close

Lelaki di Pekuburan | Cerpen Hari B Mardikantoro

Tanah pekuburan ini menggersang, banyak daun menguning, bahkan berguguran tak terstruktur. Bunga kamboja yg beberapa hari kemudian mekar pun saat ini rontok berserakan ke mana-mana. Bahkan beberapa helai menutup nisan persis di bawahnya

Matahari masih menjatuhkan panas ke bumi. Panas pada siang begini pasti sungguh terasa di kulit. Namun tak dgn laki-laki bau tanah itu. Sejak tadi ia bersimpuh di salah satu makam di pekuburan ini. Sekejap kemudian berpindah ke makam lain di dekatnya. Barangkali ia sudah berpindah tiga kali. Ya, lelaki itu, entah siapa namanya, beberapa minggu ini senantiasa kutemui di pekuburan ini.

Beberapa ahad ini, bahkan hampir setiap hari, gue tak melewatkan waktu untuk mengunjungi pekuburan ini. Tentu bukan tanpa tujuan. Anakku, ya anakku, tiga ahad kemudian dimakamkan di pekuburan ini. Aku sempatkan saban hari menengok & mendoakan anak wedokku, sebelum kerja atau sepulang kerja. Pernah pagi-pagi buta gue sudah berada di pekuburan ini, tentu dgn menenteng doa & kerinduan yg semalaman sedemikian membuncah.

Lelaki itu masih duduk bersimpuh di salah satu makam. Mukanya pucat setengah menekuk. Aku tahu ia menyembunyikan kesedihan. Namun ia berusaha tegar. ia kurus tinggi, pakaian sederhana, sesederhana senyumnya.

Kembali angin menerpa kami berdua. Ya, di pekuburan tak terlalu luas ini hanya ada kami berdua. Rasanya pengunjung hari-hari di pekuburan ini cuma kami.

Kudekati laki-laki setengah baya itu. Sudah beberapa hari ini gue ingin tahu wacana beliau; barangkali kami bisa saling sapa & membuatkan cerita. Aku yakin ia punya kisah tentang pekuburan ini. Aku pun demikian. Aku pula punya dongeng sebab tempat ini kini jadi tempat favorit untuk selalu kukunjungi.

“Pak,” kataku membuka percakapan.

Lelaki itu belum menjawab. Barangkali ia sedang berdoa. Kutunggu beberapa ketika. Setelah ia menghela napas panjang, kulanjutkan sapaanku. Aku yakin ia sudah mengakhiri doa.

“Apakah saya mengusik Bapak? Bolehkah saya duduk di sini?”

Aku pun sudah selesai berdoa & membersihkan makam anakku. Lelaki itu mendongak, tetapi tak menggeser duduk. Ia tersenyum, meski agak memaksakan diri. Namun gue tahu senyum itu tulus. Aku pun membalas dgn senyum. Barangkali gue yg justru agak memaksakan senyumku. Ya, semenjak anakku meninggal, gue tak lagi banyak tersenyum seperti dulu. Aku tak tahu penyebabnya. Rasanya kok tak alasan lagi untuk tersenyum.

Lelaki itu masih menatapku. Tatapan lembut, meski agak kering. Aku tak peduli. Lantas gue duduk di sampingnya. Sekejap kemudian lelaki itu menyulut rokok yg tinggal separuh & mengisapnya dalam-dalam. Kepulan asap membubung membentuk pulau-pulau kecil yg beterbangan.

  Arwah Titisan | Cerpen Destya Tika Ananta

“Saya lihat Bapak senantiasa di pekuburan ini tatkala saya tiba ke sini,” gue membuka percakapan sesudah kami duduk berdampingan.

Lelaki itu kembali menghela napas panjang. Ia lantas menyalamiku & menyebutkan nama. Suwondo. Nama khas Jawa yg sederhana.

“Mas Banu kini rajin ke pekuburan ini ya?” Lelaki yg kemudian kukenal dgn sapaan Pak Wondo itu membuka percakapan. Aku agak terkejut. Ternyata Pak Wondo sudah mengenalku.

“Pak Wondo sudah mengenal saya, eh maaf, mengenal nama saya?” tanyaku sekenanya menutupi keterkejutan.

Pak Wondo cuma tersenyum. “Saya menyaksikan & mendoakan tatkala putri Mas Banu dimakamkan di sini,” ujar laki-laki itu. ia memainkan rokok di tangan, memutar-mutar mengitari jemari. Sejurus kemudian ia sudah mengatakan lagi, pelan. “Saya lihat waktu itu Mas Banu sangat terguncang. Ada kesedihan yg membuncah.” Lelaki itu menatapku.

Aku masih termangu. Dalam membisu, gue kembali teringat beberapa ahad lalu tatkala anakku kuantar ke tempat ini. Kembali angin menerpa kami. Suara goresan dedaunan dlm riuh angin mengakibatkan bunyi irama mendayu.

“Maaf, kalau perkataan saya menciptakan Mas Banu sedih,” ujar Pak Wondo berupaya menetralkan situasi.

“Bukan salah Pak Wondo,” gue menerangkan keadaanku agar laki-laki itu tak terlalu merasa bersalah. “Saya ikhlas, sangat lapang dada alasannya semua sudah ada yg menertibkan.”

Pak Wondo tersenyum. “Saya paham, sangat paham kondisi Mas Banu,” ujar Pak Wondo sehabis kami melamun beberapa lama. Pandangan kami pun bersirobok. “Saya pula pernah mengalami kondisi mirip itu, bahkan….” Pak Wondo terdiam.

Ada nada berat dlm tuturannya. Suaranya bergetar, tetapi hanya sekejap. “Saya ditinggal dua orang anak dlm waktu tak lama, bahkan istri saya jadinya pula meninggalkan saya,” tutur Pak Wondo, berupaya tegar sambil menunjuk tiga gundukan tanah yg berdekatan.

Aku terkejut. Untuk beberapa ketika, gue tak mampu omong apa-apa. Tiga orang yg dicintai Pak Wondo kini sudah meninggalkan selamanya. Pantas Pak Wondo sering bersimpuh bergantian di tiga makam itu. Lelaki setengah baya itu melanjutkan kisah wacana dua anaknya yg tak mampu bertahan hidup karena perbedaan rhesus darah antara Pak Wondo & istri. Pak Wondo memiliki rhesus positif, sedangkan istrinya memiliki rhesus negatif. Namun Pak Wondo tak lantas berpikir itu kutukan atau dosa besar yg mesti ia tanggung. Ia menggangap semua sudah ada garisnya.

  Saat Hujan Turun | Cerpen Pelangi Pagi

Aku tertunduk mendengar dongeng Pak Wondo. Lelaki tinggi kurus itu lelaki paling tegar yg pernah kujumpai. Aku jadi aib. Bahkan gue pernah merasa paling menderita. Perasaan itu selalu menghantuiku. Anak kami satu-satunya sudah diminta kembali oleh Sang Pemilik Sejati. Pak Wondo kelihatannya tahu kegelisahanku. Ia menepuk punggungku untuk sekadar menguatkan.

Kami pun berjanji senantiasa berjumpa di pekuburan ini untuk membuatkan & menguatkan, saban hari. Ya, setiap hari.

*****

Hari ini gue menyambangi pekuburan pagipagi, bahkan sebelum sinar matahari kelihatan. Masih remang-remang, namun pada trend kemarau mirip sekarang sudah kelihatan terang. Sisasisa gelap sudah terusir oleh semburat kemerahan di sudut langit. Kokok ayam masih terdengar satusatu. Pagi yg tentrem. Aku segerakan melangkah memasuki tempat pekuburan. Setumpuk doa sudah kubawa dlm hati. Kerinduan semalam ingin secepatnya kutumpahkan ke pusara anakku.

Sepi. Pekuburan sepagi ini tentu belum ada yg menyambangi. Nah, gue tiba lebih pagi dr Pak Wondo. Beberapa hari ini Pak Wondo selalu hadir lebih dulu. Ia bahkan acap kali sudah membersihkan separuh makam.

Ternyata dugaanku keliru. Dari kejauhan sudah kulihat sesosok lelaki tinggi kurus tengah membungkuk membersihkan makam. Ah, ternyata Pak Wondo sudah lebih dulu berada di pekuburan. Kami memang tak bersapa lebih dahulu, kecuali saling lempar senyum. Biarlah Pak Wondo menyelesaikan doa lebih dahulu. Aku pun demikian. Aku ingin menyelesaikan tugasku dahulu, membersihkan makam anakku & berdoa untuk ketenteraman jiwanya. Meski bekerjsama tak ada yg perlu kusapu lagi alasannya adalah nyaris saban hari gue menyempatkan waktu untuk bersih-higienis di pekuburan ini.

Dalam hitungan menit kami sudah saling mendekat. Tampaknya Pak Wondo sudah menyelasaikan doa, gue pun demikian. Lelaki itu melempar senyum. Rokoknya masih separuh di tangan. Kini, bahkan ia menenteng termos & dua gelas. Ia menyodorkan kepadaku segelas kopi hangat. Aku ragu. Aku belum berencana mendapatkan. Tampaknya Pak Wondo tahu keraguanku.

“Sengaja gue bawa kopi ini untuk teman kita ngobrol. Aku tahu Mas Banu pasti datang di pekuburan ini,” kata Pak Wondo membuka percakapan.

Aku terima kopi itu, tetapi belum berniat menyerutup. Kupengangi gelas itu dgn kedua telapak tanganku. Ada rasa hangat mengalir. Dalam hitungan detik kuseruput kopi hangat itu.

Kami pun lantas menyebarkan dongeng untuk saling menguatkan. Ya, gue & Pak Wondo memiliki nasib hampir sama, ditinggalkan orang yg sangat kami cintai. Aku banyak belajar dr Pak Wondo, khususnya berguru nrimo. Sebenarnya gue pun sudah ikhlas, bahkan tatkala kembang-kembang tabur di makam belum sepenuhnya mengering. Kami lantas membersihkan seluruh pemakaman, tak cuma makam anakku & anak istri Pak Wondo. Kami sudah menganggap pekuburan ini rumah kedua. Kami pun berjanji senantiasa membuatkan kisah di pekuburan ini.

  Ikan | Cerpen Abraham Zakky Zulhazmi

Beberapa hari, gue & Pak Wondo senantiasa berjumpa di pekuburan di pojok desa ini. Kami sudah seperti saudara. Namun senantiasa Pak Wondo lebih dulu tiba di pekuburan ini. Aku penasaran. Suatu hari habis subuh gue ke pekuburan. Kubawa lampu senter sebab belum sepenuhnya terang. Lagi-lagi Pak Wondo sudah berada di situ. Selalu ia tersenyum menyambutku. Agaknya ia tahu kepenasaranku.

*****

Hari ini gue lupa hari keberapa perjumpaanku dgn Pak Wondo. Aku jadi lebih semangat ke pekuburan sebab di sana ada sahabat mengembangkan. Bahkan kadang-kadang kami bisa sepanjang hari di pekuburan. Aku menduga, niscaya Pak Wondo sudah hampir selesai membersihkan makam anak & istrinya. Aku memang agak telat, agak kesiangan.

Kumasuki pekuburan dgn hati gembira sebab akan berjumpa anakku, meski hanya dlm doa. Sepi. Tidak ada suara apa pun. Biasanya paling tak ada bunyi sapu yg digerakkan Pak Wondo untuk menghalau daun-daun kering yg berguguran di tanah makam. Aku celingukan mencari Pak Wondo. Tak ada. Ah, kali ini gue menang; gue lebih dulu hadir di pekuburan ketimbang Pak Wondo. Akhirnya gue mampu pula datang lebih awal dr Pak Wondo.

Namun sejurus kemudian tiba orang-orang dlm kebisingan. Mereka menjinjing perlengkapan untuk menggali kubur. Ah, ternyata hari ini ada yg akan dimakamkan di pekuburan ini. Orangorang itu dgn terampil mengukur & mencangkul tanah makam. Lo, yg dicangkuli kok persis di samping makam istri Pak Wondo? Padahal, Pak Wondo sering berangan-angan: jikalau meninggal, ia ingin dimakamkan di pekuburan ini, dekat makam anak-anaknya & di samping makam istrinya.

“Siapa yg meninggal?” tanyaku pada salah seorang penggali kubur itu. Ia masih membisu. “Siapa yg meninggal?” tanyaku lagi pada penggali kubur lain.

“Pak Suwondo,” jawabnya pelan, hampir tak terdengar.

Namun gue sangat jelas mendengar jawaban itu. Pak Wondo meninggal? Aku hampir tak percaya, namun kemudian gue ingat kata-katanya tatkala itu bahwa ia sudah pasrah kapan pun dipanggil Sang Pemilik Hidup. Masih kata Pak Wondo, Tuhan tak pernah memberi kabar tatkala akan memangil. Hari ini ternyata giliran Pak Wondo. Tak terasa air mataku menetes. Aku kehilangan teman mengembangkan di pekuburan ini.(*)