Lebaran, Ibu, dan Seekor Kucing | Cerpen A Warits Rovi

Sejak tempat tempatku bekerja dinyatakan sebagai zona merah, gue selalu menaruh curiga pada Barto, kucing kesayanganku yg sudah dua tahun menemaniku di kontrakan ini.

EKORNYA yg meliuk panjang berparam bulu halus-tebal yg berwarna kuning & putih itu tak lagi menimbulkan keindahan di mataku. Setiap kali ia pulang ke kontrakan & mengeong untuk makan, selesai-simpulan ini kerap kuabaikan sampai ia cuma meringkuk di pojok dapur dgn mata redup & lidah menjilat-jilat kaki depan. Aku baru memberinya makan bila ia ada di sana.

Aku mempertahankan jarak dgn kucing yg sebelumnya selalu tidur bersamaku itu. Berkali-kali ia berupaya masuk ke kamar, tapi selalu kuusir sampai ia pergi sambil mengibaskan ekornya dgn gerak yg lemas. Seiring persebaran Covid-19 makin merebak, gerak Barto makin kubatasi. Memasuki bulan ramadhan, ia cuma kuperbolehkan pulang hingga di teras. Ia sering mengeong keras berencana hendak masuk sambil ke sana kemari mirip mengundang-manggil namaku. Aku sekadar mengintip dr beling jendela & melemparinya kuliner sekadarnya.

Setahuku Barto punya banyak betina di sepanjang gang pepaya ini. Setiap kali keluar rumah, tentu ia akan bersinggungan dgn betinanya. Di antara betina-betina itu bisa saja salah satunya milik orang yg positif Covid-19. Jika demikian, tubuh Barto sedang menjinjing virus mematikan itu. Aku tidak ingin kucing itu menularkannya padaku. Sebab, bila itu terjadi, gue pasti sakit keras & meninggal. Kalaupun tak demikian, gue akan menularkan virus itu pada yg lain. Lebih-lebih pada ibu yg berada nun jauh di sana tatkala nanti gue balik kampung. Aku tak ingin hal itu terjadi.

“Maaf, Barto. Untuk sementara, keadaan dunia sedang mengganti keakraban & kebersamaan kita dikala ini,” batinku di balik beling jendela. Barto mengeong mondar-mandir di luar.

*****

Aku membayangkan malam Idulfitri di kampung: ibu duduk di depan tungku, menyorong carahan kayu nyamplung kering sampai apinya berkobar, menciptakan air dlm panci bergelegak. Mengepulkan asap putih yg membubung. Keringat ibu membutir di dahinya, menerka-duga satu atau dua jam lagi ketupat yg dimasaknya akan matang.

Sedang di luar, langit kelam ditaburi pecahan cahaya kembang api & jalanan berbedak sobekan kertas halus dr petasan yg meledak, asap anyir potasium memenuhi pembauan. Aroma kue & masakan dr dapur-dapur seolah berpapasan karib & saling sapa dgn bunyi takbir & tahmid yg melengking lembut dr speaker surau & masjid-masjid.

  Batu | Cerpen Humam S. Chudori

Biasanya ibu akan mengingatkanku dgn tatap mata suram. Bahwa besok sesudah salat Id mesti berziarah ke makam ayah, menjinjing bunga, dupa, & membaca Fatihah.

“Ah! Tahun ini tak mungkin!”

Aku menutup jendela. Menjatuhkan badan di kasur. Membenamkan wajah dlm impitan bantal-bantal, mencicipi lelehan cuek di pipi & di kejauhan ada sosok ibu mirip mengundang-manggil namaku dgn suara serak.

“Meooong!” tiba-tiba bunyi Barto di dekat pendengaran. Aku sangat terkejut setelah menggeser bantal & membuka mata, ternyata ia berada di samping kepalaku. Sontak gue bangun & mengibaskannya hingga ia sedikit terlempar ke luar pintu.

“Huhh! Virus!”

*****

Ibu mengabarkan seluruhnya melalui telepon bahwa ia sudah menyiapkan hal-hal yg berafiliasi dgn Idulfitri semenjak tanggal 15 bulan ampunan. Kue tupaserat, bajik, halwa, & kudapan manis khas Madura lainnya yg menjadi kesukaanku telah ia kemas rapi dlm stoples karet bergambar pecahan kelopak bunga yg ibu beli atas permintaanku dahulu tatkala usiaku masih 5 tahun.

Rumah sudah ia bersihkan & potongan eksteriornya sudah dicat ungu sesuai dgn permintaanku beberapa ahad sebelum puasa. Ibu menghabiskan separo uang yg kukirimkan sementara waktu kemudian untuk membeli cat & mengongkos tukang.

Tak hanya itu, ibu pula sudah memesan rentengan petasan pada Man Umar yg sejak dulu memang dikenal selaku penjualpetasan paling berkualitas di desaku. Ingatan ibu masih tajam. Bahwa gue gemar menyulut petasan pada malam Idulfitri atau seusai salat Id di surau Kiai Hanif.

“Pokoknya ananda mesti pulang. Semua kesukaanmu di Hari Lebaran sudah ibu siapkan dgn sukar payah, Cong!” pinta ibu di ujung telepon dgn suara lembut yg diulang dua kali. Aku menerangkan dgn rinci kenapa Lebaran tahun ini tak bisa pulang. Ibu menyimak dgn baik semua penjelasanku, tapi pada kesannya tetap memaksaku untuk pulang. Ibu tak tahu bahwa pandemi benar-benar ada. Dan ia malah mengabarkan beberapa sobat sepermainanku yg nekat pulang kampung dgn sembunyi-sembunyi. Ada yg ikut truk pengangkut barang, ada yg ikut travel dgn harga mahal, & ada yg menempuh jalur laut lewat sampan kecil yg sarat risiko.

  GoKill | Cerpen Seno Gumira Ajidarma

“Semua pulang demi berlebaran di kampung. Mereka rela berkorban demi berlebaran dgn keluarga. Kamu harus mirip mereka,” bunyi ibu agak nyaring. Sejenak kami termenung. Hanya napas ibu yg terdengar naik turun.

Di final percakapan gue cuma minta pada ibu untuk memikirkan semua itu. Aku yg semula tak mau mudik, sedikit demi sedikit timbul impian untuk mudik. Tapi, gue sangsi, cemas gue menenteng virus yg malah menjinjing pengantar kematian bagi ibu.

*****

Aktivitas menarik yg bisa mengusir kegalauan tak lain yaitu menyiram bunga. Sore itu pikiranku berkecamuk oleh dua impian antara balik kampung atau tidak. Wajah ibu selalu berkelebat di kelopak mata. Seolah gue durhaka bila di Hari Idulfitri nanti tak bersamanya. Aku memaklumi itu alasannya ibu hanya hidup sendirian. Setahun tanpaku tentu menimbulkan rasa rindu yg mendalam dr seorang ibu pada anak satu-satunya. Tapi, kondisi pandemi membuatku sangsi. Aku galau & risau.

Kuambil bor berleher mirip belibis. Mulai menyiram bunga pada pukul 4 sore. Selain mengusir galau, hitung-hitung sambil menunggu waktu berbuka puasa. Ujung bor yg dipenuhi lubang-lubang halus memancarkan air dgn alir halus yg menyebar lebar ke sekitar mirip kelopak bunga yg panjang. Aku memulainya dr jenis bunga-bunga yg kecil sampai jenis bunga yg besar. Angin sore bertiup lirih. Perlahan kegalauanku pudar.

Ketika kali keenam gue menyalin air ke tabung bor, tanpa kuduga Barto datang & pribadi menggesek betisku. Aku melompat terkejut seraya melepas bor sampai jatuh ke tanah, menimpa sebagian bunga.

“Huh! Barto!” bentakku seketika. Barto mengeong & kembali berlangsung menuju betisku dgn tatap yg lembut mirip memintaku agar menggendong tubuhnya mirip bulan-bulan kemudian tatkala belum terjadi pandemi. Aku berupaya mengelak , namun ia mengejarku.

“Pergi kau, Barto. Kau niscaya menjinjing virus,” kataku nyaring.

Ia terus mengeong, berlari menyusuri rerimbun bunga hingga ia melompat ke luar pagar di penggalan timur.

Ketika berbuka puasa, gue baru sadar, sudah tiga hari Barto tak kuberi makan. Mungkin tadi ia datang untuk mengisi perutnya yg keroncongan. Aku sedikit kasihan pada kucing itu. Saat kulihat ke luar pagar, ternyata sudah tak ada.

Saat gue melangkah untuk mencari Barto ke arah gang pepaya, tiba-tiba ponsel berbunyi, ada panggilan dr ibu. Saat kuterima, suara pertama yg kudengar yakni isak tangis. Aku terkejut. Sejenak tak ada kata-kata.

  Pulang Kampung | Cerpen Herumawan PA

“Kenapa ibu seperti menangis?” gue membuka percakapan.

“Apa ananda tetap tidak mau pulang kampung, Nak?” ibu balik bertanya.

Sebentar gue balik masuk ke pekarangan & mengunci pintu pagar.

“Idulfitri sudah di depan mata, Nak! Jika ananda tidak memiliki duit, biar perhiasan ibu kujual & uangnya akan kukirimkan kepadamu.”

“Oh, tidak, Bu, bukan alasannya adalah saya tak punya duit.”

“Lalu alasannya apa?”

“Begini, Bu. Sekarang ada usulan agar tak pulang kampung dahulu. Semua orang lebih baik di rumah saja. Agar tak terkena virus korona, Bu. Virus itu sangat mematikan.”

Ibu cuma termangu, mungkin bimbang mau menjawab apa. Suara isaknya masih terdengar.

*****

Berlebaran di tanah rantau cukup menciptakan rasa rindu pada keluarga begitu tajam. Tapi, tahun ini, semua itu harus terjadi demi keamanan bareng . Subuh hari tatkala gema takbir, tahlil, & tahmid kemenangan dilantunkan di masjid-masjid, kerinduanku pada ibu makin mengiris batin. Tak terasa air mata berlinang. Segera kupanggil beliau. Aku ingin mendengar suaranya di hari yg fitri ini.

Setelah tiga kali panggilan, risikonya gres diterima. Aku mampu meminta maaf padanya. Suara ibu serak & lemas. Isak tangisnya kembali kudengar, ternyata ibu sedang sakit. Tapi, meski dirinya sakit, ibu sudah menyiapkan ketupat kesukaanku semenjak semalam.

“Saya kan tak ada di situ. Lalu bagaimana dgn ketupat itu, Bu?”

“Nanti setelah salat Id, gue akan memanggil bocah-bocah ke sini. Biar mereka yg makan ketupat ini. Aku akan menganggap mereka adalah ananda yg lain yg sekarang bersamaku,” suara ibu lirih, beriring isak. Tak terasa air mataku pula tumpah. Setelah puas kami berbincang, lalu telepon kumatikan. Dadaku gelisah sebab teringat ibu. Demi sedikit mengobati kegundahan itu, gue menuju pekarangan, menyejukkan mata dgn melihat bunga-bunga berkeramas embun.

Setelah beberapa langkah di antara barisan bunga melati, gue terkejut melihat Barto terkulai lemas. Semut-semut sudah memenuhi ekornya. Aku berteriak mengundang namanya. Tapi tak berani menjamah. Aku tetap cemas ia membawa virus.

Suara takbir, tahlil, & tahmid masih menggema. Aku bingung bagaimana harus meminta maaf pada kucing kesayanganku itu. (*)