Laki-laki Pemanggul Goni | Cerpen Budi Darma


Oleh: Budi Darma


Setiap kali akan sembahyang, sebelum sempat menggelar sajadah untuk sembahyang, Karmain senantiasa ditarik oleh kekuatan luar biasa besar untuk mendekati jendela, membuka sedikit kordennya, & mengintip ke bawah, ke jalan besar, dr apartemennya di lantai sembilan, untuk menyaksikan laki-laki pemanggul goni menembakkan matanya ke arah matanya.


Tidak tergantung apakah fajar, tengah hari, sore, senja, malam, ataupun selepas tengah malam, mata laki-laki pemanggul goni senantiasa menyala-nyala bagaikan mata kucing di malam hari, & selalu memancarkan kehendak besar untuk menghancurkan.

Tubuh pria pemanggul goni tak besar, tak pula kecil, & tak tinggi namun pula tak pendek, sementara goni yg dipanggulnya selamanya tampak berat, entah apa isinya. Pada waktu sepi, laki-laki pemanggul goni niscaya berdiri di tengah jalan, & pada waktu jalan ramai, pasti laki-laki pemanggul goni berdiri di trotoir, tak jauh dr semak-semak, yg bila sepi & angin sedang kencang selalu mengeluarkan bunyi-bunyian yg sangat menyayat hati.

Beberapa kali terjadi, tatkala jalan sedang ramai & pria pemanggul goni menembakkan mata kepadanya, Karmain dgn tergesa-gesa turun, lalu mendekati semak-semak dekat trotoir, tetapi pria pemanggul goni niscaya sudah tak ada lagi. Dan tatkala Karmain bertanya pada beberapa orang apakah mereka tadi menyaksikan ada seorang laki-laki pemanggul goni, mereka menggeleng.

Apabila hari masih terang, berulang kali laki-laki pemanggul goni membaur dgn orang-orang yg sedang menanti bus, sambil menembakkan matanya ke arah Karmain. Tapi, tatkala Karmain tiba di kawasan orang-orang yg menunggu bus, laki-laki pemanggul goni sudah tak ada, & orang-orang pasti menggelengkan kepala apabila mereka ditanya apakah tadi mereka menyaksikan ada laki-laki pemanggul goni.

Pada suatu hari, tatkala hari sudah melalui tengah malam & Karmain sudah bangun lalu membersihkan badan untuk sembahyang, korden jendela seakan-akan terkena angin & menyelisik dgn sendirinya. Maka Karmain pun bergegas mendekati jendela, & menyaksikan di bawah sana, di tengah-tengah jalan besar, pria pemanggul goni berdiri membungkuk mungkin alasannya adalah goninya terlalu berat, sambil menembakkan matanya ke arah dirinya. Kendati lampu jalan tak begitu terang, terlihat dgn terang wajah laki-laki pemanggul goni menyiratkan rasa amarah, & menantang Karmain untuk turun ke bawah.

Karena sudah sudah biasa menyaksikan pria pemanggul goni berperilaku, dgn lembut Karmain berkata: ”Wahai, laki-laki pemanggul goni, mengapakah kamu tak naik saja, & ikut bersembahyang bersama saya.” Kendati jarak antara jendela di lantai sembilan & jalan besar di bawah sana cukup jauh, tampak laki-laki pemanggul goni mendengar permintaan lembut Karmain. Wajah laki-laki pemanggul goni tampak berkerut-kerut murka, & matanya makin tajam, makin menyala, & makin mengancam.

”Baiklah, laki-laki pemanggul goni, kalau kamu tak sudi naik & sembahyang bareng saya, tunggulah saya di bawah. Saya akan sembahyang dahulu. Sejak saya masih kecil hingga dgn saatnya ibu saya akan meninggal, ibu saya selalu mengingatkan saya untuk sembahyang dgn teratur lima kali sehari. Fajar sembahyang satu kali. Itulah sembahyang subuh. Tengah hari sembahyang satu kali. Itulah sembahyang lohor. Sore satu kali, itulah sembahyang ashar. Senja satu kali. Itulah sembahyang maghrib. Malam satu kali. Itulah sembahyang isya. Lima kali sehari. Dan kalau perlu, enam kali sehari, perhiasan sekali sehabis saya berdiri melalui tengah malam & akan tidur lagi. Itulah sembahyang tahajud. Dan ananda senantiasa mengawasi saya, seperti ananda tak tahu apa yg patut gue lakukan & apa yg tak patut gue lakukan.”

Dengan tenang Karmain menutup korden, namun alasannya adalah sekonyong-konyong angin bertiup keras, korden menyelisik kembali. Laki-laki pemanggul goni tetap berdiri di tengah jalan, tetap menampakkan wajah sarat kerut menerangkan kemarahan besar, & tetap menembakkan matanya dgn nyala mengancam. Di sebelah sana, dekat trotoir di sebelah sana, semak-semak bergoyang-goyang keras tertimpa angin, & mengantarkan bunyi-bunyi yg sungguh-sungguh menyayat hati.

Karmain melayangkan pandangannya ke depan, ke formasi apartemen-apartemen besar, & tampaklah semua lampu di apartemen sudah padam, sejak berjam-jam yg kemudian. Lampu yg masih menyala hanyalah lampu-lampu di gang-gang yg menghubungkan apartemen-apartemen itu, sementara lampu merah di tiang tinggi di sebelah sana itu, berkedip-kedip seperti biasa, seperti biasa menjelang hari menjadi gelap, atau mendung, atau hujan lebat.

Seperti lazimpula, lampu di daerah pemberhentian bus menyala, sebetulnya terang, tetapi tampak redup. Selebihnya sepi, kecuali angin yg tetap menderu-deru. Karmain pindah ke kamar lain, yg korden jendelanya ternyata pula terbuka, kemudian melihat jauh ke sana. Di sana itu, ada laut, & walaupun gelap, terasa benar bahwa bahari benar-benar sedang bingung.

Sembahyang selesailah, lalu Karmain mendekati jendela, & pria pemanggul goni masih di sana, masih menawarkan wajah marah, masih menembakkan persepsi mengancam. Maka Karmain turunlah. Dan tatkala Karmain tiba di tepi jalan, pria pemanggul goni tak ada. Angin masih bertiup keras. Seekor anjing hitam, besar & tinggi tubuhnya, mengawasi Karmain sekejap, kemudian menyeberang jalan, & di tengah jalan berhenti lagi sebentar, mengawasi Karmain lagi, lalu lari ke arah kegelapan. Lalu terdengar lolongan-lolongan anjing, lolongan kesakitan, lolongan pada dikala-ketika meregang nyawa.

Dulu, tatkala masih kecil, Karmain erat karib dgn Ahmadi, Koiri, & Abdul Gani, seluruhnya dr kampung Burikan. Dan di kampung Burikan tak ada satu orang pun yg memelihara anjing, & anjing dr kampung-kampung lain pun tak pernah berkeliaran di kampung Burikan. Terceritalah, tatkala mereka sedang berjalan-jalan di kampung Barongan, mereka terpesona untuk mencuri buah mangga di pekarangan rumah seseorang yg terkenal sebab anjingnya sungguh galak. Belum sempat mereka memanjat pohon mangga, dgn sangat secara tiba-tiba ada seekor anjing hitam, tinggi & besar tubuhnya, menyalak-nyalak ganas, kemudian mengejar mereka.

Sebulan kemudian, anjing hitam berbadan tinggi & besar mati, setelah terperangkap oleh racun hasil ramuan Ahmadi, Koiri, & Abdul Gani.

Karmain menunggu beberapa saat, sambil berkata lembut & perlahan-lahan: ”Wahai, laki-laki pemanggul goni, di manakah kamu kini. Marilah kita berjumpa , & berbicara.”
Karena tak ada peristiwa apa-apa lagi, Karmain berlangsung menuju semak-semak, dan, meskipun tiupan angin sudah meredup, semak-semak masih bergerak-gerak, membuat bunyi-suara yg menyayat hati.

Karmain kembali ke lantai sembilan, masuk ke dlm apartemen, kemudian mencari berkas-berkas lama yg sudah usang tak ditengoknya. Setelah membuka-buka sana & sini, Karmain mendapatkan album usang. Ada foto ibunya tatkala masih muda, seorang janda yg ditinggal oleh suaminya sebab pada hari raya Idul Adha, suaminya tertembak tatkala sedang berburu babi hutan bersama sahabat-temannya di hutan Medaeng. Ada lima pemburu, tergolong dia, ayah Karmain. Mereka berlima masuk hutan bareng -sama, kemudian melihat seekor babi hutan berlari kencang, menabrak beberapa semak-semak. Untuk mengejar-ngejar babi hutan itu, mereka berpisah, masing-masing lari ke berbagai arah. Siapa di antara empat temannya yg dgn tak sengaja menembak ayah Karmain, atau justru dgn sengaja menembaknya, tak ada yg tahu.

Karmain terpaku pada foto ibunya hingga usang, kemudian, tanpa sadar, ia terisak-isak. Dulu ibunya pernah bercerita, bahwa pada waktu-waktu tertentu akan ada laki-laki pemanggul goni, mendatangi orang-orang berdosa. Pekerjaan laki-laki pemanggul goni yaitu mencabut nyawa, kemudian memasukkan nyawa korbannya ke dlm goni. Ibunya pula bercerita, beberapa hari sebelum suaminya tertembak, pada tengah malam laki-laki pemanggul goni tiba, mengetuk-ngetuk pintu, kemudian pergi tanpa meninggalkan jejak.

”Pada hari Idul Adha,” kata ibu Karmain dahulu, sebelum ayahnya pergi berburu. ”Tuhan menguji kesetiaan Nabi Ibrahim. Anaknya, Ismail, mesti disembelih oleh ayahnya, oleh Nabi Ibrahim sendiri.”

Karmain tertidur, & tatkala terbangun, waktu sembahyang fajar sudah tiba. Dan sesudah Karmain membersihkan badan, siap untuk sembahyang, korden jendela menyingkap lagi. Laki-laki pemanggul goni berdiri di tengah jalan lagi, wajahnya menawarkan kemarahan lagi, & matanya menyala-nyala, menantang lagi.

”Baiklah, pria pemanggul goni, harap ananda jangan lari lagi.”

Dengan sangat buru-buru Karmain turun, langsung ke pinggir jalan, & laki-laki pemanggul goni sudah tak ada.

Ketika Karmain tiba kembali di apartemennya, ternyata pria pemanggul goni sudah ada di dalam, duduk di atas sajadah, melantunkan ayat-ayat suci, sementara goninya terletak di sampingnya.

Setelah selesai berdoa, tanpa menatap Karmain, laki-laki pemanggul goni berkata lembut: ”Karmain, ananda kini sudah menjadi orang penting. Kamu sudah menjelajahi dunia, & akibatnya ananda di sini, di negara yg populer sejahtera. Bahwa ananda tidak ingin kembali ke tanah airmu, bukan masalah penting. Tapi kenapa ananda tak pernah lagi berpikir ihwal makam ayahmu? Tidak pernah berpikir lagi ihwal makam ibumu. Makam orangtuamu sudah usang rusak, tak terawat, tanahnya karam tergerus oleh banjir setiap kali hujan tiba, & ananda tak pernah peduli.”

Laki-laki pemanggul goni berhenti sebentar, kemudian mengajukan pertanyaan:
”Apakah ananda beserta sahabat-sahabatmu, Ahmadi, Koiri, & Abdul Gani, pernah kehilangan arah di hutan Gunung Muria?”

”Ya.”

”Tahukah ananda ke mana teman dekat-sahabatmu itu pergi?”

”Tidak.”

”Mereka saya ambil. Saya tahu, kalau mereka tak saya ambil, pada suatu dikala kelak dunia akan gaduh. Gaduh sebab, jika tetap hidup, mereka akan mengacau, membunuh, & membuatkan nafsu besar untuk berbuat dosa. Saya tak mengambil ananda alasannya kasihan. Kamu habis kehilangan ayah. Ayah bejat. Pada saat seharusnya ia di masjid, bersembahyang, & kemudian membantu orang-orang menyembelih kambing, ayahmu berkeliaran di hutan. Bukan untuk menyembelih kambing, tetapi memburu-ngejar babi hutan untuk dibunuh. Ingatlah, pada hari Idul Adha, tatkala Nabi Ibrahim sedang menyembelih anaknya sendiri, Ismail, datang keajaiban. Bukan Ismail yg disembelih, tapi kambing.”

Berhenti sebentar, kemudian pria pemanggul goni bertanya dgn nada menuduh:
”Apakah benar, tatkala ananda masih remaja, ananda menjadi penabuh beduk masjid kampung Burikan? Setiap dikala sembahyang tiba, lima kali sehari, ananda menabuh beduk mengingatkan siapa pun untuk sembahyang?”

Karmain ingat, tatkala masih umurnya memasuki masa remaja, ia bercita-cita, kelak bila sudah akil balig cukup akal, ia akan mempunyai gedung bioskop. Maka, dgn caranya sendiri, ia membuat bioskop-bioskopan. Kertas tipis ia gunting, ia bentuk menjadi orang-orangan. Lalu dgn bersungguh-sungguh ia membuat roda kecil dr kayu. Orang-orangan dr kertas tipis ia ikat pada benang, benang ditempelkan pada roda kayu. Lalu ia memasang kertas minyak, menutup semua jendela agar gelap, menyalakan lilin, menggerak-gerakkan orang-orangan. Dari balik kertas minyak terpantulah bayangan orang-orangan. Mereka mampu berlari-lari, berkejar-kejaran, & saling membunuh, mirip yg terjadi pada tontonan wayang kulit.

Demikianlah, pada suatu hari, tatkala sedang asyik-asyiknya bermain bioskop-bioskopan, tiba-tiba Karmain ingat, waktu untuk menabuh beduk sudah tiba. Maka berlarilah ia ke masjid, meninggalkan kertas-kertas tipis berserakan di lantai. Seorang anak kampung Burikan pula, Amin namanya, sudah datang apalagi dahulu, & sudah menabuh beduk. Setelah selesai sembahyang, Karmain & beberapa orang pulang. Dalam perjalanan pulang itulah, mereka melihat asap hitam pekat membubung ke langit. Udara pun menjadi luar biasa panas.

Hampir seperempat rumah di kampung Burikan terbakar, & dua pria lumpuh meninggal, terjebak oleh kobaran-kobaran api.

”Karmain,” kata laki-laki pemanggul goni sambil menunduk, ”Janganlah ananda pura-pura tak tahu, ananda lari ke masjid, sementara lilin masih menyala.”

Sunyi senyap, & pria pemanggul goni tetap tertunduk.

”Wahai, pria pemanggul goni,” kata Karmain setelah termenung agak lama. ”Ibu saya dahulu pernah berkata, ada laki-laki pemanggul goni yg sebetulnya, ada pula pemanggul goni yg sebetulnya setan, & menyamar sebagai laki-laki pemanggul goni.”

Laki-laki pemanggul goni tersengat, kemudian memandang tajam ke arah Karmain.

Wajahnya sarat kerut-kerut membuktikan rasa amarah yg sungguh besar, & matanya benar-benar merah, betul-betul ganas, & betul-betul menantang.

Setelah membisikkan doa singkat, Karmain berkata lagi: ”Bagaimana ananda mampu tahu, wahai laki-laki pemanggul goni, bahwa kelak Ahmadi, Koiri, & Abdul Gani akan membuatkan dosa yg bikin orang-orang kehilangan arah?”

Laki-laki pemanggul goni, dgn kerut-kerut parasnya & nyala matanya, dgn nada ganas berkata: ”Hanya sayalah yg tahu apa yg akan terjadi seandainya mereka saya biarkan hidup.”

”Wahai, laki-laki pemanggul goni, cuma Nabi Khidirlah yg tahu apakah seorang anak kelak akan menciptakan dosa-dosa besar atau tidak. Apakah ananda tak ingat, Nabi Khidir menenggelamkan bahtera seorang anak muda yg tampan? Nabi Khidir tahu, kelak anak ganteng ini akan menjadi pengacau dunia. Dan Nabi Khidir pun mempunyai hak untuk menghancurleburkan sebuah rumah mewah. Sebuah rumah mewah yg dihuni oleh seorang bayi yg kelak akan membahayakan dunia.”

Dan Karmain ingat benar, dahulu, menjelang kebakaran jago melanda kampung Burikan, kata beberapa orang saksi, pria pemanggul goni tiba. Lalu, kata beberapa saksi pula, pria pemanggul goni masuk ke rumah Karmain, kemudian bergegas-gegas ke luar, & melemparkan bola-bola api ke tempat tinggal Karmain. Dan sesudah api berkobar-kobar ganas menjilati sebagian rumah di kampung Burikan, beberapa orang dr kampung Burikan & kampung Barongan sempat melihat, pria pemanggul goni melarikan diri di antara lidah-pengecap api yg makin membengkak.