Lelaki Berselempang Sarung | Cerpen Uniawati

Perihal sosok lelaki berselempang sarung yg senantiasa mondar-mandir di kampung kami mungkin sudah dilupakan oleh banyak orang. Tak ada yg istimewa pada diri lelaki itu yg patut dikisahkan oleh orang-orang tua pada anak cucunya untuk menjaga ingatan tentang lelaki yg pernah menjadi kepingan kehidupan mereka pada masa kemudian. Namun, sosok laki-laki itu masih lekat dlm kenangan masa kanak-kanakku. Dalam kepolosan usiaku yg masih terbilang belia, sosok itu cukup dekat dgn kehidupan kami sekeluarga walaupun gue tahu bahwa setiap kehadirannya melahirkan perasaan kurang senang di hati ibu, pun panik pada diriku. Kecuali bapak, tak ada yg begitu bahagia menyambut setiap kunjungannya di rumah panggung kami. Entah, senantiasa saja muncul perasaan takut & cemas setiap kali kulihat langkahnya meniti belum dewasa tangga rumah kami.

Kugelari ia selaku laki-laki berselempang sarung karena penampilannya selalu lekat dgn sarung yg diselempangkan menyilang di atas pundaknya. Sarung itu tak pernah lepas dr tubuhnya. Sarung yg sama, seperti halnya pakaian yg menutupi ceking hitam tubuhnya. Celana pendek & kemeja kotak-kotak kumal yg tak pernah dikancing, kecuali saat ikut Jumatan di masjid. Sebuah songkok hitam yg tak kalah kumal senantiasa bertengger di atas kepala menutupi seluruh uban yg hampir memenuhi kepalanya. Ia jarang mandi, kata orang-orang di kampungku. Tersebab itulah baunya sangat apak. Anak kecil seusiaku kala itu tak akan tahan berlama-usang berada dlm radius kurang dr 5 meter darinya. Meskipun begitu, ia seakan tak peduli & tetap tenteram menempatkan dirinya di mana pun & dlm kondisi apa pun. Tidak jarang, justru orang-orang di kampung kami yg menekan rasa malu tatkala pada program-program tertentu yg didatangi pejabat dr kecamatan, ia datang menyeruak dengan-cara tiba-tiba untuk sekadar ikut ngobrol sambil menikmati suguhan.

Lelaki berselempang sarung itu memang mempunyai kebiasaan ngobrol berlama-usang. Tatkala mengobrol, ia tak pernah kehabisan bahan untuk diceritakan. Semua yg diceritakan itu senantiasa berhubungan dgn masa lalunya yg “gilang-gemilang”. Pernah suatu kali ada orang yg mungkin sudah kesal & lelah mendengar penuturannya, menyela dgn ketus bahwa tak ada guna mengungkit masa lalu jika kenyataannya kini sungguh jauh berbeda. Mendengar hal itu, ia secepatnya memperbaiki songkoknya kemudian beranjak pergi sambil bersungut-sungut tak jelas. Dapat ditentukan bahwa orang yg menyela pembicaraannya itu akan menjadi materi cercaannya di kawasan lain. Meskipun begitu, orang sekampung nyaris tak ada yg mau mempercayai ceritanya.

  Tanah Manokwari Cerpen Yuditeha

Samar kuingat lelaki itu diundang dgn sebutan Petta Sodding. Dari namanya, ia sebenarnya bukan berasal dr lapisan masyarakat kelas bawah. Ia seorang keturunan bangsawan, sebuah strata yg cukup terpandang di kampung kami: kampung Bugis. Karena derajat kebangsawanannya itulah sehingga meskipun kehadirannya cukup menyebabkan perasaan tak tenteram bagi warga, ia tetap dibiarkan berada di kampung kami. Seingatku, ia tak mempunyai pekerjaan dlm pengertian sesuatu yg mampu menghasilkan nafkah, bahkan sekadar untuk mengisi perut. Kerjanya hanya berlangsung mondar-mondar sepanjang jalan yg membagi dua perkampungan kami. Sambil berjalan ia tanggap melirik rumah yg dapat dijadikannya kawasan persinggahan untuk sekadar mencari sobat ngobrol sekaligus menumpang makan & minum.

Pada usia yg cukup senja, hidupnya ia gantungkan dr belas kasih orang-orang di kampung kami. Tak jarang ia harus mendapatkan perilaku berangasan & diusir dr rumah salah seorang penduduk yg merasa terusik dgn kehadirannya. Jika sudah begitu, ia akan secepatnya pergi meninggalkan rumah itu sambil bersungut-sungut tak terperinci lalu pindah ke rumah lain yg penghuninya lebih terbuka mendapatkan kadatangannya. Namun, paling sering orang-orang sengaja menutup pintu rumahnya demi menghindari kedatangan laki-laki itu, terutama pada siang hari, pada waktu makan siang.

“Petta Sodding dulunya memiliki istri & satu orang anak lelaki. Rumahnya terletak di pinggir kampung, agak terpencil dr permukiman warga kampung. Jika sudah memasuki rembang petang, kampung yg saat itu belum dialiri listrik terasa menakutkan & mencekam bagi siapa pun yg melintas di depan rumah Petta Sodding. Entah sejak kapan ia meninggalkan rumahnya & memilih hidup lontang-lantung dr panrung [1] ke panrung. Ia tak pernah lagi mau menginjakkan kaki di rumahnya meskipun anak istrinya berurai air mata memintanya pulang ke tempat tinggal,” kata Bapak suatu tatkala menjawab pertanyaanku perihal keluarga Petta Sodding.

“Ia dulunya orang kaya & cukup terpandang di kampung ini. Hidupnya sangat enak. Karena hidup lezat itulah sehingga membuatnya lupa pada fitrahnya sebagai insan. Ia berlaku angkuh & kikir pada semua orang. Ia bahkan tak sudi menerima tamu di rumahnya. Jika ada orang yg datang ke rumahnya, siapa pun itu, ia akan secepatnya mengelap bekas jejak kaki orang itu di lantai rumahnya sesaat sesudah orang itu melangkahkan kaki ke luar melalui ambang pintu. Ia tidak ingin mengotori rumahnya dr insan luar,” lanjutnya.

Mabusungngi [2],” timpal Ibu sedikit sewot.

+62 821-9485-4xxx menambahkan Anda

Entah siapa yg menyertakan nomorku ke dlm suatu grup WhatsApp keluarga. Belum ada percakapan yg tampil di layar handphone. Kulihat beberapa nama yg muncul di info grup menampilkan nama-nama yg kukenal. Kubiarkan beberapa saat sebelum bunyi ting-tong menandai masuknya suatu chat baru.

Siapa yg menyimpan foto Indo & Ambo?

Aku tersenyum membaca pesan itu. Ingatanku terbang pada dua sosok bersahaja, sosok yg meneteskan embun dr garis lengkung bibirnya. Masa kanak-kanakku banyak kulewatkan bareng mereka. Aku sungguh menyukai elong-kelong yg acapkali disenandungkan indo tatkala ia duduk mengayam tikar atau bakul. Di sebelah indo, ambo biasanya duduk sambl meraut lembar-lembar daun lontar yg akan dipakai indo untuk menyelesaikan anyamannya. Aku yg masih cadel kebagian memotong ujung-ujung lungsin & pakan yg tak bisa lagi ditekuk.

“Supaya rapi,” kata Indo dgn senyum yg tak pernah ingkar pada kedua bibirnya.

Ambo serta merta akan menimpali dgn kekehan khasnya. Tanpa kata. Ambo memang jarang mengatakan. Meskipun begitu, Ambo senantiasa tersenyum dgn tatapan yg meneduhkan. Ambo sungguh mencintai Indo & kami, anak cucunya.

Ah, masa-masa yg indah.

Tiba-tiba rasa rindu menyeruak kemudian menggerumuk di segi kalbuku. Kusempatkan mengirim Alfatihah & doa untuk mereka. Berharap mereka diberikan tempat terbaik di sisi-Nya.

Kuperhatikan kembali layar handphone. Beberapa dialog sudah menyanggupi layar dibarengi aneka macam model emoticon. Mulai dr senyum persyaratan, senyum ngakak, mata mendelik, hingga pengecap menjulur.

Awwee… pergi mako cepat mandi.

Seperti ko nanti Petta Sodding baumu.

Aku terpana membaca obrolan terakhir itu. Kulihat pesan itu dikirim oleh salah seorang ponakanku yg baru saja masuk Sekolah Menengah Pertama. Wah, legenda Petta Sodding sampai pula di pendengaran anak ini, batinku.

Wangi baunya itu Petta Sodding na…

Nakalah ko semua

Kukirim obrolan di grup sekadar menyikapi candaan mereka. Aku ingin tau dr siapa ia mendengar nama Petta Sodding, lengkap dgn atribut yg dilekatkan orang kepadanya.

Ha ha ha…

Rupanya gue keliru. Petta Sodding tak benar-benar dilupakan. Lelaki berselempang sarung itu bahkan sepertinya sudah melegenda. Meskipun sosoknya tak begitu istimewa, ada kepingan tertentu dlm hidupnya yg membekas dlm kenangan kolektif warga di kampungku. Ingatan itulah yg acapkali dilontarkan oleh orang-orang dewasa pada bawah umur yg dinilai berprilaku tak wajar. Kalau dipikir-pikir, orang-orang di kampungku cukup pintar & tanggap terhadap realitas pada diri Petta Sodding. Dipilihnya bagian kisah yg mempesona untuk dijadikan bahan kelakar, tetapi sekaligus mampu mendidik. Dengan begitu, meskipun samar, bawah umur dr generasi di bawahku sepertinya tak gila dgn nama itu.

  Hikayat Tukang Kayu | Cerpen Abdul Hadi

Kubiarkan ingatanku kembali mengembara pada sosok Petta Sodding. Pada suatu siang yg terik, kulihat ia sedang berjalan tertatih.

Mungkin ia lapar atau haus, batinku.

Tiba di depan rumah, ia berbelok melangkah memasuki halaman rumahku. Aku tercekat cemas. Di rumah tak ada sesiapa. Bapak & Ibu belum pulang dr kebun. Tidak biasanya mereka terlambat pulang. Aku ingin berlari masuk & mengunci pintu, tetapi terlambat. Petta Sodding keburu melihatku duduk di lego-lego [3]. Ia eksklusif menaiki anak—anak tangga rumah kami. Dan Aku pun semakin gemetar.

“Minta air minum, Nak,” ucapnya.

Tanpa berkata sepatah pun, gue langsung berlari masuk ke dlm rumah. Mengisi gelas dgn air sepang, meletakkannya dlm tatakan kemudian membawanya ke luar. Kurasa gelas bergetar di atas tatakan. Bukan lantaran gue tak piawai menenteng air minum, melainkan rasa cemas & takut yg mengalir pada kedua tanganku.

Air dlm gelas ludes seketika.

“Minta ka nasimu, Nak,” ucapnya lagi.

Deg. Rasanya gue ingin menangis. Mengapa Ibu & Bapak belum pulang?

Aku pun membisu saja. Tidak lagi beraksi atas permintaannya yg terakhir. Rasa takutku terhadapnya saat itu melampaui ketakutanku pada kisah parakang atau peppo yg biasa dituturkan oleh Bapak menjelang Magrib. Ingin berteriak namun lidah begitu kelu. Bahkan bernapas pun rasanya sukar kulakukan. Kurasakan diriku terlempar dlm pusaran waktu yg beku. Tak ada pergerakan.

Melihatku tak berbuat apa-apa, Petta Sodding mendengus kesal. Memutar badan, menyusuri bawah umur tangga rumah kami. Di belakang laki-laki berselempang sarung itu, gue terisak. Samar terdengar keluh-kesahnya,

too to too to temmassappa…[4]

too to too to temmassappa…

Tok tok tok

Aku pun tersentak. (*)


Catatan kaki:

[1] Panrung (Bahasa Bugis): artinya ‘balai-balai’. Pada rumah-rumah Bugis, umumnya terdapat panrung di kolong rumah yg biasa dijadikan sebagai daerah berkumpul, beristirahat, & berbincang santai.

[2] Kualat

[3] Teras rumah panggung yg terletak di kepingan depan rumah.

[4] Ungkapan dlm bahasa Bugis yg artinya bahwa takdir itu sudah digariskan oleh Tuhan