Aku membayangkan makamku kelak. Terpencil di kebun bambu, tak ada seorang pun yg berziarah, tak keluargaku sekalipun.
Entah ini perjalananku yg keberapa semenjak pandemi merebak. Jika mulai merasa bosan, gue akan pergi ke mana saja yg gue mau. Bukan kawasan-tempat terkenal untuk ber-selfie ria kemudian meng-upload-nya di media umum. Aku lebih menyebutnya selaku perjalanan sunyi lantaran melakukan perjalanan pada situasi seperti ini tidaklah gampang.
Aku lebih bahagia mendatangi makam orang-orang yg populer dgn kesalehannya. Setelah melaksanakan perjalanan sunyi, gue akan banyak merenung & mengkaji diri. Betapa mulia mereka yg telah meninggal dlm kebaikan. Makamnya banyak dikunjungi orang & didoakan.
Membayangkan makamku kelak, terpencil di kebun bambu, tak seorang pun yg berziarah, tak keluargaku sekalipun. Betapa mengenaskan. Sejak itu, keinginanku menjadi orang saleh begitu menggebu. Aku melaksanakan banyak ritual ibadah, berbuat baik pada sesama, & menjaga mulutku untuk berkata-kata baik saja. Perubahanku yg secara tiba-tiba tentu mengagetkan banyak orang. Siapa yg tak kenal aku? Perempuan binal, pengganggu suami orang.
Jauh sebelum ini, sobat-sahabat wanita menjauhiku. Mereka takut gue merebut para suami tanpa ampun. Mereka yg masih gadis pula menganggapku sebagai tentangan berat yg tak gampang untuk dikalahkan. Tapi, semenjak sering melakukan perjalanan sunyi, gue merasa maut begitu erat & mengerikan. Bukankah, katanya, malaikat maut mengintai kita 70 kali dlm sehari?
Dalam perjalanan kali ini, gue akan mendatangi makam seseorang di suatu desa nun jauh di kaki gunung. Dulu, katanya, orang ini ialah seorang preman. Namun, ia telah menerima hidayah. Dalam simpulan hidupnya, ia melakukan pertobatan. Semua harta ia sumbangkan untuk membuat tempat ibadah yg megah. Sebagian lagi ia sumbangkan pada penduduk desa daerah terakhir ia berdomisili. Sampai napas terakhir, ia tak memiliki apa-apa selain yg melekat di badan.
Hatiku bergetar mendengar kisah Wa Ujan kepala rombongan kami. Makamnya sekarang banyak didatangi orang. Tentu dgn bermacam tujuan. Termasuk aku, sekadar ingin melaksanakan suatu perjalanan sebagai suatu renungan.
Di dlm mobil yg berpenumpang orang-orang bermaksud sama ini, gue duduk di jok paling depan sebelum sopir. Seperti mobil elf pada umumnya, si pemilik mobil sering membuat jok perhiasan di belakang sopir sehingga para penumpang duduk berhadapan. Dan pria di balik masker itu sepertinya sengaja duduk di depanku. ia mempunyai sepasang mata yg sangat tajam.
Mata itu tak lepas menatapku, menel*njangi & membuatku tak tenteram. Berkali-kali gue memalingkan wajah untuk menghindar. Entah kenapa, hatiku berdebar andal. Rasa panik & takut menyusup dgn cepat.
Laki-laki itu seolah tak menangkap perasaan bingung yg tengah melandaku. Ia masih terus memandang, menembus hingga jauh ke dlm jiwa, menempel di sekujur tubuhku. Pandanganku menyapu penumpang lain yg tengah terlelap. Perjalanan masih sangat jauh.
Jika saja ada yg menunjukkan sebuah pinjaman, tentu hal pertama yg ingin kudapatkan yaitu jauhkan mata yg menghunjam itu dr tubuhku. Aku sungguh-sungguh menggigil. Rasa takut menyergap, & mulutku bertubi-tubi merapal nama Tuhan.
“Kau tahu siapa aku?” tanyanya tiba-tiba. Mengagetkan. Aku balik menatapnya dgn tajam & menyelidik. Barangkali mata itu kukenal. Siapakah dia? Bagaimana gue bisa memastikan, bibirnya tersembunyi di balik masker & perkataannya terlalu cepat. Aku tak terlalu yakin suara itu berasal dr mana. Tapi, kemudian, meski ragu, gue menggeleng.
“Kau niscaya sangat mengenalku!” katanya lagi. Sekarang gue yakin suara itu memang berasal darinya. Matanya lebih mengatakan dr bibir yg tersembunyi. Aku menggeleng lagi setengah putus asa.
Ya, ampun siapa pria ini? Ia melemparkan teka-teki di tengah situasi yg serba tak mengenakan. Masker sialan itu telah menjadikannya sukses bersembunyi. Tapi, tak matanya yg tajam. Mata yg lebih angker dr virus yg kini tengah merebak, berhasil melempar manusia ke bilik-bilik sunyi, hanya mampu mengkalkulasikan waktu & nyawa hilang dengan-cara bergantian.
“Benarkah kau tak mengenaliku?” tanyanya lagi. Aku ingin berteriak. Tapi, gue enggan membuat gaduh seisi kendaraan beroda empat. Aku tak berhak mengadili laki-laki itu hanya lantaran mempunyai sorot mata yg begitu tajam. Pertanyaannya tentu tak dlm ranah melakukan kejahatan. Pertanyaan-pertanyaannya barangkali cuma basa-kedaluwarsa untuk mengawali sebuah perkenalan. Aku mungkin yg terlampau cemas & memasukkannya ke sinyal 70 kali malaikat maut mengintai.
“Baiklah kalau begitu. Aku tak akan mengganggumu lagi. Sampai ananda mengetahui siapa aku,” katanya. Aku bernapas lega. Tapi, mata itu tak lekang memandang. Kucoba terpejam seperti penumpang lain, tetapi usahaku gagal. Laki-laki itu sudah memenuhi seluruh ruang ingatan. Detak jantungku kian cepat, seperti tengah diburubayang-bayang hitam menakutkan.
Seharusnya perjalanan kali ini kunikmati karena santapan panorama di balik beling sangat menyejukkan mata. Setiap kelokan menyampaikan sensasi yg sebaiknya bisa kurasakan. Tapi, semua hancur gara-gara tatapan itu. Meski ia sekarang tak mengajukan pertanyaan lagi, matanya masih saja menelanjangiku.
Kucoba mengenang kembali di mana sepasang mata itu pernah kutemui. Atau barangkali gue bisa mengetahui siapa pemiliknya. Tapi, lagi-lagi gue tak bisa mengenang. Mungkin lantaran begitu banyak pria yg pernah singgah di kehidupanku sampai gue tak bisa lagi mengenalinya satu per satu.
“Jangan terlalu memaksa, biar saja kamu mengingat dgn sendirinya. Kamu pasti akan ingat lantaran gue potongan dr masa lalumu,” katanya lagi. Aku menghela napas berat & kembali menyapu semua penumpang dlm kendaraan beroda empat. Anehnya, semua tertidur nyenyak. Mungkin jika mereka bangun, mereka akan jelas mendengar percakapan kami.
Kulemparkan pandangan ke luar jendela, pohon-pohon seolah berlarian. Sesekali gue membuka masker cuma untuk mengisi udara dikarenakan telah membuatku sesak. Kuperhatikan ia masih menatapku. Lutut kami berjumpa & gue kian bergetar.
Aku menjajal mengingat masa lalu, barangkali ciri-ciri fisiknya pernah mengisi kehidupanku di waktu-waktu lampau. Tapi, gue benar-benar lupa. Yang kuingat kali ini hanyalah dosa, nyaris di segenap kelokan ingatanku. Semua dosa terpampang bagaikan bertumpuk-tumpuk kotoran, amis & menjijikkan. Ya, Tuhan, tak adakah daerah bagi hamba pendosa ini untuk sedikit damai?
“Tampaknya kau mulai mengenaliku!” katanya, kali ini lebih mengejutkan. Aku mengenalinya, siapa?
“Aku yg setiap waktu kau sesali.” Teka-teki apa lagi yg coba ia lemparkan? Sampai detik ini gue belum terhubung dgn apa yg ia pertanyakan. Entah bila saja ia membuka maskernya.
Aku tak menjawabnya & pura-pura sibuk sendiri. Wa Ujan yg duduk di samping Pak Sopir mulai menggeliat. Beberapa penumpang mulai terbangun.
“Bau apa ini?” Seseorang tiba-tiba bertanya. Bau apa? Aku tak menghirup amis apa pun.
“Baunya kentara & sungguh tak enak, mirip anyir bangkai,” kata penumpang lain. Sungguh gue tak merasakan bacin apa-apa. Ada apa dgn penciumanku?
“Bau busuk, ya betul, bau busuk seperti bangkai.” Semua orang memandangku kini, termasuk laki-laki tegap di hadapanku. Aku berupaya mengendus badanku sendiri. Semua terasa biasa saja. Penciumanku tergolong tajam, tetapi kali ini gue tak bisa menghirup aroma apa pun. Aku memandang balik pada semua orang, mereka mulai terbatuk-batuk & mengeluarkan sumpah serapah.
“Pak Sopir, berhenti!” teriak salah seorang penumpang.
“Sepertinya wanita ini mesti turun di sini. Bau busuk & tak enak itu berasal dr wanita ini,” tuding seseorang. Aku gemetar. Laki-laki bermata tajam itu sepertinya tengah menertawakanku. Aku secepatnya memandang Wa Ujan, meminta perlindungan dgn sorot mataku.
“Kita akan berhenti kalau ada warung makan di depan nanti,” kata Wa Ujan tanpa melihatku. Gila! Apa yg akan dilakukan Wa Ujan? Apa ia akan mengeluarkan gue dr rombongan ini? Dan apa yg mesti kulakukan? Kembali lagi ke kotaku? Sendirian? Keterlaluan. Pikiranku mulai semrawut.
Mataku kembali memandang laki-laki di depanku. Atau barangkali laki-laki itu penyebar bau busuk itu? Aku mulai berprasangka. Matanya masih lekat di tubuhku.
Tak usang kemudian, sang sopir mendapati warung kopi. Dan benar dugaanku. Wa Ujan memohon semoga gue mengalah & mau turun demi menghindari amukan penumpang lain. Melihat wajah memelas Wa Ujan, gue tak bisa berbuat apa-apa, padahal alasannya tak masuk nalar. Waktu Wa Ujan berdekatan denganku, ia pun tak mencium busuk busuk dr tubuhku.
“Barangkali laki-laki itu yg mengeluarkan amis busuk itu Wa Ujan. Laki-laki yg duduk di depanku.” Wajah Wa Ujan tampak pucat pasi. Semenjak virus itu mewabah, ia tak pernah mengisi mobil elf itu sepenuh mirip biasanya. Ia takut kena razia di perjalanan. Selain 3M yg ketat ia terapkan, ia cuma mengisi lima puluh persen penumpang.
“Tak ada pria di depanmu, Teh. Bangku di depanmu kosong. Tak ada yg mendudukinya,” kata Wa Ujan. Aku melongok ke dlm mobil, laki-laki itu memang tak ada. Ada apa dgn pikiranku?
Wa Ujan tetap memintaku turun & tak melanjutkan perjalanan.
Aku terdiam di sisi warung, memesan secangkir kopi hitam.
Siapa laki-laki itu? Katanya tadi, ia berasal dr masa lalu. Apakah ia manifestasi dr dosa-dosaku?
“Duh busuk apa ini?” tanya ibu pemilik warung.
Aku terenyak. Dan menoleh ke arah samping, laki-laki itu ada di sana, menatapku tajam. Si ibu pemilik warung pun memandangiku lekat.
Aku memegang kepalaku sendiri. Ada apa di dlm kepalaku? (*_*)