilemparnya tengkorak itu, seperti seorang pelajar tanggung melempar batu pada pelajar lain di tengah kota. Angin meniup benda itu, menerbangkannya hingga jatuh kembali entah di mana.
Ya, angin memang selalu menerbangkan segala, pula kenangan. Bahkan semua kenangan indah wacana diri & keluarga. Tentang tanah airnya. Kini yg tersisa ialah kebencian & amarah. Dendam yg membelit-belit, kabut & tentu saja para boneka itu.
Tak akan ada yg mampu menghentikannya sekarang. Tidak pula Tuhan, pikirnya pongah. Lelaki itu tertawa. Terbahak-bahak hingga keluar airmata. Sebentar lagi ia akan menjadi insan dambaannya: Si Pemusnah. Ya, dalam waktu dekat ia akan sampai di puncak tujuannya: memusnahkan tanah airnya sendiri!
Lelaki itu menatap ribuan boneka seukuran dirinya yg berada di hadapannya. Boneka-boneka sekabut dirinya, dgn mata berwarna warni: biru, merah, coklat, hitam & hijau.
Dulu sekali boneka-boneka itu pernah menjadi manusia. Namun banyak hal, terlampau banyak hal, yg menciptakan manusia ingin berhenti jadi insan & menjelma boneka.
Ia sudah menghimpun banyak sekali jenis boneka semenjak usang. Jenis preman, perusak, pembunuh, pemerkosa, pembakar, penggantung, pengadu domba, pembuat bom, pembisik, perayu sampai penyebar obat-obatan terlarang. Mereka ditemukannya di tong-tong sampah, di hotel-hotel glamor, pula di gedung-gedung yg sarat berisi pejabat. Ya, senantiasa ada boneka di setiap tempat.
Meski boneka, sosok-sosok tersebut bagai manusia. Bahkan manusia yg orisinil akan terkecoh bila menatap para boneka yg amat mirip dgn mereka itu! Satu-satunya yg tak ada pada boneka itu hanyalah hati.
Dulu tatkala masih insan, hati-hati mereka berada di tempat yg paling tersembunyi dr diri mereka. Lalu dlm keterpencilan, gumpalan-gumpalan darah itu rontok digerogoti jamur & lumut yg tak bernama. Dan tanah masa silam sudah menguburnya begitu rapat.
Maka sang lelaki pun akan terkekeh-kekeh. Juga saat para bonekanya menebar teror di aneka macam tempat. Meninggalkan kubangan darah, reruntuhan gedung, basi daging manusia yg terbakar, aroma curiga, serta agen rahasia liar di mana-mana.
Dan lelaki itu merasakan kenikmatan yg abnormal. Indah. Pedih. Damba. Benci. O, ia sudah memindahkan letupan-letupan angkara itu, gelegak laut dlm dirinya. Darahnya sudah bahari & lautnya berdarah dan….
“Berhentilah, Angkara! Berhentilah!”
Suara itu! Hanya suara itu yg berani memanggilnya demikian. Perempuan itu! Perempuan yg bersamanya bertahun-tahun. Yang menempati hati & mengecup semua lukanya setiap saat, namun tak sekali pun pernah memanggil namanya. Perempuan yg senantiasa menjadikannya sadar betapa berkuasanya ia, sang Angkara.
“Sunyi?”
“Ya, saya.”
Sosok wanita itu melayang dlm pandangannya, seperti baru saja turun dr langit. Wajahnya masih pias mirip dahulu & ia masih saja menyukai baju-baju berwarna pucat dgn motif bunga-bunga merah.
Lelaki itu mengucek matanya sekali lagi kala melihat bunga-bunga itu mencair sebagai darah & menetes-netes jatuh ke tanah.
“Mengapa kamu kembali? Mengapa?”
“Aku tak kembali, alasannya gue tak pernah pergi, Angkara.”
“Kau sudah mati, Sunyi.”
“Kau salah, Angkara. Kau yg telah lama mati.”
“Mati? Aku tak bisa mati, bahkan bila gue mati!” suara lelaki itu terdengar parau sesaat namun tetap menggelegar. “Kau tahu, Sunyi. Kalau pun gue mati, gue akan mati bareng semua kehidupan di tanah ini.”
“Dendam sepatutnya hanya berhenti pada kata atau bergelinjang dlm pikiran yg kerdil, tetapi ia tak boleh hadir di permukaan. Kau tahu mengapa? Sebab ia & seluruh mahluk-Nya akan berpaling dr dirimu. Jejak-jejakmu sebelumnya, bayanganmu pupus oleh kelam dendam yg kamu ukir pada seonggok darah dlm tubuhmu….”
Angkara mendesah. Mereka, seluruh orang di negeri ini pantas menerima itu, teriak batinnya. Bukankah selama bertahun-tahun mereka merejam & membunuh kemanusiaannya? Ya, bahkan tanpa berpikir sedikitpun akan jasa-jasanya bagi negeri. Makara mereka yg menyulut pertempuran ini. Orang-orang yg berbuat semaunya itu telah merekayasa segala hingga ia berkembang menjadi orang sepotong. Kaprikornus jangan tanya ke mana perginya jiwa ataupun kemanusiaannya! Mereka sudah mencerabut itu semua dr dirinya & menenggelamkannya dlm jelaga lara tak berkesudahan yg membakar dada & mencuatkan dendam dlm langit-langit kepala.
Lalu tatkala ada orang yg memberinya uang untuk berbelanja kepulauan di mancanegara asalkan ia membuat tanah kelahirannya menjadi api, ia tergeragap sesaat namun kemudian menganggapnya sebagai suatu peran suci. Ya, sebuah peran suci untuk membersihkan segala yg ada dlm negerinya dgn api. Hanya dgn api.
“Sunyi…,” lelaki itu mendesah, memanggil perempuan yg selalu dirindukannya.
Tetapi tiada balasan.
“Kau tak pernah betul-betul ada, bukan?”
Sepi. Hanya kabut pekat menyelubungi.
“Kau hanyalah bayangan yg menarikan tari kebajikan untukku. Memahatkan senyap yg menggigil dlm kalbu…,” Lelaki itu mengusir perih yg sesaat menusuk batinnya. Ia mempesona napas panjang beberapa usang.
“Sunyi! Sunyiiiii!” Ia terus mengundang wanita tadi dgn bunyi yg kian lama kian sengau. Sungguh, ia mencintai perempuan yg hidup di batas khayal & kenyataannya. Ia ingin wanita itu melahirkan belum dewasa mereka. Tetapi bukankah ia hanyalah keindahan yg tiada?
“Ayah! Ayah!”
Lelaki itu menoleh & menatap ribuan boneka yg menghampirinya dr banyak sekali penjuru, bagai kumpulan bocah taman kanak-kanak menyongsong kedatangan ayah yg menjemput mereka dr sekolah.
“Aku telah melakukannya, ayah!”
“Kita sukses, ayah!”
Mereka dgn mata menyala menggamit lengannya manja. Meyakinkannya untuk menyaksikan sesuatu yg telah mereka lakukan di seluruh negeri. Dan dlm sekejap, laki-laki itu merasa berada dlm sebuah galeri yg memamerkan lukisan mahakarya yg tak seorang pun mampu berkata kala memandangnya.
Dari kejauhan ia kembali mendengar gemuruh teriakan insan, bunyi-suara ledakan, tangisan bayi & lirih para jompo mengundang-manggil nama ilahi mereka. Ia mampu mencicipi gedung-gedung yg runtuh & badan-tubuh yg pecah membentuk serpihan yg nyaris sama di udara. Ia mencium kedaluwarsa gosong & mencicipi geliat resah & kesah para pemimpin itu.
Hidung lelaki itu bergerak-gerak, menghirup dgn rakus aroma bau darah pada cakrawala, seolah itu ialah wangi kesturi.
Fffhuuihh, sebentar lagi ia akan keluar dr negeri yg poranda ini. Ya, tak lama lagi, saat semua menjadi arang, hingga tak menyisihkan sejumput asa pun.
Ia bergegas ke tempat persembunyiannya yg jauh dr sentra kota. Membaca semua koran yg diantarkan pesuruhnya. Hampir semua mewartakan karya besarnya. Ia menyetel televisi. Matanya picing menatap kehebohan yg menjadi mini di layar kaca. Rahangnya mengeras & gigi-giginya saling menggigit.
“Saudara, pelaku kerusuhan & pemboman di sejumlah tempat telah mampu ditangkap oleh aparat keselamatan. Mereka adalah….”
Bibir lelaki itu melengkung ke bawah, sesaat kemudian ia terbahak-bahak hingga airmatanya berlinangan. Ia menggoyang-goyangkan pantatnya di depan wajah para aparat & pejabat yg entah kenapa sesaat merasa lega. Ia berjingkrak-jingkrak & menarikan tarian gila yg dulu hanya bisa dibawakan oleh Calon Arang.
“Tuhan tak pernah tidur, Angkara…,” bisikan-bisikan Sunyi menerobos setiap lubang udara yg ada di kediaman laki-laki itu. Sesaat lelaki tersebut merasa angin yg begitu kencang menampar-nampar parasnya, entah dr mana.
Tetapi laki-laki itu tak peduli. Baginya Sunyi, Tuhan & semua yg indah hanyalah imaji risau yg melekat sesaat pada rona hitam hidupnya. Dan dgn sekali kibasan, ia mampu mengusirnya.
Lelaki itu masih terbahak-bahak, masih berlinangan airmata.
Kabut terus bergerak membentuk gumpalan yg semakin pekat membungkus dirinya. Di segenap penjuru negeri, para boneka bertepuk tangan.
Sementara itu orang-orang tak berhenti menggigil. Mereka tak mampu lagi berjalan, hanya merangkak pada genangan merah & tergelincir berkali-kali. Setiap pagi, siang & petang mereka memperoleh lagi tubuh-tubuh terbongkar yg membujur panjang, bagai jembatan tak bertepi yg menghubungkan tiap tempat di negeri itu. Dan mereka masih saja mengajukan pertanyaan dgn badan meremang & suara darah: “Si… siapa… beliau? Me… kenapa kalian belum juga… menangkapnya?” (*)